Sunday 22 January 2017

Ulama Cengeng

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pernah mendengar ada yang mengkritik keras ulama?

            Kalau belum ada, saya mau geer saja bahwa saya adalah orang kedua yang mengkritik ulama dengan kata-kata yang merendahkan setelah Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno. Bedanya, Soekarno menggunakan kata “merintih”, saya menggunakan kata “cengeng”.

            Dulu Soekarno mengkritik keras orang-orang Islam, termasuk ulama yang selalu menginginkan bahwa dasar Negara Indonesia adalah Islam. Mereka selalu mempengaruhi Soekarno dan membuat orasi untuk tidak memisahkan Islam dari negara.

            Kepada mereka, Soekarno mengkritik keras, “Aku tidak suka orang-orang Islam yang selalu ‘merintih’ janganlah Islam dipisahkan dari negara. Janganlah Islam-nya dipisahkan dari negara. Aku lebih suka orang-orang Islam yang dapat menjawab tantangannya zaman. Banjirilah itu kursi-kursi parlemen jika engkau benar-benar rakyat Islam!”

            Tampaknya, Soekarno mendapatkan inspirasi dari Kemal Ataturk yang telah membuat Turki menjadi negara sekuler. Kemal Ataturk menurut Soekarno secara sengaja memisahkan Islam dari negara dengan maksud baik kepada orang-orang Islam sendiri.

            Kemal Ataturk berkata, “Aku pisahkan Islam dari negara agar Islam menjadi kuat!”

            Kemal mengatakan hal seperti itu karena melihat bahwa Turki menjadi lemah sehingga disebut sebagai Si Orang Sakit dari Eropa disebabkan terlalu bergantungnya negara pada peranan ulama yang tidak mengerti kondisi negara. Kemal merasa kesal terhadap kebiasaan negara yang selalu harus meminta persetujuan ulama untuk menyelamatkan Turki yang sedang berada di ambang kehancuran. Sementara itu, ulama yang kerap dimintai “restu” dan “titahnya” adalah mereka yang tinggal di pinggir-pinggir kuburan dan tempat-tempat sepi.

            Kisah itu saya dapatkan dari Dibawah Bendera Revolusi yang ditulis oleh Soekarno sendiri. Saya sudah dua kali khatam membaca buku tebal itu.

            Soekarno tidak ekstrim seperti Kemal Ataturk yang membuat Turki menjadi negara sekuler. Soekarno hanya mengkritik orang Islam dan ulama agar mampu berjuang dan bertarung merebut kursi parlemen sehingga dapat menggunakannya untuk mewujudkan cita-cita Islam mereka. Dalam kata lain, Soekarno mempersilakan kekuatan Islam untuk menguasai negara dengan cara memenuhi kursi parlemen. Hal itu pun mendorong kekuatan Islam untuk menunjukkan benar-benar keislamannya sehingga dapat dipercaya oleh rakyat untuk mengelola negara.

            Hingga saat ini pintu yang dibukakan Soekarno untuk memasuki medan juang dalam “mengislamkan” negara sudah terbuka lebar. Semua kekuatan Islam memperoleh hak untuk memasuki parlemen. Akan tetapi, ternyata mereka yang kerap “merintih” untuk mendapatkan kondisi negara dalam keadaan Islam seperti yang mereka pikirkan tidak pernah juga terwujud.

            Pintu sudah dibuka, medan juang sudah dimasuki, hak mendapatkan kekuasaan telah diperoleh, tetapi keinginan untuk menyatukan Islam dengan negara tidak juga terwujud. Pasti ada yang salah di dalam diri orang-orang yang suka “merintih” itu. Mereka tidak mampu memenuhi kursi parlemen dengan baik dan sempurna.

            Apa masalahnya?

            Pikirkan saja sendiri.


Cengeng

Saya melihat bahwa akhir-akhir ini banyak “ulama cengeng” yang mengemis dan meminta-minta rasa hormat dari orang lain. Dari beberapa demonstrasi yang diklaim sebagai gerakan umat Islam, padahal hanya sekelompok kecil umat Islam, kalau tidak salah, banyak spanduk atau baligo atau poster yang “cengeng” bertuliskan semacam Hormati Ulama, Muliakan Ulama, Jangan Hina Ulama, atau Jangan Kriminalisasi Ulama.

            Tulisan-tulisan macam apa itu?

            Memalukan!

            Tulisan-tulisan cengeng itu tidak perlu ada. Ulama akan selalu dihormati jika benar-benar memberikan bimbingan, arahan, pencerahan, kesejukan, pemecahan masalah, dan kedamaian  pada hati orang banyak. Oleh sebab itu, ulama tidak perlu tulisan-tulisan cengeng semacam itu. Lakukanlah kewajibannya sebagai wakil Allah swt dan penerus Nabi Muhammad saw di muka Bumi ini dalam menebarkan kasih dan kedamaian sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah swt. Rasa hormat orang banyak itu akan datang dengan sendirinya jika orang-orang yang dianggap ulama itu melakukan kewajibannya dengan baik.

            Bolehlah orang-orang diingatkan untuk selalu menghormati ulama, memuliakan ulama, dan mematuhi ulama jika berada di kelas TK, SD, SMP, SMA, pengajian-pengajian, atau majelis-majelis taklim. Hal itu bukanlah merupakan “kecengengan”, melainkan suatu upaya membentuk pribadi dan kehidupan sosial yang lebih baik dalam arti kita harus selalu menghormati dan memuliakan orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dibandingkan kita. Dengan rasa hormat kita kepada mereka, yaitu ulama sama artinya dengan memberikan ketenangan dan keluasan berpikir bagi para ulama untuk memberikan arahan dan bimbingan yang baik kepada kita.

            Akan tetapi, jika teriakan-teriakan Hormati Ulama, Muliakan Ulama, Jangan Hina Ulama, atau Jangan Kriminalisasi Ulama itu hanya untuk menghalangi orang untuk memberikan kritikan kepada para ulama yang dianggap tidak baik atau menghambat penegakkan hukum kepada orang-orang yang disebut ulama itu, itulah yang saya sebut ulama cengeng. Dalam kata lain, ulama cengeng adalah mereka yang meminta orang-orang untuk menghormati dan memuliakan dirinya hanya untuk menyembunyikan kesalahan diri dan melindungi diri dari masalah-masalah yang menimpanya. Orang-orang seperti ini justru telah merusakkan nama baik ulama itu sendiri. Hal itu disebabkan banyak ulama yang sampai hari ini tetap dihormati dan dimuliakan orang karena memang dirinya adalah orang terhormat dan mulia, bukan sebagai orang yang gemar bikin onar. Ulama yang benar-benar sangat takut kepada Allah swt tidak memerlukan spanduk, baligo, maupun poster untuk meminta rasa hormat dan kemuliaan dari orang banyak. Mereka tidak memerlukan itu karena mereka hanya ingin cinta dari Allah swt. Rasa hormat orang banyak itu akan datang dengan sendirinya karena perilaku dan ilmunya yang sangat terpuji. Kata-katanya mencerahkan dan memberikan kedalaman ilmu, bukan provokasi.  

            Adapula orang-orang yang inginnya disebut ulama dan ingin selalu dihormati dengan cara mengajak orang bernostalgia ke masa lalu. Orang-orang diingatkan terhadap jasa para ulama dalam membentuk Negara Indonesia. Mereka berharap bahwa masyarakat sekarang tidak meminggirkan ulama karena ulama sangat besar jasanya bagi Indonesia.

            Bagi orang-orang semacam ini, saya perlu mengingatkan kata-kata dari Ali bin Abi Thalib ra, “Bukan pemuda namanya yang selalu berkata ‘Ini bapakku’. Pemuda adalah yang mampu mengatakan ‘Inilah aku’.”

            Begitu kira-kira yang dikatakan Ali ra. Meskipun tidak tepat benar redaksinya, tetapi maknanya memang seperti itu.

            Bolehlah ucapan Ali ra digunakan untuk mengingatkan kita sebagai kaum muslimin, terutama ulama. Ulama tidak boleh terus-terusan membangga-banggakan ulama masa lalu, tetapi tunjukkanlah diri ulama masa kini.

            Benar sekali ulama masa lalu banyak jasanya. Pendustalah yang mengingkari peranan ulama dalam membangun dan mendirikan Indonesia. Akan tetapi, itu kan masa lalu.

            Bagaimana dengan ulama masa kini?

            Ulama masa lalu telah menunjukkan prestasinya. Mereka memiliki prestasi sendiri, jasa sendiri, pahala sendiri, dan keagungan sendiri di hadapan Allah swt.

            Ulama sekarang harus memiliki prestasi sendiri, jasa sendiri, dan keagungan sendiri di hadapan Allah swt.

            Setiap umat memiliki masa dan nilai tersendiri di hadapan Allah swt. Ulama masa lalu jelas banyak sekali jasanya, terlalu banyak karya positifnya. Ulama sekarang pun seharusnya tidak selalu menyandarkan diri pada jasa-jasa para pendahulunya, melainkan menunjukkan dirinya sendiri, prestasinya sendiri, kiprahnya sendiri, dan nilainya sendiri, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan seluruh manusia.

            Ulama yang selalu mengingat-ingatkan orang atas jasa ulama terdahulu yang hanya bertujuan untuk mendapatkan rasa hormat dari orang banyak, akan mudah sekali jatuh menjadi “ulama cengeng”.  

            Ulama masa lalu telah besar jasanya membuat Indonesia merdeka dan tetap berdiri kokoh. Ulama sekarang harus memiliki jasa yang juga besar dalam mengisi kemerdekaan dengan berbagai hal positif dan mendorong rakyat untuk membangun dalam rangka meratakan jalan agar umat dapat menapaki jalan yang baik untuk mencapai Allah swt dengan suci dan bersih.


Berani Melakukan Otokritik

Kalaulah ulama itu merupakan strata atau lapisan sosial tersendiri di dalam masyarakat kita, hendaklah memiliki kemampuan untuk melakukan otokritik untuk menyehatkan lapisan sosialnya sendiri. Tidak perlu malu atau sungkan untuk mengakui bahwa di antara orang-orang yang disebut ulama itu tidak semuanya baik. Kita semua manusia yang memiliki celah untuk melakukan kesalahan dan taubat adalah obatnya. Tak perlu ragu untuk membenahi diri karena kenyataan sudah menunjukkan bahwa ada beberapa oknum ahli agama yang melakukan hal tidak terpuji.

            Bukankah beberapa kali kita menyaksikan ada orang yang disebut ahli agama, tetapi melakukan pelecehan seksual kepada santriwatinya?

            Cara untuk membenahi diri para ulama bisa dengan cara yang lembut semisal melakukan “saling menasihati” di antara para ulama atau dengan cara yang keras semisal menjauhkan atau memisahkan diri dari orang-orang yang inginnya disebut ulama, tetapi tidak menunjukkan pribadi sebagai ulama yang sesungguhnya. Bisa pula dengan hal lainnya sesuai dengan keilmuan para ulama yang terhormat.

            Saya menulis hal seperti ini karena menginginkan bahwa ulama tetap berada dalam posisi terhormat dan mulia di tengah masyarakat serta tidak tercoreng oleh mereka yang ingin disebut ulama, tetapi mencederai nama baik ulama dengan menciptakan kebingungan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Jujur saja, sebagai orang Islam, saya dan masyarakat muslim lainnya membutuhkan arahan dan bimbingan para ulama yang benar-benar ulama agar dapat menapaki jalan yang lurus untuk mencapai keridhoan Allah swt dan bukan kebisingan yang penuh provokasi.

            Apabila para ulama tidak bersegera membenahi diri, ada lapisan sosial masyarakat lain yang berpotensi mengambil alih peranan para ulama. Perlahan namun pasti, saat ini pun mereka sudah melakukannya. Mereka adalah para motivator, trainer softskill, akademisi, dan psikolog yang sangat memahami kebutuhan masyarakat. Sangat sering mereka menggunakan ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw dalam menjawab dan menyelesaikan banyak keresahan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat pun tampaknya mendapatkan jawaban yang memuaskan dan mulai bergantung kepada mereka. Adapun para ahli agama mulai terbatasi hanya sebagai pembaca doa. Sungguh, saya tidak ingin ini terus terjadi. Saya malah berharap para ulama dan para motivator, trainer, akademisi, dan psikolog dapat saling mengisi sehingga memperkaya masyarakat kita dengan penuh kebaikan dan percaya diri.

            Bukankah para motivator, trainer softskill, akademisi, dan psikolog mampu memahami Al Quran dan hadits Nabi Muhammad saw karena mereka adalah juga para murid dari para ulama yang saleh?

No comments:

Post a Comment