Thursday 24 March 2011

Saat Demokrasi di Indonesia Dipimpin Teman AS Vs Teman Libya

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Yang dimaksud Teman AS itu Presiden Megawati dan Teman Libya itu Wakil Presiden Hamzah Haz. Yang dimaksud Vs itu adalah konflik di antara keduanya saat memimpin Indonesia. Demokrasi memang sangat mengizinkan siapa pun untuk berkonflik pada saat yang seharusnya bergotong royong, bersama-sama.

Sayang sekali, Megawati pada awal pemerintahannya tampak terlalu berbeda dengan ayah kandungnya yang proklamator. Kalau dulu Soekarno menolak agressor Amerika Serikat dengan mengatakannya sebagai Nekolim, Megawati malah dengan rendah hati berhiba kepada negara adikuasa ini. Bukankah Amerika Serikat juga mempunyai keterikatan dengan Indonesia? (Innu Kencana Syafiie, Azhari : 2005).

Pemerintahan di bawah Presiden Megawati Soekarnoputeri menerbitkan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu pilar agenda neoliberal dalam globalisasi ekonomi adalah privatisasi BUMN. UU tersebut adalah UU yang pertama di Indonesia yang memberikan landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan privatisasi. Namun, sayangnya, yang masuk dalam UU tersebut adalah privatisasi konsep dasar yang pro-Konsensus Washington daripada yang ditujukan bagi kedaulatan dan kemakmuran rakyat banyak (Amien Rais : 2004).

Kedekatan Megawati dengan AS dan IMF inilah yang membuat banyak pihak tidak menyukainya. Di samping itu, Presiden Megawati kurang sering melakukan komunikasi politik. Ia terlalu sering diam sehingga buruk dalam berkomunikasi.

Keretakan hubungan di tingkat pemimpin nasional pun terjadi, yaitu antara Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Ketika Megawati dekat dengan AS, Hamzah Haz malah tampil sebaliknya. Hamzah Haz bahkan memperbesar isu akan pergi ke musuh AS, yaitu Libya bersamaan dengan terjadinya konflik antara AS dan Osama bin Laden (Innu Kencana Syafiie, Azhari, 2005).

Ketika masyarakat beramai-ramai menyatakan simpati terhadap AS setelah terjadi tragedi 11 September 1999 di Washington DC, Hamzah Haz justru meminta pemerintah AS untuk mawas diri dan introspeksi. Lontaran Hamzah Haz tersebut membuat Megawati kerepotan saat mengunjungi AS saat tragedi berlangsung. Anggota Kongres AS sempat mempertanyakan pernyataan Wapres Hamzah Haz yang seolah-olah menunjukkan ketidakkompakkannya dengan Megawati. Padahal, saat itu Megawati tengah merintis hubungan dengan Washington. Akan tetapi, Hamzah Haz terus tetap pada langkah-langkahnya mesti dipandang bertentangan, misalnya, bereaksi keras ketika AS menyerbu Afghanistan.

Langkah Hamzah Haz lainnya adalah mengunjungi Jafar Umar Thalib, Ketua Komando Jihad, yang tengah menjalani proses pemeriksaan di Mabes Polri.

Ia mengatakan (2001), “Saya menyatakan prihatin atas penahanan Ustadz Jafar Umar. Saya berharap Polri bertindak profesional.”

Affan Gafar, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2001), mengatakan, “Wajar jika ada orang yang menganggap kunjungan Hamzah Haz itu merupakan pengumuman terbuka menantang Megawati.”

Pengamat politik Fachry Ali (2001) menambahkan bahwa langkah Hamzah Haz itu tidak lebih dari bagian pentas politik. Sama saja dengan penangkapan Jafar itu sendiri sehingga Hamzah Haz, sebagai Ketua Umum PPP, memanfaatkannya dengan pertemuan sebagai sinyal bahwa partainya mampu mengakomodasikan kelompok radikal. Hamzah Haz memposisikan diri sebagai tokoh Islam yang bisa diterima oleh semua kalangan Islam, termasuk Islam radikal.

Kekecewaan ini merupakan kelanjutan dari kekecewaan sebelumnya, yaitu menyangkut masalah kader PPP yang ia pimpin. Adalah Samudera Sukardi yang gagal menjadi Direktur Utama PT Garuda Indonesia setelah kalah dalam pemilihan direksi. Bagi kalangan PPP, tidak terpilihnya Samudera Sukardi merupakan hal yang menyakitkan. Mereka merasa dilecehkan, seolah-olah orang profesional dari PPP tidak mumpuni. Berbeda dengan orang-orang pilihan PDIP yang dalam pandangan mereka dengan mudah melenggang ke kursi direksi BUMN, sementara kader PPP dianggap ketimun bungkuk yang tidak laku di kursi BUMN.

PPP juga kecewa setelah La Ode Kamaludin gagal menjadi Sekretaris Wapres (Seswapres). Padahal, secara de facto La Ode berperan sebagai Seswapres sejak Hamzah Haz dilantik menjadi Wapres selama sembilan bulan. Alasannya, Seswapres yang dijabat Bambang Kesowo tidak pernah berfungsi maksimal. Hamzah Haz telah berulang kali mengusulkan La Ode menjadi Seswapres, termasuk kepada Megawati, tetapi selalu ditolak.

Berbagai hal yang tidak sesuai dengan harapan itulah yang membuat Hamzah Haz kecewa berat. Untuk memperlihatkan eksistensinya, Hamzah haz mempertontonkan aksi yang dianggap di luar kelaziman pejabat negara. Kunjungannya ke Mabes Polri seakan-akan menunjukkan diri kepada PDIP bahwa ia memiliki kartu Islam politik yang sangat penting dalam menunjang stabilitas politik (Gatra, 2001).

Memang situasi itu merupakan situasi yang tidak lazim dan tidak normal, apalagi bagi bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila. Pancasila itu intinya adalah gotong royong, bukan konflik. Dengan adanya keretakan dalam puncak pimpinan tersebut, sudah jelas jauh dari nilai luhur Pancasila dan menunjukkan situasi yang tidak stabil. Situasi yang tidak stabil jelas teramat menghambat pencapaian tujuan pembangunan nasional. Akan tetapi, karena semua orang hampir terjangkiti wabah penyakit demokrasi, memandang hal itu wajar terjadi karena semua elit memiliki partai yang juga memiliki kepentingan yang harus diperjuangkan. Kebanyakan malah menilai hal itu dari sudut pandang demokrasi, bukan dari sudut pandang Pancasila. Artinya, menjelas-jelaskan hal tersebut dalam sistem demokrasi, kemudian mencari argumen untuk bisa dipahami banyak orang bahwa itu memang wajar dan bisa saja sangat mungkin untuk terjadi. Padahal, sungguh, Pancasila tidak menginginkan hal itu terjadi.

No comments:

Post a Comment