oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Terlalu sering kita
mendengar ceritera-ceritera yang selalu sama dari tahun ke tahun bahwa bulan
Ramadhan adalah bulan perjuangan untuk mencapai kemenangan. Kemenangan yang
didapat karena telah mampu berpuasa selama sebulan penuh dan kemenangan telah
mengalahkan hawa nafsu. Setelah memasuki Idul Fitri, kita menjadi pribadi baru
yang lebih baik, lebih istimewa, dan segalanya penuh berkah bagai bayi yang
baru lahir.
Akan tetapi, bagaimana dengan kenyataannya?
Nggak ada bedanya tuh sejak sebelum puasa, selama puasa,
dan setelah puasa. Kebanyakan orang tidak merasakan apa-apa, biasa saja.
Bahkan, setelah Ramadhan, banyak yang lebih buruk kelakuannya. Korupsi jalan
terus, lidahnya tetap kotor banyak mengumpat dan berbohong, hatinya selalu
panas dan gelisah karena banyak mendengki dan iri. Jiwanya selalu cemas tentang
masa depan yang belum tentu dilaluinya. Dihantui oleh ketakutan atas kerugian
yang belum tentu terjadi. Hubungan dengan Allah swt tidak menjadi lebih dekat,
bahkan lebih jauh dan semakin tidak menentu. Hubungan sosial dengan masyarakat
lainnya pun biasa saja, tidak menjadi lebih baik dan istimewa. Semuanya
biasa-biasa saja, tidak menjadi luar biasa seperti yang diberitakan banyak
kisah religius.
Ramadhan hanya sekedar upacara ritual tahunan yang
diiming-imingi kisah manis dan hadiah menyenangkan dari Allah swt, baik selama
Ramadhan maupun setelahnya. Akan tetapi, kisah-kisah itu hanya kisah dan hadiah
dari Allah swt tak pernah diterima. Sedikit pun tak terasa apa-apa, kecuali
menunaikan kewajiban rutin tahunan, puasa. Kita hanya menjadi para pengkhayal
yang akan mendapatkan banyak anugerah dan ampunan, tetapi sebenarnya tidak
mendapatkan apa pun, bahkan tertipu dan terus tertipu oleh banyak kisah dan
perasaan gembira yang semu.
Apa gerangan yang salah sehingga banyak sekali manusia,
bahkan hampir seluruhnya tidak mendapatkan dan merasakan apa pun dari Ramadhan,
kecuali menahan lapar dan haus, menikmati kolak, tarawih, dan ketupat pada hari
lebaran dengan baju yang dibaru-baruin?
Kesalahannya ada pada diri kita sendiri!
Sudah salah, bangga lagi dengan kesalahannya!
Kita sering mempromosikan bahwa puasa tidak boleh
mengurangi produktivitas kita, betul kan?
Iya benar, memang berpuasa tidak boleh menjadi alasan
kita untuk bermalas-malasan atau meletih-letihkan diri. Bahkan, Ali bin Abi
Thalib berperang dalam keadaan berpuasa.
Akan tetapi, jika kita tidak meninggalkan kesibukan hidup
kita sehari-hari yang dipenuhi hiruk-pikuk duniawi, materialistis, pengejaran
terhadap laba, kecemasan atas kedudukan dan kehormatan, target-target yang
belum tentu tercapai, dan hal-hal lain yang bersifat hanya memenuhi urusan
perut dan sejengkal di bawah perut, kita sama sekali tidak akan pernah mencapai
berkah dari Ramadhan. Seluruh energi dan konsentrasi kita hanya diarahkan pada
hal-hal yang sama dengan yang sering dilakukan di luar Ramadhan. Itulah yang
menyebabkan kita tidak mendapatkan apa-apa dari Ramadhan, kecuali ritual rutin
tahunan yang begitu-begitu saja. Sama sekali tidak istimewa.
Berkah dari Ramadhan sesungguhnya adalah berawal dari
pengekangan diri. Sebisa mungkin kita harus menjauhkan diri dari berbagai
kesibukan yang biasanya dilakukan di luar Ramadhan. Semakin terlepas kita dari
kesibukan sehari-hari, semakin besar berkah Ramadhan mendatangi kita. Apabila
kita benar-benar mampu menghentikan semua aktivitas duniawi yang biasa
sehari-hari dilakukan, berkah Ramadhan akan datang dengan sangat cepat. Bahkan,
Allah swt benar-benar akan mendatangi kita.
Inilah yang dimaksud dengan apabila kita mendatangi Allah swt dengan berjalan, Allah swt akan
mendatangi kita dengan berlari.
Bagaimana mungkin kita bisa mengendalikan mata, telinga,
lidah, mulut, tangan, dan kaki jika kita masih berada di tempat yang biasa kita
melakukan banyak kesalahan dan dosa?
Pelajaran
dari Borobudur
Masih ingat kan beberapa
waktu lalu saya menulis bahwa Kamadatu,
Rupadatu, dan Arupadatu adalah
tak lain dan tak bukan Amarah, Lawamah,
dan Muthmainah?
Perhatikan Kamadatu di kaki Candi Borobudur. Di sana
digambarkan kesibukan manusia sehari-hari dengan segala hiruk pikuk, kecemasan,
ketakutan, kesombongan, keangkuhan, kecurangan, kelicikan, dan kemaksiatan.
Pilih kasih dan ketidakadilan ada di sana. Keserakahan dan penipuan terlukis
dengan baik. Perilaku manusia bagai binatang dengan segala bisnis dan
kekuasaannya terpatri dengan baik. Kemunafikan dan kerusakan moral semuanya
terkandung dalam kehidupan pada fase Kamadatu.
Kamadatu adalah tempat manusia biasanya beraktivitas
sehari-hari dengan berbagai bisnis dan kerumitannya. Dalam tahapan kehidupan
ini manusia selalu berakhir menderita, dipermalukan, sedih, gelisah, penuh
ketakutan, tak punya harapan, ditinggalkan, tak dihormati, tersingkir, dan
berbagai kengerian lainnya.
Manusia yang betah di tempat ini akan mendapatkan banyak
kengerian dan itu tergambar dengan jelas di kaki Candi Borobudur. Apabila ingin
hidup lebih mulia dan berakhir dengan lebih baik, tidak seperti yang
digambarkan pada Kamadatu, manusia harus melepaskan diri dari berbagai
kesibukannya sehari-hari. Dia harus meninggalkan apa pun yang biasanya dia
lakukan. Keberhasilannya mendapatkan berkah Ramadhan sangat bergantung pada
besarnya upaya meninggalkan aktivitas duniawi. Semakin banyak aktivitas yang
dia tinggalkan, semakin dekat dengan berkah Ramadhan.
Ramadhan adalah bulan yang sangat tepat untuk
meninggalkan berbagai kesibukan manusia sebagaimana yang tergambar dalam
Kamadatu. Apabila berhasil, ia akan meningkat pada tingkat yang lebih tinggi,
yaitu Rupadatu tahap awal. Di Rupadatu itu ada enam tingkat. Apabila manusia
mampu mengenyahkan berbagi kesibukannya dan menggunakan energinya untuk
mendekat kepada Allah swt, ia sudah berada pada tahap awal Rupadatu,
sebagaimana digambarkan di Borobudur. Pada tahap ini penyesalan atas berbagai
dosa mulai terjadi. Perilaku-perilaku buruk yang telah dilakukannya tergambar
jelas di matanya. Allah swt memberitakan berbagai kesalahan yang dilakukannya
sehingga penyesalan pun menjadi-jadi. Pada fase inilah sebenarnya yang namanya taubat itu terjadi dengan benar-benar.
Taubat yang terjadi dalam fase Kamadatu hanyalah tobat sambal. Ngomongnya tobat, tetapi
terus diulangi. Hal itu disebabkan mereka masih sangat terikat dengan berbagai
aktivitas dunia yang menipu. Taubat yang benar-benar adalah jika manusia sudah
mampu berada satu tahap lebih tinggi dari Kamadatu, yaitu Rupadatu.
Apabila mampu berada tahap awal Rupadatu, itu sudah
berkah yang luar biasa. Ia sudah dihubungi Allah swt dan dibersihkan dari
dosa-dosanya. Ia sudah sangat mampu memohon maaf kepada orang-orang yang pernah
disakitinya. Permohonan maaf ini bukan sekedar ritual, melainkan mampu
mengatakan secara rinci dosa-dosa yang pernah dilakukan kepada orang lain. Ia
tak malu untuk mengatakan kesalahannya dengan terus terang kepada orang yang
pernah disakitinya karena ia tahu dengan benar bahwa jika orang itu tidak
memaafkannya, hidupnya akan menderita berkepanjangan.
Jika Ramadhan usai, lalu kembali pada aktivitas biasa
sehari-hari, seseorang yang sudah sampai pada tahap Rupadatu meskipun baru
tingkat awal, sangat terlihat perbedaannya. Dirinya sudah dicerahkan, berbagai
rahasia Illahi dibukakan untuknya sehingga ia tidak lagi terpengaruh oleh
kebingungan dunia sebagaimana diderita manusia pada umumnya. Ia teguh dan
tenang. Pegangan hidupnya sangat kuat dan menjadi cahaya bagi sekelilingnya.
Bahkan, lingkungannya yang biasanya penuh maksiat mampu diwarnainya dengan
berbagai kebaikan. Padahal, dia hanya baru pada Rupadatu tahap awal.
Jika dia mampu menggunakan oleh-oleh yang diberikan Allah
swt selama waktu sebelas bulan ke depan, Ramadhan berikutnya ia akan meningkat
pada fase Rupadatu tingkat berikutnya. Demikian seterusnya apabila mampu
konsisten dan istiqomah hingga mencapai tahap Arupadatu. Arupadatu itu memiliki
tiga tingkat, yaitu stupa berlubang
ketupat, stupa berlubang persegi, dan stupa
tertinggi tanpa lubang. Itu adalah perlambang tiga tingkat kesucian manusia
suci, yaitu Fana, Baqa, dan Liqa.
Apabila ingin
benar-benar mendapatkan berkah Ramadhan dan terasa pada jiwa dan kulit daging
kita sehingga kita yakin bahwa itulah berkah yang diberikan Allah swt,
tinggalkan aktivitas yang biasa kita lakukan, lalu gunakan seluruh energi kita
untuk mendekat kepada Allah swt.
Selama kita masih sibuk dengan hal-hal yang bersifat
duniawi-materialistis, berkah Ramadhan pun tak akan menghampiri kita, kecuali
berupa kisah-kisah yang biasanya itu-itu saja, tidak ada perubahan. Jangan
menipu diri dengan menduga bahwa kita sudah seperti bayi yang baru lahir
kembali. Kita sesungguhnya sama sekai tidak mendapatkan apa pun dari Ramadhan.
Ramadhan hanya lewat untuk kita dan meninggalkan kita tanpa memberikan apapun
bagi kita.
Ramadhan hanya berteman dan bersahabat dengan orang-orang
yang mengekang dirinya dari kehidupan dunia ini. Ramadhan hanya menjadi saudara
bagi mereka yang di tangannya tergenggam golok tajam yang sudah penuh darah karena
membunuh sisi gelap diri manusia. Manusia yang mulia adalah yang menganggap
sisi buruk dirinya sebagai musuhnya sehingga pada Ramadhan ini dia benar-benar
bertarung melawan dirinya sendiri hingga pada ujung Ramadhan dia
terhuyung-huyung bersimbah darah dengan menggenggam golok tajam penuh darah
pertanda sudah selesai membunuh sisi gelap dirinya sendiri. Dengan demikian,
selepas Ramadhan ia menjadi orang baru yang benar-benar baru. Ramadhan pada
masa berikutnya akan membuatnya lebih kuat dan sakti dalam membunuh segala
kemaksiatan yang dimulai dari dirinya sendiri.
Tinggalkan segala kerumitan hidup kita pada bulan ini,
raihlah tahap awal kehidupan Rupadatu. Dengan demikian, kita akan menjadi orang
yang sangat berbeda pada bulan depan dan penuh dengan penjagaan Allah swt.
Amin.
No comments:
Post a Comment