oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ustadz Abdul Shomad (Uas) sudah
dilaporkan. Bagus, sebaiknya begitu. Proses saja hingga ke pengadilan. Tidak
perlu takut. Uas sendiri menyatakan dirinya tidak takut dan tidak akan kabur ke
mana-mana. Dia saja berani.
Masa pendukungnya tidak berani?
Dilaporkan ke polisi itu belum tentu bakal diproses, belum
tentu juga dinyatakan bersalah, juga belum tentu sampai ke pengadilan. Banyak
laporan yang tidak ditindaklanjuti dan banyak juga yang dihentikan prosesnya.
Ada mekanismenya. Bukan sekehendak para pelapor ataupun para terlapor.
Karena Uas sudah dilaporkan, sebaiknya para pendukungnya melaporkan
juga video-video atau tulisan-tulisan yang dianggap menistakan Islam. Bahkan,
bukan hanya video dan tulisan, melainkan pula komentar-komentar di bawahnya harus
dilaporkan. Malahan, justru komentar-komentar itu lebih mengerikan dibandingkan
video atau tulisan sumbernya. Sungguh, video-video, tulisan-tulisan, berikut
komentar-komentarnya tersebut bertebaran teramat banyak. Mungkin sekarang
jumlahnya jutaan.
Dulu, sekitar empat atau lima tahun lalu, saya kritik kepolisian
yang terkesan membiarkan maraknya video, tulisan, dan komentar penistaan agama
tersebut. Bukan hanya yang diproduksi oleh orang Islam, melainkan pula yang
diproduksi oleh bukan orang Islam. Antarpemeluk agama saling maki, saling hujat. Saat itu baru hanya
sekitar ratusan unggahan yang beredar, paling tidak yang pernah saya lihat. Hal
itu sungguh berbahaya bagi kerukunan bangsa. Sayangnya, unggahan-unggahan itu terus
beredar mengalir deras bagai sama sekali tidak ada halangan. Padahal, sudah ada
undang-undang yang mengatur tentang penghinaan terhadap Sara.
Beberapa saat setelah saya menulis kritikan-kritikan itu,
salah seorang petinggi Polri berbicara di acaranya Karni Ilyas TvOne, saat itu namanya masih JLC (Jakarta Lawyers Club) sekarang menjadi
ILC (Indonesia Lawyers Club), “Polisi
belum tentu mau mengurusi hal-hal itu.”
Yang dia maksud “hal-hal itu” adalah postingan-postingan penghinaan
terhadap terhadap agama, agama apa pun. Saya tidak tahu alasannya. Saya hanya
berprasangka baik bahwa mungkin polisi terlalu banyak pekerjaan atau banyak hal
yang jauh lebih penting untuk diselesaikan. Akan tetapi, sudah bisa diduga
karena terkesan dibiarkan, postingan-postingan itu semakin membludak. Mungkin
sekarang jumlahnya ribuan dengan jutaan komentar. Semakin sulit untuk
dikendalikan. Hal itu bisa mengakibatkan masyarakat rentan untuk disulut
emosinya. Kalau sudah begitu, huru-hara lebih mudah untuk dinyalakan. Bahaya.
Kita semua yang rugi.
Video Uas adalah salah satu produk dari pembiaran itu.
Oleh sebab itu, laporkan balik saja video, tulisan, dan komentar bejibun yang
menghina Islam itu. Dengan demikian, akan ada banyak laporan di kepolisian.
Jumlahnya bisa jutaan laporan. Biarkan saja. Laporan-laporan itu jika jelas
buktinya, harus diproses hukum, lalu kawal oleh seluruh rakyat. Biarkan
pengadilan diisi oleh kasus-kasus seperti itu. Kita desak aparat supaya segera menyelesaikannya.
Kalau sudah sangat banyak laporan, kemungkinan
penyelesaiannya adalah “rekonsiliasi”. Kalau tidak, akan ada banyak pemuka
agama Islam dan non-Islam diadili karena kasus-kasus penghinaan agama. Kalau
rekonsiliasi, harus ada kesepakatan bahwa setiap pemimpin agama dan umatnya wajib
mengendalikan umatnya agar tidak memposting unggahan yang menghina agama
lainnya. Setiap pemeluk agama apa pun harus mengingatkan saudara seagamanya
agar tidak mengunggah postingan yang menghina agama lainnya. Postingan yang
sudah beredar pun wajib untuk segera dihapus. Jika tidak dihapus, gusur saja
masuk penjara setelah diadili tentunya. Itu lebih baik dibandingkan dengan
terus-terusan memproduksi postingan-postingan provokasi.
Jika rekonsiliasi terjadi, berbagai media sosial di
Indonesia akan lebih indah dan nyaman dilihat dan digunakan. Kerukunan akan
lebih mudah terwujud. Indonesia pun akan menjadi contoh bagi dunia dalam hal
membangun perdamaian, cinta sesama, dan kenyamanan hidup bersama dalam
perbedaan.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment