oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Masalah itu besar jika
dibuat besar. Sebaliknya, akan menjadi kecil jika dibuat kecil.
Persoalan Papua yang belum lama ini terjadi akibat
kesalahpahaman soal bendera yang tiangnya patah itu bisa besar, tetapi bisa
pula dibuat kecil. Saya tidak bermaksud menyederhanakan masalah, tetapi memang
sebaiknya dianggap natural saja, alamiah. Kita sudah punya pengalaman tentang
masalah seperti ini. Misalnya, dengan masyarakat Batak, Padang, Aceh, Ambon,
bahkan keturunan Tionghoa yang ada di Pulau Jawa, khususnya di Bandung yang
saya rasakan dan lihat sendiri.
Intinya, ada di pembauran antarmasyarakat Indonesia.
Bagi saya, orang Papua sama saja dengan manusia lainnya,
tidak ada bedanya. Saya kenal dengan orang Papua sudah lama, sejak provinsinya
masih bernama Irian Jaya, sejak saya masih kelas dua SMA. Jujur saja, mereka
sama seperti suku saya, Sunda, dan suku lainnya di Indonesia, ada yang baik,
sangat baik, dan ada pula yang brengsek.
Bedanya sebelah mana?
Tidak ada.
Teman-teman Papua saya orang-orang yang baik. Mereka
semua muslim, sering di masjid, baca Al Quran, adzan, malah kalau lagi
Ramadhan, mereka diberi kesempatan untuk memberikan kuliah subuh. Kalau ada
peringatan 1 Muharam, kami piknik jalan kaki ke tempat-tempat yang jauh untuk
merasakan lelahnya hijrah. Demikian pula
dalam kehidupan sehari-hari, kalau ada rezeki, baik makanan atau uang, kita
biasa berbagi. Saling mengunjungi tempat tinggal masing-masing, saling kenal
keluarga adalah hal yang biasa. Kalau ada peringatan tujuh belasan, mereka pun
ikut manggung, bernyanyi.
Tidak ada yang rasis, paling anak kecil yang suka guyon
bilang, “Adolf Kabo!”
Adolf Kabo itu adalah pemain sepak bola dari Manokwari,
Irian Jaya yang sangat terkenal saat itu.
Teman-teman Papua saya nggak ada yang marah, paling balik
teriak, “Apa kamu! Adolf Kabo apa?”
Kalau teman-teman sebaya saya memang guyonnya suka main
bahasa fisik, misalnya, kata-kata guyonan Si Hitam karena memang kulitnya
hitam. Itu sama nilainya dengan sebutan-sebutan ke teman-teman yang suku Sunda,
Jawa, Batak, atau yang lainnya, seperti, Si Kontet atau Si Kate pada teman yang
tubuhnya pendek; Si Embe Galing pada yang rambutnya keriting; Si Akew sama yang
matanya sipit; Si Gantar sama yang
tubuhnya tinggi kurus; Si Tunduh sama yang mudah ngantuk; Si Botak atau
Si Pitak sama yang memang botak atau pitak; Si Ule sama yang kulitnya putih
kayak bule; Si Huntu sama yang giginya besar; Si Pesek sama yang memang
hidungnya pesek. Saya sendiri disebut Si Peot karena saya kurusnya bukan main,
malah kadang-kadang saya disebut Si Tiang Listrik karena kata teman-teman,
antara saya dengan tiang listrik dari besi itu sama kurusnya. Demikian juga,
kadang disebut sukunya, misalnya, Si Batak, Si Jawa, Si Padang. Malah, kadang
disebut pula pulaunya, seperti, Si Sulawesi, Si Kalimantan, Si Madura.
Sebutan-sebutan itu biasa. Lumrah. Kalaupun itu disebut
rasis, bolehlah diistilahkan dengan “rasis ringan”. Meskipun biasa, sebaiknya
sebutan-sebutan itu sudah harus dikurangi, bahkan dihilangkan karena tetap saja
sebutan-sebutan stereotip semacam itu menimbulkan kesan merendahkan dan sedikit
melukai perasaan orang.
Pendek kata, teman-teman Papua saya orang baik dan bisa
membaur dengan yang lainnya dan tidak ada masalah yang berarti. Kami terbiasa
saling bantu.
Hanya satu orang Papua yang benar-benar brengsek. Saya
juga nggak mau kenal sama dia. Soalnya, dia mainnya sama preman,
mabuk-mabukkan, berkelahi. Kalau ada panggung hiburan, bikin ribut bareng
teman-teman premannya yang bersuku Sunda, Jawa, atau Batak. Mereka gemar
nakut-nakutin orang. Matinya juga dia di sawah karena habis minum-minuman keras,
makan katak sawah. Mungkin Polsek Ciwastra, Bandung masih punya catatan
peristiwanya.
Sengaja saya ceriterakan hal itu karena ingin menunjukkan
bahwa manusia itu sama saja, ada yang baik, sangat baik, brengsek, bahkan
sangat brengsek. Hal itu tidak ada hubungannya dengan asal suku.
Sekarang, saya punya murid-murid dari Papua, mahasiswa
Universitas Al Ghifari, Bandung. Bagi saya, tidak ada bedanya anak-anak Papua
dengan murid-murid yang berasal dari Nias, Bali, Lampung, Thailand, Jawa,
Sunda, atau yang lainnya. Mereka semua sama, tidak ada bedanya. Saya
memperlakukan mereka sama. Jika mereka rajin kuliah, mengerjakan tugas, ikut
ujian, mematuhi perintah saya, tidak bikin masalah, semuanya baik-baik saja.
