Friday, 30 August 2019

Gerakan Separatisme Tidak Aneh bagi Indonesia


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Berbagai gerakan separatisme sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Negeri ini sungguh majemuk, memiliki 17 ribu pulau, ribuan bahasa dan ribuan suku. Demikian pula dengan agamanya, di samping lima agama besar (Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu), juga terdapat ratusan agama/keyakinan lokal, seperti, Sunda Wiwitan, Kejawen, Wetu Tilu, Kaharingan, Parmalim, dan ratusan lainnya. Oleh sebab itu, kemajemukan ini di samping merupakan ciri khas dan kekayaan bangsa, juga menjadi permasalahan tersendiri karena harus selalu berenergi untuk melakukan banyak penyesuaian atau adaptasi dalam rangka mengokohkan NKRI. Permasalahan itu salah satunya terwujud dalam gerakan-gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

            Saat baru merdeka saja Indonesia sudah mulai diganggu dengan bentuk negara yang bukan NKRI, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS). Akan tetapi, RIS tidak disukai rakyat Indonesia dan RIS dianggap sebagai “negara boneka Belanda” yang ingin menguasai kembali Indonesia. Akibatnya, RIS pun bubar dan RI kembali ke bentuk NKRI. Dari sinilah mulainya semangat “NKRI harga mati”.

            Selanjutnya, Indonesia pun mengalami pemberontakan-pemberontakan pada berbagai daerah dan pulau yang ingin melepaskan diri dari NKRI dengan alasan tidak adilnya jatah pembagian kue pembangunan yang dituduh terlalu Jakarta-Jawa sentris. Ada gerakan PRRI, Permesta, Apra, dan lain sebagainya. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini pun bisa diredam dan seluruh daerah tetap berada di dalam NKRI.

            Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang sudah lama padam, kemudian kembali menyala menjadi huru-hara Ambon, Poso, berhasil diamankan. Masyarakat kembali damai dan beraktivitas saling menjaga, kehidupan pun menjadi normal dalam bingkai NKRI.

            Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah berlangsung lama dengan mengeluarkan banyak energi pun bisa diselesaikan dengan baik melalui banyak lobi-lobi dan berbagai kesepakatan. Aceh tetap berada dalam NKRI.

            Demikian pula DI/TII atau NII yang sempat memproklamasikan diri setelah Perjanjian Renvile, berhasil diatasi. Para pendukungnya dinyatakan “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”. NKRI tetap berdiri.

            Bagaimana dengan Timor Timur yang lepas dari NKRI dan menjadi Timor Leste?

            Pada dasarnya wilayah Indonesia itu adalah seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Adapun Timor Timur adalah bekas jajahan Portugis. Wilayah itu masuk menjadi bagian NKRI pada 1976 atas saran Amerika Serikat kepada Presiden Soeharto karena wilayah itu tidak aman, setiap rumah memiliki senjata peninggalan Portugis. Jadi, ketika Presiden Habibie berkuasa, Timor Timur diberikan kebebasan untuk melakukan referendum. Pemerintah Indonesia juga tampak setengah hati untuk tetap mempertahankan Timor Timur di dalam NKRI, salah satunya karena berbeda sejarah itu tadi. Jadilah wilayah itu Timor Leste.

            Apakah Timor Leste menjadi lebih hebat dan makmur setelah lepas dari NKRI?

            Enggak tuh, begitu-begitu saja.

            Gerakan separatisme di tanah Papua pun sebenarnya sudah sangat lama, tetapi secara bertahap diatasi. Pada masa Soeharto terasa sekali penyelesaian dengan pendekatan yang militeristik. Akan tetapi, pasca-reformasi, penyelesaian menggunakan pendekatan kesejahteraan, pembangunan, politik, dan pendidikan. Gerakan separatisme Papua yang digerakkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pun makin mengecil. Wilayah Papua tetap dalam NKRI.

            Saat ini gerakan separatis ini muncul kembali memanfaatkan kisruh di asrama Papua, Surabaya yang dibumbui kata-kata rasis. Padahal, kisruh itu hanya merupakan pelanggaran hukum yang sudah ada undang-undangnya di Indonesia, yaitu kata-kata rasis. Tinggal diterapkan saja undang-undang itu, tidak perlu dengan pemisahan diri dari NKRI.
            Saya sendiri optimis wilayah Papua tetap berada di NKRI karena alasan untuk memisahkan diri yang lama sudah tidak relevan. Kalau dulu kan karena ketidakadilan pembangunan. Sekarang pembangunan terus dilakukan. Uang digelontorkan sangat banyak ke Papua. Bahkan, kata Wapres RI Jusuf Kalla, provinsi-provinsi di Indonesia ini menyumbang uang buat Papua. Pendidikan dibuka luas. Hukum diberlakukan sama kepada siapa saja. Pemilih Jokowi-Maruf di wilayah Papua mencapai 90%.

            Apa lagi alasan untuk merdeka?

            Kata-kata rasis saja tidak cukup masuk akal kalau dijadikan alasan untuk merdeka. Di seluruh dunia ini kata-kata rasis hingga kini masih ada dan itu menjadi masalah manusia sedunia.

            Papua tetap berada di NKRI hingga kini dan masalah-masalah yang ada tinggal diselesaikan saja secara bertahap namun pasti. Allah swt masih menghendaki NKRI tetap utuh hingga kini.

            NKRI akan hancur? 

            Pasti!

            Kalau kiamat, pasti NKRI hancur.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment