Monday 28 March 2011

Ciri Khas Demokrasi Adalah Kegoncangan dan Huru-Hara

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Menjelang Pemilihan Presiden 2009, suasana yang menjauhkan situasi dan kondisi bangsa dari gotong royong kembali terjadi, yaitu persoalan pelaksanaan Pemilu. Di sejumlah daerah terjadi kekisruhan Pemilu legislatif 2009. Salah satu contohnya adalah yang terjadi di Nias Selatan, Sumatera Utara. Dalam http://niasonline.net, digambarkan bahwa kekisruhan diawali karena pendistribusian yang tidak merata dan tidak terkoordinir. Lalu, terjadi penggelembungan suara hingga melebihi angka Daftar Pemilih tetap (DPT). Dalam kasus itu, Ketua KPUD Nias Selatan dinilai telah lalai dan tak mampu mengoordinir agar Pemilu di Nias Selatan berlangsung baik sesuai tahapan.

Pasangan SBY-Kalla yang memimpin Indonesia pun mengalami ketidakcocokan. Slogan “bersama kita bisa” berubah menjadi “tidak bersama, kita bisa”. Berpisahnya duet tersebut mengemuka setelah Partai Golkar yang dipimpin Jusuf Kalla memutuskan untuk mengusung kader sendiri sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden. Keputusan itu sangat mengejutkan karena sebelumnya sebagian besar elite di partai itu masih berusaha mempertahankan duet SBY-Kalla. Ketua DPD I Golkar Sumatera Selatan Alex Noerdin menilai bahwa koalisi dengan Partai Demokrat tidak perlu dipertahankan karena merugikan Golkar (http://opinisaya.wordpress.com).

Setelah berpisahnya duet SBY-JK dalam kepemimpinan nasional, apalagi setelah JK menjadi rival SBY dalam helatan pemilihan presiden, kedua tokoh ini sering dibanding-badingkan, terutama dari pihak pro-JK dengan semboyan yang sangat terkenal itu “lebih cepat lebih baik”. Semboyan (tagline) ini tidak saja menerangkan karakter JK, tetapi sebagai pembeda dengan SBY. Semboyan ini sekaligus juga mengatakan bahwa “SBY tidak cepat, lamban, dan tentu tidak lebih baik daripada JK”. Pertarungan sungguh sengit dengan melibatkan citra kedua tokoh tersebut (http://politik.kompasiana.com).

Kekisruhan pelaksanaan Pemilu legislatif 2009 pun telah mendorong Forum Rektor Indonesia (FRI) bersuara. Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, selaku Ketua FRI dalam http://pemilu2009.forumrektor.uii.ac.id mengumumkan siaran persnya bahwa sejumlah persoalan masih menyelimuti proses persiapan menuju pelaksanaan Pemilu, 9 April 2009. Beberapa persoalan yang mengemuka adalah kontroversi menyangkut daftar pemilih tetap (DPT) akibat tiadanya kejelasan/akurasi data lapangan. Persoalan yang berawal dari birokrasi yang buruk dalam pendataan pemilih memicu perdebatan politis di antara peserta Pemilu. Masalah lain adalah terkait kelengkapan, akurasi, dan distribusi logistik Pemilu khususnya surat suara yang masih dipertanyakan oleh berbagai pihak.

Sementara itu, pada pelaksanaan kampanye terbuka yang diadakan oleh partai politik dan para calon anggota legislatif, pelanggaran terjadi di hampir semua kegiatan tersebut, terutama disertakannya anak-anak, konvoi yang mengganggu tertib lalu lintas, dan iklan politik di media yang tidak mencerahkan pemilih. Sepertinya, tidak ada upaya serius dari peserta Pemilu untuk mematuhi aturan yang ada sedangkan lembaga pengawas Pemilu belum dapat bertindak secara memadai (http://www.koraninternet.com).

Menanggapi berbagai kritik dari sejumlah partai politik menyangkut penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato secara khusus di Istana Negara, Jakarta Pusat. Presiden Yudhoyono menegaskan, berbagai kasus seperti kisruh daftar pemilih tetap atau DPT menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum.

Menurut Yudhoyono, peran pemerintah dan unsur lainnya sifatnya hanya sebatas membantu KPU sesuai undang-undang. Yudhoyono pun menyatakan peran pemerintah memang dibatasi UU, tetapi pemerintah memberikan bantuan kepada KPU berupa peraturan penunjang. Selain itu, Presiden mengakui Pemilu 2009 sangat kompleksitas.

Presiden juga mengakui pelanggaran telah terjadi seperti soal DPT sehingga muncul berbagai protes dan gugatan di sejumlah daerah. Namun, Kepala Negara mengingatkan, semua pelanggaran harus diselesaikan secara adil karena Indonesia adalah negara hukum. Yudhoyono menyebutkan bahwa sejauh ini tercatat pelanggaran administratif lebih dari 1.500 dan pelanggaran pidana sekitar 1.000 (http://berita.liputan6.com).

Hendardi (2009), selaku Ketua Badan Pengurus Setara Institute, mengatakan, “Menteri Dalam Negeri dan KPU meminta maaf kepada masyarakat dengan memberikan klarifikasi menyeluruh atas kisruh DPT dan kinerja minimum KPU.”

Langkah ini diyakini akan mampu menekan kemarahan publik sehingga agenda lanjutan tetap bisa berjalan.

Presiden Susilo Bambang Yudhyono, selaku pimpinan tertinggi, tidak cukup hanya menunjukkan keprihatinan atas kisruh DPT, tetapi harus mengambil tindakan politik dengan mengerahkan jajaran pemerintahan membantu perbaikan DPT dengan tetap memastikan independensi KPU. Sayang, Presiden dan Menteri Dalam Negeri yang justru melempar kesalahan pada KPU, padahal publik sangat mafhum bahwa persoalan ini dipicu oleh pemerintah yang tidak serius menyediakan data kependudukan (http://www.koraninternet.com).

Peserta pemilu merasa ada masalah. Semua pihak seperti yang terlihat di media massa cetak dan elektronik memperlihatkan ada masalah. Bahkan, media Kompas (17/4/2009) secara eksplisit memuat pernyataan Presiden yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu oleh KPU. Ini berarti menunjukkan memang ada masalah. Adanya masalah seperti ini berakibat langsung pada pemilihan presiden dan wakil presiden karena data-datanya diambil pula dari data Pemilu legislatif (http://mattkhay.com).

Kekisruhan yang terus berlarut membuat pula para mantan aktivis '98 protes. Mereka menyerukan penolakan Pemilu dan pemboikotan Pilpres.

“Pemilu harus diulang karena adanya cacat DPT atau boikot pilpres 2009. Kini kita berada di tengah krisis konstitusi ketatanegaraan," kata Mantan Ketua Senat Universitas Mercubuana A. Rohman, dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jl. Lapangan Banteng, Jakpus, Senin (20/4/2009).

A. Rohman menghendaki penghitungan suara harus dihentikan, Presiden mengatakan bahwa itu kesalahan KPU, tetapi data kependudukan disediakan oleh pemerintah, jadi pemerintah yang harus bertanggung jawab.

Kekusutan-kekusutan tersebut membuat para pemimpin politik mengadakan berbagai pertemuan, salah satunya, pertemuan kelompok Teuku Umar. Kelompok Teuku Umar, antara lain, Megawati, Prabowo, Wiranto, Gus Dur, dan pimpinan partai-partai yang protes hasil Pemilu 2009.

Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto bertandang ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Menurut Wiranto, selain bertemu dengan Mega, dirinya telah melakukan pertemuan dengan beberapa partai lain. Pertemuan tersebut membahas tentang pelaksanaan Pemilu legislatif yang dianggap amburadul. Mereka pun berupaya mengancam untuk memboikot Pilpres.

Wiranto menegaskan kelompok Teuku Umar ini diambil bukan karena takut kalah dengan SBY. Akan tetapi, semata-mata ingin menegakkan substansi demokrasi yang berlandaskan fairness.

Permasalahan berkembang bukan hanya diakibatkan oleh DPT, melainkan pula sistem penghitungan tabulasi online. PDIP mempertanyakan efektivitas tabulasi online (real count) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berjalan sangat lamban. PDIP meminta DPR mengevaluasi tabulasi nasional Pemilu 2009 yang digelar KPU di Hotel Borobudur.

Sementara itu, Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie mengatakan bahwa tabulasi tidak banyak berpengaruh karena yang paling penting adalah penghitungan secara manual (http://kesaktianpeduligenerasi.blogspot.com).

Kesemrawutan Pemilu legislatif 9 April 2009 tersebut membuat pula PDIP menyalahkan langsung Presiden dan KPU. Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDI Perjuangan mendesak Presiden sebagai kepala pemerintahan untuk bertanggung jawab. Selain itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga ditekankan menjadi pihak yang ikut bertanggung jawab (http://entertainment.kompas.com).

Saat pemilihan presiden 2009 tinggal lima hari lagi polemik Pemilu legislatif ternyata belum berakhir. Polemik tersebut terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengulang Pemilu legislatif di 37 kecamatan.

Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) Ferry Mursyidan Baldan menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Hasil Pemilihan Legislatif Ulang tidak sesuai dengan UU Pemilu. Oleh karenanya, jika tetap menjalankan keputusan MK, KPU akan melanggar UU Pemilu. Ia pun menganggap bahwa MK hanya berwenang memutus perkara perselisihan dan bukan soal posisi hukum alias legal standing UU Pemilu (http://nasional.kontan.co.id).

Saat semakin mendekati pemilihan presiden, Trio Malarangeng mengusung pasangan SBY-Boediono, dengan tekad kuat sesuai dengan pernyataan Andi Malarangeng dalam http://www.jakartapress.com yang jauh dari sikap gotong royong:

“Ketika SBY diserang, maka itu tugas saya untuk membela. Tapi saat Boediono yang diserang, maka Rizal yang maju. Jika kampanye-kampanye yang diserang, maka Zulkarnain Mallarangeng yang akan menghadapi.”

Sesungguhnya, teramat banyak peristiwa yang jauh dari suasana Pancasilais, gotong royong, yang terjadi selama kepemimpinan SBY-Kalla, tetapi pemaparan tadi sudah lebih dari cukup untuk menjadi cerminan berbagai peristiwa yang tidak tertulis dalam blog ini. Suasana dan peristiwa berbagai kesemrawutan tersebut membuat Indonesia jauh dari Pancasila atau goyong royong yang membuat sulit Indonesia mencapai tujuan pembangunan nasional karena syaratnya adalah terciptanya kestabilan dalam kehidupan politik.

No comments:

Post a Comment