oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Setelah habis masa jabatan Megawati-Hamzah Haz, digelar Pemilihan Presiden Langsung. Pemilihan ini diselenggarakan untuk menghindari money politics, suap, korupsi dan kolusi akibat dari pemilihan tidak langsung. Pemilihan presiden secara tidak langsung memang membuka peluang money politics terhadap pihak-pihak yang memiliki hak pilih. Pemilihan secara langsung dimaksudkan agar setiap kontestan tidak memiliki kemampuan lagi untuk menyuap karena akan sangat besar uang yang harus dikeluarkan untuk rakyat yang memiliki hak pilih.
Fahmy Idris dalam wawancara di SCTV (2004) mengatakan, “Kalau menyuap anggota DPR/MPR, itu mudah karena jumlahnya sedikit. Kalau menyuap rakyat, itu sulit. Bayangkan, berapa besar uang Anda yang harus dikeluarkan untuk menyuap rakyat yang banyak itu.”
Pada 2004 dilangsungkanlah Pilpres secara langsung one man one vote. Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden didampingi Jusuf Kalla, selaku wakil presiden. Pada 20 Oktober 2004 keduanya dilantik dalam sebuah Sidang Paripurna MPR RI di Jakarta.
Seluruh masyarakat mengharapkan duet SBY-Kalla ini dapat berhasil mengatasi kesulitan bangsa dan membawa bangsa menuju kemakmuran sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional. Untuk mewujudkan semua itu, dibentuk Kabinet Bersatu.
Pada awal duet kepemimpinan ini semuanya berjalan relatif tenang, seluruh elemen bangsa tampaknya menghormati keputusan rakyat banyak yang menghendaki kepemimpinan SBY-JK. Diharapkan timbul sinergi dan gotong royong di antara elemen bangsa untuk membangun masa depan yang lebih baik. Akan tetapi, ternyata situasi yang diharapkan tersebut tidak pernah terjadi. Semua orang menyangka kondisi akan aman dan stabil karena ini merupakan proses tertinggi yang melibatkan seluruh rakyat per individu. Namun, ternyata demokrasi itu sistem politik yang menipu, keadaan malah terjadi lebih buruk. Kini bukan hanya elit yang berkonflik ria, melainkan rakyat kecil pun ikut bertengkar karena proses-proses demokrasi.
Memang pada tingkat pusat terjadi ketenangan sementara yang seolah-olah menjurus ke arah suasana Pancasilais dalam arti gotong royong, tetapi pada akhirnya kegotongroyongan itu tidak pernah terlaksana. Kegoncangan terjadi justru di daerah-daerah akibat diselenggarakannya pemilihan Kadal (pemilihan kepala daerah langsung).
Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid (2005) dalam http://berita.kapanlagi.com menilai proses pemilihan Kadal secara langsung yang rusuh di sejumlah daerah dapat diartikan telah mengkhianati amanat rakyat dan Undang Undang Dasar 1945.
Pemicu kerusuhan dan huru-hara di berbagai daerah tersebut diakibatkan oleh banyak hal, di antaranya, perbedaan tipis jumlah suara, buruknya kepemimpinan incumbent yang menjadi pemenang, kegagalan KPUD dalam mengawal proses pemilihan Kadal, serta kekecewaan atas kekalahan jago-jagonya. Adapun bentuk-bentuk kerusuhan yang terjadi, di antaranya, bentrok fisik antarpendukung yang bersaingan, perusakan rumah pribadi, penganiayaan, perusakan kantor-kantor pemerintah, serta kendaraan dinas dan pribadi.
Sementara proses-proses pemilihan Kadal berlangsung rusuh, di tingkat elit mulai lagi terjadi keretakan. Hal itu diakibatkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan pihak-pihak asing. Berbagai sumber daya alam dan potensi lainnya dinikmati sebagian besar oleh korporasi-korporasi asing.
Amien Rais (2008) yang menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional menjelaskan, “Masalah pokok bangsa kita adalah bahwa semangat kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian kita sudah hilang untuk kurun waktu yang cukup lama, terlebih-lebih pada era sekarang ini. Indonesia telah tergadaikan ke pihak asing lewat proses state capture corruption atau state hijacked corruption. Gara-gara sebagian besar pemegang amanat rakyat tidak berhasil memerdekakan diri dari mentalitas inlander.”
Selanjutnya, ia menerangkan mengenai state capture corruption, “Campur tangan korporasi asing dalam membuat rancangan berbagai naskah UU, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan lain-lain merupakan cara yang paling canggih dan tidak tampak vulgar karena jarang terdeteksi oleh publik atau media massa. Di atas telah diuraikan cara paling efektif yang dilakukan korporasi-korporasi internasional untuk menjarah sumber daya alam, kekayaan hutan, perkebunan, dan lain-lain adalah lewat ‘pembelian’ legislasi. Sekali lagi, inilah yang dinamakan state capture corruption.”
Senada dengan Amien Rais, Permadi yang kini menjadi pengurus di Partai Gerindra (2010) menyatakan bahwa banyaknya legislasi pesanan asing itu disebabkan pula oleh para anggota legislatif kita yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai legislasi itu sendiri. Dengan demikian, tak heran Amien Rais (2008) di Hotel Savoy Homann, Bandung, menandaskan bahwa pemerintahan SBY-Kalla sebagai “pemerintahan yang gagal”.
Fahmy Idris dalam wawancara di SCTV (2004) mengatakan, “Kalau menyuap anggota DPR/MPR, itu mudah karena jumlahnya sedikit. Kalau menyuap rakyat, itu sulit. Bayangkan, berapa besar uang Anda yang harus dikeluarkan untuk menyuap rakyat yang banyak itu.”
Pada 2004 dilangsungkanlah Pilpres secara langsung one man one vote. Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden didampingi Jusuf Kalla, selaku wakil presiden. Pada 20 Oktober 2004 keduanya dilantik dalam sebuah Sidang Paripurna MPR RI di Jakarta.
Seluruh masyarakat mengharapkan duet SBY-Kalla ini dapat berhasil mengatasi kesulitan bangsa dan membawa bangsa menuju kemakmuran sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional. Untuk mewujudkan semua itu, dibentuk Kabinet Bersatu.
Pada awal duet kepemimpinan ini semuanya berjalan relatif tenang, seluruh elemen bangsa tampaknya menghormati keputusan rakyat banyak yang menghendaki kepemimpinan SBY-JK. Diharapkan timbul sinergi dan gotong royong di antara elemen bangsa untuk membangun masa depan yang lebih baik. Akan tetapi, ternyata situasi yang diharapkan tersebut tidak pernah terjadi. Semua orang menyangka kondisi akan aman dan stabil karena ini merupakan proses tertinggi yang melibatkan seluruh rakyat per individu. Namun, ternyata demokrasi itu sistem politik yang menipu, keadaan malah terjadi lebih buruk. Kini bukan hanya elit yang berkonflik ria, melainkan rakyat kecil pun ikut bertengkar karena proses-proses demokrasi.
Memang pada tingkat pusat terjadi ketenangan sementara yang seolah-olah menjurus ke arah suasana Pancasilais dalam arti gotong royong, tetapi pada akhirnya kegotongroyongan itu tidak pernah terlaksana. Kegoncangan terjadi justru di daerah-daerah akibat diselenggarakannya pemilihan Kadal (pemilihan kepala daerah langsung).
Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid (2005) dalam http://berita.kapanlagi.com menilai proses pemilihan Kadal secara langsung yang rusuh di sejumlah daerah dapat diartikan telah mengkhianati amanat rakyat dan Undang Undang Dasar 1945.
Pemicu kerusuhan dan huru-hara di berbagai daerah tersebut diakibatkan oleh banyak hal, di antaranya, perbedaan tipis jumlah suara, buruknya kepemimpinan incumbent yang menjadi pemenang, kegagalan KPUD dalam mengawal proses pemilihan Kadal, serta kekecewaan atas kekalahan jago-jagonya. Adapun bentuk-bentuk kerusuhan yang terjadi, di antaranya, bentrok fisik antarpendukung yang bersaingan, perusakan rumah pribadi, penganiayaan, perusakan kantor-kantor pemerintah, serta kendaraan dinas dan pribadi.
Sementara proses-proses pemilihan Kadal berlangsung rusuh, di tingkat elit mulai lagi terjadi keretakan. Hal itu diakibatkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan pihak-pihak asing. Berbagai sumber daya alam dan potensi lainnya dinikmati sebagian besar oleh korporasi-korporasi asing.
Amien Rais (2008) yang menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional menjelaskan, “Masalah pokok bangsa kita adalah bahwa semangat kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian kita sudah hilang untuk kurun waktu yang cukup lama, terlebih-lebih pada era sekarang ini. Indonesia telah tergadaikan ke pihak asing lewat proses state capture corruption atau state hijacked corruption. Gara-gara sebagian besar pemegang amanat rakyat tidak berhasil memerdekakan diri dari mentalitas inlander.”
Selanjutnya, ia menerangkan mengenai state capture corruption, “Campur tangan korporasi asing dalam membuat rancangan berbagai naskah UU, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan lain-lain merupakan cara yang paling canggih dan tidak tampak vulgar karena jarang terdeteksi oleh publik atau media massa. Di atas telah diuraikan cara paling efektif yang dilakukan korporasi-korporasi internasional untuk menjarah sumber daya alam, kekayaan hutan, perkebunan, dan lain-lain adalah lewat ‘pembelian’ legislasi. Sekali lagi, inilah yang dinamakan state capture corruption.”
Senada dengan Amien Rais, Permadi yang kini menjadi pengurus di Partai Gerindra (2010) menyatakan bahwa banyaknya legislasi pesanan asing itu disebabkan pula oleh para anggota legislatif kita yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai legislasi itu sendiri. Dengan demikian, tak heran Amien Rais (2008) di Hotel Savoy Homann, Bandung, menandaskan bahwa pemerintahan SBY-Kalla sebagai “pemerintahan yang gagal”.
Jelas bukan bahwa demokrasi itu sistem politik yang menipu? Nilai-nilai utopisnya memang agung, khayalannya spektakuler, tetapi kenyataannya acak adut. Pancasila sudah sangat jauh dengan bangsa karena gotong royong sudah terkoyak hampir habis. Konflik menjadi pelajaran politik penting bagi rakyat. Pertengkaran dan adu bacot, debat, adalah situasi yang terpelajar. Kompetisi merupakan kemajuan kemanusiaan. Gotong royong adalah produk kuno, kolot, dan terbelakang. Akibatnya, jelas kondisi negara tidak stabil. Kalau tidak stabil, pasti tidak akan pernah mencapai cita-cita pembangunan nasional. Jadi, alinea keempat dalam Preambul UUD 1945 menjadi cita-cita yang dijauhkan dari bangsa Indonesia karena negeri ini percaya pisan sama yang namanya demokrasi.
No comments:
Post a Comment