oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Berbagai gerakan separatisme
sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Negeri ini sungguh majemuk, memiliki
17 ribu pulau, ribuan bahasa dan ribuan suku. Demikian pula dengan agamanya, di
samping lima agama besar (Islam, Kristen,
Budha, Hindu, dan Konghucu), juga terdapat ratusan agama/keyakinan lokal,
seperti, Sunda Wiwitan, Kejawen, Wetu
Tilu, Kaharingan, Parmalim, dan ratusan lainnya. Oleh sebab itu,
kemajemukan ini di samping merupakan ciri khas dan kekayaan bangsa, juga
menjadi permasalahan tersendiri karena harus selalu berenergi untuk melakukan
banyak penyesuaian atau adaptasi dalam rangka mengokohkan NKRI. Permasalahan
itu salah satunya terwujud dalam gerakan-gerakan separatisme yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saat baru merdeka saja Indonesia sudah mulai diganggu
dengan bentuk negara yang bukan NKRI, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS).
Akan tetapi, RIS tidak disukai rakyat Indonesia dan RIS dianggap sebagai “negara
boneka Belanda” yang ingin menguasai kembali Indonesia. Akibatnya, RIS pun
bubar dan RI kembali ke bentuk NKRI. Dari sinilah mulainya semangat “NKRI harga
mati”.
Selanjutnya, Indonesia pun mengalami
pemberontakan-pemberontakan pada berbagai daerah dan pulau yang ingin melepaskan
diri dari NKRI dengan alasan tidak adilnya jatah pembagian kue pembangunan yang
dituduh terlalu Jakarta-Jawa sentris.
Ada gerakan PRRI, Permesta, Apra, dan lain sebagainya. Akan tetapi, gerakan-gerakan
ini pun bisa diredam dan seluruh daerah tetap berada di dalam NKRI.
Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang sudah lama
padam, kemudian kembali menyala menjadi huru-hara Ambon, Poso, berhasil
diamankan. Masyarakat kembali damai dan beraktivitas saling menjaga, kehidupan
pun menjadi normal dalam bingkai NKRI.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah berlangsung lama
dengan mengeluarkan banyak energi pun bisa diselesaikan dengan baik melalui banyak
lobi-lobi dan berbagai kesepakatan. Aceh tetap berada dalam NKRI.
Demikian pula DI/TII atau NII yang sempat
memproklamasikan diri setelah Perjanjian Renvile, berhasil diatasi. Para
pendukungnya dinyatakan “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”. NKRI tetap berdiri.
Bagaimana dengan Timor Timur yang lepas dari NKRI dan
menjadi Timor Leste?
Pada dasarnya wilayah Indonesia itu adalah seluruh
wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Adapun Timor Timur adalah bekas jajahan
Portugis. Wilayah itu masuk menjadi bagian NKRI pada 1976 atas saran Amerika
Serikat kepada Presiden Soeharto karena wilayah itu tidak aman, setiap rumah
memiliki senjata peninggalan Portugis. Jadi, ketika Presiden Habibie berkuasa,
Timor Timur diberikan kebebasan untuk melakukan referendum. Pemerintah Indonesia
juga tampak setengah hati untuk tetap mempertahankan Timor Timur di dalam NKRI,
salah satunya karena berbeda sejarah itu tadi. Jadilah wilayah itu Timor Leste.
Apakah Timor Leste menjadi lebih hebat dan makmur setelah
lepas dari NKRI?
Enggak tuh, begitu-begitu saja.
Gerakan separatisme di tanah Papua pun sebenarnya sudah
sangat lama, tetapi secara bertahap diatasi. Pada masa Soeharto terasa sekali
penyelesaian dengan pendekatan yang militeristik. Akan tetapi, pasca-reformasi,
penyelesaian menggunakan pendekatan kesejahteraan, pembangunan, politik, dan
pendidikan. Gerakan separatisme Papua yang digerakkan Organisasi Papua Merdeka
(OPM) pun makin mengecil. Wilayah Papua tetap dalam NKRI.
Saat ini gerakan separatis ini muncul kembali
memanfaatkan kisruh di asrama Papua, Surabaya yang dibumbui kata-kata rasis.
Padahal, kisruh itu hanya merupakan pelanggaran hukum yang sudah ada
undang-undangnya di Indonesia, yaitu kata-kata rasis. Tinggal diterapkan saja
undang-undang itu, tidak perlu dengan pemisahan diri dari NKRI.
Saya sendiri optimis wilayah Papua tetap berada di NKRI
karena alasan untuk memisahkan diri yang lama sudah tidak relevan. Kalau dulu
kan karena ketidakadilan pembangunan. Sekarang pembangunan terus dilakukan.
Uang digelontorkan sangat banyak ke Papua. Bahkan, kata Wapres RI Jusuf Kalla,
provinsi-provinsi di Indonesia ini menyumbang uang buat Papua. Pendidikan
dibuka luas. Hukum diberlakukan sama kepada siapa saja. Pemilih Jokowi-Maruf di
wilayah Papua mencapai 90%.
Apa lagi alasan untuk merdeka?
Kata-kata rasis saja tidak cukup masuk akal kalau
dijadikan alasan untuk merdeka. Di seluruh dunia ini kata-kata rasis hingga
kini masih ada dan itu menjadi masalah manusia sedunia.
Papua tetap berada di NKRI hingga kini dan
masalah-masalah yang ada tinggal diselesaikan saja secara bertahap namun pasti. Allah swt masih menghendaki NKRI tetap utuh hingga kini.
NKRI akan hancur?
Pasti!
Kalau kiamat, pasti NKRI hancur.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment