oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pada tulisan yang lalu, saya
mengutarakan bahwa saya memberikan pengajaran kepada para mahasiswa reguler
Fisip, Universitas Al Ghifari, Bandung agar mampu membuat kerangka karangan yang baik dengan menggunakan data, sumber
informasi, fakta, dan bukti yang jelas nyata, bukan menggunakan kebohongan,
fitnah, dan khayalan-khayalan tidak berdasar yang dapat membuat kerusakan
pikiran di tengah masyarakat. Saya memang terdorong untuk mengajarkan hal itu
disebabkan parahnya berita bohong, berita palsu, penyesatan pikiran, dan ujaran
kebencian di dunia maya, Medsos. Pada tulisan kali ini pun saya akan berbagi
pengalaman kepada para pembaca semua bahwa tidak cukup hanya data, sumber
informasi, fakta, dan bukti yang diperlukan untuk membuat tulisan yang
bermanfaat, melainkan pula perlu meneliti atau menguji Si Pembawa Data atau
sumber informasi tersebut. Suatu informasi hanya akan bernilai “samar” jika Si
Pembawa Berita atau Si Penyampai Informasi itu tidak bisa dipercaya, tidak
dikenal, serta tidak diketahui kompetensi dan kapasitasnya. Dengan demikian,
klaim fakta dan bukti yang disampaikannya harus sangat diragukan. Hal inilah
yang saya ajarkan kepada para mahasiswa nonreguler Fisip, Universitas Al
Ghifari, Bandung.
Berita atau informasi yang berseliweran sangat deras di
Medsos itu saat ini sangat mempengaruhi alam pikiran masyarakat. Banyak orang
yang cepat percaya dan setuju atas berita-berita itu tanpa mengenal dan
memahami siapa orang yang menulisnya, sejauh apa kejujurannya, sehebat apa
kompetensinya, bagaimana kapasitasnya, dan lain sebagainya. Bisa saja Sang
Pembuat Berita di Medsos itu seorang pengedar Narkoba, mengetiknya sambil
telanjang di kamar mandi, lalu meng-upload
foto dan video sambil berjongkok beol di WC dengan rokok di mulutnya,
tetapi tiba-tiba dipercaya oleh orang banyak. Memalukan sekali.
Kritikan
untuk Polisi
Sebenarnya, saya sudah
mengingatkan dengan tulisan di blog ini sekitar satu atau dua tahun yang lalu
bahwa ujaran-ujaran kebencian di Medsos sudah harus ditertibkan karena dapat
menimbulkan konflik sosial dan berujung pada kekerasan fisik yang pada akhirnya
membuat bangsa Indonesia semakin jauh dari jati dirinya. Akan tetapi, tampaknya
tidak banyak orang yang peduli, lalu membiarkan ujaran-ujaran kebencian yang
disertai berita-berita bohong dan fitnah itu merajalela. Bahkan, ada seorang
pejabat Polri yang mengatakan pada acara Indonesian
Lawyers Club di tvOne bahwa
polisi belum tentu mau mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan ujaran-ujaran
kebencian di Medsos. Ada juga pejabat Polri yang mengatakan bahwa jika polisi
harus menangani ujaran kebencian di Medsos, tidak terbayang berapa banyaknya
orang yang harus ditangkap. Akan tetapi, ada pula pejabat Polri yang justru dari
dulu ingin segera menindak para pembuat ujaran kebencian dan gambar-gambar
penuh penghinaan di Medsos. Salah satu pejabat Polri yang tampaknya dari dulu cukup
kesal dengan ulah para netizen tak bermoral itu
adalah Anton Charliyan.
Saya tidak tahu alasan polisi saat itu belum mau menindak
para netizen kampungan itu, apakah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan lain
atau membiarkannya dengan harapan akan berhenti sendiri atau karena memang
menunggu laporan dulu dari masyarakat yang merasa terganggu oleh ujaran kebencian
itu. Saya benar-benar tidak tahu.
Hal yang jelas terjadi dengan kurang adanya tindakan dari
Polri sejak dulu adalah mereka yang gemar melakukan kebohongan dan menghina
orang lain semakin nyaman dan bebas berekspresi di dunia maya. Mereka pun
semakin ahli dan berkembang dalam membuat huru-hara di Medsos. Jumlah akun
mereka semakin banyak, bejibun, semakin kasar, semakin tidak terpelajar, dan
semakin tidak beradab. Mereka pun terjatuh sehingga kehilangan kemampuan untuk
berbicara dan berpendapat yang baik-baik, sopan, penuh cinta, penuh kasih,
serta mendorong perdamaian. Mereka sama sekali tidak siap untuk berbicara hal
yang penuh kebaikan.
Tidak percaya?
Coba saja mengobrol dengan mereka. Mereka yang sudah
parah keseringan berbicara kasar, bohong, dan fitnah tidak memiliki kemampuan
untuk berbicara yang baik-baik dan beradab.
Saya punya pengalaman. Ujaran kebencian para netizen dari
luar negeri, terutama Eropa dan sangat terutama Inggris benar-benar sudah
melewati batas ambang kewajaran, sudah sangat rusak dan sangat sulit
diperbaiki. Memang berita-berita internasional pun mengemukakan bahwa ujaran
kebencian di Inggris sangat tinggi dan meningkat 500% ketika terjadi Brexit. Saya pernah berdebat dengan
mereka tentang banyak hal. Ketika mereka kalah berdebat dengan saya, lalu saya
mulai mengajak mereka berbicara hal-hal yang baik dengan menghilangkan
keangkuhan dan tidak menganggap diri lebih tinggi dibandingkan orang lain,
mereka kesulitan dan tidak mampu melakukan percakapan yang terhormat. Saking kesalnya,
saya mengejek mereka sebagai “manusia-manusia tidak terdidik yang hanya mau belajar
teknologi tanpa menghargai kemanusiaan”.
Mereka hanya menjawab, “Jika kamu mau berpendapat seperti
itu, begitulah.”
Mereka tetap angkuh walaupun sudah mengakui bahwa mereka
salah dan kalah. Hal itu diakibatkan sudah terlalu lamanya mereka berbicara
yang kasar-kasar, penuh kebohongan dan fitnah.
Indonesia sebenarnya tidak separah mereka. Mungkin hanya ada
beberapa gelintir orang yang sudah parah seperti mereka. Akan tetapi, jika
ujaran kebencian dan berita-berita bohong penuh fitnah itu dibiarkan terus
berlanjut, bukan tidak mungkin kita akan lebih parah dibandingkan orang-orang
luar negeri. Akibatnya, negeri ini akan selalu digoncang isu-isu murahan yang
tidak berdasar dan tidak memiliki sandaran ilmu pengetahuan.
Ketika ujaran-ujaran kebencian di Indonesia sudah semakin
meresahkan dan mengganggu hubungan-hubungan antarindividu di dunia nyata
seperti saat ini, aparat kepolisian dan pemerintah pun tampaknya mulai semakin
sadar bahwa perlu dilakukan tindakan tegas dan keras agar terjadi ketertiban.
Sayangnya, energi atau upaya yang harus dilakukan untuk melakukan penertiban
itu sangat besar dan semakin sulit karena situasinya sudah sangat parah
dibandingkan masa-masa lalu. Itu memang risiko yang harus ditanggung karena
tidak segera melakukan penertiban sejak dulu ketika ujaran-ujaran kebencian itu
masih sangat sedikit beredar di dunia maya. Memang dulu pun aparat kepolisian
sudah melakukan beberapa tindakan dan berujung pada pengadilan, tetapi belum
cukup untuk mengerem atau membuat takut para pemfitnah dan pembohong di dunia
maya.
Fenomena ini mengingatkan saya pada kata-kata Prof. Dr.
H. Ateng Syafrudin, S.H. (alm.) ketika saya membantunya membuat biografinya.
Saat itu kami berbincang tentang penertiban pedagang kakilima di Kota Bandung.
Ia mengatakan bahwa pemerintah Kota Bandung kesulitan untuk menertibkannya disebabkan
sudah terlalu banyaknya pedagang kakilima dan terlalu lama mereka berdagang di
sana sehingga merasa memiliki tempat itu dan memiliki kekuatan dengan jumlah
massa yang sangat banyak. Menurutnya, jika penertiban itu dilakukan sejak awal,
yaitu ketika pedagang kakilima jumlahnya hanya satu-dua, pemerintah tidak akan
kesulitan untuk menertibkannya. Akan tetapi, ketika jumlah kakilima semakin
membludak menyerupai rimba belantara di trotoar dan pinggir jalan dalam waktu
bertahun-tahun, pemerintah pasti kesulitan untuk melakukan penertiban.
Pendapat Prof. Ateng tidak berbeda jika digunakan untuk
menganalisa situasi saat ini yang berkembang di Medsos. Pemerintah dan polisi
pasti tidak akan kesulitan menertibkan ujaran kebencian dan penghinaan di
Medsos jika dilakukan sejak dulu ketika jumlahnya masih sangat sedikit. Akan
tetapi, kesulitan pasti muncul lebih berat ketika jumlahnya sudah membengkak
seperti sekarang ini. Meskipun demikian, tidak ada kata terlambat bagi
pemerintah, polisi, dan seluruh elemen bangsa yang peduli pada bangsanya.
Kita harus apresiasi tindakan pemerintah dan polisi yang
mulai membaik. Kita, sebagai rakyat, harus memberikan dorongan penuh pada
aparat. Dorongan itu bisa berupa kritikan bisa pula pujian. Tak ada kata
terlambat. Terlambat selalu lebih baik dibandingkan “tidak sama sekali”.
Kampus
Harus Lebih Aktif
Dalam menahan laju ujaran
kebencian, berita palsu, kebohongan, dan berbagai fitnah di Medsos,
kampus-kampus di seluruh Indonesia ini harus lebih aktif. Lingkungan kampus
adalah lingkungan yang mengharuskan seseorang berbicara, berpendapat, dan
menulis sesuai data, fakta, dan informasi yang bisa dipercaya. Bukan hanya
fenomena yang harus benar-benar terjadi secara nyata, melainkan pula
sumber-sumber informasinya harus jelas. Penyampai informasi haruslah bisa
dipercaya dan jelas jati dirinya. Pendapat-pendapat ilmiah pun harus dijelaskan
awal mulanya, siapa yang berbicara dan mengapa pendapatnya layak dijadikan
rujukan.
Lingkungan kampus
merupakan lingkungan yang mendorong para dosen dan mahasiswa membuat
serangkaian penelitian. Dalam setiap penelitian, fenomena yang diteliti harus
benar-benar terjadi secara nyata yang dibuktikan dengan kehadiran peneliti di
tempat kejadian atau atas informasi dari penyampai informasi yang layak
dipercaya. Penyampai informasi yang dipercaya tersebut harus jelas kompetensi,
jati diri, kejujuran, dan kapasitasnya. Pendapat-pendapat ilmiah atau
teori-teori yang digunakan sebagai alat analisis pun harus jelas dikemukakan
oleh siapa dalam buku apa atau dalam acara ilmiah yang mana. Fenomena yang
benar-benar terjadi secara nyata dengan teori atau pendapat ilmiah yang sah
menjadi bahan perbandingan yang akan memunculkan kesimpulan. Setelah kesimpulan
didapat, barulah kita dapat memberikan saran-saran.
Kewajiban-kewajiban ilmiah dalam lingkungan kampus sudah
saatnya diterapkan dan dibiasakan di tengah masyarakat, baik dalam cara
berbicara maupun dalam membuat tulisan di dunia maya. Dengan demikian,
masyarakat akan mendapatkan banyak informasi yang jelas nyata dan bermanfaat.
Seluruh orang yang pernah kuliah jangan ikut-ikutan ngaco menebarkan informasi
yang tak layak baca dan tak layak dikonsumsi masyarakat. Kalau ada akademisi
yang tidak memiliki kemampuan menulis dengan data dan analisis yang benar di
Medsos, jujur saja, saya meragukan keaslian skripsi, tesis, maupun
desertasinya. Jangan-jangan karya-karya ilmiah mereka merupakan hasil menyontek
dari orang lain alias plagiat. Ada
baiknya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memeriksa seluruh karya ilmiah para
sarjana, master, maupun doktor, termasuk profesor, apakah mereka lulus dengan
karya asli hasil kerja mereka atau didapat melalui kejahatan plagiat. Sangatlah
aneh jika para akademisi itu berpengalaman dalam membuat penelitian yang
mewajibkan semuanya jelas dan terang benderang, tetapi ikut-ikutan menulis di
Medsos secara ngaco, ngawur, tanpa dasar-dasar yang jelas dan hanya membuat runyam
suasana.