Jika mereka malas dan atau berperilaku tidak terpuji, berarti mereka bikin
masalah sama saya. Mereka harus berhadapan dengan saya. Urusan tidak akan
selesai jika menghindari saya. Patuhi saya, urusan bisa segera beres. Hal itu
saya lakukan terhadap semua mahasiswa saya dari mana pun mereka berasal, apa
pun suku mereka, apa pun warna kulit mereka, apa pun agama mereka. Saya tidak
pernah membedakan mereka atas dasar agama atau ras. Hal yang membedakan mereka
ya perilaku diri mereka sendiri. Saya hanya melihat mereka serius atau tidak dalam
mengikuti pelajaran yang saya berikan.
Soal mahasiswa dari Papua, memang ada hal yang sedikit
mengganjal, yaitu soal pembauran. Berdasarkan yang saya perhatikan, mereka
lebih suka berkelompok dengan sesama teman-temannya yang berasal dari Papua dan
kurang membaur dengan teman-temannya dari suku lainnya. Entah kenapa. Saya
memang hanya memperhatikan dan belum melakukan penelitian. Teman-temannya yang
berasal dari berbagai suku tampak lebih mudah berbaur.
Meskipun demikian, saya tidak melihat ada permasalahan
atau perselisihan di antara mahasiswa. Semuanya biasa-biasa saja, normal. Akan
tetapi, memang kurang membaur. Saya tidak melihat adanya penolakan dari
mahasiswa yang berasal dari suku-suku lain. Semua baik-baik saja. Dugaan saya
mereka kurang membaur mungkin disebabkan informasi-informasi tentang kehidupan yang
mereka dapatkan tidak sebanding. Kita tahu bahwa di Bandung atau kota-kota
besar di Pulau Jawa relatif jauh lebih banyak pusat-pusat informasi
dibandingkan dengan di Papua, seperti, toko buku, perpustakaan, forum-forum
diskusi, seminar, ragam organisasi dan aktivitas kepemudaan, serta ruang-ruang publik
yang memungkinkan bertemunya berbagai perbedaan. Dengan kurang seimbangnya ragam
informasi sosial yang didapatkan, kemungkinan terjadi hambatan dalam
komunikasi. Itulah yang memungkinkan adanya hambatan dalam pembauran. Akan
tetapi, itu baru dugaan yang masih harus diteliti.
Meskipun demikian, kita tidak perlu berkecil hati karena
masalah seperti ini pernah dialami berkali-kali dan semuanya bisa dilewati
dengan baik. Misalnya, dulu orang Batak, Ambon, Padang, atau lainnya memiliki
masalah yang hampir sama dengan yang dialami saudara-saudara dari Papua, yaitu
kurang sebandingnya informasi, bahkan diperparah dengan adanya benturan
kebiasaan hidup antara di tempat asalnya dengan di perantauan yang jelas
berbeda. Bukan hanya ujaran-ujaran kebencian yang bernada Sara yang merebak di
masyarakat, melainkan pula sampai menjadi tindakan-tindakan kriminal, misalnya,
pengeroyokan, pelemparan batu ke kaca-kaca dan genteng rumah, pembakaran mobil
suku tertentu, pembubaran tempat-tempat berdagang, dan lain sebagainya. Akan
tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan kesadaran masyarakat sendiri
tentang pentingnya pembauran, konflik-konflik yang dulu ada kini jauh berkurang,
bahkan hampir tidak ada. Pembauran tersebut dipermulus dengan adanya pernikahan
antarsuku sehingga perbedaan pun semakin menipis.
Saya sangat optimis bahwa saudara-saudara dari Papua pun
akan lebih mudah berbaur dengan masyarakat lain seiring perjalanan waktu dan
kesadaran seluruh masyarakat Indonesia sendiri.
Pembauran akan lebih mudah jika kita memiliki banyak
kesamaan. Kalau dulu ketika saya masih SMA mudah sekali bergaul dengan
orang-orang Papua karena memiliki kesamaan yang kuat, yaitu sama-sama muslim. Sekarang pun sebetulnya bisa ditemukan banyak
kesamaan untuk membaur, misalnya, sama-sama menuntut ilmu, sama-sama warga
NKRI, sama-sama ingin membangun masyarakat, sama-sama ingin mengejar
ketertinggalan, atau kesamaan-kesamaan lainnya.
Saya sungguh sangat menyukai kalimat yang disampaikan
Lenis Kogoya, Ketua Adat Masyarakat Papua yang juga Staf Khusus Presiden RI
Bidang Papua, “Orang Pulau Jawa harus menjadi orang tua bagi orang Papua. Orang
Papua harus menjadi anak bagi orang-orang Pulau Jawa.”
Hal tersebut sungguh indah. Orang-orang Pulau Jawa
sebagai orang tua harus mengajari, mengasihi, dan melindungi orang-orang Papua.
Demikian pula orang-orang Papua sebagai anak harus mau menghormati orang-orang
Pulau Jawa. Dengan demikian, pembauran dapat terjadi dan pembangunan di
Indonesia akan lebih merata jika banyak generasi muda dari setiap suku dan pulau
yang memiliki pendidikan lebih baik dalam hal akademis maupun penyesuaian
perilaku. Insyaallah.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment