Friday 13 November 2020

Al Quran No. 1

 


 oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Al Quran adalah sumber pengetahuan, informasi, dan hukum yang paling utama, No. 1, dalam Islam dan kehidupan kaum muslimin. Tidak boleh ada yang berada di atas Al Quran. Seluruh sumber pemahaman Islam harus berada di bawah Al Quran. Kalau ada yang menempatkan sumber lain di atas Al Quran, itu pasti palsu dan menyesatkan.

            Salah satu hal yang bisa dijadikan dasar bahwa Al Quran adalah sumber pemahaman Islam yang tertinggi adalah pernyataan Allah swt dalam Al Quran Surat Al Hijr, 15 : 9, yaitu:

            “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”

            Ayat itu menjelaskan bahwa Al Quran selalu terjaga keaslian dan kemurniannya serta tidak dapat diubah-ubah. Segala upaya yang bertujuan mengubah Al Quran selalu gagal. Isinya selalu sama dan tidak pernah berantakan. Pencetakan Al Quran yang sangat banyak dan dihapal oleh puluhan juta kaum muslimin ikut menguatkan keaslian Al Quran. Kalaupun ada yang mengubah-ubah isi Al Quran dan memang ada, dipakai kelompok tertentu, isinya menjadi lemah dan berantakan sehingga tidak bisa dijadikan patokan.  Orang-orang pun kembali pada Al Quran yang asli.

            Al Quran adalah satu-satunya sumber Islam yang dijaga Allah swt dan tertulis nyata di dalam Al Quran sendiri. Oleh sebab itu, wajar dan memang sudah seharusnya dijadikan rujukan utama dalam ber-Islam.

            Adapun sumber lainnya, tidak dijaga seperti Al Quran. Di bawah Al Quran ada hadits, kemudian pendapat para ulama. Ini tidak ada pernyataan Allah swt yang tertulis sebagai sumber yang dijaga-Nya. Kalau ada, kasih tahu saya. Saya senang sekali mengetahuinya.

            Mulai hadits, sumber ini mulai berantakan. Banyak hadits yang tidak jelas sumbernya, tidak jelas perawinya, bahkan isinya pun aneh. Tidak sedikit orang yang mengatakan sesuatu ajaran dengan mengalamatkannya sebagai hadits yang berasal dari Nabi Muhammad saw, padahal hanya karangan dirinya saja. Orang-orang yang pandai bicara, tetapi hatinya kusut sering melakukan hal ini. Oleh sebab itu, hal yang paling mudah untuk orang awam seperti saya ini dalam menentukan hadits itu benar atau salah, cocokkan saja dengan Al Quran. Kalau bertentangan dan tidak sesuai dengan Al Quran, pastikan bahwa hadits itu “maudhu” atau palsu. Itu hanya karangan orang-orang yang kotor hatinya yang biasanya hanya menginginkan kehormatan, kekuasaan, dan kekayaan.

            Beruntung, banyak ulama, para ahli, cendekiawan yang berupaya merapikan hadits-hadits yang bertebaran itu. Hasil karya mereka dapat dijadikan patokan untuk kaum muslimin dalam ber-Islam. Dari merekalah, kita mendapatkan hadits shahih, hasan, marfu, mutawatir, dan seterusnya hingga ke hadits palsu. Dengan demikian, kita mendapatkan pengetahuan yang luar biasa bermanfaat dalam melaksanakan ajaran Islam dan memiliki hadits-hadits yang tidak lagi berantakan. Cerdasnya mereka adalah tetap membuka peluang bagi generasi muda muslim untuk meneliti kembali hadits-hadits yang tersusun itu sehingga sebuah hadits shahih bisa menjadi dhaif, sebaliknya hadits dhaif bisa menjadi shahih jika ditemukan bukti-bukti baru yang membuat sebuah hadits menjadi dhaif ataupun menjadi shahih. Para ulama, para ahli, dan para cendekiawan itu hebat dan setia pada ilmu pengetahuan sehingga tidak melarang ataupun menutup diri bahwa hasil karyanya tidak boleh diganggu gugat. Mereka malah terbuka dalam ilmu pengetahuan serta bersedia dikritik dan dikoreksi. Orang-orang yang tulus hatinya ini biasanya mengatakan hal yang mirip dengan yang dikatakan Sahabat Nabi saw, Abu Bakar ra, ketika diangkat menjadi khalifah. Dia mengatakan bahwa seluruh kaum muslimin wajib patuh kepada dirinya sepanjang dirinya sesuai dengan Al Quran dan sunnah Nabi saw. Akan tetapi, jika dirinya tidak sesuai dengan Al Quran dan sunnah Nabi, kaum muslimin dilarang mengikutinya, bahkan diminta untuk mengingatkan dan mengoreksi dirinya. Dengan demikian, jelas patokan kaum muslimin adalah Al Quran dan hadits, bukan sosok pemimpin atau orangnya.

            Setelah Al Quran dan hadits, barulah sumber pemahaman Islam bagi kaum muslimin adalah “pendapat para ulama”. Akan tetapi, pendapat para ulama ini tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan hadits. Hal itu disebabkan jangankan pendapat ulama, hadits saja tidak dijamin penjagaannya oleh Allah swt. Pendapat ulama ini wajib diikuti sepanjang tidak bertentangan atau sesuai dengan Al Quran dan hadits. Kalau bertentangan, jangan diikuti.

            Kalau tidak sesuai dengan Al Quran dan hadits, dari mana dasarnya orang yang disebut ulama itu bisa mengajarkan Islam?

            Kalau tidak sejalan dengan Al Quran dan hadits, berarti dia mengarang sendiri sesuai hawa nafsunya atau mendapatkan pemahaman yang sesat.

            Oleh sebab itu sangat wajar jika ada orang yang berbicara tentang Islam, lalu ditanya, “Ada ayat Al Quran-nya tidak? Ada hadits-nya tidak?”

            Pertanyaan itu adalah pertanyaan cerdas karena tidak mau sesat dan menginginkan kepastian bahwa itu berasal dari ajaran Islam.

            Sungguh bagus orang yang mengibaratkan ulama itu adalah gelas. Gelas itu adalah alat untuk orang bisa minum air yang berasal dari termos atau teko. Orang tidak mungkin minum air panas langsung dari termos atau teko. Dia harus menggunakan gelas untuk bisa minum. Artinya, tugas ulama itu adalah untuk memperjelas dan memudahkan kaum muslimin untuk melaksanakan Al Quran dan hadits dalam kehidupan nyata. Bukan sebaliknya, malah membingungkan dan mempersulit kaum muslimin. Kalau ada orang-orang yang ngaku-ngaku atau diakui sebagai ulama, tetapi mempersulit dan membuat bingung kaum muslimin, sangat wajar jika kaum muslimin meragukan ke-ulama-annya, bahkan tidak menghormatinya.

            Kita harus hati-hati dalam hal ini, apalagi pada zaman sekarang yang tiba-tiba muncul banyak orang yang disebut ulama, padahal sebelumnya tidak pernah dikenal. Kemudian, berdakwah dan berceramah penuh makian kepada sesama muslim sehingga mendapatkan perlawanan dari ulama lainnya. Inilah bukti bahwa pendapat para ulama itu tidak dijaga oleh Allah swt secara langsung. Di antara mereka yang disebut ulama itu sering berbeda paham, bahkan di antara para habib pun berbeda. Kita bisa melihatnya dari Pilpres 2019 yang telah usai itu dimenangkan Jokowi-Maruf Amin. Ada ulama dan habib yang pro-Jokowi dan adapula yang pro-Prabowo. Itu kenyataan yang menunjukkan bahwa mereka pun berbeda pendapat. Bahkan, perbedaannya bisa sangat sengit yang berujung pada kasus hukum. Hal yang sangat membuat kusut adalah banyaknya tuduhan sebagai “ulama suu, ulama sesat, ulama kafir, ulama jahat, ulama kami, ulama kalian”.

            Hal itu membuat aneh, masa ada ulama kami, ulama kamu, ulama kalian?

            Kan seharusnya juga yang ada itu adalah “ulama kita” karena semuanya harus sama, bersumber dari Al Quran dan hadits?

            Tidak perlu menghina dan memaki, untuk apa?

            Untuk kekuasaan? Untuk kehormatan? Untuk ekonomi?

            Perbedaan-perbedaan keras inilah yang membuat umat terpecah dan itu membahayakan. Hal itu diperparah dengan menganggap bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang pasti masuk surga dan yang lain masuk neraka.

            Sebetulnya, kalau ada perbedaan pendapat, tidak harus baku hantam, ancaman kekerasan, atau tudingan-tudingan kampungan. Seharusnya, kembalikan saja kepada Al Quran dan sunnah Nabi saw. Sesuaikan saja pendapatnya pada kedua sumber pokok pemahaman Islam tadi. Pendapat yang ada dasarnya dalam Al Quran dan hadits, ikuti. Yang tidak jelas dasarnya, tinggalkan.

            Hal tersebut pun memang diajarkan Allah swt dalam Al Quran surat An-Nisa, 4 : 59:

            “… jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

            Itu firman Allah swt, masa enggak mau diikuti?

            Cek di dalam Al Quran dan hadits, apakah sesuai atau tidak, begitu seharusnya. Hal ini pun disampaikan Nabi Muhammad saw bahwa jika kaum muslimin tidak mau hidupnya tersesat, harus berpegang teguh kepada Al Quran dan sunnahnya.

            Sekali lagi, Al Quran adalah sumber utama dalam pemahaman Islam, tidak boleh ada yang bertentangan dengannya. Bahkan, hadits pun tidak boleh bertentangan dengan Al Quran karena tidak mungkin perkataan dan perilaku Nabi Muhammad saw bertentangan dengan Al Quran. Pendapat para ulama pun tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan hadits yang sudah dinyatakan bukan hadits palsu. Kalau ada yang bertentangan, tinggalkanlah demi keselamatan kita di dunia dan di akhirat.

            Oh, ya. Saya menulis itu sebetulnya untuk di blog pribadi saya. Alhamdulillah, blog saya sampai hari ini sudah dibaca oleh lebih dari 230 ribu orang dari berbagai negara, semoga bermanfaat. Kalau saya bagikan ke Medsos semacam FB, itu hanya beberapa. Saya lebih nyaman di blog karena para pembaca blog itu memang orang-orang yang berniat untuk mencari pemahaman dan bersungguh-sungguh ingin mendapatkan hal yang ingin mereka pahami. Berbeda dengan di FB yang mirip keranjang, orang bisa menemukan apa saja tanpa niat untuk mencarinya dengan sungguh-sungguh. Kalau ada, dibaca. Kalau tidak ada, ya tidak dibaca. Malahan, kalau ada juga, kerap dilewat saja. Oleh sebab itu, kalau ada yang ingin lebih banyak memahami apa yang ada dalam pikiran saya, kunjungi saja blog saya. Ketik saja nama saya Tom Finaldin, nanti keluar banyak judul buku yang saya tulis dan nama blog saya, Putera Sang Surya.

            Seperti biasa, yang mau komen, komenlah yang baik dan mencerdaskan. Kalau tidak, akan saya hapus. Kalau tersinggung dengan tulisan saya, laporkan saja ke polisi, ada undang-undangnya kok yang bisa menjerat saya. Demikian pula sebaliknya, jika saya tersinggung dan merasa dibahayakan, akan saya laporkan ke polisi juga. Semua bisa diselesaikan.

            Sampurasun.

#salamrevolusiakhlak

No comments:

Post a Comment