Tuesday 27 August 2019

Pembauran Papua dalam NKRI

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Masalah itu besar jika dibuat besar. Sebaliknya, akan menjadi kecil jika dibuat kecil.

            Persoalan Papua yang belum lama ini terjadi akibat kesalahpahaman soal bendera yang tiangnya patah itu bisa besar, tetapi bisa pula dibuat kecil. Saya tidak bermaksud menyederhanakan masalah, tetapi memang sebaiknya dianggap natural saja, alamiah. Kita sudah punya pengalaman tentang masalah seperti ini. Misalnya, dengan masyarakat Batak, Padang, Aceh, Ambon, bahkan keturunan Tionghoa yang ada di Pulau Jawa, khususnya di Bandung yang saya rasakan dan lihat sendiri.

            Intinya, ada di pembauran antarmasyarakat Indonesia.

            Bagi saya, orang Papua sama saja dengan manusia lainnya, tidak ada bedanya. Saya kenal dengan orang Papua sudah lama, sejak provinsinya masih bernama Irian Jaya, sejak saya masih kelas dua SMA. Jujur saja, mereka sama seperti suku saya, Sunda, dan suku lainnya di Indonesia, ada yang baik, sangat baik, dan ada pula yang brengsek.

            Bedanya sebelah mana?

            Tidak ada.

            Teman-teman Papua saya orang-orang yang baik. Mereka semua muslim, sering di masjid, baca Al Quran, adzan, malah kalau lagi Ramadhan, mereka diberi kesempatan untuk memberikan kuliah subuh. Kalau ada peringatan 1 Muharam, kami piknik jalan kaki ke tempat-tempat yang jauh untuk merasakan lelahnya hijrah.  Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, kalau ada rezeki, baik makanan atau uang, kita biasa berbagi. Saling mengunjungi tempat tinggal masing-masing, saling kenal keluarga adalah hal yang biasa. Kalau ada peringatan tujuh belasan, mereka pun ikut manggung, bernyanyi.

            Tidak ada yang rasis, paling anak kecil yang suka guyon bilang, “Adolf Kabo!”

            Adolf Kabo itu adalah pemain sepak bola dari Manokwari, Irian Jaya yang sangat terkenal saat itu.

            Teman-teman Papua saya nggak ada yang marah, paling balik teriak, “Apa kamu! Adolf Kabo apa?”

            Kalau teman-teman sebaya saya memang guyonnya suka main bahasa fisik, misalnya, kata-kata guyonan Si Hitam karena memang kulitnya hitam. Itu sama nilainya dengan sebutan-sebutan ke teman-teman yang suku Sunda, Jawa, Batak, atau yang lainnya, seperti, Si Kontet atau Si Kate pada teman yang tubuhnya pendek; Si Embe Galing pada yang rambutnya keriting; Si Akew sama yang matanya sipit; Si Gantar sama yang  tubuhnya tinggi kurus; Si Tunduh sama yang mudah ngantuk; Si Botak atau Si Pitak sama yang memang botak atau pitak; Si Ule sama yang kulitnya putih kayak bule; Si Huntu sama yang giginya besar; Si Pesek sama yang memang hidungnya pesek. Saya sendiri disebut Si Peot karena saya kurusnya bukan main, malah kadang-kadang saya disebut Si Tiang Listrik karena kata teman-teman, antara saya dengan tiang listrik dari besi itu sama kurusnya. Demikian juga, kadang disebut sukunya, misalnya, Si Batak, Si Jawa, Si Padang. Malah, kadang disebut pula pulaunya, seperti, Si Sulawesi, Si Kalimantan, Si Madura.

            Sebutan-sebutan itu biasa. Lumrah. Kalaupun itu disebut rasis, bolehlah diistilahkan dengan “rasis ringan”. Meskipun biasa, sebaiknya sebutan-sebutan itu sudah harus dikurangi, bahkan dihilangkan karena tetap saja sebutan-sebutan stereotip semacam itu menimbulkan kesan merendahkan dan sedikit melukai perasaan orang.

            Pendek kata, teman-teman Papua saya orang baik dan bisa membaur dengan yang lainnya dan tidak ada masalah yang berarti. Kami terbiasa saling bantu.

            Hanya satu orang Papua yang benar-benar brengsek. Saya juga nggak mau kenal sama dia. Soalnya, dia mainnya sama preman, mabuk-mabukkan, berkelahi. Kalau ada panggung hiburan, bikin ribut bareng teman-teman premannya yang bersuku Sunda, Jawa, atau Batak. Mereka gemar nakut-nakutin orang. Matinya juga dia di sawah karena habis minum-minuman keras, makan katak sawah. Mungkin Polsek Ciwastra, Bandung masih punya catatan peristiwanya.

            Sengaja saya ceriterakan hal itu karena ingin menunjukkan bahwa manusia itu sama saja, ada yang baik, sangat baik, brengsek, bahkan sangat brengsek. Hal itu tidak ada hubungannya dengan asal suku.

