oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Amerika Serikat yang kerap
disebut-sebut orang sebagai negara adidaya, kini mengalami goncangan politik,
sosial, dan ekonomi yang teramat hebat. Warga Negara Amerika Serikat beserta
para pemimpinnya merasakan benar penurunan kualitas negaranya. Oleh sebab itu, Donald Trump menggunakan slogan Make America Great Again dalam pemilihan
presiden dan berhasil menang. Donald
Trump membius rakyat Amerika Serikat dengan mimpi-mimpi manis untuk meraih
kegemilangan masa lalu.
Dunia menduga, rakyat Amerika Serikat mengira, warga
Indonesia menyangka bahwa Amerika Serikat muncul menjadi negara yang hebat
disebabkan menggunakan sistem politik demokrasi. Amerika Serikat memang menjadi
negara yang teramat hebat dan menyangka dirinya hebat karena politik demokrasi
di dalam negerinya. Oleh sebab itu, tak heran jika mereka berpandangan bahwa
dunia harus menggunakan sistem politik demokrasi agar bisa hebat seperti
mereka. Tak terkecuali, banyak pemikir dan elit Indonesia pun terjebak dalam
pemikiran yang sama. Para elit Indonesia melihat Amerika Serikat berhasil
membangun ekonomi dengan spektakuler, teknologi yang hebat, dan kekuatan
militer yang tangguh disebabkan menggunakan sistem politik demokrasi. Oleh
sebab itu, Indonesia pun diupayakan mencontoh sistem politik demokrasi di
Amerika Serikat. Negeri itu kerap menjadi acuan atau cerminan demokrasi di
Indonesia.
Sayang sekali, Amerika Serikat bisa hebat sesungguhnya
bukan karena menggunakan sistem politik demokrasi. Mereka menipu diri sendiri,
dunia pun ikut tertipu, Indonesia juga tertipu. Pandangan bahwa Amerika Serikat
bisa hebat karena demokrasi sesungguhnya hanya hoax, ‘berita palsu’.
Hal yang sesungguhnya memunculkan Amerika Serikat menjadi
negara hebat adalah disebabkan tiga hal, yaitu pertama, ketika Eropa dilanda perang-perang besar yang sangat
menghancurkan, Amerika Serikat sama sekali tidak ikut campur dalam
perang-perang itu. Tidak ada satu bom pun yang jatuh di tanah Amerika Serikat.
Eropa memang sedang berkecamuk saling bunuh, saling perkosa, dan saling bantai
di antara mereka sendiri. Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno menggambarkan Eropa saat
itu seperti ketel penuh minyak mendidih
yang bergolak panas sekali. Dengan tidak terlibatnya dalam perang-perang di
Eropa, Amerika Serikat lebih
berkonsentrasi menggunakan waktu dan energinya untuk membangun ekonomi dan
militer. Itulah yang membuat Amerika Serikat menjadi kuat.
Kedua, ketika wilayah
Asia berada dalam kekuasaan para penjajah, Amerika Serikat tidak berada dalam
keadaan terjajah. Pada saat kemakmuran, kekayaan, dan kedamaian rakyat Asia,
termasuk Indonesia dirampok dan dihancurkan oleh brutalitas para penjajah,
Amerika Serikat bukanlah negeri jajahan. Bahkan, Amerika Serikat ikut pula
menyedot kekayaan dan kemakmuran negeri-negeri Asia yang terjajah. Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwa negeri-negeri terjajah selalu terbelakang,
tertinggal, dan menderita. Jangankan untuk berkembang, untuk bertahan hidup
saja sulitnya bukan main. Sementara itu, Amerika Serikat tidak dalam keadaan
terjajah. Itulah salah satu hal yang membuat Amerika Serikat muncul menjadi
negara kuat.
Ketiga, partisipasi
publik Amerika Serikat dalam politik demokrasi teramat rendah. Dari sejak
berdirinya, rakyat Amerika Serikat sama sekali tidak mementingkan kehidupan
agama dan dinamika politik. Agama dan politik adalah barang rendah dan remeh
yang tidak terlalu mereka pedulikan. Hal itu disebabkan para penduduk awal Amerika
Serikat adalah pelarian dari negeri-negeri Eropa, terutama Inggris yang sangat
mementingkan kekuasaan negara dan kekuasaan agama. Mereka berlarian ke Amerika
Serikat karena merasa terkekang, tertindas, terancam, dan terpenjara oleh
banyak aturan negara dan agama. Oleh sebab itu, mereka menyebut Amerika Serikat
sebagai Negara Impian karena di
Amerika Serikat-lah mereka bisa melepaskan dirinya dari berbagai ikatan yang
menjerat hidup mereka sehingga bisa hidup merdeka dan bebas tanpa mendapat
tekanan dari kaum penguasa dan kaum pendeta agama. Tak heran bahwa para
pendahulu rakyat Amerika Serikat sering juga disebut “para pelarian agama”.
