Monday, 6 June 2016

Kamadatu, Shaum, Rupadatu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Terlalu sering kita mendengar ceritera-ceritera yang selalu sama dari tahun ke tahun bahwa bulan Ramadhan adalah bulan perjuangan untuk mencapai kemenangan. Kemenangan yang didapat karena telah mampu berpuasa selama sebulan penuh dan kemenangan telah mengalahkan hawa nafsu. Setelah memasuki Idul Fitri, kita menjadi pribadi baru yang lebih baik, lebih istimewa, dan segalanya penuh berkah bagai bayi yang baru lahir.

            Akan tetapi, bagaimana dengan kenyataannya?

            Nggak ada bedanya tuh sejak sebelum puasa, selama puasa, dan setelah puasa. Kebanyakan orang tidak merasakan apa-apa, biasa saja. Bahkan, setelah Ramadhan, banyak yang lebih buruk kelakuannya. Korupsi jalan terus, lidahnya tetap kotor banyak mengumpat dan berbohong, hatinya selalu panas dan gelisah karena banyak mendengki dan iri. Jiwanya selalu cemas tentang masa depan yang belum tentu dilaluinya. Dihantui oleh ketakutan atas kerugian yang belum tentu terjadi. Hubungan dengan Allah swt tidak menjadi lebih dekat, bahkan lebih jauh dan semakin tidak menentu. Hubungan sosial dengan masyarakat lainnya pun biasa saja, tidak menjadi lebih baik dan istimewa. Semuanya biasa-biasa saja, tidak menjadi luar biasa seperti yang diberitakan banyak kisah religius.

            Ramadhan hanya sekedar upacara ritual tahunan yang diiming-imingi kisah manis dan hadiah menyenangkan dari Allah swt, baik selama Ramadhan maupun setelahnya. Akan tetapi, kisah-kisah itu hanya kisah dan hadiah dari Allah swt tak pernah diterima. Sedikit pun tak terasa apa-apa, kecuali menunaikan kewajiban rutin tahunan, puasa. Kita hanya menjadi para pengkhayal yang akan mendapatkan banyak anugerah dan ampunan, tetapi sebenarnya tidak mendapatkan apa pun, bahkan tertipu dan terus tertipu oleh banyak kisah dan perasaan gembira yang semu.    

            Apa gerangan yang salah sehingga banyak sekali manusia, bahkan hampir seluruhnya tidak mendapatkan dan merasakan apa pun dari Ramadhan, kecuali menahan lapar dan haus, menikmati kolak, tarawih, dan ketupat pada hari lebaran dengan baju yang dibaru-baruin?

            Kesalahannya ada pada diri kita sendiri!

            Sudah salah, bangga lagi dengan kesalahannya!

            Kita sering mempromosikan bahwa puasa tidak boleh mengurangi produktivitas kita, betul kan?

            Iya benar, memang berpuasa tidak boleh menjadi alasan kita untuk bermalas-malasan atau meletih-letihkan diri. Bahkan, Ali bin Abi Thalib berperang dalam keadaan berpuasa.

            Akan tetapi, jika kita tidak meninggalkan kesibukan hidup kita sehari-hari yang dipenuhi hiruk-pikuk duniawi, materialistis, pengejaran terhadap laba, kecemasan atas kedudukan dan kehormatan, target-target yang belum tentu tercapai, dan hal-hal lain yang bersifat hanya memenuhi urusan perut dan sejengkal di bawah perut, kita sama sekali tidak akan pernah mencapai berkah dari Ramadhan. Seluruh energi dan konsentrasi kita hanya diarahkan pada hal-hal yang sama dengan yang sering dilakukan di luar Ramadhan. Itulah yang menyebabkan kita tidak mendapatkan apa-apa dari Ramadhan, kecuali ritual rutin tahunan yang begitu-begitu saja. Sama sekali tidak istimewa.

            Berkah dari Ramadhan sesungguhnya adalah berawal dari pengekangan diri. Sebisa mungkin kita harus menjauhkan diri dari berbagai kesibukan yang biasanya dilakukan di luar Ramadhan. Semakin terlepas kita dari kesibukan sehari-hari, semakin besar berkah Ramadhan mendatangi kita. Apabila kita benar-benar mampu menghentikan semua aktivitas duniawi yang biasa sehari-hari dilakukan, berkah Ramadhan akan datang dengan sangat cepat. Bahkan, Allah swt benar-benar akan mendatangi kita.

            Inilah yang dimaksud dengan apabila kita mendatangi Allah swt dengan berjalan, Allah swt akan mendatangi kita dengan berlari.

            Bagaimana mungkin kita bisa mengendalikan mata, telinga, lidah, mulut, tangan, dan kaki jika kita masih berada di tempat yang biasa kita melakukan banyak kesalahan dan dosa?


Pelajaran dari Borobudur

Masih ingat kan beberapa waktu lalu saya menulis bahwa Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah tak lain dan tak bukan Amarah, Lawamah, dan Muthmainah?

            Perhatikan Kamadatu di kaki Candi Borobudur. Di sana digambarkan kesibukan manusia sehari-hari dengan segala hiruk pikuk, kecemasan, ketakutan, kesombongan, keangkuhan, kecurangan, kelicikan, dan kemaksiatan. Pilih kasih dan ketidakadilan ada di sana. Keserakahan dan penipuan terlukis dengan baik. Perilaku manusia bagai binatang dengan segala bisnis dan kekuasaannya terpatri dengan baik. Kemunafikan dan kerusakan moral semuanya terkandung dalam kehidupan pada fase Kamadatu.

            Kamadatu adalah tempat manusia biasanya beraktivitas sehari-hari dengan berbagai bisnis dan kerumitannya. Dalam tahapan kehidupan ini manusia selalu berakhir menderita, dipermalukan, sedih, gelisah, penuh ketakutan, tak punya harapan, ditinggalkan, tak dihormati, tersingkir, dan berbagai kengerian lainnya.

            Manusia yang betah di tempat ini akan mendapatkan banyak kengerian dan itu tergambar dengan jelas di kaki Candi Borobudur. Apabila ingin hidup lebih mulia dan berakhir dengan lebih baik, tidak seperti yang digambarkan pada Kamadatu, manusia harus melepaskan diri dari berbagai kesibukannya sehari-hari. Dia harus meninggalkan apa pun yang biasanya dia lakukan. Keberhasilannya mendapatkan berkah Ramadhan sangat bergantung pada besarnya upaya meninggalkan aktivitas duniawi. Semakin banyak aktivitas yang dia tinggalkan, semakin dekat dengan berkah Ramadhan.

            Ramadhan adalah bulan yang sangat tepat untuk meninggalkan berbagai kesibukan manusia sebagaimana yang tergambar dalam Kamadatu. Apabila berhasil, ia akan meningkat pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu Rupadatu tahap awal. Di Rupadatu itu ada enam tingkat. Apabila manusia mampu mengenyahkan berbagi kesibukannya dan menggunakan energinya untuk mendekat kepada Allah swt, ia sudah berada pada tahap awal Rupadatu, sebagaimana digambarkan di Borobudur. Pada tahap ini penyesalan atas berbagai dosa mulai terjadi. Perilaku-perilaku buruk yang telah dilakukannya tergambar jelas di matanya. Allah swt memberitakan berbagai kesalahan yang dilakukannya sehingga penyesalan pun menjadi-jadi. Pada fase inilah sebenarnya yang namanya taubat itu terjadi dengan benar-benar.

            Taubat yang terjadi dalam fase Kamadatu hanyalah tobat sambal. Ngomongnya tobat, tetapi terus diulangi. Hal itu disebabkan mereka masih sangat terikat dengan berbagai aktivitas dunia yang menipu. Taubat yang benar-benar adalah jika manusia sudah mampu berada satu tahap lebih tinggi dari Kamadatu, yaitu Rupadatu.

            Apabila mampu berada tahap awal Rupadatu, itu sudah berkah yang luar biasa. Ia sudah dihubungi Allah swt dan dibersihkan dari dosa-dosanya. Ia sudah sangat mampu memohon maaf kepada orang-orang yang pernah disakitinya. Permohonan maaf ini bukan sekedar ritual, melainkan mampu mengatakan secara rinci dosa-dosa yang pernah dilakukan kepada orang lain. Ia tak malu untuk mengatakan kesalahannya dengan terus terang kepada orang yang pernah disakitinya karena ia tahu dengan benar bahwa jika orang itu tidak memaafkannya, hidupnya akan menderita berkepanjangan.

            Jika Ramadhan usai, lalu kembali pada aktivitas biasa sehari-hari, seseorang yang sudah sampai pada tahap Rupadatu meskipun baru tingkat awal, sangat terlihat perbedaannya. Dirinya sudah dicerahkan, berbagai rahasia Illahi dibukakan untuknya sehingga ia tidak lagi terpengaruh oleh kebingungan dunia sebagaimana diderita manusia pada umumnya. Ia teguh dan tenang. Pegangan hidupnya sangat kuat dan menjadi cahaya bagi sekelilingnya. Bahkan, lingkungannya yang biasanya penuh maksiat mampu diwarnainya dengan berbagai kebaikan. Padahal, dia hanya baru  pada Rupadatu tahap awal.

            Jika dia mampu menggunakan oleh-oleh yang diberikan Allah swt selama waktu sebelas bulan ke depan, Ramadhan berikutnya ia akan meningkat pada fase Rupadatu tingkat berikutnya. Demikian seterusnya apabila mampu konsisten dan istiqomah hingga mencapai tahap Arupadatu. Arupadatu itu memiliki tiga tingkat, yaitu stupa berlubang ketupat, stupa berlubang persegi, dan stupa tertinggi tanpa lubang. Itu adalah perlambang tiga tingkat kesucian manusia suci, yaitu Fana, Baqa, dan Liqa.

            Apabila ingin benar-benar mendapatkan berkah Ramadhan dan terasa pada jiwa dan kulit daging kita sehingga kita yakin bahwa itulah berkah yang diberikan Allah swt, tinggalkan aktivitas yang biasa kita lakukan, lalu gunakan seluruh energi kita untuk mendekat kepada Allah swt.

            Selama kita masih sibuk dengan hal-hal yang bersifat duniawi-materialistis, berkah Ramadhan pun tak akan menghampiri kita, kecuali berupa kisah-kisah yang biasanya itu-itu saja, tidak ada perubahan. Jangan menipu diri dengan menduga bahwa kita sudah seperti bayi yang baru lahir kembali. Kita sesungguhnya sama sekai tidak mendapatkan apa pun dari Ramadhan. Ramadhan hanya lewat untuk kita dan meninggalkan kita tanpa memberikan apapun bagi kita.

            Ramadhan hanya berteman dan bersahabat dengan orang-orang yang mengekang dirinya dari kehidupan dunia ini. Ramadhan hanya menjadi saudara bagi mereka yang di tangannya tergenggam golok tajam yang sudah penuh darah karena membunuh sisi gelap diri manusia. Manusia yang mulia adalah yang menganggap sisi buruk dirinya sebagai musuhnya sehingga pada Ramadhan ini dia benar-benar bertarung melawan dirinya sendiri hingga pada ujung Ramadhan dia terhuyung-huyung bersimbah darah dengan menggenggam golok tajam penuh darah pertanda sudah selesai membunuh sisi gelap dirinya sendiri. Dengan demikian, selepas Ramadhan ia menjadi orang baru yang benar-benar baru. Ramadhan pada masa berikutnya akan membuatnya lebih kuat dan sakti dalam membunuh segala kemaksiatan yang dimulai dari dirinya sendiri.

            Tinggalkan segala kerumitan hidup kita pada bulan ini, raihlah tahap awal kehidupan Rupadatu. Dengan demikian, kita akan menjadi orang yang sangat berbeda pada bulan depan dan penuh dengan penjagaan Allah swt. Amin.




No comments:

Post a Comment