Tuesday 24 January 2017

Kamu Salah, Zieq

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Entah kenapa tiba-tiba saya suka tertawa kalau melihat Rizieq FPI itu. Aneh dan lucu.

            Kok ada ya orang kayak dia yang berlagak seperti benar, tetapi sesungguhnya ngawur?

            Akan tetapi, dunia, khususnya Indonesia menjadi seru dengan adanya Rizieq. Dia itu hiburan yang mengernyitkan dahi bagi saya.

            Perhatikan saja dia ketika konferensi pers sehabis diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus “logo mirip palu arit”. Dia seolah-olah dengan cerdas menyatakan ingin ada penjelasan dari pemerintah terkait logo itu dan ia sesumbar mencintai Indonesia dengan mengkhawatirkan kebangkitan PKI. Di samping itu, ia pun mempertanyakan pihak BI yang menggunakan hasil rectoverso  pada uang kertas yang menurut mata dia adalah mirip palu arit. Padahal, kalau menurut saya sih bukan mirip palu arit, melainkan lebih mirip “kepala gantungan baju” atau bagian bawah “ganco”. Gambar yang satunya lagi lebih mirip “pengukur kunci duplikat”.

            Zieq, Zieq.

            Mestinya, dia mengatakan hal-hal itu sebelum teriak-teriak di depan gerombolannya yang ada di youtube. Sebelum dia berceramah dengan berapi-api di depan para pendukungnya, seharusnya datang dulu ke Gubernur BI. Audiensi ke BI. Tanyakan apa maksud dari gambar yang katanya mirip palu arit itu. Silaturahmi baik-baik. Dengan demikian, Rizieq akan mendapatkan penjelasan yang komprehensif dari BI. Jadi, tidak perlu bikin suasana gaduh tidak karu-karuan. Kalaupun setelah dijelaskan Rizieq masih juga berpikir itu mirip palu arit, beri masukan pada BI agar menarik uang itu karena khawatir masyarakat akan curiga kepada pemerintah terkait kebangkitan PKI. Kalau belum disetujui oleh BI, kan bisa bilang bahwa untuk pencetakan berikutnya sebaiknya digunakan hasil rectoverso lain yang kata dia ada jutaan hasil rectoverso.

            Begitu seharusnya kalau memang ingin benar-benar melakukan kebaikan dan memberikan masukan pada pemerintah agar masyarakat tidak curiga sekaligus menghalangi kebangkitan PKI. Saya yakin jika Rizieq melakukan itu, pemerintah akan merasa terbantu dan Rizieq pun dianggap orang yang telah berjasa memberikan masukan positif kepada pemerintah. Akan tetapi, kalau memang maksudnya pengen bikin ribut, cari perhatian, banyak gaya, banyak tingkah, atau bikin gaduh, ya pasti yang dilakukannya adalah teriak-teriak duluan tentang hal-hal yang belum jelas atau bikin-bikin kesimpulan sendiri berdasarkan persepsi sendiri tanpa kemampuan yang jelas.

            Zieq, Zieq.

            Kalaulah setelah memberi masukan pada BI, tidak juga digubris, dan tetap yakin itu adalah mirip palu arit, datangi DPR RI. Biarkan DPR RI mempelajari, lalu mengambil tindakan karena mereka adalah wakil rakyat yang memiliki kewenangan controlling. Mereka bisa memanggil pemerintah, membentuk Panja, bikin Pansus atau melakukan tindakan-tindakan lainnya. Dorong DPR RI untuk bergerak karena mereka adalah wakil rakyat.

            Untuk apa ada wakil rakyat jika DPR RI dan DPRD tidak bisa mewakili rakyat?

            Kalian dulu memilih siapa untuk menjadi wakil rakyat?

            Datangi dia, sampaikan keresahan kalian.

            Kalau orang yang kalian pilih tidak mengakomodasi keinginan kalian atau tidak memberikan penjelasan yang benar, jangan pilih dia lagi.

            Kalau kalian melibatkan DPR, tidak perlu banyak-banyak massa untuk bergerak. Dorong saja DPR agar bekerja mengawasi pemerintah, lalu membuat undang-undang yang prorakyat, termasuk pembuatan logo pada uang kertas.

            Bisa kan seperti itu?

            Zieq, sekarang ini para wakil rakyat itu kebanyakan menonton soal dugaan penghinaan Pancasila, penghinaan agama, ujaran kebencian, fitnah, hoax, dan atau kesaksian palsu. Mereka itu kebanyakan menonton dan sama sekali berada di pinggir pentas permasalahan. Padahal, mereka katanya wakil rakyat. Mereka sama sekali kurang meneruskan aspirasi kamu, Zieq dan tidak tidak juga memberikan penjelasan resmi yang dikeluhkan kamu, Zieq. Padahal, mereka katanya wakil rakyat.

            Mestinya kan wakil rakyat itu bisa meneruskan aspirasi rakyat jika aspirasinya itu bermanfaat dan positif. Di samping itu, bisa juga memberikan keterangan yang resmi tentang kebijakan pemerintah yang positif kepada rakyat. Bukan menonton situasi dengan tenang-tenang saja.