            Sekarang, saya punya murid-murid dari Papua, mahasiswa Universitas Al Ghifari, Bandung. Bagi saya, tidak ada bedanya anak-anak Papua dengan murid-murid yang berasal dari Nias, Bali, Lampung, Thailand, Jawa, Sunda, atau yang lainnya. Mereka semua sama, tidak ada bedanya. Saya memperlakukan mereka sama. Jika mereka rajin kuliah, mengerjakan tugas, ikut ujian, mematuhi perintah saya, tidak bikin masalah, semuanya baik-baik saja. Jika mereka malas dan atau berperilaku tidak terpuji, berarti mereka bikin masalah sama saya. Mereka harus berhadapan dengan saya. Urusan tidak akan selesai jika menghindari saya. Patuhi saya, urusan bisa segera beres. Hal itu saya lakukan terhadap semua mahasiswa saya dari mana pun mereka berasal, apa pun suku mereka, apa pun warna kulit mereka, apa pun agama mereka. Saya tidak pernah membedakan mereka atas dasar agama atau ras. Hal yang membedakan mereka ya perilaku diri mereka sendiri. Saya hanya melihat mereka serius atau tidak dalam mengikuti pelajaran yang saya berikan.

            Soal mahasiswa dari Papua, memang ada hal yang sedikit mengganjal, yaitu soal pembauran. Berdasarkan yang saya perhatikan, mereka lebih suka berkelompok dengan sesama teman-temannya yang berasal dari Papua dan kurang membaur dengan teman-temannya dari suku lainnya. Entah kenapa. Saya memang hanya memperhatikan dan belum melakukan penelitian. Teman-temannya yang berasal dari berbagai suku tampak lebih mudah berbaur.

            Meskipun demikian, saya tidak melihat ada permasalahan atau perselisihan di antara mahasiswa. Semuanya biasa-biasa saja, normal. Akan tetapi, memang kurang membaur. Saya tidak melihat adanya penolakan dari mahasiswa yang berasal dari suku-suku lain. Semua baik-baik saja. Dugaan saya mereka kurang membaur mungkin disebabkan informasi-informasi tentang kehidupan yang mereka dapatkan tidak sebanding. Kita tahu bahwa di Bandung atau kota-kota besar di Pulau Jawa relatif jauh lebih banyak pusat-pusat informasi dibandingkan dengan di Papua, seperti, toko buku, perpustakaan, forum-forum diskusi, seminar, ragam organisasi dan aktivitas kepemudaan, serta ruang-ruang publik yang memungkinkan bertemunya berbagai perbedaan. Dengan kurang seimbangnya ragam informasi sosial yang didapatkan, kemungkinan terjadi hambatan dalam komunikasi. Itulah yang memungkinkan adanya hambatan dalam pembauran. Akan tetapi, itu baru dugaan yang masih harus diteliti.

            Meskipun demikian, kita tidak perlu berkecil hati karena masalah seperti ini pernah dialami berkali-kali dan semuanya bisa dilewati dengan baik. Misalnya, dulu orang Batak, Ambon, Padang, atau lainnya memiliki masalah yang hampir sama dengan yang dialami saudara-saudara dari Papua, yaitu kurang sebandingnya informasi, bahkan diperparah dengan adanya benturan kebiasaan hidup antara di tempat asalnya dengan di perantauan yang jelas berbeda. Bukan hanya ujaran-ujaran kebencian yang bernada Sara yang merebak di masyarakat, melainkan pula sampai menjadi tindakan-tindakan kriminal, misalnya, pengeroyokan, pelemparan batu ke kaca-kaca dan genteng rumah, pembakaran mobil suku tertentu, pembubaran tempat-tempat berdagang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan kesadaran masyarakat sendiri tentang pentingnya pembauran, konflik-konflik yang dulu ada kini jauh berkurang, bahkan hampir tidak ada. Pembauran tersebut dipermulus dengan adanya pernikahan antarsuku sehingga perbedaan pun semakin menipis.

            Saya sangat optimis bahwa saudara-saudara dari Papua pun akan lebih mudah berbaur dengan masyarakat lain seiring perjalanan waktu dan kesadaran seluruh masyarakat Indonesia sendiri.

            Pembauran akan lebih mudah jika kita memiliki banyak kesamaan. Kalau dulu ketika saya masih SMA mudah sekali bergaul dengan orang-orang Papua karena memiliki kesamaan yang kuat, yaitu sama-sama muslim.  Sekarang pun sebetulnya bisa ditemukan banyak kesamaan untuk membaur, misalnya, sama-sama menuntut ilmu, sama-sama warga NKRI, sama-sama ingin membangun masyarakat, sama-sama ingin mengejar ketertinggalan, atau kesamaan-kesamaan lainnya.

            Saya sungguh sangat menyukai kalimat yang disampaikan Lenis Kogoya, Ketua Adat Masyarakat Papua yang juga Staf Khusus Presiden RI Bidang Papua, “Orang Pulau Jawa harus menjadi orang tua bagi orang Papua. Orang Papua harus menjadi anak bagi orang-orang Pulau Jawa.”

            Hal tersebut sungguh indah. Orang-orang Pulau Jawa sebagai orang tua harus mengajari, mengasihi, dan melindungi orang-orang Papua. Demikian pula orang-orang Papua sebagai anak harus mau menghormati orang-orang Pulau Jawa. Dengan demikian, pembauran dapat terjadi dan pembangunan di Indonesia akan lebih merata jika banyak generasi muda dari setiap suku dan pulau yang memiliki pendidikan lebih baik dalam hal akademis maupun penyesuaian perilaku. Insyaallah.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment