Saturday, 7 January 2017

Peranan Ulama Terasa Kurang

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pada tulisan yang lalu, saya mengutarakan bahwa saya memberikan pengajaran kepada para mahasiswa reguler Fisip, Universitas Al Ghifari, Bandung agar mampu membuat kerangka karangan yang baik dengan menggunakan data, sumber informasi, fakta, dan bukti yang jelas nyata, bukan menggunakan kebohongan, fitnah, dan khayalan-khayalan tidak berdasar yang dapat membuat kerusakan pikiran di tengah masyarakat. Saya memang terdorong untuk mengajarkan hal itu disebabkan parahnya berita bohong, berita palsu, penyesatan pikiran, dan ujaran kebencian di dunia maya, Medsos. Pada tulisan kali ini pun saya akan berbagi pengalaman kepada para pembaca semua bahwa tidak cukup hanya data, sumber informasi, fakta, dan bukti yang diperlukan untuk membuat tulisan yang bermanfaat, melainkan pula perlu meneliti atau menguji Si Pembawa Data atau sumber informasi tersebut. Suatu informasi hanya akan bernilai “samar” jika Si Pembawa Berita atau Si Penyampai Informasi itu tidak bisa dipercaya, tidak dikenal, serta tidak diketahui kompetensi dan kapasitasnya. Dengan demikian, klaim fakta dan bukti yang disampaikannya harus sangat diragukan. Hal inilah yang saya ajarkan kepada para mahasiswa nonreguler Fisip, Universitas Al Ghifari, Bandung.

            Berita atau informasi yang berseliweran sangat deras di Medsos itu saat ini sangat mempengaruhi alam pikiran masyarakat. Banyak orang yang cepat percaya dan setuju atas berita-berita itu tanpa mengenal dan memahami siapa orang yang menulisnya, sejauh apa kejujurannya, sehebat apa kompetensinya, bagaimana kapasitasnya, dan lain sebagainya. Bisa saja Sang Pembuat Berita di Medsos itu seorang pengedar Narkoba, mengetiknya sambil telanjang di kamar mandi, lalu meng-upload foto dan video sambil berjongkok beol di WC dengan rokok di mulutnya, tetapi tiba-tiba dipercaya oleh orang banyak. Memalukan sekali.


Kritikan untuk Polisi

Sebenarnya, saya sudah mengingatkan dengan tulisan di blog ini sekitar satu atau dua tahun yang lalu bahwa ujaran-ujaran kebencian di Medsos sudah harus ditertibkan karena dapat menimbulkan konflik sosial dan berujung pada kekerasan fisik yang pada akhirnya membuat bangsa Indonesia semakin jauh dari jati dirinya. Akan tetapi, tampaknya tidak banyak orang yang peduli, lalu membiarkan ujaran-ujaran kebencian yang disertai berita-berita bohong dan fitnah itu merajalela. Bahkan, ada seorang pejabat Polri yang mengatakan pada acara Indonesian Lawyers Club di tvOne bahwa polisi belum tentu mau mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan ujaran-ujaran kebencian di Medsos. Ada juga pejabat Polri yang mengatakan bahwa jika polisi harus menangani ujaran kebencian di Medsos, tidak terbayang berapa banyaknya orang yang harus ditangkap. Akan tetapi, ada pula pejabat Polri yang justru dari dulu ingin segera menindak para pembuat ujaran kebencian dan gambar-gambar penuh penghinaan di Medsos. Salah satu pejabat Polri yang tampaknya dari dulu cukup kesal dengan ulah para netizen tak bermoral itu  adalah Anton Charliyan.

            Saya tidak tahu alasan polisi saat itu belum mau menindak para netizen kampungan itu, apakah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan lain atau membiarkannya dengan harapan akan berhenti sendiri atau karena memang menunggu laporan dulu dari masyarakat yang merasa terganggu oleh ujaran kebencian itu. Saya benar-benar tidak tahu.

            Hal yang jelas terjadi dengan kurang adanya tindakan dari Polri sejak dulu adalah mereka yang gemar melakukan kebohongan dan menghina orang lain semakin nyaman dan bebas berekspresi di dunia maya. Mereka pun semakin ahli dan berkembang dalam membuat huru-hara di Medsos. Jumlah akun mereka semakin banyak, bejibun, semakin kasar, semakin tidak terpelajar, dan semakin tidak beradab. Mereka pun terjatuh sehingga kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berpendapat yang baik-baik, sopan, penuh cinta, penuh kasih, serta mendorong perdamaian. Mereka sama sekali tidak siap untuk berbicara hal yang penuh kebaikan.

            Tidak percaya?

            Coba saja mengobrol dengan mereka. Mereka yang sudah parah keseringan berbicara kasar, bohong, dan fitnah tidak memiliki kemampuan untuk berbicara yang baik-baik dan beradab.

            Saya punya pengalaman. Ujaran kebencian para netizen dari luar negeri, terutama Eropa dan sangat terutama Inggris benar-benar sudah melewati batas ambang kewajaran, sudah sangat rusak dan sangat sulit diperbaiki. Memang berita-berita internasional pun mengemukakan bahwa ujaran kebencian di Inggris sangat tinggi dan meningkat 500% ketika terjadi Brexit. Saya pernah berdebat dengan mereka tentang banyak hal. Ketika mereka kalah berdebat dengan saya, lalu saya mulai mengajak mereka berbicara hal-hal yang baik dengan menghilangkan keangkuhan dan tidak menganggap diri lebih tinggi dibandingkan orang lain, mereka kesulitan dan tidak mampu melakukan percakapan yang terhormat. Saking kesalnya, saya mengejek mereka sebagai “manusia-manusia tidak terdidik yang hanya mau belajar teknologi tanpa menghargai kemanusiaan”.

            Mereka hanya menjawab, “Jika kamu mau berpendapat seperti itu, begitulah.”

            Mereka tetap angkuh walaupun sudah mengakui bahwa mereka salah dan kalah. Hal itu diakibatkan sudah terlalu lamanya mereka berbicara yang kasar-kasar, penuh kebohongan dan fitnah.

            Indonesia sebenarnya tidak separah mereka. Mungkin hanya ada beberapa gelintir orang yang sudah parah seperti mereka. Akan tetapi, jika ujaran kebencian dan berita-berita bohong penuh fitnah itu dibiarkan terus berlanjut, bukan tidak mungkin kita akan lebih parah dibandingkan orang-orang luar negeri. Akibatnya, negeri ini akan selalu digoncang isu-isu murahan yang tidak berdasar dan tidak memiliki sandaran ilmu pengetahuan.

            Ketika ujaran-ujaran kebencian di Indonesia sudah semakin meresahkan dan mengganggu hubungan-hubungan antarindividu di dunia nyata seperti saat ini, aparat kepolisian dan pemerintah pun tampaknya mulai semakin sadar bahwa perlu dilakukan tindakan tegas dan keras agar terjadi ketertiban. Sayangnya, energi atau upaya yang harus dilakukan untuk melakukan penertiban itu sangat besar dan semakin sulit karena situasinya sudah sangat parah dibandingkan masa-masa lalu. Itu memang risiko yang harus ditanggung karena tidak segera melakukan penertiban sejak dulu ketika ujaran-ujaran kebencian itu masih sangat sedikit beredar di dunia maya. Memang dulu pun aparat kepolisian sudah melakukan beberapa tindakan dan berujung pada pengadilan, tetapi belum cukup untuk mengerem atau membuat takut para pemfitnah dan pembohong di dunia maya.

            Fenomena ini mengingatkan saya pada kata-kata Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H. (alm.) ketika saya membantunya membuat biografinya. Saat itu kami berbincang tentang penertiban pedagang kakilima di Kota Bandung. Ia mengatakan bahwa pemerintah Kota Bandung kesulitan untuk menertibkannya disebabkan sudah terlalu banyaknya pedagang kakilima dan terlalu lama mereka berdagang di sana sehingga merasa memiliki tempat itu dan memiliki kekuatan dengan jumlah massa yang sangat banyak. Menurutnya, jika penertiban itu dilakukan sejak awal, yaitu ketika pedagang kakilima jumlahnya hanya satu-dua, pemerintah tidak akan kesulitan untuk menertibkannya. Akan tetapi, ketika jumlah kakilima semakin membludak menyerupai rimba belantara di trotoar dan pinggir jalan dalam waktu bertahun-tahun, pemerintah pasti kesulitan untuk melakukan penertiban.

            Pendapat Prof. Ateng tidak berbeda jika digunakan untuk menganalisa situasi saat ini yang berkembang di Medsos. Pemerintah dan polisi pasti tidak akan kesulitan menertibkan ujaran kebencian dan penghinaan di Medsos jika dilakukan sejak dulu ketika jumlahnya masih sangat sedikit. Akan tetapi, kesulitan pasti muncul lebih berat ketika jumlahnya sudah membengkak seperti sekarang ini. Meskipun demikian, tidak ada kata terlambat bagi pemerintah, polisi, dan seluruh elemen bangsa yang peduli pada bangsanya.

            Kita harus apresiasi tindakan pemerintah dan polisi yang mulai membaik. Kita, sebagai rakyat, harus memberikan dorongan penuh pada aparat. Dorongan itu bisa berupa kritikan bisa pula pujian. Tak ada kata terlambat. Terlambat selalu lebih baik dibandingkan “tidak sama sekali”.


Kampus Harus Lebih Aktif

Dalam menahan laju ujaran kebencian, berita palsu, kebohongan, dan berbagai fitnah di Medsos, kampus-kampus di seluruh Indonesia ini harus lebih aktif. Lingkungan kampus adalah lingkungan yang mengharuskan seseorang berbicara, berpendapat, dan menulis sesuai data, fakta, dan informasi yang bisa dipercaya. Bukan hanya fenomena yang harus benar-benar terjadi secara nyata, melainkan pula sumber-sumber informasinya harus jelas. Penyampai informasi haruslah bisa dipercaya dan jelas jati dirinya. Pendapat-pendapat ilmiah pun harus dijelaskan awal mulanya, siapa yang berbicara dan mengapa pendapatnya layak dijadikan rujukan.

             Lingkungan kampus merupakan lingkungan yang mendorong para dosen dan mahasiswa membuat serangkaian penelitian. Dalam setiap penelitian, fenomena yang diteliti harus benar-benar terjadi secara nyata yang dibuktikan dengan kehadiran peneliti di tempat kejadian atau atas informasi dari penyampai informasi yang layak dipercaya. Penyampai informasi yang dipercaya tersebut harus jelas kompetensi, jati diri, kejujuran, dan kapasitasnya. Pendapat-pendapat ilmiah atau teori-teori yang digunakan sebagai alat analisis pun harus jelas dikemukakan oleh siapa dalam buku apa atau dalam acara ilmiah yang mana. Fenomena yang benar-benar terjadi secara nyata dengan teori atau pendapat ilmiah yang sah menjadi bahan perbandingan yang akan memunculkan kesimpulan. Setelah kesimpulan didapat, barulah kita dapat memberikan saran-saran.

            Kewajiban-kewajiban ilmiah dalam lingkungan kampus sudah saatnya diterapkan dan dibiasakan di tengah masyarakat, baik dalam cara berbicara maupun dalam membuat tulisan di dunia maya. Dengan demikian, masyarakat akan mendapatkan banyak informasi yang jelas nyata dan bermanfaat. Seluruh orang yang pernah kuliah jangan ikut-ikutan ngaco menebarkan informasi yang tak layak baca dan tak layak dikonsumsi masyarakat. Kalau ada akademisi yang tidak memiliki kemampuan menulis dengan data dan analisis yang benar di Medsos, jujur saja, saya meragukan keaslian skripsi, tesis, maupun desertasinya. Jangan-jangan karya-karya ilmiah mereka merupakan hasil menyontek dari orang lain alias plagiat. Ada baiknya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memeriksa seluruh karya ilmiah para sarjana, master, maupun doktor, termasuk profesor, apakah mereka lulus dengan karya asli hasil kerja mereka atau didapat melalui kejahatan plagiat. Sangatlah aneh jika para akademisi itu berpengalaman dalam membuat penelitian yang mewajibkan semuanya jelas dan terang benderang, tetapi ikut-ikutan menulis di Medsos secara ngaco, ngawur, tanpa dasar-dasar yang jelas dan hanya membuat runyam suasana.

            Seluruh akademisi dan lingkungan kampus wajib hukumnya secara moral untuk ikut meredam ujaran kebencian dan berita-berita palsu yang saat ini sudah sangat parah meresahkan masyarakat. Lingkungan kampus tidak boleh justru ikut menjadi pendorong tumbuhnya keraguan dan kerancuan berpikir di tengah masyarakat melalui tulisan-tulisan yang membuat pusing masyarakat.

            Bukankah bersekolah itu untuk menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara?


Ulama Harus Lebih Berperan

Sampai hari ini dengan seluruh kejujuran, saya merasakan kurangnya peranan ulama, ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb, atau apalah sebutannya bagi orang yang dihormati karena pengetahuan agamanya dalam hal meredam berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian di Medsos. Saya berkali-kali mendengar pengajian dan diundang dalam acara-acara keagamaan, termasuk mendengarkan khutbah Jumat, tak seorang pun penceramah yang membahas secara khusus mengenai perlunya kehati-hatian dalam menulis di Medsos atau mempercayai tulisan di Medsos. Padahal, saat ini adalah saat yang tepat untuk mendapatkan pahala dari Allah swt dengan cara mengajari para santri, jamaah, dan umatnya untuk mampu berperilaku baik di dunia maya, baik itu sebagai penulis maupun sebagai pembaca.

            Sesungguhnya, ajaran Islam lebih disiplin dibandingkan dengan metode-metode yang diajarkan di kampus-kampus. Islam menekankan wajibnya untuk menyampaikan segala sesuatu dengan jujur dan memahami sesuatu dengan pemahaman yang benar. Hal itu disebabkan segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Kebohongan dan fitnah itu sudah jelas merupakan ciri-ciri  perilaku orang-orang yang memiliki kemunafikan di dalam dirinya dan itu adalah perilaku syetan.

            Ada banyak ajaran yang bisa diaktualisasikan dari Islam dalam hal menangkal, bahkan membasmi ujaran kebencian, berita palsu atau bohong, penghinaan, dan lain sebagainya yang merajalela di dunia maya. Banyak hal yang bisa dilakukan orang-orang yang mengaku diri dan disebut-sebut sebagai ulama, kiyai, ustadz, ajengan, habieb, syekh, atau yang lainnya untuk meredam kebohongan dan keresahan di masyarakat.

            Saya harus mengingatkan siapa saja yang bergelar apa saja dengan kedudukan apa saja dan dihormati siapa saja di Indonesia ini mengenai gosip atau isu yang menerpa Siti Aisyah ra, isteri Muhammad saw. Aisyah ra pernah diterpa gosip tentang perselingkuhannya dengan seorang pemuda. Isu itu menyebar luas di kalangan kaum muslimin. Berita itu benar-benar mengacaukan situasi kaum muslimin. Nabi Muhammad saw sendiri kebingungan, terkejut, tertekan, dan tidak tahu harus bertindak apa. Aisyah ra sudah berupaya menerangkan, tetapi ia melihat bahwa suaminya tidak yakin dengan keterangannya. Akibatnya, terjadi disorganisasi dalam rumah tangga Nabi Muhammad saw. Aisyah ra pun segera meninggalkan Nabi Muhammad saw dan pulang ke rumah ayahnya, Abu Bakar ra yang juga merupakan sahabat Nabi Muhammad saw. Di rumah ayahnya ini pun Aisyah ra mendapatkan kecurigaan yang bertubi-tubi dari ayahnya tentang perselingkuhannya. Abu Bakar ra berulang-ulang dengan keras mengorek keterangan dari Aisyah ra. Aisyah ra pun menerangkan dengan penuh kejengkelan mengenai peristiwa yang terjadi antara dirinya dengan pemuda yang dituduhkan berselingkuh dengannya itu. Akan tetapi, Aisyah ra melihat ayahnya seperti suaminya pula, Muhammad saw yang bertanya, tetapi dengan nada menuduh. Akibatnya, Aisyah ra mengurung diri di dalam kamarnya dan tidak mau lagi berbicara dengan ayahnya.

            Isu itu benar-benar mengerikan dan menggoncangkan keutuhan kaum muslimin dan kehormatan Nabi Muhammad saw. Orang bisa mudah saja menebar isu bahwa Aisyah ra yang sangat cantik, cerdas, dan masih berusia 17 tahun itu menginginkan seorang pria yang lebih muda dibandingkan Muhammad saw yang sudah berusia sekitar 61 tahun. Dasar isu itu memang masuk akal, Aisyah ra sangat merasa nyaman jika bersama dengan pria yang lebih muda.

            Tak ada yang mampu menyelesaikan dan menjelaskan persoalan itu. Nabi Muhammad saw dan para sahabat pun tak memiliki cara untuk meredam isu-isu yang makin hari makin tidak karuan.

            Bayangkan, seorang istri Nabi Muhammad saw berselingkuh!

            Ketika Nabi Muhammad saw tersudut dan tertekan, Aisyah ra terpojok dan tertuduh, para sahabat dan kaum muslimin malah ikut bergunjing tentang hal itu, Allah swt yang Maha Melihat dan Maha Mendengar menurunkan kasih sayang-Nya dengan memberikan penjelasan berupa ayat-ayat Al Quran. Allah swt mengabarkan bahwa Aisyah ra yang sangat cantik dan muda itu sama sekali tidak bersalah. Aisyah ra tidak berselingkuh. Dia perempuan yang sangat baik, pintar, dan tetap suci sebagai istri Nabi saw. Di samping itu, Allah swt sendiri mengajarkan bahwa seharusnya kita selalu melakukan tabayun apabila mendapatkan isu, gosip, atau berita tentang sesuatu hal yang masih belum jelas. Tabayun itu dalam bahasa sekarang adalah check and recheck, verifikasi, penelaahan lebih mendalam atas kebenaran atau ketidakbenaran berita tertentu. 

            Setelah mendapatkan penjelasan dari Allah swt, terang benderanglah semuanya. Aisyah ra terbebas dari segala tuduhan. Para pembuat isu hampir-hampir saja dihukum dengan sangat keras. Abu Bakar ra sendiri berjanji menghukum pembantunya yang juga sebagai penyebar aktif gosip murahan itu. Akan tetapi, Allah swt dan Nabi Muhammad saw melarang Abu Bakar ra untuk melakukan penghukuman itu. Meskipun demikian, karena Abu Bakar ra sudah berjanji dan janjinya itu tidak akan bisa dilaksanakan, Abu Bakar ra mengganti janjinya itu dengan kafarat sebagai penebus atas janji yang tidak dilaksanakan.

            Bukankah kisah itu bisa diaktualisasikan pada saat ini ketika masyarakat diteror oleh gosip dan isu murahan?

            Semua santri, jamaah, umat, dan siapa saja bisa belajar dari kisah yang mendera Muhammad saw-Aisyah ra. Pelajaran yang sangat berharga itu adalah kita jangan terlalu cepat percaya pada isu-isu atau berita-berita yang bisa mengoncangkan pikiran dan kehidupan di masyarakat. Apabila kita mendapatkan berita atau isu-isu, hendaklah melakukan tabayun, check and recheck, verification karena hal itu merupakan perintah dari Allah swt. Dengan memeriksa kebenaran suatu berita, kita sudah melaksanakan perintah Allah swt dan itu sangat berpahala. Apabila kita langsung percaya pada berita-berita atau isu-isu yang masih samar, kita akan mudah tergelincir dalam dosa karena tidak melaksanakan perintah Allah swt untuk selalu melakukan tabayun, check and recheck, verification. Lebih berdosa lagi jika kita yang justru menyebarkan berita-berita palsu itu. Bahkan, dosanya akan berlipat-lipat ganda jika penebaran berita bohong itu dilakukan justru oleh orang-orang yang mengakui dirinya sebagai ulama, ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb, atau apalah sebutannya bagi orang yang dihormati karena pengetahuan agamanya.

            Paham Saudara-saudaraku?

            Mau contoh satu lagi dari ajaran Islam yang dapat diaktualisasikan untuk meredam berita fitnah?

            Tidak mau?

            Terserah!

            Saya memaksa untuk berceritera. Kalau dada kalian tidak bisa menerima tulisan saya ini dan merasa sesak, segera tinggalkan halaman ini, pergilah ke halaman lain, situs lain yang kalian sukai. Saya hanya akan berceritera bagi mereka yang ingin mendapatkan pengetahuan dari saya meskipun sangat sedikit.

            Seharusnya, bukan saya yang menulis tentang hal ini. Para ahli yang lebih berkompeten untuk menerangkannya kepada masyarakat. Akan tetapi, mudah-mudahan, saya menjadi pemicu bagi para ahli untuk lebih luas menerangkannya kepada masyarakat. Saya hanya memaksakan diri untuk menulisnya.

            Dalam ajaran Islam ada yang disebut hadits. Isinya berupa informasi mengenai perilaku atau kata-kata Baginda Mulia Nabi Muhammad saw. Untuk mempercayai atau mendapatkan hadits yang benar, sah, atau shahih, diperlukan metode-metode ketat yang harus dijalankan agar potret dari perilaku dan kata-kata Muhammad saw itu benar-benar adalah yang terjadi secara nyata, bukan rekaan, bohong, atau fitnah. Meskipun kita mendapatkan kisah-kisah yang baik dan bagus tentang Nabi Muhammad saw, belum tentu itu terjadi secara nyata. Bisa jadi hal itu hanya merupakan dongeng-dongeng dari orang-orang yang mencintai Nabi Muhammad saw secara berlebihan. Kisah-kisah yang baik dan bagus saja harus diperiksa kebenarannya, apalagi kisah-kisah yang buruk. Kita tidak boleh menerima dan mempercayai berita baik, bagus, atau buruk tentang Nabi Muhammad saw, melainkan harus mendapatkan berita yang original terjadi secara nyata.

            Saya pribadi selalu menilai hadits itu pertama kali dari isinya, redaksinya. Jika redaksinya masuk akal, saya mulai menerima. Akan tetapi, jika sudah tidak masuk akal, saya mudah sekali untuk menolaknya dan menjatuhkannya menjadi dongeng sebelum tidur.

            Kedua, saya membandingkannya dengan Al Quran. Jika informasi mengenai Nabi Muhammad saw itu sesuai dengan Al Quran, semakin kuat keyakinan saya bahwa berita itu adalah benar. Apabila bertentangan dengan isi Al Quran, saya mengatakannya itu adalah dusta.

            Ketiga, saya mengujinya dengan hadits-hadits lain yang telah dinyatakan shahih lebih dulu. Jika memiliki kesesuaian dengan hadits-hadits yang dinyatakan shahih, semakin yakinlah bahwa berita atau hadits itu adalah kebenaran dan bukan rekaan. Apabila hadits itu bertentangan dengan hadits yang telah dinyatakan shahih, saya sangat meragukan keasliannya, bahkan kemungkinan menolaknya.

            Keempat, kita harus memeriksa apakah para perawi atau penyampai berita itu bisa dipercaya atau tidak. Orang yang layak dipercaya sebagai pembawa informasi mengenai Nabi Muhammad saw itu harus jelas orangnya, dikenal sebagai orang yang jujur, bukan pelupa, diakui sebagai orang baik-baik, tidak suka berbohong, memahami Islam dengan benar, dan lain sebagainya. Jika di antara para penyampai informasi itu terdapat orang yang diragukan integritas pribadinya, hadits Nabi Muhammad saw itu akan sangat sulit dinyatakan sebagai hadits shahih.

            Untuk masalah kualitas para penyampai informasi ini, kita memang bergantung sekali pada buku-buku rujukan yang telah ditulis sebelumnya. Belum ada lagi orang yang dianggap mampu melebihi kehebatan Imam Bukhari dalam mengumpulkan informasi atau hadits Nabi Muhammad saw. Jika saja saat ini ada orang yang mau dan mampu mengurutkan para penyampai berita itu sejumlah dua puluh generasi, dia akan lebih hebat daripada Imam Bukhari maupun Imam Muslim. Perlu diingat bahwa antara generasi kita dengan generasi Nabi Muhammad saw dihubungkan oleh dua puluh generasi. Jika ada orang yang mampu menjelaskan keduapuluh orang itu dari dua puluh generasi secara berturut-turut dan kronologis hingga mampu menghubungkan generasi kita dengan generasi Nabi Muhammad saw secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, ia lebih hebat dibandingkan para ahli hadits mana pun yang pernah dikenal di muka Bumi ini sepanjang sejarah masa. Dengan demikian, informasi mengenai perilaku dan kata-kata Nabi Muhammad saw benar-benar terkoneksi dengan kita secara nyata dan lebih meyakinkan. Hadits yang kita terima berasal dari siapa, siapa berasal dari siapa, siapa berasal dari siapa, terus berlanjut hingga berujung pada orang yang mendengar dan melihat langsung Nabi Muhammad saw. Setiap orang dari keduapuluh generasi itu harus menceriterakan hal yang sama persis. Jika ada satu orang saja yang mengisahkan hal berbeda, putuslah hadits itu di tengah jalan dan sangat sulit dipercaya kebenarannya.

            Sebagaimana tadi telah saya sampaikan bahwa para ahli haditslah yang sebaiknya menuliskan hal ini. Karena aturan-aturan ketat mengenai hadits Nabi, kita mengenal adanya hadits shahih, mutawatir, sampai dengan hadits dhaif. Bahkan, di kalangan umat Islam Sunda dikenal istilah teu dhaif-dhaif acan. Artinya, hadits itu dhaif pun tidak, hadits lemah pun bukan. Maksudnya, berita tentang Nabi saw yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu hanyalah dongeng belaka.

            Nah, pengetahuan atau pemahaman mengenai aturan-aturan atau metode-metode untuk menentukan kedudukan sebuah hadits ini dapat diaktualisasikan dalam memerangi berita-berita fitnah, bohong, dan palsu. Para ulama, ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb, Aa, atau apalah sebutannya bagi orang yang dihormati karena pengetahuan agamanya dapat menyadarkan umatnya bahwa untuk mempercayai sebuah berita sebagai sebuah kebenaran sangatlah tidak mudah, diperlukan upaya serius, tidak asal percaya. Isi berita itu harus masuk akal dan tidak bertentangan dengan kenyataan. Penyampai atau penulis berita itu harus jelas jati dirinya. Kualitas dari diri Si Penyampai Berita itu harus benar-benar teruji, apakah dia orang baik cerdas atau pembohong dan pengedar Narkoba; apakah dia memiliki daya ingat yang kuat atau mudah lupa; apakah konsisten hidupnya dalam kebaikan atau tidak; apakah gemar kekuasaan, angkuh, dan sombong, atau tidak; apakah dirinya lentur dalam menerima kritik atau arogan; rupa-rupa hal yang bisa dilakukan untuk menguji Si Penulis Berita dan hal itu menentukan kebenaran dari berita yang ditulisnya.

            Sampai hari ini saya melihat baru Presiden, pemerintah, aparat TNI-Polri, serta beberapa gelintir aktivis pers dan nasionalis yang sangat serius dalam memerangi huru-hara berita palsu di Medsos. Saya berharap dengan seluruh harapan bahwa para ulama, ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb, Aa, atau apalah sebutannya bagi orang yang dihormati karena pengetahuan agamanya dapat lebih berperan untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara meredam kekisruhan yang diakibatkan perilaku buruk dari para netizen yang tak tahu banyak tentang kebaikan dan kebenaran. Mungkin para ulama, ustadz, kiyai, ajengan, syekh, habieb, Aa, atau apalah sebutannya bagi orang yang dihormati karena pengetahuan agamanya sudah melakukannya di tempatnya masing-masing, tetapi saya merasakan kurang untuk di tingkat nasional, bahkan internasional.

            Hal ini pula yang saya sampaikan berulang-ulang kepada para mahasiswa saya. Saya berharap mereka dapat menulis yang baik-baik, bermanfaat, dan bernilai. Kalaupun harus menulis hal-hal yang buruk dan berisi kritikan, tulisannya harus  tetap bernilai memiliki data yang tepat dan menyampaikan informasi dengan jujur di samping memberikan solusi sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

            Beberapa perkuliahan saya direkam mahasiswa. Salah satunya yang ada di bawah ini.

            




No comments:

Post a Comment