oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Setiap hari kita menyaksikan
berita pro-kontra tentang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut yang
setuju dengan UU KPK hasil revisi, KPK dianggap kurang berhasil memberantas
korupsi di Indonesia, organisasinya tidak tertib, dan cenderung melanggar Ham. Hal
itu bisa dilihat dari semakin banyaknya koruptor dan semakin beraninya para
koruptor untuk melakukan korupsi. Hal itu menandakan bahwa KPK tidak berhasil
dalam melakukan upaya pencegahan korupsi. Jika pencegahan berhasil, koruptor seharusnya
berkurang. Bahkan, muncul tuduhan bahwa KPK sesungguhnya sudah terkontaminasi
oleh para koruptor besar. Kemudian, KPK pun dianggap sewenang-wenang melakukan
penyadapan tanpa kontrol. Di samping itu, KPK dianggap melanggar Ham karena orang yang sudah
meninggal pun statusnya masih dianggap tersangka. Oleh sebab itu, diperlukan
berbagai perubahan dalam tubuh KPK sehingga terjadi perbaikan dan peningkatan
dalam pemberantasan korupsi, terutama dalam upaya pencegahan korupsi. Dengan
demikian, koruptor menjadi berkurang dan upaya penangkapan pun berkurang karena
koruptornya berkurang. Itulah yang dimaksud KPK berhasil sukses jika semakin
sedikit orang yang ditangkap gara-gara korupsi.
Berbeda menurut orang yang tidak setuju terhadap UU KPK
sekarang. Mereka menganggap bahwa revisi UU KPK adalah sebagai upaya pelemahan
terhadap KPK dalam memberantas korupsi. Mereka menuding bahwa revisi UU KPK
adalah upaya yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk melindungi
kolega-koleganya yang terlibat perilaku korupsi. Hal itu ditunjukkan dengan
fakta-fakta bahwa memang banyak anggota dewan yang korup, bahkan pimpinannya
pun dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melakukan korupsi.
Masih ingat kan kasus Setya Novanto beserta anggota DPR
lainnya?
Kalau diperhatikan, baik yang pro maupun yang kontra
terhadap UU KPK, secara lahiriah sama-sama ingin meningkatkan kualitas kerja
KPK dalam memberantas perilaku korupsi. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam
batin mereka karena susah kalau membaca batin itu. Semua sama-sama tampak ingin
mendorong KPK lebih berhasil dalam menangani korupsi dibandingkan pada
masa-masa yang telah lewat. Meskipun demikian, baik yang pro maupun yang kontra
masih sama-sama berada di dalam dunia khayal. Mereka yang pro terhadap revisi
UU KPK berkhayal bahwa UU KPK yang baru disahkan itu akan meningkatkan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Demikian pula mereka yang anti-revisi UU
KPK berkhayal bahwa UU KPK yang baru disahkan itu akan membuat KPK menjadi
lemah dalam memberantas korupsi.
Mereka semua masih dalam dunia khayal kok. Mereka masih
berkhayal, berangan-angan sesuai kehendak mereka masing-masing. Mereka yang pro
berkhayal, yang anti pun berkhayal. Masih pada melamun, berangan-angan.
Kalau sama-sama ingin meningkatkan kinerja KPK lebih baik
lagi, uji saja pelaksanaan UU KPK yang baru disahkan itu. Caranya, jalankan
saja UU KPK itu, lalu kita perhatikan dalam satu atau dua tahun hasilnya.
Apakah tindakan korupsi berkurang atau
malah semakin menggila?
Kalau perilaku korup semakin berkurang dan Indonesia
semakin bersih dari korupsi, itu namanya revisi UU KPK berhasil meningkatkan
kualitas KPK. Sebaliknya, jika tindakan korup semakin menggila, berarti UU KPK hasil
revisi itu gagal.
Kalau tidak diuji seperti itu, kita bakalan terus-terusan
berada dalam dunia khayalan. Ribut gara-gara khayalan.
Kalau berhasil, tingkatkan lagi dan lagi. Kalau gagal,
ubah lagi UU KPK itu, revisi lagi, atau kembalikan ke UU KPK yang lama.
Begitu Bro.
Uji dulu dengan pelaksanaan yang nyata dengan komisioner
KPK yang terbaru. Jangan berkelahi gara-gara khayalan. Orang Sunda bilang “Eta mah sarua jeung parebut pepesan kosong”.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment