Sunday 25 December 2016

Polisi Harus Lebih Cerdas, Lebih Berani, dan Jangan Mati Kutu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam mengelola perkembangan masyarakat yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, kepolisian wajib hukumnya lebih cerdas, lebih berani, dan tidak mati kutu. Masyarakat kita banyak yang sudah demikian cepat berkembang, berpikir, dan berasa sehingga semakin cerdas yang pada akhirnya menumbuhkan pemahaman-pemahaman baru dalam hidupnya. Pemahaman-pemahaman baru ini cukup rentan menimbulkan konflik bagi masyarakat yang belum siap menerimanya.

            Sulit memang membuat kalimat pembuka dalam tulisan ini. Akan tetapi, akan lebih jelas jika kita melihat contoh yang nyata terjadi di tengah masyarakat. Kita mungkin masih ingat kasus yang melibatkan Rizieq FPI. Dia memplesetkan kalimat mulia sampurasun menjadi campur racun. Hal itu menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan Ormas Sunda melaporkan Rizieq kepada polisi. Dalam menanggapi laporan itu, grup yang setia kepada Rizieq balik melaporkan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebagai telah melakukan penghinaan kepada Islam di dalam buku yang ditulis Dedi Mulyadi. Kedua laporan ini sepanjang pengetahuan saya tidak dilanjutkan prosesnya oleh pihak kepolisian. Entah apa kebijakan polisi untuk tidak meneruskannya. Tak ada berita lanjutan mengenai hal itu.

            Saya tidak ingin membahas kebijakan polisi yang tampaknya tidak meneruskan proses kedua laporan itu. Hal yang saya ingin sampaikan adalah polisi tampaknya kehilangan cara untuk menyelesaikannya dan mendiamkannya dengan harapan masyarakat melupakan kasus itu demi tetap terjaganya stabilitas keamanan masyarakat. Itu merupakan hal yang bagus, tetapi kurang bagus.

            Dari kedua laporan itu seharusnya polisi memberikan pencerahan, baik kepada para pelapor maupun kepada masyarakat luas agar menjadi pelajaran bagi semuanya. Laporan yang diajukan oleh Ormas Sunda sudah sangat jelas bisa dikategorikan laporan dugaan pelecehan terhadap orang Sunda yang dilakukan oleh Rizieq. Akan tetapi, laporan grup Rizieq tidaklah bisa disebutkan bahwa Dedi Mulyadi telah melakukan penghinaan terhadap Islam. Hal itu disebabkan beberapa poin yang dianggap penghinaan terhadap Islam oleh FPI yang dilakukan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebenarnya merupakan pemahaman-pemahaman baru mengenai hidup dan kehidupan yang kemudian dibukukan oleh Dedi Mulyadi. Persoalannya, Rizieq dan manusia-manusia seperti dia belum memahami dengan terang apa yang disampaikan oleh Dedi Mulyadi.

            Adalah sangat berbahaya jika pemahaman-pemahaman yang berkembang di masyarakat kemudian dianggap penghinaan dan pelecehan oleh sekelompok atau beberapa kelompok orang hanya karena kelompok-kelompok itu belum memahami pemahaman-pemahaman baru itu. Hal yang lebih berbahaya adalah jika perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan pengalaman hidup dan tingkat pendidikan itu harus masuk ke ruang pengadilan.

            Polisi harus lebih cerdas memilih dan memilah, mana yang benar-benar merupakan penghinaan atau pelecehan terhadap Sara sehingga harus masuk ke wilayah hukum dan mana yang merupakan perbedaan pemahaman sehingga tidak perlu masuk wilayah hukum. Perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda seharusnya tidak diselesaikan di ruang pengadilan, melainkan di ruang kelas kuliah, ruang pengkajian Islam, atau ruang-ruang yang bersifat akademis. Mengenai laporan penghinaan yang diduga dilakukan Dedi Mulyadi seharusnya diselesaikan tidak di pengadilan, melainkan di ruang ilmu pengetahuan. Misalnya, polisi bisa menyarankan Dedi Mulyadi untuk membuat acara Bedah Buku Dedi Mulyadi. Di dalam acara itulah Rizieq dan FPI-nya bisa menanyakan maksud Dedi menulis berbagai hal yang belum dipahami mereka. Kalau mau berdebat, berdebatlah dalam acara itu. Itu lebih terhormat dan terpelajar dibandingkan membuat laporan kepada polisi yang seolah-olah dirinya sudah benar, padahal sesungguhnya belum mengerti pandangan orang lain. Kalau memang dalam acara ilmiah itu terdapat secara nyata penghinaan, barulah polisi bisa mengambil tindakan. Akan tetapi,  jika justru pemahaman baru itu menambah ilmu pengetahuan bagi masyarakat secara positif, Dedi Mulyadi harus diapresiasi.

            Polisi pun harus lebih berani menolak untuk meneruskan proses hukum sebuah laporan apabila ternyata yang dilaporkan hanya merupakan perbedaan pemahaman terhadap Islam yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda. Polisi harus berani menyarankan kepada mereka yang terlibat untuk membuat jelas semuanya dalam acara-acara ilmiah.

            Polisi pun harus lebih tegas terhadap sikapnya dan mampu mempertahankan sikapnya jika memang sudah yakin dengan keputusannya. Siapa pun yang memaksa dan mendesak kepolisian untuk mengikuti kehendak mereka, harus dilawan dengan tegas. Presiden Jokowi telah mengingatkan bahwa polisi itu jumlahnya 450 ribu dan memiliki tugas yang jelas. Presiden menegaskan bahwa polisi tidak boleh takut atau kalah oleh kelompok-kelompok kecil ataupun tokoh-tokoh masyarakat. Berapa pun jumlah massa yang digunakan untuk mendesak kepolisian, asal polisi yakin sudah bertindak dengan benar dan berdasarkan keputusan yang masuk akal, tidak perlu takut untuk bertindak tegas. Jangan mati kutu.


            Kalau pihak kepolisian masih belum mampu memilih dan memilah mana yang benar-benar penghinaan dan mana yang merupakan perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda, akan ada banyak laporan yang kemudian diiringi oleh desakan massa karena sangat banyak orang yang belum mampu menerima pemahaman-pemahaman baru dalam hidup mereka. Itu sungguh berbahaya dan mematikan perkembangan cara berpikir kritis generasi muda serta menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.

No comments:

Post a Comment