Saturday 5 October 2019

Demo Damai Berhasil


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Masyarakat dan mahasiswa tidak perlu ingin mengulang “demonstrasi dahsyat 1998”. Cukup satu kali kita menggulingkan pemerintahan dengan cara seperti itu. Memang saat itu kondisinya mengharuskan “siap mati”. Pemerintahan Soeharto sangat represif, rakyat tidak boleh bicara berbeda dengan pemerintah, orang bisa hilang tiba-tiba (oleh sebab itu lahir KontraS), korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) menjamur di mana-mana, kekuasaan politik sentralistik, semua orang dibungkam, tuduhan PKI mudah sekali keluar (siswa kesiangan saja disebut PKI, orang joget depan panggung aja disebut PKI), kekuasaan militer, polisi, lembaga pendidikan sangat dikuasai dan sangat menakutkan rakyat, jarak Si Miskin dan Si Kaya sangat lebar. Ujungnya, krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi, kemudian meluas krisis multidimensi. Tak bisa dihindari bahwa darah harus tertumpah dan nyawa harus hilang. Cukup satu kali dan tidak boleh ada lagi. Kalau mau menggulingkan pemerintahan sekarang, gunakan cara-cara yang konstitusional. Itu sah.

            Kalau mau demonstrasi, ya demonstrasi saja. Itu hak dan dilindungi undang-undang, tetapi jangan anarkis, memprovokasi aparat  untuk tawuran. Sampaikan melalui orasi atau aksi teatrikal. Itu bagus. Saya juga dulu begitu kok. Demonstrasi damai dan berhasil. Paling tidak, kalau tidak salah, saya ikut tiga kali demonstrasi dengan isu besar, yaitu soal penghapusan perjudian, penghentian pembantaian muslim Bosnia oleh militer Serbia-Kroasia, dan penyelesaian pembantaian terhadap muslim Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar. Dua berhasil, soal perjudian dan pembantaian muslim Bosnia. Satu lagi soal Rohingya belum berhasil hingga hari ini. Demonstrasinya damai, tidak ada saling pukul dengan polisi. Tidak ada saling maki atau saling hina. Malah polisi menjaga agar demonstrasi bisa berjalan, lalu lintas tetap tidak terganggu.

            Mungkin masih banyak yang ingat bahwa dulu di Indonesia marak sekali dengan perjudian. Setiap hari dan setiap minggu orang-orang pasang nomor judi, hiburan katanya. Nama perjudiannya “Porkas” yang berasal dari bahasa Inggris “Forecast”, artinya ‘dugaan’ atau ‘ramalan’. Akan tetapi, banyak penentangan dari para ulama, kiyai ustadz, dai, atau mubaligh. Akhirnya, pemerintah mengganti namanya menjadi Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Dalih adanya perjudian itu untuk membiayai kegiatan olah raga di Indonesia, seperti, sepakbola, bulutangkis, atletik, dan catur. Malah, sebagian pejabat ada  yang mengatakan bahwa itu bukan judi, melainkan sumbangan. Kami, mahasiswa, berpendapat kalau judulnya sumbangan, ya jangan pakai embel-embel “berhadiah”. Orang pikirannya bukan mau menyumbang, tetapi ingin mendapatkan hadiah. Itulah judi. Haram.

            Demonstrasinya damai. Orasi di depan aula kampus Universitas Padjadjaran Bandung, lalu ke luar sambil teriak-teriak di Jln. Dipatiukur, Teuku Umar, H. Djuanda, Sangkuriang, Taman Sari, Ganesa, balik lagi ke kampus. Selesai. Yang punya jadwal kuliah, ya pada kuliah lagi. Empat hari sejak demonstrasi itu, pemerintah menjawab akan menghentikannya. Memang berhenti bertahap hingga hari ini tidak ada lagi perjudian yang dilakukan pemerintah dengan dalih apa pun. Kalau masih ada, perjudian itu pasti ilegal dan melanggar hukum.

            Soal pembantaian muslim Bosnia Herzegovina pun demikian. Demonstrasi dilakukan dengan damai. Mahasiswa orasi, shalawat badar, mengaji, dan siap berjihad ke Bosnia. Saya juga berusaha daftar kok untuk jihad bertaruh nyawa ke Bosnia karena memang genosida, “ethnic cleansing”, pembantaian ras, dan pembantaian muslim terjadi dengan sangat mengerikan.

            Akan tetapi, pemerintah Soeharto melarang mahasiswa untuk berjihad ke Bosnia dengan alasan yang lucu, pikaseurieun, “Jangan pergi berjihad karena mereka itu orang-orang bule. Orang Bosnia dan orang Serbia sama-sama bule, nanti tertukar. Kita sulit membedakan mereka. Nanti kita malah membunuh sesama muslim.”

            Memangnya mahasiswa itu bodoh?

            Masa berangkat dari Indonesia ke Bosnia, pas turun dari pesawat, lalu lihat orang bule langsung kita bunuh?

            Kan pastinya juga ada jaringan kerja dari Indonesia dan yang berada di Bosnia, pasti ada koordinator yang mengurus hal itu. Mereka pasti mengatur dan melakukan pembinaan, mana kawan mana lawan.

            Larangan itu membuat mahasiswa mayoritas tidak berangkat meskipun sudah ada yang berangkat juga sih. Meskipun tidak ikut berperang, saya masih ikut berpartisipasi. Saya berusaha daftar untuk mengadopsi anak-anak Bosnia korban perang. Banyak anak yang menjadi yatim piatu karena ayah dan ibunya mati dibantai. Saya berharap dapat mengadopsi anak Bosnia yang perempuan, rambutnya pirang, usianya tujuh belas tahun, cantik, tinggi, dan tubuhnya menarik hati.

            Teman saya bilang, “Kamu  mah bukan mau mengadopsi, tapi cari cewek!”

            “Memang iya, mau saya nikah. Itu juga menolong, sama-sama ibadah!” jawab saya, jujur aja.

            “Menolong kok harus sama yang cantik.”

            “Biarin.”

            Akan tetapi, tidak ada yang bisa saya adopsi. Mungkin yang cantik-cantik mah sudah sama orang lain yang ganteng dan kaya raya. Da aku mah apah atuh. Yang jelas mah bukan takdir.

            Meskipun pemerintah melarang, tetapi membuka pintu hubungan Bosnia-RI lebih dekat. Bahkan, Presiden Bosnia pun datang ke Indonesia, berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan, terutama makanan, pakaian, dan uang. Pemerintah Indonesia pun aktif membantu Bosnia di ruang-ruang internasional. Bahkan, Presiden Soeharto datang langsung ke Bosnia. Akan tetapi, ketika ia ingin ke wilayah-wilayah tempat terjadinya pembantaian, pasukan PBB tidak bisa menjamin keamanannya karena memang perang masih berlangsung. Meskipun demikian, Presiden Soeharto menguatkan rakyat Bosnia dengan membangun masjid di sana, namanya Masjid Istqlal sama dengan nama masjid nasional yang ada di Indonesia. Sampai sekarang masjidnya masih ada dan menjadi pusat aktivitas keislaman di Bosnia.

            Intinya, demonstrasi berjalan damai. Tak ada perkelahian dengan aparat, tak ada yang mati. Semua tenang dan berhasil. Bosnia kembali aman, kehidupan berjalan dengan baik. Sementara itu, para jenderal Serbia yang melakukan pembantaian didakwa sebagai “penjahat perang” dan dihukum dengan hukuman teramat berat. Kabarnya, ada yang dihukum mati. Nggak tahu juga sih, pokoknya dihukum berat.

            Demonstrasi damai ternyata berhasil. Hal itu disebabkan karena masalahnya jelas, mahasiswa mengerti jelas apa yang diperjuangkan, fakta-faktanya tidak bisa didebat, murni moral force, tak ada yang dibayar serupiah pun.

            Memang siapa yang diuntungkan secara ekonomi dengan membela Bosnia dan menghentikan perjudian?

            Itu murni “jihad fi sabilillah”. Bahkan, kita yang mengeluarkan uang untuk ongkos dan memberikan sumbangan.

            Soal tidak kebagian mengadopsi cewek bule cantik, itu mah urusan takdir.

            Ketika demonstrasi aksi membela Rohingya pun demikian, berjalan damai. Sayangnya, hingga hari ini soal Rohingya belum bisa selesai. Pembahasan soal ini mah beda lagi. Banyak peneliti yang melakukan penelitian soal sulit selesainya kasus pembantaian di Rohingya. Entar lagi soal ini mah.

            Demonstrasi itu bisa menggunakan orasi, aksi teatrikal, atau aksi lainnya yang beradab. Jangan memprovokasi aparat dan golongan masyarakat lain untuk tawuran karena jika terjadi beradu fisik, kerugian ditanggung semua.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment