Sunday 5 June 2016

Menyeragamkan Awal Ramadhan dan Idul Fitri

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Waktu awal puasa dan penentuan hari lebaran selalu menjadi hal yang menarik diperhatikan sekaligus “mengesalkan”. Hal itu disebabkan selalu saja ada perbedaan dalam menentukan waktu-waktu tersebut, padahal sebetulnya bisa sama.

            Sesungguhnya, menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dimengerti mengapa selalu berbeda, padahal dengan mudah bisa sama.

            Apakah orang-orang bangga dengan perbedaan, beda dari yang lain?

            Mengapa tidak merasa bangga dengan kebersamaan?

            Mengapa tidak merasa nyaman dan indah dengan kebersamaan?

            Perbedaan awal puasa dan hari lebaran itu saya melihatnya, pertama, sebagai wujud dari berbangga-bangga diri atas nama kelompoknya. Prinsip mereka adalah pokoknya kita harus beda dari yang lain atau orang lain yang harus sama dengan kita.  Model muslim seperti ini adalah muslim primitif yang pasti masuk neraka. Nabi Muhammad saw sendiri mengajarkan bahwa jika seseorang mati dalam keadaan berbangga-bangga diri dengan kelompoknya, neraka adalah tempat yang pasti baginya. Hal itu disebabkan dia menyombongkan diri di hadapan saudaranya sendiri sesama muslim serta bukan mengagungkan Islam dan kaum muslimin, tetapi mengagungkan kelompoknya sendiri.

            Kedua, takut dosa dan salah. Waktu penetapan awal puasa menjadi patokan pula dalam menetapkan Hari Raya Idul Fitri. Mungkin ada orang-orang yang takut salah dan takut berdosa karena jika salah menetapkan awal puasa, bisa jadi salah pula menetapkan 1 Syawal. Sementara itu, 1 Syawal diharamkan untuk berpuasa. Artinya, jika sudah masuk 1 Syawal masih juga berpuasa, haram hukumnya, dosa jadinya.

            Kedua hal itu, yaitu berbangga diri dengan kelompoknya dan ketakutan atas dosa dan kesalahan sangat bisa diatasi. Bagi para muslim primitif yang masih gemar berbangga diri dengan kelompoknya sambil melecehkan kelompok lainnya, bisa disadarkan dengan pendekatan keagamaan dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam segi agama, jelas salah berbangga diri atas dasar kelompok dan pasti masuk neraka jika kebanggaan itu terbawa mati. Dari segi kebangsaan pun jelas cukup mengganggu rasa persatuan, kesatuan, persaudaraan, dan kebersamaan Indonesia. Dengan pendekatan keilmuan dan kesejarahan kebangsaan, diharapkan mereka sadar untuk bersama-sama melaksanakan shaum dan Idul Fitri secara bersama.

            Bagi mereka yang takut salah dan dosa, bisa disadarkan dengan pengambilalihan tanggung jawab untuk menanggung salah dan dosa oleh pemerintah.

            Jika mereka berdalih, “Siapa yang bertanggung jawab kalau kami nanti disalahkan di akhirat?”, Pemerintah harus menjawab, “Kami yang akan menanggung beban dosa itu jika kami salah. Timpakan saja tanggung jawab itu kepada kami. Katakan kepada Allah swt bahwa kalian diharuskan untuk patuh kepada kami. Dengan demikian, tanggung jawab ada pada kami.”

            Memang iya toh selama ini juga pemerintah harus bertanggung jawab di akhirat nanti, bukan hanya soal puasa dan lebaran, hal-hal lain pun harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt, kelak. Biasa saja. Akan tetapi, bagi mereka yang takut dosa dan salah yang berakibat pada perbedaan awal puasa dan lebaran, sangat perlu kepastian tentang pengambilalihan tanggung jawab tersebut di akhirat.

            Apabila penyadaran melalui ilmu dan kebangsaan tidak berhasil bagi muslim primitif dan gagal juga pada mereka yang takut dosa padahal tanggung jawab atas dosa sudah diambil alih, sebaiknya ada upaya lain yang lebih tegas untuk menyeragamkan awal puasa dan idul fitri tersebut. Upaya itu merupakan penetapan hukum bahwa tindakan berbeda dari pemerintah pusat dalam hal itu “dinyatakan illegal”. Hal itu hendaknya mulai diwacanakan sesegera mungkin dan segencar mungkin.

            Perbedaan-perbedaan ini sesungguhnya sangat mengganggu persaudaraan sesama muslim, persatuan dan kesatuan bangsa, serta merusakkan nama baik dan martabat Islam itu sendiri. Kalian tidak tahu sih bahwa di luar sana para anti-Islam menjadikan perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok Islam itu sebagai bahan ejekan. Sebisa mungkin harus dicari persamaan-persamaan yang ada. Hal yang berbeda dan mudah dijadikan sama, segera disamakan. Jangan berbangga-bangga diri dengan perbedaan sehingga hal yang seharusnya mudah untuk sama, dibeda-bedain. Ngaco. Di samping itu pun, di kalangan masyarakat karena terjadi perbedaan awal puasa dan lebaran, menganggap sesat orang lain yang berbeda dengan dirinya. Terjadilah saling tuding sesat-menyesatkan.

            Begitukah yang kalian inginkan?

            Apa lagi yang membuat kalian pengen selalu berbeda dan paling depan dalam hal menetapkan awal puasa dan lebaran?

            Pengen berbangga-bangga diri supaya dianggap kelompoknya paling hebat?

            Neraka adalah tempat terakhir kalian. Itu kata Nabi Muhammad saw.

            Takut dosa, salah, sehingga di akhirat akan dituntut pertanggungjawaban?

            Tanggung jawab untuk hal itu sudah bisa diambilalih oleh pemerintah pusat.

            Lalu, apa lagi?


            Sebaiknya, memang pemerintah pusat harus membuat aturan yang jelas berikut sanksi yang dapat menjadikan mereka yang selalu gembira untuk berbeda dari saudaranya mendapatkan peringatan sebagai pelaku tindakan illegal. Tidak ada salahnya membuat aturan seperti itu. Toh, niatnya juga baik untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin plus persatuan dan kesatuan bangsa.

No comments:

Post a Comment