Karena mereka berada di Amerika Serikat berasal dari “pelarian
agama”, mereka pun sangat tidak peduli dengan agama dan politik. Mereka lebih
berkonsentrasi pada kebebasan, peningkatan kehidupan ekonomi, dan pencarian
materi sebesar-besarnya. Jadilah mereka kapitalistis.
Rendahnya partisipasi rakyat Amerika Serikat dalam sistem
politik demokrasi, bisa dilihat dari angka-angka partisipasi rakyat dalam
pemilihan presiden yang tidak pernah mencapai angka 50%. Dari sejak mula
berdirinya, partisipasi publik Amerika Serikat dalam pemilihan presiden hanya
sekitar 30% s.d. 43%. Rendah sekali. Bahkan, ketika Barack Obama terpilih pun
angkanya tidak melebihi 43%.
Angka partisipasi rakyat Amerika Serikat yang sangat
rendah dalam proses demokrasi menyebabkan tidak terjadinya goncangan-goncangan
berarti yang diakibatkan oleh aktivitas politik seperti Pemilu Pilwalkot,
Pilgub, dan Pilpres. Mereka hampir tidak peduli dengan politik. Mereka lebih
suka membangun kerajaan bisnis sehingga tak heran banyak orang sibuk bisnis
hingga stres yang kemudian menjadi kaya raya di sana. Itulah yang menyebabkan ekonomi Amerika Serikat
menjadi adidaya dengan kekuatan militer yang juga teramat kuat secara teknologi.
Peningkatan
Partisipasi Mengakibatkan Kegoncangan
Rendahnya partisipasi publik
Amerika Serikat terhadap proses demokrasi, membuat negara itu tidak banyak
guncangan serta dapat memanfaatkan energi dan waktunya untuk bisnis, ekonomi,
dan militer. Berbeda halnya dengan ketika rakyat Amerika Serikat mengalami
peningkatan partisipasi dalam sistem politik demokrasi, terjadilah
guncangan-guncangan hebat, seperti, kriminalitas, pembunuhan, penculikan,
Narkoba, konflik horizontal, hoax, kecurangan dalam proses pemilihan, peningkatan
rasisme, intoleransi, kecurigaan berlebihan, polarisasi di tengah masyarakat,
demonstrasi di sana-sini akibat proses politik, tuduhan keterlibatan Rusia
dalam pengaturan pemenangan Pilpres Donald Trump, dan lain sebagainya.
Memang partisipasi publik Amerika Serikat dalam demokrasi
saat ini mengalami lonjakan peningkatan yang teramat tinggi. Rakyat Amerika
Serikat yang berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan presiden saat
pertarungan Hillary Clinton vs Donald Trump mencapai 67%. Entah apa sebabnya,
padahal pada masa Barack Obama saja tidak melebihi 43%.
Masyarakat yang terlibat aktif dalam proses politik dalam
jumlah besar ini tidak hanya berhenti mengguncangkan negara sebelum dan saat
Pilpres di Amerika Serikat, melainkan pula berlanjut meskipun Donald Trump
telah terpilih. Hoax, tuduhan kerja sama dengan Rusia, kecurangan dalam Pilpres,
hasutan, dan provokasi terus terjadi dan sangat sulit untuk dihentikan. Bahkan,
goncangan-goncangan ini akan terus menghantui Amerika Serikat yang mendorong
pula semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses politik yang mengakibatkan
semakin besarnya goncangan yang akan terjadi.
Hal itu dapat menjadi dasar hipotesa bahwa slogan Make America Great Again tidak akan
pernah terjadi dan hanya mimpi tanpa akan menjadi kenyataan. Hal itu disebabkan
jika Amerika Serikat ingin hebat seperti dulu lagi, Eropa harus saling
berperang dulu, Asia, termasuk Indonesia harus berada dalam keadaan terjajah, dan
partisipasi publik Amerika Serikat dalam demokrasi harus sangat rendah. Sementara
itu, Amerika Serikat tidak ikut perang bersama Eropa, ikut menyedot hasil Bumi tanah
jajahan, serta berkonsentrasi pada bisnis dan militer dengan meninggalkan
perhatian pada politik.
Mungkinkah hal itu terjadi saat ini?
Kalaupun tidak bisa dikatakan mustahil, hal itu sangat
sulit terjadi.
Sebaiknya, rakyat Amerika Serikat kembali merenungkan nasihat
founding fathers-nya, Thomas Jefferson yang mengatakan, “Jika syarat masuk surga itu adalah harus menjadi
anggota partai politik, aku lebih memilih untuk masuk neraka!”
Jadi, Amerika Serikat dulu bisa sangat hebat bukanlah
karena menggunakan sistem politik demokrasi, melainkan disebabkan tidak ikut
campur dalam perang di Eropa, ikut menikmati kekayaan tanah jajahan, dan
rendahnya perhatian rakyat Amerika Serikat dalam proses demokrasi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Masih betah dengan demokrasi?
No comments:
Post a Comment