Monday 28 March 2011

Negeriku Makin Kusut Gara-Gara Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya


Selepas SBY-JK, kepemimpinan eksekutif dikuasai oleh pasangan SBY Boediono. Lagi-lagi pasangan ini diharapkan dapat membawa perubahan yang berarti dalam berbagai hal untuk kemajuan Indonesia. Akan tetapi, suasana stabil pun tidak juga tercipta, bahkan semakin buruk. Pada masa ini, sampai tulisan ini disusun, setidaknya sudah ada beberapa masalah besar yang menjauhkan negeri ini dari gotong royong. Peristiwa-peristiwa tersebut tentu saja menyedot perhatian dan energi yang banyak, bukan hanya elit, melainkan pula kalangan rakyat biasa.

Kekisruhan, huru-hara pemilihan kepala daerah langsung (pemilihan Kadal) terus terjadi di sejumlah daerah. Hal itu mengakibatkan beberapa daerah melakukan pemilihan ulang yang jelas membutuhkan dana, waktu, dan kesiapan mental masyarakat yang tidak sedikit. Para kontestan pemilihan Kadal terus mengorganisasikan para pendukungnya untuk mengalahkan saingannya. Di samping itu, kekacauan bertambah-tambah dengan berbagai kasus nasional, yaitu: kasus Century dan Gayus. Kedua kasus itu kemudian menjadi pemicu ketidakharmonisan dan saling curiga di antara elit politik. Kasus Bank Century telah menyeret berbagai institusi hukum di Indonesia, seperti halnya KPK, Polri, dan DPR (http://karodalnet.blogspot.com).

Maswadi Rauf, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI, dalam http://suar.okezone.com yang dikutip http://ngedots.abatasa.com menjelaskan dengan panjang lebar mengenai kasus Bank Century. Kasus Bank Century menjadi berita utama media massa setelah selesainya perseteruan Kepolisian Negara RI (Polri) dan Kejaksaan Agung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Barangkali ada yang mengatakan bahwa perseteruan itu belum selesai sepenuhnya karena adanya gugatan praperadilan oleh sejumlah ahli hukum terhadap surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan oleh kejaksaan karena mereka melihat alasan yang digunakan tidak tepat. Namun, pemberitaan di media massa telah beralih ke kasus Bank Century.

Kasus Bank Century adalah kasus hukum karena adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sejumlah pejabat pemerintah dalam mengeluarkan dana talangan sebesar Rp6,7 triliun bagi bank yang bermasalah itu pada 2008.

Dalam kasus tersebut juga muncul dugaan bahwa sebagian dana talangan tadi mengalir ke sejumlah pejabat politik dan tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Bahkan, ada organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang menyebut nama sejumlah tokoh yang menerima sejumlah uang secara terang-terangan. Tuduhan ini kemudian diadukan ke Kepolisian Daerah (Polda) Jakarta Raya untuk diproses secara hukum.

Kasus Bank Century berkembang menjadi isu politik karena yang membuat kebijakan tersebut adalah sejumlah pejabat pemerintah sehingga kebijakan itu menjadi kebijakan publik. Kebijakan publik yang diartikan sebagai kebijakan pemerintah adalah salah satu objek terpenting dalam politik sehingga bergulirnya kasus Bank Century menjadi isu politik adalah suatu hal yang wajar.

Aroma politik dari kasus Bank Century menjadi sangat kental karena yang dipersoalkan adalah uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar. Kasus Bank Century ini dengan segera membentuk opini publik di dalam masyarakat bahwa ada sejumlah tokoh penting di republik ini yang memanfaatkan dana talangan tersebut untuk kepentingan politik mereka.

Gerakan massa yang ingin menuntaskan kasus Bank Century memanfaatkan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2009 lalu untuk menyuarakan tuntutan mereka secara gamblang. Warna politik kasus Bank Century semakin mengental oleh adanya pernyataan Presiden SBY di depan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat bahwa gerakan antikorupsi telah ditunggangi oleh kepentingan politik sehingga tujuannya tidak lagi murni antikorupsi karena bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden SBY.

Kasus Bank Century telah menghasilkan perkembangan politik yang aneh karena telah terjadi pertentangan politik antara dua kelompok yang sama-sama ingin memberantas korupsi di Indonesia. Kelompok pertama adalah kelompok Ormas yang mengadakan acara peringatan 9 Desember 2009 yang sangat bersemangat untuk mengungkap kasus Bank Century sebagai kasus korupsi yang paling baru di Indonesia.

Di dalam kelompok ini juga termasuk sejumlah anggota DPR, baik yang termasuk dalam Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century DPR maupun tidak. Kelompok kedua adalah kelompok SBY yang juga secara terang-terangan menyatakan sikap mereka yang antikorupsi dan ingin segera menuntaskan kasus Bank Century dengan membuka kasus seluas-luasnya, tetapi menaruh kecurigaan terhadap kelompok pertama.

Kedua kelompok mempunyai tujuan yang sama, tetapi terlibat dalam pertentangan politik. Faktor penyebab pertentangan antara kedua kelompok ini adalah perbedaan sikap menghadapi kasus Bank Century. Kelompok pertama telah menyatakan sejak awal bahwa kasus Bank Century perlu ditangani oleh DPR (melalui Pansus Hak Angket Bank Century) sebagai bagian dari usaha untuk mengungkapkan kasus Bank Century karena bagi mereka kasus tersebut telah cukup jelas.

Di pihak lain, Partai Demokrat dan beberapa partai koalisi pemerintah tidak mau membentuk Pansus Hak Angket Bank Century di DPR sebelum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil auditnya. Kelompok ini kemudian menyatakan dukungannya terhadap Pansus Hak Angket Bank Century setelah Presiden SBY menyatakan dukungannya terhadap pengungkapan kasus Bank Century dan pembentukan Pansus di DPR.

Faktor penyebab kedua adalah perbedaan pandangan dalam melihat kemungkinan pelanggaran hukum oleh pejabat-pejabat pemerintah yang terkait dengan keputusan pengucuran dana talangan bagi Bank Century. Kelompok pertama merasa yakin telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.

Sebaliknya, kelompok kedua tidak yakin telah terjadi tindakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu, mereka menolak anggapan bahwa telah terjadi aliran dana Bank Century kepada sejumlah pejabat pemerintah dan kubu Partai Demokrat.

Memang harus diakui telah terbentuk opini publik bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century yang melibatkan dana dalam jumlah yang amat besar. Opini publik ini diperkuat penemuan BPK yang telah melakukan audit terhadap kasus Bank Century. Masalahnya, adalah dana tersebut tidak jelas ke mana perginya dan siapa saja yang menikmatinya? Ketidakjelasan yang berkepanjangan memunculkan berbagai spekulasi di dalam masyarakat. Ketidakjelasan itu juga semakin memperkuat tuduhan sebagian warga masyarakat bahwa telah terjadi korupsi dalam jumlah yang fantastis yang berujung pada tuduhan terhadap pemerintah karena keputusan tersebut oleh pejabat-pejabat tinggi negara yang terkait dengan keuangan dan perbankan.

Dengan demikian, perkembangan kasus Bank Century di dalam masyarakat menjurus ke arah terpojoknya pemerintah. Sangat disayangkan pemerintah bereaksi terhadap tuduhan tersebut dengan mengatakan tuduhan itu sebagai fitnah. Sikap defensif yang berlebihan yang ditunjukkan oleh pemerintah malah memperhebat pertentangan antara kedua kelompok.

Kasus lainnya yang mengguncangkan adalah kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan yang jelas secara terang benderang menggambarkan adanya penyuapan dan korupsi. Informasi yang telah beredar di tengah masyarakat menyebutkan bahwa ada 149 perusahaan yang ditangani oleh Gayus dan sekitar 50 persennya adalah perusahaan besar dan terkenal. Tercatat ada beberapa perusahaan besar dan cukup terkenal yang disinyalir ditangani Gayus Tambunan, antara lain, PT Exelcomindo Pratama, PT Bukaka, PT Newmont Nusantara, PT Syun Hyundai, PT Prudential, PT Pertamina Dana Sentitas, PT BUMI, PT Tegas Exporindo Java, PT Indah Kiat Pulp and Paper, PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT Kapuas Prima Coal, PT Wijaya Karya, PT BUMI Resources, dan PT Arutmin.

Secara gamblang Gayus telah menyatakan bahwa jumlah yg paling besar dia terima adalah dari wajib pajak Grup Bakrie (KPC, Bumi Resources, Arutmin). Dalam sebuah kesaksian sidang terungkap jumlah tersebut mencapai 100 milyar, namun hal ini berkali-kali dibantah oleh kelompok Bakrie (http://hukum.kompasiana.com).

Kasus dana talangan Bank Century dan kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan sama-sama menjadi ‘mainan’ politisi DPR. Dua partai besar masing-masing Demokrat dan Golkar seperti memainkan kasus ini sebagai senjata.

Perputaran kasus Bank Century bahkan bisa mengancam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasca-keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi pasal 184 (4) UU Nomor 17 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Hal ini dibuktikan ketika keputusan MK belum berumur sehari, 126 anggota DPR sudah membubuhkan tanda tangan mendukung pernyataan pendapat terkait penanganan kasus Bank Century. Mereka berasal dari Partai Golkar, Gerindra, Hanura, dan PDIP, yang selama ini memang menjadi lawan politik Demokrat.

Partai Golkar meskipun masuk dalam Setgab, tetapi dalam kasus Century selalu berada di depan. Hal ini diduga untuk mengimbangi kasus Gayus yang selalu diolah Partai Demokrat. Kasus ini sering dikait-kaitkan dengan keberadaan petinggi Golkar.

Pieter Zulkifli, anggota DPR dari Partai Demokrat, meminta Panja Mafia Pajak untuk memanggil Gayus Tambunan. Sementara itu, Bacharudin dari FPKB menegaskan menolak untuk menggunakan hak itu. PKB konsisten dengan keputusan bahwa dalam kebijakan itu (dana talangan Century) tidak melanggar. PKB berpendapat kalau ada pelanggaran, harus dibiarkan diproses secara hukum.

Ketua MK Mahfud MD mengatakan keputusan MK sama sekali tidak dimaksudkan untuk memakzulkan Pimpinan Nasional. Namun, memang dengan putusan MK, upaya pemakzulan lebih terang dan mudah (http://www.poskota.co.id).

Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Rudy Satriyo (2010) dalam http://kabarnet.wordpress.com, banyak sekali pihak yang berkepentingan dalam kasus Gayus. Sejumlah pejabat harus menyelamatkan kepentingan pribadi, sejumlah pengusaha harus menyelamatkan kepentingan bisnis, dan sejumlah politisi harus menyelamatkan kepentingan politiknya.

Oleh karena polisi dan jaksa juga terlibat dalam kepentingan-kepentingan tersebut, maka penanganan kasus ini jadi tidak berjalan lurus. Misi penegakan hukum diabaikan. Polisi, jaksa dan KPK, jelas terikat oleh kepentingan-kepentingan tadi.

Sejak awal kasus Gayus memang banyak muatan kepentingan, baik kepentingan pribadi, kepentingan kelompok di masyarakat. Yang paling jelas terlihat adalah kepentingan para pengusaha, baik pengusaha nasional maupun pengusaha multinasional. Untuk kepentingan pribadi, dalam kasus ini bagaimana menguasai dana yang ada, sedangkan kepentingan kelompok dan pengusaha adalah masalah perpajakan.

Persoalan politik dalam kasus ini adalah wakil-wakil rakyat justru membela mati-matian sebagian lainnya untuk menjatuhkan yang lainnya. Ini tentu sesuatu yang aneh. Komisi III DPR yang seharusnya menjadi perwakilan rakyat di parlemen bisa membela kepentingan rakyat, justru lebih membela kepentingan partai politiknya dan pengusaha. DPR seharusnya lebih bisa menggiring atau mendorong perlindungan atas penegakan hukum yang baik dan benar. Akan tetapi, yang muncul kemudian adalah adanya politik dagang sapi.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya, Aburizal Bakrie (Ical), menilai persoalan Gayus Tambunan hanyalah intrik politik yang digunakan untuk menyerang tiga pihak, yakni: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Polri, dan dirinya atau Partai Golkar:

"Ini hanya suatu intrik politik yang tidak baik. Saya melihat ada serangan ke tiga arah di mana Gayus hanya dipakai. Pertama, serangan ke arah Presiden SBY. Kedua, serangan ke polisi. Ketiga, serangan kepada saya dan Golkar,"

Meskipun demikian, Ical tidak mengetahui dari mana sumber serangan itu berasal (http://www.republika.co.id).

Adapun Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa kasus Gayus akan menjadi bargaining politik yang lama-lama ujung-ujungnya Pilpres 2014 (http://www.pdiperjuangan-jabar.com). Kasus tersebut hanya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan dengan menyerang pihak lain,

Hal senada diungkapkan oleh Hendardi, Ketua Badan Pekerja Setara Institute dalam http://m.beritasatu.com. Menurutnya, Gayus telah menjadi martil untuk menekan pihak lain yang memiliki sumber daya politik kuat dan potensial yang mengancam kekuasaan partai yang sedang berkuasa pada Pemilu Presiden 2014.

Golkar adalah kekuatan politik yang tak bisa dianggap remeh. Golkar di bawah kendali Aburizal Bakrie memiliki sumber dana paling kuat dan Bakrie dicurigai banyak pihak pernah menggunakan jasa Gayus dalam urusan pajak.

Berlarutnya persoalan mafia pajak menggulirkan usulan Hak Angket Mafia Pajak di DPR. Hak angket sendiri merupakan hak DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap suatu kasus. Menguatnya wacana hak angket memaksa DPR melakukan voting untuk memastikan apakah hak angket ini bisa dijalankan atau tidak.

Dari hasil voting, didapat kepastian bahwa sebanyak 266 anggota DPR menolak, sementara 264 anggota lainnya menerima hak angket. Di antara yang menolak adalah Partai Demokrat, PAN, PPP, PKB, dan Gerindra. Sementara itu, yang menerima adalah Partai Golkar, PDI-P, PKS, dan Hanura. Di antara partai- partai yang menerima, dua di antaranya adalah partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah di Setgab, yakni Partai Golkar dan PKS.

Perbedaan sikap politik yang terjadi di antara partai koalisi pendukung pemerintah, membuat elit Partai Demokrat gerah. Sebagai motor Setgab, Partai Demokrat "mendesak" Presiden untuk mengevaluasi kabinet. Partai-partai yang sikap politiknya tak sejalan lagi dengan rel pemerintah diminta dicabut porsinya dalam kabinet.

Seperti diketahui sebelumnya, Partai Golkar dan PKS juga berseberangan sikap dengan sikap pemerintah terkait Hak Angket Bank Century. Terkait kegelisahan ini, Ketua DPR yang juga elit penting Partai Demokrat, Marzuki Ali, telah melaporkannya kepada SBY (Abdul Hakim MS, 2011, dalam http://suarapembaca.detik.com).

Usulan angket sebenarnya mengandung unsur positif, yaitu: ingin membenahi kebijakan perpajakan agar lebih adil, transparan, akuntabel, dan berorientasi kepentingan publik. Ini penting karena pajak penyumbang utama APBN. Kebocoran penerimaan pajak yang sekitar Rp380 miliar setahun sungguh merupakan kerugian negara yang amat besar. Oleh karena itu, pembasmian atas mafia perpajakan adalah suatu keniscayaan.

Namun, awalnya ada niat lain dari Demokrat dalam mengajukan hak angket. Bukan perbaikan sistem yang jadi fokus utama, melainkan bagaimana ”menghabisi secara politik” Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yang tiga perusahaan keluarganya disebut-sebut terkait mafia pajak dan memberikan uang kepada Gayus Tambunan senilai 3 juta dollar AS.

Jika kita lihat, Demokrat mundur teratur karena ada kekhawatiran, di antara 148 dari 151 perusahaan yang disebut terkait Gayus, bukan tak mungkin ada yang jadi penyumbang dana kampanye bagi Demokrat. Demokrat tampaknya tak ingin usulan angket mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya, kegagalan Golkar mendulang dukungan dalam pengusulan angket, antara lain, karena blunder politik

Ketua Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso yang menyatakan pengusulan angket oleh Golkar terkait ”misi suci” Golkar membersihkan nama baik ketua umumnya (Ikrar Nusa Bakti, 2011, dalam http://nasional.kompas.com).

Dari berbagai peristiwa di dalam Demokrasi Masa Reformasi sampai saat penelitian ini dilakukan, 2011, suasana gotong royong sama sekali tidak terlihat. Hal itu berarti situasi politik nasional berada jauh di luar dari intisari nilai Pancasila, yaitu gotong royong sebagaimana yang disampaikan Founding Father Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam pidato filsafat negara bahwa rumusan dasar Negara Indonesia merdeka adalah:

1. Kebangsaan Indonesia-Nasionalisme
2. Perikemanusiaan-Internasionalisme
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Lima asas atau dasar tersebut atas petunjuk seorang temannya yang ahli bahasa—oleh Soekarno—diberi nama Pancasila. Konsep dasar yang diajukan Soekarno dapat diperas menjadi Tri Sila, yaitu:

1. Socio-Nationalisme, perasan sila 1 dan 2
2. Socio-Democratis, perasan sila 3 dan 4
3. Ketuhanan

Ketiga sila itu dapat diperas lagi menjadi satu sila yang disebut Eka Sila, yaitu gotong royong (Hasan, 2002 : 56-57 dalam Soeprapto : 2004).

Adapun gotong royong sendiri merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia (http://id.wikipedia.org).

Gotong royong pun merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

Berbeda dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri. Cara individualisme akan memperlambat pekerjaan karena dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan (http://pajriblog.blogspot.com).

Di samping itu, gotong royong adalah suatu budaya kerja. Budaya kerja menurut Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tecermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan, serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan pada masa yang akan datang.

Adapun tujuan dan manfaat dari gotong royong adalah meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, serta tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar.

Sistem politik Demokrasi Masa Reformasi pun tidak mampu secara efektif menyelesaikan berbagai masalah yang ada tanpa menimbulkan konflik-konflik baru, sebagaimana pengertian efektivitas dalam ensiklopedia administrasi:

Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya.

Memang ada konflik-konflik yang terselesaikan dengan baik, yaitu persoalan disintegrasi bangsa, seperti, Aceh, Sampit, Ambon, Poso, dan Papua. Akan tetapi, timbul masalah baru, yaitu pertentangan di tingkat elit yang menjurus ke kalangan rakyat akibat pemilihan Kadal dan konflik perbedaan partai yang berdasarkan perbedaan kepentingan.

Untuk menyelesaikan konflik akibat pemilihan Kadal, negara telah berupaya membentuk MK. Namun, belakangan MK pun dicederai sejumlah tuduhan bahwa ada oknum-oknum hakim MK yang menerima suap. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap MK pun menjadi berkurang. Itu artinya, hasil penyelesaiannya pun dirasakan kurang efektif. Kalaupun MK, dipandang cukup berhasil meredam konflik akibat pemilihan Kadal, konflik-konflik yang terjadi di pusat terkait kasus-kasus besar, seperti, Century, Mafia Pajak, dan Mafia Hukum akan tidak bisa diselesaikan karena melibatkan banyak jaringan, dana, dan kekuatan politik yang sangat besar. Konflik-konflik itu akan terus berlarut-larut dengan berbagai bentuknya sehingga membuat Indonesia tidak berada dalam keadaan stabil sebagaimana laporan pertangungjawaban Presiden ke-2 RI Soeharto pada 12 Maret 1973:

Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.

Kondisi politik negara yang tidak stabil akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang tercantum dalam dalam alinea keempat Preambul UUD 1945, yaitu:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari sisi hubungan internasional, konflik-konflik yang terjadi di antara berbagai kepentingan politik akan sangat merugikan Indonesia. Hal itu disebabkan konflik-konflik tersebut bisa dimanfaatkan pihak asing, terutama asing kapitalis dengan harapan dapat menikmati berbagai keuntungan dari Indonesia melalui berbagai proses legislasi. Ikut campurnya pihak asing tersebut dapat dilihat dari tanda-tandanya, yaitu sejak kepemimpinan Megawati sampai SBY pihak asing sering sekali ikut campur berupaya menikmati potensi-potensi dalam negeri Indonesia yang seharusnya dinikmati oleh rakyat banyak.

No comments:

Post a Comment