Sunday, 1 September 2019

Belajar dari Kulit Hitam Amerika Serikat

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Orang-orang kulit hitam Amerika Serikat punya sejarah yang panjang, bahkan bisa dibilang sepanjang sejarah Negara Amerika Serikat sendiri. Mereka biasa disebut “Negro” atau “Black” yang bermakna Si Hitam. Bukan hanya sebutan merendahkan seperti itu yang mereka terima, melainkan pula dianggap manusia kelas yang paling rendah. Segala masalah, keruwetan, dan kasus-kasus kriminal masyarakat selalu disalahkan pada orang-orang berkulit hitam yang berasal dari daratan Afrika ini. Mereka diburu, diperjualbelikan, dibunuh, dianiaya, dipisahkan dari keluarganya, dan dibatasi hak hidup, hak pendidikan, hak ekonomi, dan hak memiliki kemerdekaan sendiri.

            Para penguasa, orang-orang serakah, selalu berselisih dengan orang-orang waras yang menghargai kemanusiaan. Bahkan, pernah terjadi perang saudara di antara orang-orang Amerika sendiri soal ini. Sebagian masih menginginkan merendahkan dan memperjualbelikan orang kulit hitam, sebagian lagi ingin menghentikan perilaku rasis semacam itu.

            Dalam kepemimpinan Abraham Lincoln, perbudakan di Amerika Serikat dihapuskan. Namun, Presiden Abraham Lincoln harus membayar dengan nyawanya sendiri. Dia ditembak mati oleh kelompok yang tidak menyukai kebijakan penghapusan perbudakan. Mereka masih menginginkan memperbudak kulit hitam.

            Selepas masa kepresidenan Abraham Lincoln, warga kulit hitam di Amerika Serikat masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Meskipun perbudakan sudah tidak ada lagi, mereka tetap dianggap warga kelas rendah dan dihalangi untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan warga kulit putih. Akan tetapi, mereka tidak menyerah. Mereka memperbaiki kaumnya, meningkatkan pendidikannya, dan berkarir dengan disiplin.

            Sekarang, meskipun hinaan rasis masih ada, sebagian dari mereka sudah mampu membuktikan dirinya menjadi orang-orang sukses dan berpengaruh di dunia. Misalnya, Martin Luther King, Malcolm X, Mohammad Ali,  Jenderal Collin Powel, hingga Presiden AS Barack Husein Obama.

            Kita, terutama saudara-saudara Papua bisa belajar dari sejarah kulit hitam di Amerika Serikat. Di Indonesia tidak pernah ada perbudakan kulit hitam, tidak ada kebijakan atau halangan untuk menikmati pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Justru kita semua warga bangsa didorong untuk belajar sungguh-sungguh dan bekerja keras, tanpa kecuali. Hal yang ada hanya hinaan ringan karena perbedaan warna kulit dan makian sesaat yang merendahkan menyamakan dengan binatang. Hinaan dan makian itu memang tidak sopan dan tidak terpelajar, tetapi tidak perlu menjadikan rendah diri atau emosi yang berlebihan sehingga merugikan diri sendiri. Di Amerika Serikat sendiri kalau hinaan seperti itu masih ada hingga kini, misalnya, “Neg in White House” atau “Black in White House”, maksudnya “orang hitam berkuasa di Gedung Putih”. Ledekan itu berupa pernyataan bahwa orang hitam tidak pantas memimpin Gedung Putih, Amerika Serikat.

            Akan tetapi, warga kulit hitam Amerika Serikat tetap bertahan dan bekerja keras, tidak lantas memisahkan diri dari Amerika Serikat. Mereka justru menunjukkan bahwa diri mereka pun hebat, bahkan lebih hebat dibandingkan warga kulit putih. Itu kenyataan yang tidak bisa dibantah.

            Saudara-saudara Papua harus belajar dari hal ini. Memisahkan diri dari NKRI tidak menjamin diri akan lebih maju dan berhasil. Sebaiknya, introspeksi diri dan contoh orang-orang Papua yang sudah berhasil di Indonesia, seperti Freddy Numberi, Yoris Raweyai, Mochtar Ngabalin, atau Lenis Kogoya.

            Menunjukkan potensi dan prestasi adalah jauh lebih baik dibandingkan bertindak berdasarkan emosi yang tidak terkendali.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment