Monday, 30 November 2020

Berdebat Menurut Allah swt

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak sekali nasihat tentang “larangan berdebat”, baik di Medsos, artikel di web, blog, maupun di dunia nyata melalui obrolan, diskusi, dan ceramah. Akan tetapi, nasihat-nasihat itu sandarannya tidak bersandar pada Al Quran, tetapi bersandar pada hal yang disebut hadits ataupun pendapat yang kata mereka adalah pendapat ulama. Paling tidak, itu yang sempat saya perhatikan. Semua nasihat itu berbahasa yang baik, tidak ada yang buruk. Akan tetapi, saya itu selalu skeptis, ragu, terhadap apa yang disebut hadits.

            Apakah benar Nabi Muhammad saw mengatakan hal seperti itu?

            Jangan-jangan hanya karangan orang-orang biasa saja, lalu disebut berasal dari Nabi Muhammad saw. Berbahasa baik saja tidak cukup, tetapi harus nyata dikatakan benar-benar oleh Nabi Muhammad saw. Ada metode ilmiah untuk menelusuri kebenaran suatu yang disebut hadits.

            Apakah benar orang yang mengatakan hal itu adalah ulama?

            Jangan-jangan dia cuma penyair puisi, pendongeng, sastrawan, pustakawan, atau hanya seorang demagog.

            Apakah benar para imam semisal Imam Syafei mengatakan hal seperti itu?

            Jangan-jangan hanya karangan orang iseng, lalu mengatakan bahwa itu adalah kata-kata Imam Syafei.

            Bagi orang seperti saya, hal yang paling mudah dilakukan adalah mengonfrontirnya dengan Al Quran. Al Quran adalah kitab yang dijaga Allah swt, tidak pernah salah. Seluruh ajaran Islam harus merujuk ke sumber itu, Al Quran. Jika ada hadits atau cuma pendapat ulama, tetapi bertentangan dengan Al Quran, pasti salah. Hadits atau pendapat itu harus gugur karena bertentangan dengan Al Quran. Sebaliknya, jika hadits atau pendapat ulama itu menjelaskan dan menguatkan ayat-ayat Al Quran, itu harus dipertimbangkan untuk diikuti dan diyakini kebenarannya.

            Setelah membaca dan mendengar tentang larangan berdebat, saya penasaran dengan kata-kata Allah swt tentang berdebat. Saya teringat kalimat yang disampaikan Allah swt dalam QS An Nahl, 16 : 125.

            “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

            Begitulah yang dikatakan Allah swt agar kita mematuhi-Nya. Dari ayat itu kita bisa memahami bahwa kewajiban kita itu adalah menyeru manusia pada kebenaran Ilahi dengan baik. Kemudian, jika mendapatkan penentangan, berdebatlah dengan cara yang baik. Artinya, boleh, bahkan harus berdebat, tetapi harus dengan cara yang baik.

            “…Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik….”

            Cara yang baik itu adalah berbahasa yang baik, memahami hal yang sedang diperdebatkan, memiliki ilmu yang cukup dan berwawasan yang luas, memiliki data dan fakta yang nyata, serta berniat untuk mendapatkan atau menemukan “kebenaran” dan bukan untuk mendapatkan “kemenangan dalam berdebat”.

            Kebenaran itu sumbernya adalah Allah swt (Al Quran) dan hadits (Muhammad saw). Semua harus disandarkan pada keduanya, bukan dari hawa nafsu pribadi ataupun hawa nafsu orang lain yang kita hormati.

            Kalau hanya ingin menang, kita bisa tersesat dan berada dalam kegelapan. Allah swt sangat tahu hal itu. Dalam setiap perdebatan, Allah swt hadir dan menyaksikannya. Dia tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dia tahu siapa yang lurus dan mendapat petunjuk serta siapa yang bengkok dan berada dalam kesesatan. Hal itu seperti yang dikatakan-Nya sendiri.

            “… Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

            Lalu, bagaimana jika dalam perdebatan itu tidak menemui hasilnya atau ujungnya?

            Bagaimana jika hanya menjadi debat kusir yang tidak berarti serta berhadapan dengan orang keras kepala dan bangga dengan kebodohannya?

            Kalau dirasa sudah maksimal menyerukan kebenaran, tetapi tetap tidak diterima dan malah mendapatkan makian-makian bodoh hingga bisa menyesatkan orang banyak, Allah swt memberikan lagi penjelasan dalam QS Al Araf, 7 : 199.

            “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

            Kata Allah swt, jadilah pemaaf dan tetap mengajak orang lain untuk melakukan pekerjaan baik sekaligus jangan pedulikan dan tinggalkanlah orang-orang bodoh yang keras kepala, merasa benar sendiri, bahkan bangga dengan kebodohannya. Allah swt akan membuat perhitungan kepada orang-orang seperti itu, bisa disadarkan Allah swt atau malah dibiarkan dalam kebodohannya. Kita tidak pernah tahu apa yang dilakukan Allah swt, kecuali Allah swt sendiri yang memberitahukannya kepada kita. Kita hanya bisa tetap menjadi cahaya bagi diri kita sendiri, keluarga kita, orang-orang terdekat dan tercinta kita, dan semua manusia. Kalau mereka tidak mau mendekati cahaya Ilahi, itu keputusan diri mereka sendiri. Kita berlepas tangan dari mereka karena kita sudah menyerukan kebenaran.

            Boleh berdebat, tetapi dengan cara yang baik. Tinggalkanlah perdebatan jika sudah tidak lagi kondusif dan biarkan orang lain dalam keinginannya sendiri. Allah swt akan memutuskan sendiri terhadap hal itu. Begitu kira-kira yang saya pahami dari QS An Nahl, 16 : 125 dan QS Al Araf, 7 : 199.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment