oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang
Surya
Keluarnya Ijtima Ulama IV pada Senin, 5 Agustus 2019 tidak perlu
ditanggapi terlalu serius, biasa saja. Hal itu disebabkan kedelapan butir
isinya juga biasa-biasa saja. Normal, wajar, bagus. Itu kan cuma aspirasi.
Kalaupun ada
yang bersikap terlalu reaktif, mereka hanya kaget. Mereka terkejut karena terkait
Ijtima Ulama IV itu digunakan istilah atau bahasa yang sangat tidak akrab
meskipun sebenarnya biasa-biasa saja. Misalnya, NKRI Bersyariah, Penegakkan
Khilafah, serta Pemulangan Habib Rizieq Shihab.
Dalam butir 3.6.
disebutkan mewujudkan NKRI yang syariah
dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi. Itu cukup mengagetkan,
tetapi sebenarnya biasa saja. NKRI memang sudah bersyariah dari dulu juga.
Pengertian sederhana dari syariah itu kan “peraturan yang digunakan untuk
kemaslahatan umat”. Indonesia kan sudah dipenuhi banyak syariah yang
dimaksudkan bagi kemaslahatan umat. Contoh kecil yang diungkapkan K.H. Marsudi
Syuhud kan jelas bahwa rambu-rambu lalulintas itu peraturan yang dimaksudkan
untuk kemaslahatan umat.
Soal ayat suci
di atas ayat konstitusi itu juga jelas tidak bermasalah. Setiap kitab suci
agama mana pun akan dianggap umatnya sebagai ayat-ayat sangat tinggi, bahkan
paling tinggi karena merupakan hal yang paling dekat dengan Tuhan-nya. Akan
tetapi, jika ingin diterapkan menjadi hukum positif dalam hubungan sosial dan
menjadi aturan negara, harus disepakati dulu secara konstitusi untuk kemudian
disahkan menjadi aturan negara. Hal itu normal, wajar, aspirasi yang bagus.
Dalam butir 3.5.
Ijtima Ulama IV itu disebutkan menghentikan
agenda pembubaran Ormas Islam dan stop kriminalisasi ulama. Serta memulangkan
Habib Rizieq Shihab tanpa syarat
apapun. Hal ini juga
mungkin cukup mengejutkan, tetapi sebenarnya, biasa saja.
Memang Ormas Islam tidak boleh
dibubarkan sepanjang mereka mau bekerja sama untuk membangun bangsa dalam
koridor pilar-pilar bangsa serta mematuhi kesepakatan berbangsa dan bernegara,
seperti, Proklamasi RI, Pembukaan UUD 1945, Pancasila, Sumpah Pemuda, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI. Jika tidak bisa bekerja sama dengan baik, memang tidak
boleh ada di Indonesia. Kalau ada pemikiran lain, boleh saja jika sekedar
perdebatan dalam ilmu pengetahuan, tetapi akan menjadi persoalan serius jika
sudah menggunakan massa untuk melakukan goncangan terhadap bangsa serta
mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Tentang kriminalisasi ulama, memang
tidak boleh terjadi. Kriminalisasi itu kan upaya untuk memaksakan tuduhan
kriminal kepada seseorang atau kelompok tanpa bukti yang nyata. Berbeda jika
ada seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan kriminal dan terbukti nyata
pelanggaran hukumnya, memang harus diproses hukum, siapa pun dia, termasuk
mereka yang diklaim sebagai ulama. Ini normal. Hukum harus ditegakkan. Yang
benar harus dihargai, dihormati. Yang bersalah harus bertanggung jawab atas kesalahan
yang diperbuatnya.
Soal pemulangan Rizieq Shihab, tidak
perlu dipermasalahkan. Rizieq memang harus pulang ke Indonesia. Banyak orang
yang merindukannya, para pecinta Rizieq sangat banyak. Demikian pula
orang-orang yang melaporkan Rizieq ke kepolisian. Mereka berharap Rizieq Shihab
segera menyelesaikan kasus-kasus hukumnya. Ada banyak orang yang melaporkan
Rizieq Shihab. Baru dua kasus yang sudah selesai dan Rizieq dinyatakan terbukti
tidak bersalah, kalau tidak salah adalah kasus chat porno dan penghinaan
terhadap Pancasila. Kedua kasus itu sudah selesai. Selebihnya, masih banyak
kasus, misalnya, soal campur racun,
penghinaan pada Soekarno, dan lambang
PKI di uang kertas. Habib Rizieq Shihab memang harus segera pulang.
Dalam salah satu poin pertimbangan Ijtima
Ulama IV disebutkan adanya kewajiban untuk penegakkan khilafah. Ini juga
mengagetkan. Akan tetapi, apabila pengertian khilafah ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh Sekjen FPI Munarman dan K.H. Marsudi Syuhud yang kemudian
diamini oleh Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, sebenarnya biasa-biasa saja.
Munarman mencontohkan khilafah itu dengan Organisasi Konferensi Islam (Oki),
berbagai negara mayoritas muslim bersama-sama bekerja untuk kepentingan umat
Islam sedunia. Munarman tidak mempermasalahkan pemimpinnya berstatus sebagai
raja, perdana menteri, atau presiden. Demikian pula K.H. Marsudi Syuhud
menegaskan bahwa apabila pengertian khilafah ini termasuk juga NKRI, boleh
saja. Intinya, jika pemahaman khilafah ini adalah pemerintahan yang dipimpin
oleh kepala negara muslim yang bertujuan untuk kemuliaan Islam dan kaum
muslimin, itu sangat bagus dan harus dilanjutkan.
Berbeda jika pemahaman khilafah ini
ditujukan untuk mengubah NKRI menjadi sistem pemerintahan sebagaimana kekhalifahan
yang telah hancur di Turki, ini akan menjadi masalah serius. Akan tetapi, tidak
mengapa jika hanya sekedar perdebatan dalam ilmu pengetahuan. Jika sudah
menggerakkan orang untuk membuat keributan dan gangguan keamanan, perilaku ini
cenderung mengarah pada makar terhadap pemerintahan yang sah.
Ijtima Ulama IV biasa saja, jangan
terlalu berlebihan menyikapinya.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment