oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Soal rasisme memang hingga
hari ini terus terjadi pada berbagai belahan dunia ini. Saya sendiri pernah
jadi korban sikap rasis, beruntung Allah swt memberikan saya pengetahuan yang
bisa membalikkan keadaan. Sedikit ceritera soal diri saya. Beberapa tahun lalu
ketika ramai sekali ribut soal gerakan Isis yang bebarengan dengan pemilihan
walikota London, Inggris, ditambah huru-hara Brexit, seorang ateis London
bertanya kepada saya soal pakaian hijab bagi perempuan muslim Indonesia. Ngobrolnya
sih pake bahasa Inggris, tetapi saya terjemahkan saja di sini.
Saya menjawab pertanyaan dia dengan jawaban sangat
sederhana, “Pakaian hijab itu untuk melindungi perempuan dari pandangan syahwat
pria-pria yang berlebihan.”
Si Ateis membantah, “Kalau begitu, kalian curang. Kalian menyiksa
wanita seperti itu gara-gara para lelaki kalian sangat lemah, tidak bisa
menahan hawa nafsunya.”
Agak emosi juga sedikit saya atas bantahan Si Ateis, saya
tantang saja sekalian dia, “Mau bukti? Kita berbicara data saja. Kamu bawa data
kasus perkosaan dan pelecehan seksual di Kota London. Aku bawa data kasus
perkosaan dan pelecehan seksual dari Poltabes Bandung. Kita lihat mana kota yang
lebih banyak kasus perkosaan dan pelecehan seksual itu. Kalau kasusnya lebih
banyak di Bandung, kamu benar. Kalau kasusnya lebih banyak di London, aku yang
benar.”
Si Ateis tidak berani berbicara data. Malahan, dia
menjawab dengan kalimat yang rasis dan merendahkan saya.
Dia bilang, “Kamu tidak pantas berbicara denganku. Kamu
hanya manusia yang berasal dari dunia ketiga. Kamu tidak selevel denganku.”
Saya jawab saja, “Kalian memang rasis! Kalau aku tidak
pantas berbicara dengan kamu, kenapa kamu bertanya kepadaku? Kamu yang memulai
perdebatan, tetapi kamu tidak berani berbicara data. Kamu hanya bersembunyi
dalam kalimat rasis kampungan.”
Perdebatan pun berhenti sampai di situ. Dia tidak
berbicara apa-apa lagi. Tampaknya, dia takut berbicara data yang bisa diukur
dengan angka yang jelas.
Sengaja saya ceriterakan hal itu untuk menunjukkan bahwa
sikap rasis masih ada di dunia ini. Kita harus melawannya.
Di Indonesia sikap rasis yang terjadi baru-baru ini yang
membawa demonstrasi di Papua dan Papua Barat bisa dikategorikan ringan, yaitu
hanya berupa kata-kata kotor, tidak terdidik, tidak sopan, dan tidak beretika.
Meskipun ringan, tetap saja itu rasisme yang tidak perlu terjadi.
Berbeda dengan yang terjadi di Afrika Selatan. Rasisme di
Afrika Selatan sangat mengerikan dengan adanya “politik apartheid”, yaitu pemisahan ras antara kulit putih dengan
kulit hitam. Dengan politik seperti itu, orang kulit hitam dilarang memiliki
tanah atau rumah di luar wilayah yang telah ditentukan, kepemilikan mereka
dibatasi; tempat tinggal warga kulit putih dan kulit hitam dipisahkan, tidak
boleh berbaur; orang kulit hitam harus didaftar dengan ketat sesuai sukunya
masing-masing. Di samping itu, masih ada perbedaan perlakuan berdasarkan
klasifikasi bangsa, misalnya, Eropa, Afrika, Melayu, dan Asia. Hal itu jelas
membuat ketidakadilan dalam hal sosial dan ekonomi. Warga kulit hitam
benar-benar termarjinalisasi dan tersubordinasi.
Meskipun demikian, warga kulit hitam tidak menyerah.
Mereka melawan di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemimpin mereka, Nelson
Mandela, ditangkap dan dipenjara selama 31 tahun. Akan tetapi, karena
perjuangan mereka tidak berhenti, mereka pun berhasil mengubah situasi dan
kondisi. Segala peraturan yang diskrimanatif dihapuskan. Hal itu membuat
keadaan jauh lebih baik dan menekan seminimal mungkin sikap rasis. Nelson
Mandela pun berhasil menjadi presiden.
Belajar dari hal itu warga Papua harus mampu menunjukkan
prestasi, kreasi, dan potensi diri bahwa dirinya bukan kelas rendahan,
melainkan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga Negara Indonesia
lainnya. Bahkan, harus memiliki semangat untuk dapat berprestasi melebihi warga
lainnya sehingga terjadi persaingan yang sehat di antara sesama warga bangsa
untuk kemajuan Indonesia bersama. Di samping itu, seluruh warga Negara
Indonesia dari ribuan pulau, ribuan suku, ribuan bahasa, dan ratusan agama ini
harus tetap berpegang pada “Bhineka
Tunggal Ika”, ‘berbeda-beda, tetapi satu jua’. Kita memang berbeda, tetapi
satu dalam satu tujuan, yaitu “mewujudkan
manusia Indonesia seutuhnya yang makmur lahir dan makmur batin berdasarkan
Pancasila”.
Sampurasun.
Thanks for share..
ReplyDeleteYou welcome
Delete