            Mengenai hiruk pikuk yang terjadi saat ini, DPR dan ulama tidak berbuat banyak. Kalaupun mereka bergerak, sama sekali minimal dan tidak terasa pengaruhnya. Pihak yang terlibat banyak dalam “keseruan” akhir-akhir ini ada tiga pihak. Paling tidak, menurut Haris Azhar yang pengamat hukum itu ada dua pihak, yaitu masyarakat intoleran dan masyarakat proprularisme. Satu pihak lagi adalah pemerintah. Ketiga pihak itu saat ini tengah bergelut dengan keinginannya masing-masing dan memperkuat diri agar bisa menang di kancah kehidupan nasional. Sementara itu, DPR yang katanya wakil rakyat hampir tidak bergerak dan hanya menjadi penonton. Demikian pula para ulama yang seharusnya memberikan ilmu pengetahuan yang benar tampak seperti kehilangan langkah dalam menghadapi situasi semacam ini. DPR dan ulama secara kelembagaan tidak menetapkan posisinya apakah mereka bersama pemerintah, bersama masyarakat intoleran, atau bersama masyarakat proprularisme.

            Kalau DPR dan ulama tidak ingin berpihak, seharusnya memiliki posisi sendiri, yaitu bisa menjadi “pendamai” atau “pemisah”. Contoh sederhana mengenai hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, jika ada dua orang yang berkelahi atau berseteru, kita bisa mengambil posisi tidak berpihak. Posisi itu bisa sebagai pendamai yang berusaha “mengakurkan” mereka yang sedang bertikai atau bisa berperan sebagai pemisah yang menjauhkan posisi mereka yang sedang bertengkar sehingga perselisihan bisa berhenti. Jika DPR dan ulama tidak memastikan posisinya, secara otomatis mereka berada dalam posisi yang dalam bahasa Sunda disebut marakayangan, artinya gentayangan. Tidak jelas mereka berada di mana dan muncul sekehendak diri mereka sendiri.

            Saya malah khawatir para anggota DPR yang sedang menonton peristiwa yang terjadi hampir setiap hari di Indonesia ini akan menjadikan berbagai kekisruhan itu sebagai bahan komoditi yang akan didagangkan pada masa-masa kampanye. Mereka bisa memanfaatkan situasi itu untuk menaikkan citra diri dan menarik perhatian rakyat meskipun tidak berperan secara signifikan. Mereka akan berbusa-busa seolah-olah memahami penyelesaian masalahnya dengan sangat baik, tetapi sama sekali tidak berperan aktif secara nyata.

            Apabila para wakil rakyat tidak mampu secara benar ikut menyelesaikan berbagai masalah “kebhinekaan” yang terjadi akhir-akhir ini, sesungguhnya mereka lebih rendah dibandingkan para “jago, pendekar, dan jawara” masa lalu. Menurut Prof. Dr. H. Edi S. Ekadjati, ahli sejarah, fungsi-fungsi DPR pada masa lalu atau masa kerajaan dan masa kolonial dipegang oleh para jago, pendekar, dan jawara. Para pendekar ini kerap dilibatkan dalam hal legislasi, controlling, dan budgeting oleh para penguasa, baik itu raja maupun kolonial. Bahkan, lebih luas daripada itu. Para pendekar atau jawara ini berfungsi pula sebagai penyampai aspirasi rakyat kepada para penguasa. Mereka menyampaikan banyak keluhan rakyat kepada penguasa. Di samping itu, para jago ini berperan pula dalam menyosialisasikan berbagai program kebijakan penguasa, baik itu raja maupun kolonial kepada masyarakat. Mereka berupaya memahamkan masyarakat agar dapat sejalan dengan penguasa.

            Apabila terdapat perbedaan kepentingan antara rakyat dan pemerintah yang memunculkan situasi tegang, para pendekar inilah yang kemudian bertarung di antara para pendekar sendiri. Sebagian pendekar propenguasa, sebagian prorakyat. Oleh sebab itu, muncullah kisah-kisah silat dan ceritera-ceritera pertarungan para jawara seperti yang kita kenal saat ini.

            Baik sekali jika para anggota DPR ikut berperan sebagaimana para jago, pendekar, dan jawara yang mampu menjadi wakil rakyat sebagai penyampai aspirasi rakyat sekaligus Humas pemerintah dalam menyosialisasikan program dan kebijakan positif pemerintah agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan hanya mengumpulkan isu untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi sesaat yang sangat rendah itu.

            Rizieq semestinya dapat memanfaatkan para wakil rakyat untuk menyampaikan banyak aspirasinya agar dapat tersalurkan dengan lebih baik. Jangan bikin gaduh dulu, mikir kemudian. Mikir dulu, baru sampaikan aspirasi pada tempatnya. Kalau tidak tersalurkan dengan baik, kritik habis itu wakil rakyat yang tidak mampu mewakili rakyat dan memahamkan rakyat. Jika para wakil rakyat itu tidak becus menyampaikan keinginan masyarakat, salahkan diri sendiri.


            Bukankah kalian sendiri yang memilih orang-orang itu untuk duduk di kursi wakil rakyat?

No comments:

Post a Comment