oleh
Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Kita tahu bahwa Afghanistan,
Pakistan, dan Taliban terlibat persengketaan bersenjata berebut kekuasaan yang
tak berakhir hingga kini. Kawasan itu tak sepi dari pertarungan yang membuat
banyak korban jiwa tak terhitung. Upaya mereka hingga kini tak juga berhasil.
Tak kurang dari Amerika Serikat dan Eropa beserta Nato-nya berupaya keras
meminimalisasi kekerasan bersenjata di kawasan ini, namun hasilnya masih tidak
menggembirakan.
Ketika permusuhan bersenjata dan upaya barat tak juga
menghasilkan perdamaian yang maksimal, mereka pun melirik Indonesia.
Salah seorang delegai utama ulama Afghanistan Ataullah
Lodin pernah berkata di Bogor, “Telah banyak saudara-saudari kami yang
mengalami penderitaan berkepanjangan."
Hal yang senada pun dilaporkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) bahwa pada 2018 ada sekitar 3.804 penduduk sipil termasuk lebih dari 900
anak tewas dan tujuh ribu lainnya mengalami luka-luka dalam konflik di
Afghanistan. Selain itu, wilayah kekuasaan dan pengaruh Taliban di Afghanistan
juga dilaporkan semakin luas meski AS menggulingkan mereka pada 2001 silam.
Perdamaian semakin sulit terwujud ketika Taliban tidak
mau berdialog dengan Afghanistan karena menganggap bahwa Afghanistan adalah
boneka barat. Sementara itu, pemerintah Afghanistan tidak mau ditinggalkan
pasukan barat karena khawatir serangan dari Taliban. Di samping itu,
Pakistan yang dituduh sebagai sekutu Taliban membantah ikut mengacaukan situasi
karena keamanan di Afghanistan merupakan kunci pula bagi perdamaian di dalam negeri
Pakistan.
Beruntung, mereka mempercayai Indonesia yang tidak
memiliki kepentingan apa pun terhadap mereka di kawasan itu. Indonesia hanya
peduli terhadap perdamaian dunia.
Menurut Basri Sidehabi, orang yang ditugaskan Jusuf Kalla
untuk membawa delegasi Taliban dari Qatar ke Indonesia, Taliban sangat
mempercayai Indonesia karena hubungan dekat kedua negara. Selain itu, Taliban
menilai Indonesia tidak mempunyai agenda selain ingin melihat perdamaian
terwujud di Afghanistan.
Di samping itu, pengalaman Indonesia dalam menyelesaikan
konflik di dalam negeri bisa bermanfaat untuk memfasilitasi proses perdamaian
di Afghanistan. Keterlibatan Indonesia dalam upaya perdamaian tersebut atas
permintaan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani yang disampaikan kepada Joko
Widodo saat melawat ke Indonesia pada 2017.
Indonesia memang memiliki pengalaman yang luar biasa
dalam menyelesaikan konflik di dalam negeri melalui proses dialog, misalnya,
konflik di Aceh; Ambon, Poso; Papua. Soal Papua memang masih ada kericuhan
kecil-kecil, tetapi pada dasarnya mayoritas rakyat Papua sudah bersedia
berdamai dan membangun bersama-sama dalam kerangka NKRI.
Berbagai konflik tersebut bisa diselesaikan tidak lepas
dari peranan Wapres RI Jusuf Kalla di dalamnya. Jusuf Kalla memang
berpengalaman dalam hal itu. Tak heran jika Taliban merasa lebih dekat dengan
Jusuf Kalla.
Baik Pakistan, Afghanistan, maupun Indonesia sepakat
untuk mengadakan dialog dan pertemuan para akademisi secara tripartit untuk
mencari jalan bagi perdamaian. Lebih istimewa lagi Taliban pun bersedia untuk
ikut serta dalam berbagai dialog yang dipimpin Indonesia sebagai tuan rumah
tersebut. Semoga Indonesia dapat menularkan berbagai pengalamannya dalam
menyelesaikan berbagai konflik yang ada di dunia.
Hal yang patut diperhatikan adalah ketika dunia memandang
Indonesia sebagai negara yang diharapkan untuk berperan serta dalam upaya
perdamaian, sangatlah aneh jika kita justru meneladani ingin hidup seperti negara-negara
yang sedang berkonflik yang sesungguhnya sedang meminta bantuan Indonesia untuk
menyelesaikan kemelut yang dihadapinya.
Indonesia memang sudah selayaknya berperan banyak dalam
perdamaian dunia sebagaimana politik luar negerinya yang Bebas dan Aktif, bebas dari tekanan negara mana pun dan aktif dalam
menciptakan perdamaian dunia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment