Thursday, 24 March 2011

Gus Dur Terjerat Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sikap dan situasi menjauhi gotong royong yang merupakan intisari dari keluhuran nilai Pancasila dapat dilihat dalam masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Hal tersebut disebabkan perilaku demokrasi yang mempersulit para elit untuk dapat bersatu hati membentuk kebijakan yang menguntungkan semua pihak dalam arti seluruh bangsa. Situasi tersebut tampak sekali di tingkat pemimpin puncak. Di antara Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada lagi kerja sama yang baik. Bahkan, Megawati beserta PDIP merasa kecewa berat karena tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan politik strategis pada pemerintahan Gus Dur. Dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri, misalnya, kader PDIP Laksamana Sukardi diberhentikan dari jabatan menteri BUMN tanpa sepengetahuan Megawati. Sejak saat itu, Megawati secara nyata mengambil jarak politik dengan Gus Dur.

Eskalasi politik pun bergeser cepat 180 derajat. Partai-partai berbasis massa Islam (PPP, PAN, PBB, PK, dll.) memanfaatkan jarak renggang Mega-Gus Dur dengan membentuk “aliansi” kesepahaman politik baru dengan PDIP. Hal itu disebabkan partai-partai berbasis massa Islam itu sudah lebih dulu disepelekan Gus Dur. Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, sudah lebih dulu didepak dari kabinet. Kemudian, menyusul Bambang Sudibyo (PAN), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Nurmahmudi Ismail (PK) masing-masing dipecat dari jabatan Menkeu, Menkeh, dan Menhutbun. Lalu, Bomer Pasaribu dan Mahadi Sinambela dari Partai Golkar diberhentikan dari jabatan Menaker dan Menpora.

Ketika menggelinding kasus Buloggate yang melibatkan Gus Dur dan lingkarannya, PDIP berseberangan dengan Gus Dur dan PKB-nya (Budi dkk. : 2004). Terbentuklah Pansus Buloggate yang di dalamnya santer wacana sidang istimewa untuk menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Sepak terjang partai yang semakin membesar tersebut membuat posisi Gus Dur terancam. Oleh sebab itu, Gus Dur pun melakukan perlawanan yang merupakan antisipasi menguatnya sidang istimewa yang membahayakan posisinya. Bentuk perlawanan tersebut berupa rencana dikeluarkannya Dekrit Presiden untuk membubarkan parlemen.

Menurut Gus Dur, apabila Presiden dijatuhkan melalui Memorandum I, II, dan seterusnya Sidang Istimewa MPR RI, keadaan menjadi kalut (darurat). Oleh sebab itu, sebaiknya dikeluarkan dekrit.

Berbeda dengan pendapat Ketua MPR RI Amien Rais. Menurutnya, apabila MPR dibubarkan oleh Presiden, hal tersebut menyalahi konstitusi karena Presiden dipilih oleh MPR.

Berkaitan dengan wakilnya, Presiden Gus Dur mengatakan bahwa Megawati tidak menciptakan dwitunggal jika membiarkan partainya menggelar sidang istimewa kendati menurut Megawati hal tersebut dapat dilakukan sepanjang konstitusional.

Di tingkat grassroot pendukung Gus Dur dari berbagai daerah berdatangan ke Jakarta. Mereka memberikan dorongan penuh pada kebijakan-kebijakan Gus Dur sekaligus siap sedia untuk melakukan apa saja yang diperintahkan untuk membuktikan dukungannya tersebut.

Situasi politik terus bergulir. Akhirnya, Gus Dur digulingkan juga melalui kasus Brunaigate dan Buloggate yang dikonstitusionalkan melalui Memorandum I, II, dan SI MPR. Dengan demikian, posisi Presiden RI diisi dengan mulus oleh Megawati Soekarnoputeri.

Dengan naiknya Megawati menjadi presiden, kursi wakil presiden menjadi kosong. Untuk mengisi posisi tersebut, MPRI RI telah memilih Hamzah Haz dari PPP.

Dalam masa pemerintahan Abdurahman Wahid kita menyaksikan pertarungan yang luar biasa ulet. Baik pihak yang pro maupun yang anti Gus Dur bunyinya sama, yaitu untuk kepentingan rakyat. Akan tetapi, situasi itu merupakan hal yang aneh untuk dipersembahkan kepada rakyat atau memang mungkin kekacauan itulah yang dimaksudkan untuk rakyat, yaitu berbangga dengan demokrasi yang bisa kapan saja melakukan apa saja meskipun membuat negara berguncang keras hingga kestabilan tidak pernah tercipta dan membuat sulit mencapai tujuan pembangunan nasional.

No comments:

Post a Comment