oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Beberapa waktu lalu,
Universitas Al-Ghifari melangsungkan Wisuda Sarjana XVI Tahun 2019-2020.
Sebelumnya, berminggu-minggu sudah terjadi perdebatan apakah akan dilaksanakan
secara online atau offline. Persoalannya jelas, ini gara-gara pandemi Covid-19.
Akhirnya, disepakati wisuda dilaksanakan secara hybrid, mahasiswa boleh memilih untuk ikut secara online atau
secara offline. Bagi yang memilih offline, dapat hadir langsung ke tempat
wisuda. Bagi yang memilih online, boleh mengikuti dari rumah masing-masing
melalui zoom atau streaming di YouTube. Mayoritas memilih
untuk mengikuti offline. Memang, kalau wisuda melalui internet itu, kurang
afdol, kurang rasa, tetapi itu boleh dilakukan.
Untuk melaksanakan wisuda secara offline dalam arti tatap
muka dan hadir langsung, dilakukan pengamanan protokol kesehatan yang
berlapis-lapis. Pertama, jumlah
panitia dikurangi hingga seperempatnya. Kedua,
mahasiswa yang wisuda harus datang sendirian, tidak boleh diantar siapa
pun, termasuk orangtua, kerabat, atau pasangannya dilarang ikut ke acara
wisuda. Ketiga, panitia dan peserta
harus melakukan rapid test antibody yang
dibuktikan dengan surat sah dan hasilnya harus nonreaktif, bagi yang reaktif
tidak boleh ikut. Selain itu, meskipun nonreaktif, tetapi tidak membawa surat
hasil tes rapid, tetap tidak boleh mengikutinya. Keempat, undangan pun dibatasi. Para pejabat seperti Gubernur Jawa
Barat Ridwan Kamil hanya memberikan sambutan dan ucapan selamat melalui
internet. Kelima, ruangan untuk
wisuda yang sebetulnya bisa menampung seribu orang, hanya boleh diisi oleh 250
orang. Keenam, disediakan ratusan hand sanitizer. Ketujuh, baik panitia
maupun peserta harus menggunakan masker, lalu ditutup lagi wajahnya dengan face shield, ditambah lagi dengan gloves atau sarung tangan. Benar-benar
tertutup.
Dengan pengamanan protokol kesehatan berlapis-lapis itu,
ketika aparat Satgas Covid-19 yang sah dari pemerintah melakukan pengecekan
protokol kesehatan, pihak Universitas Al-Ghifari sudah sangat siap dengan
jawaban dan bukti-bukti.
Oleh sebab itu, Satgas Covid-19 pun berujar, “Al-Ghifari paling rapi dari segi protokol
kesehatan.”
Kami bersyukur, acara berjalan lancar, tidak dibubarkan,
tak ada masalah, kesehatan terjaga, dan tidak menyisakan tuntutan-tuntutan
hukum. Semua baik-baik saja, alhamdulillah.
Pada akhir acara, saya perintahkan teman-teman panitia
agar para wisudawan segera makan siang, lalu secepatnya pulang. Inilah yang
paling sulit dikendalikan. Para orangtua, kerabat, pasangan-pasangannya sudah
banyak menunggu di luar gedung, terjadilah seperti biasa, selfie-selfie, foto bareng keluarga, dan gembira bersama para
dosen. Hal itu sesungguhnya lumayan mengkhawatirkan, tetapi beruntung hal itu
terjadi hanya sebentar. Mereka pun langsung segera pulang sebagai sarjana yang
sah bersama orang-orang terdekatnya.
Selepas acara di dalam gedung pun mirip yang terjadi di
luar gedung.
Para wisudawan banyak yang meminta saya untuk berfoto
bersama mereka, “Pak, foto dong Pak sama
saya.”
“Pak minta foto bareng sama Bapak.”
Ini soal perasaan. Soal rasa kangen. Rasa akrab. Rasa bahagia. Rasa bersyukur.
Saya yang awalnya ragu--sekali lagi, gara-gara Covid—akhirnya terpancing juga, malah saya jadinya yang mengajak beberapa wisudawan untuk berfoto bersama. Perasaan memang sulit dikendalikan.
Dalam pikiran saya, “Tenanglah, kan semuanya sudah
dinyatakan nonreaktif secara sah dengan surat yang bisa dipertanggungjawabkan.”
Saya makin tak ragu berfoto bersama mereka.
Bersyukur, karena upaya pengamanan yang berlapis-lapis
itu, kami semua baik-baik saja.
Para wisudawan yang saya asuh sejak mereka lulus SMA
selama beberapa tahun dari berbagai daerah di Indonesia itu sekarang sudah
menjadi sarjana dan mulai harus melangkah menata kehidupannya di luar sana
untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat di tengah masyarakat.
Artinya, ada waktu yang tidak sebentar dilalui bersama sebelum akhirnya
berpisah untuk menapaki fase kehidupan berikutnya.
“Bral geura miang
makalangan, Bapa mah ukur bisa maturan ku doa ti kaanggangan”.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment