Thursday, 5 September 2019

Perbandingan Rasis di Indonesia dan Afrika Selatan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Soal rasisme memang hingga hari ini terus terjadi pada berbagai belahan dunia ini. Saya sendiri pernah jadi korban sikap rasis, beruntung Allah swt memberikan saya pengetahuan yang bisa membalikkan keadaan. Sedikit ceritera soal diri saya. Beberapa tahun lalu ketika ramai sekali ribut soal gerakan Isis yang bebarengan dengan pemilihan walikota London, Inggris, ditambah huru-hara Brexit, seorang ateis London bertanya kepada saya soal pakaian hijab bagi perempuan muslim Indonesia. Ngobrolnya sih pake bahasa Inggris, tetapi saya terjemahkan saja di sini.

            Saya menjawab pertanyaan dia dengan jawaban sangat sederhana, “Pakaian hijab itu untuk melindungi perempuan dari pandangan syahwat pria-pria yang berlebihan.”

            Si Ateis membantah, “Kalau begitu, kalian curang. Kalian menyiksa wanita seperti itu gara-gara para lelaki kalian sangat lemah, tidak bisa menahan hawa nafsunya.”

            Agak emosi juga sedikit saya atas bantahan Si Ateis, saya tantang saja sekalian dia, “Mau bukti? Kita berbicara data saja. Kamu bawa data kasus perkosaan dan pelecehan seksual di Kota London. Aku bawa data kasus perkosaan dan pelecehan seksual dari Poltabes Bandung. Kita lihat mana kota yang lebih banyak kasus perkosaan dan pelecehan seksual itu. Kalau kasusnya lebih banyak di Bandung, kamu benar. Kalau kasusnya lebih banyak di London, aku yang benar.”

            Si Ateis tidak berani berbicara data. Malahan, dia menjawab dengan kalimat yang rasis dan merendahkan saya.

            Dia bilang, “Kamu tidak pantas berbicara denganku. Kamu hanya manusia yang berasal dari dunia ketiga. Kamu tidak selevel denganku.”

            Saya jawab saja, “Kalian memang rasis! Kalau aku tidak pantas berbicara dengan kamu, kenapa kamu bertanya kepadaku? Kamu yang memulai perdebatan, tetapi kamu tidak berani berbicara data. Kamu hanya bersembunyi dalam kalimat rasis kampungan.”

            Perdebatan pun berhenti sampai di situ. Dia tidak berbicara apa-apa lagi. Tampaknya, dia takut berbicara data yang bisa diukur dengan angka yang jelas.

            Sengaja saya ceriterakan hal itu untuk menunjukkan bahwa sikap rasis masih ada di dunia ini. Kita harus melawannya.

            Di Indonesia sikap rasis yang terjadi baru-baru ini yang membawa demonstrasi di Papua dan Papua Barat bisa dikategorikan ringan, yaitu hanya berupa kata-kata kotor, tidak terdidik, tidak sopan, dan tidak beretika. Meskipun ringan, tetap saja itu rasisme yang tidak perlu terjadi.

            Berbeda dengan yang terjadi di Afrika Selatan. Rasisme di Afrika Selatan sangat mengerikan dengan adanya “politik apartheid”, yaitu pemisahan ras antara kulit putih dengan kulit hitam. Dengan politik seperti itu, orang kulit hitam dilarang memiliki tanah atau rumah di luar wilayah yang telah ditentukan, kepemilikan mereka dibatasi; tempat tinggal warga kulit putih dan kulit hitam dipisahkan, tidak boleh berbaur; orang kulit hitam harus didaftar dengan ketat sesuai sukunya masing-masing. Di samping itu, masih ada perbedaan perlakuan berdasarkan klasifikasi bangsa, misalnya, Eropa, Afrika, Melayu, dan Asia. Hal itu jelas membuat ketidakadilan dalam hal sosial dan ekonomi. Warga kulit hitam benar-benar termarjinalisasi dan tersubordinasi.

            Meskipun demikian, warga kulit hitam tidak menyerah. Mereka melawan di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemimpin mereka, Nelson Mandela, ditangkap dan dipenjara selama 31 tahun. Akan tetapi, karena perjuangan mereka tidak berhenti, mereka pun berhasil mengubah situasi dan kondisi. Segala peraturan yang diskrimanatif dihapuskan. Hal itu membuat keadaan jauh lebih baik dan menekan seminimal mungkin sikap rasis. Nelson Mandela pun berhasil menjadi presiden.

            Belajar dari hal itu warga Papua harus mampu menunjukkan prestasi, kreasi, dan potensi diri bahwa dirinya bukan kelas rendahan, melainkan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Bahkan, harus memiliki semangat untuk dapat berprestasi melebihi warga lainnya sehingga terjadi persaingan yang sehat di antara sesama warga bangsa untuk kemajuan Indonesia bersama. Di samping itu, seluruh warga Negara Indonesia dari ribuan pulau, ribuan suku, ribuan bahasa, dan ratusan agama ini harus tetap berpegang pada “Bhineka Tunggal Ika”, ‘berbeda-beda, tetapi satu jua’. Kita memang berbeda, tetapi satu dalam satu tujuan, yaitu “mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang makmur lahir dan makmur batin berdasarkan Pancasila”.

            Sampurasun.

2 comments: