Thursday, 24 March 2011

Pancasila Bangkit Sebentar, Lalu Jatuh Lagi Gara-Gara Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya


Selepas Orde Baru dan Soehartonya dilengserkan atau dalam bahasa Sunda dilungsurkeun, Habibie sebagai Wakil Presiden Soeharto diangkat MPR untuk menjadi presiden. Kepemimpinannya tidak lama, namun telah banyak yang dilakukannya, seperti, membebaskan tahanan politik, pencabutan UU subversi, menjamin kebebasan berbicara dan pers, serta menyelenggarakan Pemilu yang lebih baik. Meskipun demikian, banyak pihak yang menyayangkan bahwa pada masa kepemimpinannya Timor Timur lepas dari NKRI.

Kekuatan Orde Baru dalam arti Demokrasi Pancasila yang sudah tidak lagi dikehendaki oleh rakyat harus diganti oleh kekuatan baru yang benar-benar merupakan aspirasi rakyat. Oleh sebab itu, Presiden Habibie ditekan untuk segera menyelenggarakan Pemilu agar lahir pemerintahan yang baru. Untuk terselenggaranya Pemilu yang dapat menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah memperbolehkan rakyat membentuk partai-partai. Dengan demikian, fusi yang pernah dilakukan semasa Demokrasi Pancasila menjadi tidak berlaku. Masyarakat pun memiliki kesempatan untuk membangun partai-partai. Hasilnya, terdapat 48 partai yang telah disahkan untuk mengikuti Pemilu 1999.

Melalui Pemilu 1999, dari 48 partai, hasilnya hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI. PDI Perjuangan menjadi pemenang, tetapi tidak mutlak. Golkar mampu mengimbanginya. Hasil tersebut mengecewakan banyak pihak. Tak urung Amien Rais pun yang getol mendorong Pemilu ini mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, rakyat Indonesia belum cukup pintar untuk mengerti arti sebuah arti demokrasi di negara yang sebesar Indonesia ini (Inu Kencana Syafiie, Azhari: 2005).

Dalam Sidang Istimewa anggota MPR RI hasil Pemilu 1999 menolak laporan pertanggungjawaban Habibie yang sekaligus menghentikan Habibie untuk menjadi presiden berikutnya.

Selanjutnya, MPR RI memilih presiden dan Wapres untuk menjalankan pemerintahan. Hasilnya, pada sidang paripurna ke-13 MPR RI, Rabu 20 Oktober 1999 melalui voting, Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden, sedangkan wakilnya adalah Megawati yang sebenarnya pemenang Pemilu 1999. Hal itu dimungkinkan karena sistem Pilpres dilangsungkan tidak secara langsung oleh rakyat, melainkan oleh MPR RI.

Sampai peristiwa ini, tampak ada suasana gotong royong di antara elemen politik bangsa untuk mewujudkan pemerintahan yang baru selepas pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa lebih kurang 32 tahun. Meskipun demikian, ada satu golongan atau partai yang harus kecewa, yaitu Golkar yang kehilangan calon presidennya karena dulu mengusung Habibie yang kemudian ternyata ditolak oleh MPR RI. Akan tetapi, hal itu tidak menimbulkan gejolak yang berarti sehingga pada akhirnya Golkar pun bersedia untuk tetap bersama-sama membentuk pemerintahan yang baru. Di samping itu, Megawati yang partainya pemenang Pemilu tetap rela berada di posisi kedua karena mengikuti mekanisme yang ada dengan tetap menjaga keutuhan bangsa.

Perilaku elit saat itu mencerminkan sikap gotong royong yang baik sehingga segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat (http://pajriblog.blogspot.com). Ada harapan Pancasila sudah mulai bangkit lagi menjadi sumber inspirasi seluruh bangsa.

Situasi itu pun mendorong bangsa Indonesia untuk mendapatkan manfaat dari gotong royong, yaitu meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, dan tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar (Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id).

Di samping itu, situasi menunjukkan adanya efektivitas yang tinggi dalam menyelesaikan konflik-konflik yang pernah terjadi. Dengan demikian, bangsa Indonesia memiliki harapan bahwa stabilitas politik nasional dapat terwujud sebagai syarat mencapai pembangunan nasional.

Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Sikap dan situasi yang menjauhi gotong royong justru dimulai dalam masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Situasi tersebut tampak sekali di tingkat pemimpin puncak. Di antara Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada lagi kerja sama yang baik. Bahkan, Megawati beserta PDIP merasa kecewa berat karena tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan politik strategis pada pemerintahan Gus Dur. Dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri, misalnya, kader PDIP Laksamana Sukardi diberhentikan dari jabatan menteri BUMN tanpa sepengetahuan Megawati. Sejak saat itu, Megawati secara nyata mengambil jarak politik dengan Gus Dur.

Suasana gotong royong yang merupakan jiwa dari Pancasila pun jatuh lagi, terkubur berbagai kepentingan politik. Sebentar sekali ternyata para elit ini bisa akur. Akibatnya, rakyat pun tidak akur dan pastinya sulit untuk makmur. Semua jadi gelisah dan bingung, mau apa dan bagaimana pada masa depan.

No comments:

Post a Comment