Seluruh akademisi dan lingkungan kampus wajib hukumnya
secara moral untuk ikut meredam ujaran kebencian dan berita-berita palsu yang
saat ini sudah sangat parah meresahkan masyarakat. Lingkungan kampus tidak
boleh justru ikut menjadi pendorong tumbuhnya keraguan dan kerancuan berpikir
di tengah masyarakat melalui tulisan-tulisan yang membuat pusing masyarakat.
Bukankah bersekolah itu untuk menjadi manusia yang
berguna bagi agama, bangsa, dan negara?
Ulama
Harus Lebih Berperan
Sampai hari ini dengan
seluruh kejujuran, saya merasakan kurangnya peranan ulama, ustadz, kiyai,
ajengan, syekh, habieb, atau apalah sebutannya bagi orang yang dihormati karena
pengetahuan agamanya dalam hal meredam berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian
di Medsos. Saya berkali-kali mendengar pengajian dan diundang dalam acara-acara
keagamaan, termasuk mendengarkan khutbah Jumat, tak seorang pun penceramah yang
membahas secara khusus mengenai perlunya kehati-hatian dalam menulis di Medsos
atau mempercayai tulisan di Medsos. Padahal, saat ini adalah saat yang tepat
untuk mendapatkan pahala dari Allah swt dengan cara mengajari para santri,
jamaah, dan umatnya untuk mampu berperilaku baik di dunia maya, baik itu
sebagai penulis maupun sebagai pembaca.
Sesungguhnya, ajaran Islam lebih disiplin dibandingkan
dengan metode-metode yang diajarkan di kampus-kampus. Islam menekankan wajibnya
untuk menyampaikan segala sesuatu dengan jujur dan memahami sesuatu dengan
pemahaman yang benar. Hal itu disebabkan segala sesuatunya akan dimintai
pertanggungjawaban, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Kebohongan dan
fitnah itu sudah jelas merupakan ciri-ciri perilaku orang-orang yang memiliki kemunafikan
di dalam dirinya dan itu adalah perilaku syetan.
Ada banyak ajaran yang bisa diaktualisasikan dari Islam
dalam hal menangkal, bahkan membasmi ujaran kebencian, berita palsu atau
bohong, penghinaan, dan lain sebagainya yang merajalela di dunia maya. Banyak
hal yang bisa dilakukan orang-orang yang mengaku diri dan disebut-sebut sebagai
ulama, kiyai, ustadz, ajengan, habieb, syekh, atau yang lainnya untuk meredam
kebohongan dan keresahan di masyarakat.
Saya harus mengingatkan siapa saja yang bergelar apa saja
dengan kedudukan apa saja dan dihormati siapa saja di Indonesia ini mengenai
gosip atau isu yang menerpa Siti Aisyah ra, isteri Muhammad saw. Aisyah ra pernah
diterpa gosip tentang perselingkuhannya dengan seorang pemuda. Isu itu menyebar
luas di kalangan kaum muslimin. Berita itu benar-benar mengacaukan situasi kaum
muslimin. Nabi Muhammad saw sendiri kebingungan, terkejut, tertekan, dan tidak
tahu harus bertindak apa. Aisyah ra sudah berupaya menerangkan, tetapi ia melihat
bahwa suaminya tidak yakin dengan keterangannya. Akibatnya, terjadi
disorganisasi dalam rumah tangga Nabi Muhammad saw. Aisyah ra pun segera meninggalkan
Nabi Muhammad saw dan pulang ke rumah ayahnya, Abu Bakar ra yang juga merupakan
sahabat Nabi Muhammad saw. Di rumah ayahnya ini pun Aisyah ra mendapatkan
kecurigaan yang bertubi-tubi dari ayahnya tentang perselingkuhannya. Abu Bakar
ra berulang-ulang dengan keras mengorek keterangan dari Aisyah ra. Aisyah ra
pun menerangkan dengan penuh kejengkelan mengenai peristiwa yang terjadi antara
dirinya dengan pemuda yang dituduhkan berselingkuh dengannya itu. Akan tetapi,
Aisyah ra melihat ayahnya seperti suaminya pula, Muhammad saw yang bertanya,
tetapi dengan nada menuduh. Akibatnya, Aisyah ra mengurung diri di dalam
kamarnya dan tidak mau lagi berbicara dengan ayahnya.
Isu itu benar-benar mengerikan dan menggoncangkan
keutuhan kaum muslimin dan kehormatan Nabi Muhammad saw. Orang bisa mudah saja
menebar isu bahwa Aisyah ra yang sangat cantik, cerdas, dan masih berusia 17
tahun itu menginginkan seorang pria yang lebih muda dibandingkan Muhammad saw
yang sudah berusia sekitar 61 tahun. Dasar isu itu memang masuk akal, Aisyah ra
sangat merasa nyaman jika bersama dengan pria yang lebih muda.
Tak ada yang mampu menyelesaikan dan menjelaskan
persoalan itu. Nabi Muhammad saw dan para sahabat pun tak memiliki cara untuk
meredam isu-isu yang makin hari makin tidak karuan.
Bayangkan, seorang istri Nabi Muhammad saw berselingkuh!
Ketika Nabi Muhammad saw tersudut dan tertekan, Aisyah ra
terpojok dan tertuduh, para sahabat dan kaum muslimin malah ikut bergunjing tentang
hal itu, Allah swt yang Maha Melihat dan Maha Mendengar menurunkan kasih
sayang-Nya dengan memberikan penjelasan berupa ayat-ayat Al Quran. Allah swt
mengabarkan bahwa Aisyah ra yang sangat cantik dan muda itu sama sekali tidak
bersalah. Aisyah ra tidak berselingkuh. Dia perempuan yang sangat baik, pintar,
dan tetap suci sebagai istri Nabi saw. Di samping itu, Allah swt sendiri
mengajarkan bahwa seharusnya kita selalu melakukan tabayun apabila mendapatkan isu, gosip, atau berita tentang sesuatu
hal yang masih belum jelas. Tabayun itu dalam bahasa sekarang adalah check and recheck, verifikasi,
penelaahan lebih mendalam atas kebenaran atau ketidakbenaran berita
tertentu.
Setelah mendapatkan penjelasan dari Allah swt, terang
benderanglah semuanya. Aisyah ra terbebas dari segala tuduhan. Para pembuat isu
hampir-hampir saja dihukum dengan sangat keras. Abu Bakar ra sendiri berjanji
menghukum pembantunya yang juga sebagai penyebar aktif gosip murahan itu. Akan
tetapi, Allah swt dan Nabi Muhammad saw melarang Abu Bakar ra untuk melakukan
penghukuman itu. Meskipun demikian, karena Abu Bakar ra sudah berjanji dan
janjinya itu tidak akan bisa dilaksanakan, Abu Bakar ra mengganti janjinya itu
dengan kafarat sebagai penebus atas janji yang tidak dilaksanakan.
Bukankah kisah itu bisa diaktualisasikan pada saat ini
ketika masyarakat diteror oleh gosip dan isu murahan?
Semua santri, jamaah, umat, dan siapa saja bisa belajar
dari kisah yang mendera Muhammad saw-Aisyah ra. Pelajaran yang sangat berharga
itu adalah kita jangan terlalu cepat percaya pada isu-isu atau berita-berita
yang bisa mengoncangkan pikiran dan kehidupan di masyarakat. Apabila kita
mendapatkan berita atau isu-isu, hendaklah melakukan tabayun, check and recheck, verification karena hal itu merupakan
perintah dari Allah swt. Dengan memeriksa kebenaran suatu berita, kita sudah
melaksanakan perintah Allah swt dan itu sangat berpahala. Apabila kita langsung
percaya pada berita-berita atau isu-isu yang masih samar, kita akan mudah
tergelincir dalam dosa karena tidak melaksanakan perintah Allah swt untuk
selalu melakukan tabayun, check and
recheck, verification. Lebih berdosa lagi jika kita yang justru menyebarkan
berita-berita palsu itu. Bahkan, dosanya akan berlipat-lipat ganda jika penebaran
berita bohong itu dilakukan justru oleh orang-orang yang mengakui dirinya sebagai
ulama, ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb, atau apalah sebutannya bagi orang
yang dihormati karena pengetahuan agamanya.
Paham Saudara-saudaraku?
Mau contoh satu lagi dari ajaran Islam yang dapat
diaktualisasikan untuk meredam berita fitnah?
Tidak mau?
Terserah!
Saya memaksa untuk berceritera. Kalau dada kalian tidak
bisa menerima tulisan saya ini dan merasa sesak, segera tinggalkan halaman ini,
pergilah ke halaman lain, situs lain yang kalian sukai. Saya hanya akan
berceritera bagi mereka yang ingin mendapatkan pengetahuan dari saya meskipun
sangat sedikit.
Seharusnya, bukan saya yang menulis tentang hal ini. Para
ahli yang lebih berkompeten untuk menerangkannya kepada masyarakat. Akan
tetapi, mudah-mudahan, saya menjadi pemicu bagi para ahli untuk lebih luas
menerangkannya kepada masyarakat. Saya hanya memaksakan diri untuk menulisnya.
Dalam ajaran Islam ada yang disebut hadits. Isinya berupa informasi mengenai perilaku atau kata-kata Baginda
Mulia Nabi Muhammad saw. Untuk mempercayai atau mendapatkan hadits yang benar,
sah, atau shahih, diperlukan metode-metode ketat yang harus dijalankan agar
potret dari perilaku dan kata-kata Muhammad saw itu benar-benar adalah yang terjadi
secara nyata, bukan rekaan, bohong, atau fitnah. Meskipun kita mendapatkan
kisah-kisah yang baik dan bagus tentang Nabi Muhammad saw, belum tentu itu
terjadi secara nyata. Bisa jadi hal itu hanya merupakan dongeng-dongeng dari
orang-orang yang mencintai Nabi Muhammad saw secara berlebihan. Kisah-kisah
yang baik dan bagus saja harus diperiksa kebenarannya, apalagi kisah-kisah yang
buruk. Kita tidak boleh menerima dan mempercayai berita baik, bagus, atau buruk
tentang Nabi Muhammad saw, melainkan harus mendapatkan berita yang original
terjadi secara nyata.
Saya pribadi selalu menilai hadits itu pertama kali dari
isinya, redaksinya. Jika redaksinya masuk akal, saya mulai menerima. Akan
tetapi, jika sudah tidak masuk akal, saya mudah sekali untuk menolaknya dan
menjatuhkannya menjadi dongeng sebelum tidur.
Kedua, saya
membandingkannya dengan Al Quran. Jika informasi mengenai Nabi Muhammad saw itu
sesuai dengan Al Quran, semakin kuat keyakinan saya bahwa berita itu adalah
benar. Apabila bertentangan dengan isi Al Quran, saya mengatakannya itu adalah
dusta.
Ketiga, saya
mengujinya dengan hadits-hadits lain yang telah dinyatakan shahih lebih dulu.
Jika memiliki kesesuaian dengan hadits-hadits yang dinyatakan shahih, semakin
yakinlah bahwa berita atau hadits itu adalah kebenaran dan bukan rekaan.
Apabila hadits itu bertentangan dengan hadits yang telah dinyatakan shahih,
saya sangat meragukan keasliannya, bahkan kemungkinan menolaknya.
Keempat, kita
harus memeriksa apakah para perawi atau penyampai berita itu bisa dipercaya
atau tidak. Orang yang layak dipercaya sebagai pembawa informasi mengenai Nabi
Muhammad saw itu harus jelas orangnya, dikenal sebagai orang yang jujur, bukan
pelupa, diakui sebagai orang baik-baik, tidak suka berbohong, memahami Islam
dengan benar, dan lain sebagainya. Jika di antara para penyampai informasi itu terdapat
orang yang diragukan integritas pribadinya, hadits Nabi Muhammad saw itu akan
sangat sulit dinyatakan sebagai hadits shahih.
Untuk masalah kualitas para penyampai informasi ini, kita
memang bergantung sekali pada buku-buku rujukan yang telah ditulis sebelumnya.
Belum ada lagi orang yang dianggap mampu melebihi kehebatan Imam Bukhari dalam
mengumpulkan informasi atau hadits Nabi Muhammad saw. Jika saja saat ini ada
orang yang mau dan mampu mengurutkan para penyampai berita itu sejumlah dua
puluh generasi, dia akan lebih hebat daripada Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Perlu diingat bahwa antara generasi kita dengan generasi Nabi Muhammad saw
dihubungkan oleh dua puluh generasi. Jika ada orang yang mampu menjelaskan
keduapuluh orang itu dari dua puluh generasi secara berturut-turut dan kronologis
hingga mampu menghubungkan generasi kita dengan generasi Nabi Muhammad saw
secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, ia lebih hebat dibandingkan para
ahli hadits mana pun yang pernah dikenal di muka Bumi ini sepanjang sejarah masa.
