oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Entah kenapa tiba-tiba saya suka tertawa kalau melihat
Rizieq FPI itu. Aneh dan lucu.
Kok ada
ya orang kayak dia yang berlagak seperti benar, tetapi sesungguhnya ngawur?
Akan
tetapi, dunia, khususnya Indonesia menjadi seru dengan adanya Rizieq. Dia itu
hiburan yang mengernyitkan dahi bagi saya.
Perhatikan saja dia ketika konferensi pers sehabis
diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus “logo mirip palu arit”. Dia seolah-olah
dengan cerdas menyatakan ingin ada penjelasan dari pemerintah terkait logo itu
dan ia sesumbar mencintai Indonesia dengan mengkhawatirkan kebangkitan PKI. Di
samping itu, ia pun mempertanyakan pihak BI yang menggunakan hasil rectoverso pada uang kertas yang menurut mata dia adalah
mirip palu arit. Padahal, kalau menurut saya sih bukan mirip palu arit,
melainkan lebih mirip “kepala gantungan baju” atau bagian bawah “ganco”. Gambar
yang satunya lagi lebih mirip “pengukur kunci duplikat”.
Zieq, Zieq.
Mestinya, dia mengatakan hal-hal itu sebelum
teriak-teriak di depan gerombolannya yang ada di youtube. Sebelum dia
berceramah dengan berapi-api di depan para pendukungnya, seharusnya datang dulu
ke Gubernur BI. Audiensi ke BI. Tanyakan apa maksud dari gambar yang katanya mirip
palu arit itu. Silaturahmi baik-baik. Dengan demikian, Rizieq akan mendapatkan
penjelasan yang komprehensif dari BI. Jadi, tidak perlu bikin suasana gaduh
tidak karu-karuan. Kalaupun setelah dijelaskan Rizieq masih juga berpikir itu
mirip palu arit, beri masukan pada BI agar menarik uang itu karena khawatir
masyarakat akan curiga kepada pemerintah terkait kebangkitan PKI. Kalau belum
disetujui oleh BI, kan bisa bilang bahwa untuk pencetakan berikutnya sebaiknya
digunakan hasil rectoverso lain yang
kata dia ada jutaan hasil rectoverso.
Begitu seharusnya kalau memang ingin benar-benar
melakukan kebaikan dan memberikan masukan pada pemerintah agar masyarakat tidak
curiga sekaligus menghalangi kebangkitan PKI. Saya yakin jika Rizieq melakukan
itu, pemerintah akan merasa terbantu dan Rizieq pun dianggap orang yang telah
berjasa memberikan masukan positif kepada pemerintah. Akan tetapi, kalau memang
maksudnya pengen bikin ribut, cari perhatian, banyak gaya, banyak tingkah, atau
bikin gaduh, ya pasti yang dilakukannya adalah teriak-teriak duluan tentang
hal-hal yang belum jelas atau bikin-bikin kesimpulan sendiri berdasarkan
persepsi sendiri tanpa kemampuan yang jelas.
Zieq, Zieq.
Kalaulah setelah memberi masukan pada BI, tidak juga
digubris, dan tetap yakin itu adalah mirip palu arit, datangi DPR RI. Biarkan
DPR RI mempelajari, lalu mengambil tindakan karena mereka adalah wakil rakyat
yang memiliki kewenangan controlling.
Mereka bisa memanggil pemerintah, membentuk Panja, bikin Pansus atau melakukan
tindakan-tindakan lainnya. Dorong DPR RI untuk bergerak karena mereka adalah
wakil rakyat.
Untuk apa ada wakil rakyat jika DPR RI dan DPRD tidak
bisa mewakili rakyat?
Kalian dulu memilih siapa untuk menjadi wakil rakyat?
Datangi dia, sampaikan keresahan kalian.
Kalau orang yang kalian pilih tidak mengakomodasi
keinginan kalian atau tidak memberikan penjelasan yang benar, jangan pilih dia
lagi.
Kalau kalian melibatkan DPR, tidak perlu banyak-banyak
massa untuk bergerak. Dorong saja DPR agar bekerja mengawasi pemerintah, lalu
membuat undang-undang yang prorakyat, termasuk pembuatan logo pada uang kertas.
Bisa kan seperti itu?
Zieq, sekarang ini para wakil rakyat itu kebanyakan
menonton soal dugaan penghinaan Pancasila, penghinaan agama, ujaran kebencian,
fitnah, hoax, dan atau kesaksian palsu. Mereka itu kebanyakan menonton dan sama
sekali berada di pinggir pentas permasalahan. Padahal, mereka katanya wakil
rakyat. Mereka sama sekali kurang meneruskan aspirasi kamu, Zieq dan tidak
tidak juga memberikan penjelasan resmi yang dikeluhkan kamu, Zieq. Padahal,
mereka katanya wakil rakyat.
Mestinya kan wakil rakyat itu bisa meneruskan aspirasi
rakyat jika aspirasinya itu bermanfaat dan positif. Di samping itu, bisa juga
memberikan keterangan yang resmi tentang kebijakan pemerintah yang positif
kepada rakyat. Bukan menonton situasi dengan tenang-tenang saja.
Mengenai hiruk pikuk yang terjadi saat ini, DPR dan ulama
tidak berbuat banyak. Kalaupun mereka bergerak, sama sekali minimal dan tidak
terasa pengaruhnya. Pihak yang terlibat banyak dalam “keseruan” akhir-akhir ini
ada tiga pihak. Paling tidak, menurut Haris Azhar yang pengamat hukum itu ada
dua pihak, yaitu masyarakat intoleran dan masyarakat proprularisme. Satu pihak
lagi adalah pemerintah. Ketiga pihak itu saat ini tengah bergelut dengan
keinginannya masing-masing dan memperkuat diri agar bisa menang di kancah
kehidupan nasional. Sementara itu, DPR yang katanya wakil rakyat hampir tidak
bergerak dan hanya menjadi penonton. Demikian pula para ulama yang seharusnya
memberikan ilmu pengetahuan yang benar tampak seperti kehilangan langkah dalam
menghadapi situasi semacam ini. DPR dan ulama secara kelembagaan tidak menetapkan
posisinya apakah mereka bersama pemerintah, bersama masyarakat intoleran, atau
bersama masyarakat proprularisme.
Kalau DPR dan ulama tidak ingin berpihak, seharusnya
memiliki posisi sendiri, yaitu bisa menjadi “pendamai” atau “pemisah”. Contoh
sederhana mengenai hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, jika ada dua orang yang berkelahi atau berseteru, kita bisa mengambil
posisi tidak berpihak. Posisi itu bisa sebagai pendamai yang berusaha “mengakurkan”
mereka yang sedang bertikai atau bisa berperan sebagai pemisah yang menjauhkan
posisi mereka yang sedang bertengkar sehingga perselisihan bisa berhenti. Jika
DPR dan ulama tidak memastikan posisinya, secara otomatis mereka berada dalam
posisi yang dalam bahasa Sunda disebut marakayangan,
artinya gentayangan. Tidak jelas
mereka berada di mana dan muncul sekehendak diri mereka sendiri.
Saya malah khawatir para anggota DPR yang sedang menonton
peristiwa yang terjadi hampir setiap hari di Indonesia ini akan menjadikan
berbagai kekisruhan itu sebagai bahan komoditi yang akan didagangkan pada
masa-masa kampanye. Mereka bisa memanfaatkan situasi itu untuk menaikkan citra
diri dan menarik perhatian rakyat meskipun tidak berperan secara signifikan.
Mereka akan berbusa-busa seolah-olah memahami penyelesaian masalahnya dengan sangat
baik, tetapi sama sekali tidak berperan aktif secara nyata.
Apabila para wakil rakyat tidak mampu secara benar ikut
menyelesaikan berbagai masalah “kebhinekaan” yang terjadi akhir-akhir ini,
sesungguhnya mereka lebih rendah dibandingkan para “jago, pendekar, dan jawara”
masa lalu. Menurut Prof. Dr. H. Edi S. Ekadjati, ahli sejarah, fungsi-fungsi
DPR pada masa lalu atau masa kerajaan dan masa kolonial dipegang oleh para jago,
pendekar, dan jawara. Para pendekar ini kerap dilibatkan dalam hal legislasi,
controlling, dan budgeting oleh para
penguasa, baik itu raja maupun kolonial. Bahkan, lebih luas daripada itu. Para
pendekar atau jawara ini berfungsi pula sebagai penyampai aspirasi rakyat
kepada para penguasa. Mereka menyampaikan banyak keluhan rakyat kepada
penguasa. Di samping itu, para jago ini berperan pula dalam menyosialisasikan
berbagai program kebijakan penguasa, baik itu raja maupun kolonial kepada
masyarakat. Mereka berupaya memahamkan masyarakat agar dapat sejalan dengan
penguasa.
Apabila terdapat perbedaan kepentingan antara rakyat dan
pemerintah yang memunculkan situasi tegang, para pendekar inilah yang kemudian
bertarung di antara para pendekar sendiri. Sebagian pendekar propenguasa, sebagian
prorakyat. Oleh sebab itu, muncullah kisah-kisah silat dan ceritera-ceritera pertarungan
para jawara seperti yang kita kenal saat ini.
Baik sekali jika para anggota DPR ikut berperan sebagaimana
para jago, pendekar, dan jawara yang mampu menjadi wakil rakyat sebagai
penyampai aspirasi rakyat sekaligus Humas pemerintah dalam menyosialisasikan
program dan kebijakan positif pemerintah agar terjadi keseimbangan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan hanya mengumpulkan isu untuk
mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi sesaat yang sangat rendah itu.
Rizieq semestinya dapat memanfaatkan para wakil rakyat
untuk menyampaikan banyak aspirasinya agar dapat tersalurkan dengan lebih baik.
Jangan bikin gaduh dulu, mikir kemudian. Mikir dulu, baru sampaikan aspirasi
pada tempatnya. Kalau tidak tersalurkan dengan baik, kritik habis itu wakil
rakyat yang tidak mampu mewakili rakyat dan memahamkan rakyat. Jika para wakil
rakyat itu tidak becus menyampaikan keinginan masyarakat, salahkan diri
sendiri.
Bukankah kalian sendiri yang memilih orang-orang itu
untuk duduk di kursi wakil rakyat?
No comments:
Post a Comment