Thursday, 8 August 2019

Ijtima Ulama IV, Biasa Aja Tuh


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Keluarnya Ijtima Ulama IV pada Senin, 5 Agustus 2019 tidak perlu ditanggapi terlalu serius, biasa saja. Hal itu disebabkan kedelapan butir isinya juga biasa-biasa saja. Normal, wajar, bagus. Itu kan cuma aspirasi.

            Kalaupun ada yang bersikap terlalu reaktif, mereka hanya kaget. Mereka terkejut karena terkait Ijtima Ulama IV itu digunakan istilah atau bahasa yang sangat tidak akrab meskipun sebenarnya biasa-biasa saja. Misalnya, NKRI Bersyariah, Penegakkan Khilafah, serta Pemulangan Habib Rizieq Shihab.

            Dalam butir 3.6. disebutkan mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi. Itu cukup mengagetkan, tetapi sebenarnya biasa saja. NKRI memang sudah bersyariah dari dulu juga. Pengertian sederhana dari syariah itu kan “peraturan yang digunakan untuk kemaslahatan umat”. Indonesia kan sudah dipenuhi banyak syariah yang dimaksudkan bagi kemaslahatan umat. Contoh kecil yang diungkapkan K.H. Marsudi Syuhud kan jelas bahwa rambu-rambu lalulintas itu peraturan yang dimaksudkan untuk kemaslahatan umat.

            Soal ayat suci di atas ayat konstitusi itu juga jelas tidak bermasalah. Setiap kitab suci agama mana pun akan dianggap umatnya sebagai ayat-ayat sangat tinggi, bahkan paling tinggi karena merupakan hal yang paling dekat dengan Tuhan-nya. Akan tetapi, jika ingin diterapkan menjadi hukum positif dalam hubungan sosial dan menjadi aturan negara, harus disepakati dulu secara konstitusi untuk kemudian disahkan menjadi aturan negara. Hal itu normal, wajar, aspirasi yang bagus.

            Dalam butir 3.5. Ijtima Ulama IV itu disebutkan menghentikan agenda pembubaran Ormas Islam dan stop kriminalisasi ulama. Serta memulangkan Habib Rizieq Shihab tanpa syarat apapun. Hal ini juga mungkin cukup mengejutkan, tetapi sebenarnya, biasa saja.

            Memang Ormas Islam tidak boleh dibubarkan sepanjang mereka mau bekerja sama untuk membangun bangsa dalam koridor pilar-pilar bangsa serta mematuhi kesepakatan berbangsa dan bernegara, seperti, Proklamasi RI, Pembukaan UUD 1945, Pancasila, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Jika tidak bisa bekerja sama dengan baik, memang tidak boleh ada di Indonesia. Kalau ada pemikiran lain, boleh saja jika sekedar perdebatan dalam ilmu pengetahuan, tetapi akan menjadi persoalan serius jika sudah menggunakan massa untuk melakukan goncangan terhadap bangsa serta mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

            Tentang kriminalisasi ulama, memang tidak boleh terjadi. Kriminalisasi itu kan upaya untuk memaksakan tuduhan kriminal kepada seseorang atau kelompok tanpa bukti yang nyata. Berbeda jika ada seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan kriminal dan terbukti nyata pelanggaran hukumnya, memang harus diproses hukum, siapa pun dia, termasuk mereka yang diklaim sebagai ulama. Ini normal. Hukum harus ditegakkan. Yang benar harus dihargai, dihormati. Yang bersalah harus bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuatnya.

            Soal pemulangan Rizieq Shihab, tidak perlu dipermasalahkan. Rizieq memang harus pulang ke Indonesia. Banyak orang yang merindukannya, para pecinta Rizieq sangat banyak. Demikian pula orang-orang yang melaporkan Rizieq ke kepolisian. Mereka berharap Rizieq Shihab segera menyelesaikan kasus-kasus hukumnya. Ada banyak orang yang melaporkan Rizieq Shihab. Baru dua kasus yang sudah selesai dan Rizieq dinyatakan terbukti tidak bersalah, kalau tidak salah adalah kasus chat porno dan penghinaan terhadap Pancasila. Kedua kasus itu sudah selesai. Selebihnya, masih banyak kasus, misalnya, soal campur racun, penghinaan pada Soekarno, dan lambang PKI di uang kertas. Habib Rizieq Shihab memang harus segera pulang.

            Dalam salah satu poin pertimbangan Ijtima Ulama IV disebutkan adanya kewajiban untuk penegakkan khilafah. Ini juga mengagetkan. Akan tetapi, apabila pengertian khilafah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Sekjen FPI Munarman dan K.H. Marsudi Syuhud yang kemudian diamini oleh Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, sebenarnya biasa-biasa saja. Munarman mencontohkan khilafah itu dengan Organisasi Konferensi Islam (Oki), berbagai negara mayoritas muslim bersama-sama bekerja untuk kepentingan umat Islam sedunia. Munarman tidak mempermasalahkan pemimpinnya berstatus sebagai raja, perdana menteri, atau presiden. Demikian pula K.H. Marsudi Syuhud menegaskan bahwa apabila pengertian khilafah ini termasuk juga NKRI, boleh saja. Intinya, jika pemahaman khilafah ini adalah pemerintahan yang dipimpin oleh kepala negara muslim yang bertujuan untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin, itu sangat bagus dan harus dilanjutkan.

            Berbeda jika pemahaman khilafah ini ditujukan untuk mengubah NKRI menjadi sistem pemerintahan sebagaimana kekhalifahan yang telah hancur di Turki, ini akan menjadi masalah serius. Akan tetapi, tidak mengapa jika hanya sekedar perdebatan dalam ilmu pengetahuan. Jika sudah menggerakkan orang untuk membuat keributan dan gangguan keamanan, perilaku ini cenderung mengarah pada makar terhadap pemerintahan yang sah.

            Ijtima Ulama IV biasa saja, jangan terlalu berlebihan menyikapinya.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment