oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Waktu awal puasa dan penentuan
hari lebaran selalu menjadi hal yang menarik diperhatikan sekaligus “mengesalkan”.
Hal itu disebabkan selalu saja ada perbedaan dalam menentukan waktu-waktu
tersebut, padahal sebetulnya bisa sama.
Sesungguhnya, menjadi sesuatu hal yang tidak bisa
dimengerti mengapa selalu berbeda, padahal dengan mudah bisa sama.
Apakah orang-orang bangga dengan perbedaan, beda dari
yang lain?
Mengapa tidak merasa bangga dengan kebersamaan?
Mengapa tidak merasa nyaman dan indah dengan kebersamaan?
Perbedaan awal puasa dan hari lebaran itu saya
melihatnya, pertama, sebagai wujud dari
berbangga-bangga diri atas nama kelompoknya. Prinsip mereka adalah pokoknya kita harus beda dari yang lain atau
orang lain yang harus sama dengan kita. Model muslim seperti ini adalah muslim primitif
yang pasti masuk neraka. Nabi Muhammad saw sendiri mengajarkan bahwa jika
seseorang mati dalam keadaan berbangga-bangga diri dengan kelompoknya, neraka
adalah tempat yang pasti baginya. Hal itu disebabkan dia menyombongkan diri di
hadapan saudaranya sendiri sesama muslim serta bukan mengagungkan Islam dan
kaum muslimin, tetapi mengagungkan kelompoknya sendiri.
Kedua, takut
dosa dan salah. Waktu penetapan awal puasa menjadi patokan pula dalam
menetapkan Hari Raya Idul Fitri. Mungkin ada orang-orang yang takut salah dan takut
berdosa karena jika salah menetapkan awal puasa, bisa jadi salah pula
menetapkan 1 Syawal. Sementara itu, 1 Syawal diharamkan untuk berpuasa.
Artinya, jika sudah masuk 1 Syawal masih juga berpuasa, haram hukumnya, dosa
jadinya.
Kedua hal itu, yaitu berbangga diri dengan kelompoknya
dan ketakutan atas dosa dan kesalahan sangat bisa diatasi. Bagi para muslim primitif
yang masih gemar berbangga diri dengan kelompoknya sambil melecehkan kelompok
lainnya, bisa disadarkan dengan pendekatan keagamaan dan nilai-nilai
kebangsaan. Dalam segi agama, jelas salah berbangga diri atas dasar kelompok
dan pasti masuk neraka jika kebanggaan itu terbawa mati. Dari segi kebangsaan
pun jelas cukup mengganggu rasa persatuan, kesatuan, persaudaraan, dan
kebersamaan Indonesia. Dengan pendekatan keilmuan dan kesejarahan kebangsaan,
diharapkan mereka sadar untuk bersama-sama melaksanakan shaum dan Idul Fitri
secara bersama.
Bagi mereka yang takut salah dan dosa, bisa disadarkan
dengan pengambilalihan tanggung jawab untuk menanggung salah dan dosa oleh
pemerintah.
Jika mereka berdalih, “Siapa yang bertanggung jawab kalau kami nanti disalahkan di akhirat?”, Pemerintah
harus menjawab, “Kami yang akan
menanggung beban dosa itu jika kami salah. Timpakan saja tanggung jawab itu
kepada kami. Katakan kepada Allah swt bahwa kalian diharuskan untuk patuh
kepada kami. Dengan demikian, tanggung jawab ada pada kami.”
Memang iya toh selama ini juga pemerintah harus
bertanggung jawab di akhirat nanti, bukan hanya soal puasa dan lebaran, hal-hal
lain pun harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt, kelak. Biasa saja.
Akan tetapi, bagi mereka yang takut dosa dan salah yang berakibat pada
perbedaan awal puasa dan lebaran, sangat perlu kepastian tentang
pengambilalihan tanggung jawab tersebut di akhirat.
Apabila penyadaran melalui ilmu dan kebangsaan tidak
berhasil bagi muslim primitif dan gagal juga pada mereka yang takut dosa
padahal tanggung jawab atas dosa sudah diambil alih, sebaiknya ada upaya lain
yang lebih tegas untuk menyeragamkan awal puasa dan idul fitri tersebut. Upaya
itu merupakan penetapan hukum bahwa tindakan berbeda dari pemerintah pusat
dalam hal itu “dinyatakan illegal”. Hal
itu hendaknya mulai diwacanakan sesegera mungkin dan segencar mungkin.
Perbedaan-perbedaan ini sesungguhnya sangat mengganggu persaudaraan
sesama muslim, persatuan dan kesatuan bangsa, serta merusakkan nama baik dan
martabat Islam itu sendiri. Kalian tidak tahu sih bahwa di luar sana para anti-Islam
menjadikan perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok Islam itu sebagai
bahan ejekan. Sebisa mungkin harus dicari persamaan-persamaan yang ada. Hal yang
berbeda dan mudah dijadikan sama, segera disamakan. Jangan berbangga-bangga
diri dengan perbedaan sehingga hal yang seharusnya mudah untuk sama,
dibeda-bedain. Ngaco. Di samping itu pun, di kalangan masyarakat karena terjadi
perbedaan awal puasa dan lebaran, menganggap sesat orang lain yang berbeda
dengan dirinya. Terjadilah saling tuding sesat-menyesatkan.
Begitukah yang kalian inginkan?
Apa lagi yang membuat kalian pengen selalu berbeda dan
paling depan dalam hal menetapkan awal puasa dan lebaran?
Pengen berbangga-bangga diri supaya dianggap kelompoknya
paling hebat?
Neraka adalah tempat terakhir kalian. Itu kata Nabi
Muhammad saw.
Takut dosa, salah, sehingga di akhirat akan dituntut
pertanggungjawaban?
Tanggung jawab untuk hal itu sudah bisa diambilalih oleh
pemerintah pusat.
Lalu, apa lagi?
Sebaiknya, memang pemerintah pusat harus membuat aturan
yang jelas berikut sanksi yang dapat menjadikan mereka yang selalu gembira untuk
berbeda dari saudaranya mendapatkan peringatan sebagai pelaku tindakan illegal. Tidak ada salahnya membuat aturan seperti
itu. Toh, niatnya juga baik untuk kemuliaan
Islam dan kaum muslimin plus persatuan dan kesatuan bangsa.
No comments:
Post a Comment