Dengan demikian, informasi mengenai perilaku dan kata-kata Nabi Muhammad saw
benar-benar terkoneksi dengan kita secara nyata dan lebih meyakinkan. Hadits
yang kita terima berasal dari siapa, siapa berasal dari siapa, siapa berasal
dari siapa, terus berlanjut hingga berujung pada orang yang mendengar dan
melihat langsung Nabi Muhammad saw. Setiap orang dari keduapuluh generasi itu
harus menceriterakan hal yang sama persis. Jika ada satu orang saja yang mengisahkan
hal berbeda, putuslah hadits itu di tengah jalan dan sangat sulit dipercaya
kebenarannya.
Sebagaimana tadi telah saya sampaikan bahwa para ahli
haditslah yang sebaiknya menuliskan hal ini. Karena aturan-aturan ketat
mengenai hadits Nabi, kita mengenal adanya hadits
shahih, mutawatir, sampai dengan hadits
dhaif. Bahkan, di kalangan umat Islam Sunda dikenal istilah teu dhaif-dhaif acan. Artinya, hadits
itu dhaif pun tidak, hadits lemah pun bukan. Maksudnya, berita tentang Nabi saw
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu hanyalah dongeng belaka.
Nah, pengetahuan atau pemahaman mengenai aturan-aturan
atau metode-metode untuk menentukan kedudukan sebuah hadits ini dapat
diaktualisasikan dalam memerangi berita-berita fitnah, bohong, dan palsu. Para ulama,
ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb, Aa, atau apalah sebutannya bagi orang
yang dihormati karena pengetahuan agamanya dapat menyadarkan umatnya bahwa
untuk mempercayai sebuah berita sebagai sebuah kebenaran sangatlah tidak mudah,
diperlukan upaya serius, tidak asal percaya. Isi berita itu harus masuk akal
dan tidak bertentangan dengan kenyataan. Penyampai atau penulis berita itu
harus jelas jati dirinya. Kualitas dari diri Si Penyampai Berita itu harus
benar-benar teruji, apakah dia orang baik cerdas atau pembohong dan pengedar
Narkoba; apakah dia memiliki daya ingat yang kuat atau mudah lupa; apakah
konsisten hidupnya dalam kebaikan atau tidak; apakah gemar kekuasaan, angkuh,
dan sombong, atau tidak; apakah dirinya lentur dalam menerima kritik atau
arogan; rupa-rupa hal yang bisa dilakukan untuk menguji Si Penulis Berita dan
hal itu menentukan kebenaran dari berita yang ditulisnya.
Sampai hari ini saya melihat baru Presiden, pemerintah,
aparat TNI-Polri, serta beberapa gelintir aktivis pers dan nasionalis yang
sangat serius dalam memerangi huru-hara berita palsu di Medsos. Saya berharap
dengan seluruh harapan bahwa para ulama, ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb,
Aa, atau apalah sebutannya bagi orang yang dihormati karena pengetahuan
agamanya dapat lebih berperan untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dengan
cara meredam kekisruhan yang diakibatkan perilaku buruk dari para netizen yang
tak tahu banyak tentang kebaikan dan kebenaran. Mungkin para ulama, ustadz,
kiyai, ajengan, syekh, habieb, Aa, atau apalah sebutannya bagi orang yang
dihormati karena pengetahuan agamanya sudah melakukannya di tempatnya
masing-masing, tetapi saya merasakan kurang untuk di tingkat nasional, bahkan
internasional.
Hal ini pula yang saya sampaikan berulang-ulang kepada
para mahasiswa saya. Saya berharap mereka dapat menulis yang baik-baik,
bermanfaat, dan bernilai. Kalaupun harus menulis hal-hal yang buruk dan berisi
kritikan, tulisannya harus tetap
bernilai memiliki data yang tepat dan menyampaikan informasi dengan jujur di
samping memberikan solusi sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Beberapa perkuliahan saya direkam mahasiswa. Salah
satunya yang ada di bawah ini.
No comments:
Post a Comment