Thursday, 17 December 2020

Universitas Al-Ghifari Paling Rapi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa waktu lalu, Universitas Al-Ghifari melangsungkan Wisuda Sarjana XVI Tahun 2019-2020. Sebelumnya, berminggu-minggu sudah terjadi perdebatan apakah akan dilaksanakan secara online atau offline. Persoalannya jelas, ini gara-gara pandemi Covid-19. Akhirnya, disepakati wisuda dilaksanakan secara hybrid, mahasiswa boleh memilih untuk ikut secara online atau secara offline. Bagi yang memilih offline, dapat hadir langsung ke tempat wisuda. Bagi yang memilih online, boleh mengikuti dari rumah masing-masing melalui zoom atau streaming di YouTube. Mayoritas memilih untuk mengikuti offline. Memang, kalau wisuda melalui internet itu, kurang afdol, kurang rasa, tetapi itu boleh dilakukan.

            Untuk melaksanakan wisuda secara offline dalam arti tatap muka dan hadir langsung, dilakukan pengamanan protokol kesehatan yang berlapis-lapis. Pertama, jumlah panitia dikurangi hingga seperempatnya. Kedua, mahasiswa yang wisuda harus datang sendirian, tidak boleh diantar siapa pun, termasuk orangtua, kerabat, atau pasangannya dilarang ikut ke acara wisuda. Ketiga, panitia dan peserta harus melakukan rapid test antibody yang dibuktikan dengan surat sah dan hasilnya harus nonreaktif, bagi yang reaktif tidak boleh ikut. Selain itu, meskipun nonreaktif, tetapi tidak membawa surat hasil tes rapid, tetap tidak boleh mengikutinya. Keempat, undangan pun dibatasi. Para pejabat seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hanya memberikan sambutan dan ucapan selamat melalui internet. Kelima, ruangan untuk wisuda yang sebetulnya bisa menampung seribu orang, hanya boleh diisi oleh 250 orang. Keenam, disediakan ratusan hand sanitizer. Ketujuh, baik panitia maupun peserta harus menggunakan masker, lalu ditutup lagi wajahnya dengan face shield, ditambah lagi dengan gloves atau sarung tangan. Benar-benar tertutup.





            Dengan pengamanan protokol kesehatan berlapis-lapis itu, ketika aparat Satgas Covid-19 yang sah dari pemerintah melakukan pengecekan protokol kesehatan, pihak Universitas Al-Ghifari sudah sangat siap dengan jawaban dan bukti-bukti.

            Oleh sebab itu, Satgas Covid-19 pun berujar, “Al-Ghifari paling rapi dari segi protokol kesehatan.”




            Kami bersyukur, acara berjalan lancar, tidak dibubarkan, tak ada masalah, kesehatan terjaga, dan tidak menyisakan tuntutan-tuntutan hukum. Semua baik-baik saja, alhamdulillah.

            Pada akhir acara, saya perintahkan teman-teman panitia agar para wisudawan segera makan siang, lalu secepatnya pulang. Inilah yang paling sulit dikendalikan. Para orangtua, kerabat, pasangan-pasangannya sudah banyak menunggu di luar gedung, terjadilah seperti biasa, selfie-selfie, foto bareng keluarga, dan gembira bersama para dosen. Hal itu sesungguhnya lumayan mengkhawatirkan, tetapi beruntung hal itu terjadi hanya sebentar. Mereka pun langsung segera pulang sebagai sarjana yang sah bersama orang-orang terdekatnya.

            Selepas acara di dalam gedung pun mirip yang terjadi di luar gedung.

            Para wisudawan banyak yang meminta saya untuk berfoto bersama mereka, “Pak, foto dong Pak sama saya.”

            “Pak minta foto bareng sama Bapak.”



            Ini soal perasaan. Soal rasa kangen. Rasa akrab. Rasa bahagia. Rasa bersyukur.



            Saya yang awalnya ragu--sekali lagi, gara-gara Covid—akhirnya terpancing juga, malah saya jadinya yang mengajak beberapa wisudawan untuk berfoto bersama. Perasaan memang sulit dikendalikan.




            Dalam pikiran saya, “Tenanglah, kan semuanya sudah dinyatakan nonreaktif secara sah dengan surat yang bisa dipertanggungjawabkan.”

            Saya makin tak ragu berfoto bersama mereka.




            Bersyukur, karena upaya pengamanan yang berlapis-lapis itu, kami semua baik-baik saja.




            Para wisudawan yang saya asuh sejak mereka lulus SMA selama beberapa tahun dari berbagai daerah di Indonesia itu sekarang sudah menjadi sarjana dan mulai harus melangkah menata kehidupannya di luar sana untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat di tengah masyarakat. Artinya, ada waktu yang tidak sebentar dilalui bersama sebelum akhirnya berpisah untuk menapaki fase kehidupan berikutnya.




            “Bral geura miang makalangan, Bapa mah ukur bisa maturan ku doa ti kaanggangan”.




            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment