oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pernah mendengar ada yang mengkritik keras ulama?
Kalau belum ada, saya mau geer saja bahwa saya adalah orang kedua yang mengkritik ulama
dengan kata-kata yang merendahkan setelah Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir.
Soekarno. Bedanya, Soekarno menggunakan kata “merintih”, saya menggunakan kata
“cengeng”.
Dulu Soekarno mengkritik keras orang-orang Islam,
termasuk ulama yang selalu menginginkan bahwa dasar Negara Indonesia adalah
Islam. Mereka selalu mempengaruhi Soekarno dan membuat orasi untuk tidak
memisahkan Islam dari negara.
Kepada mereka, Soekarno mengkritik keras, “Aku tidak suka orang-orang Islam yang
selalu ‘merintih’ janganlah Islam
dipisahkan dari negara. Janganlah Islam-nya dipisahkan dari negara. Aku
lebih suka orang-orang Islam yang dapat menjawab tantangannya zaman. Banjirilah
itu kursi-kursi parlemen jika engkau benar-benar rakyat Islam!”
Tampaknya, Soekarno
mendapatkan inspirasi dari Kemal Ataturk yang telah membuat Turki menjadi
negara sekuler. Kemal Ataturk menurut Soekarno secara sengaja memisahkan Islam
dari negara dengan maksud baik kepada orang-orang Islam sendiri.
Kemal Ataturk berkata, “Aku pisahkan Islam dari negara
agar Islam menjadi kuat!”
Kemal mengatakan hal seperti itu karena melihat bahwa
Turki menjadi lemah sehingga disebut sebagai Si Orang Sakit dari Eropa disebabkan terlalu bergantungnya negara
pada peranan ulama yang tidak mengerti kondisi negara. Kemal merasa kesal
terhadap kebiasaan negara yang selalu harus meminta persetujuan ulama untuk
menyelamatkan Turki yang sedang berada di ambang kehancuran. Sementara itu,
ulama yang kerap dimintai “restu” dan “titahnya” adalah mereka yang tinggal di
pinggir-pinggir kuburan dan tempat-tempat sepi.
Kisah itu saya dapatkan dari Dibawah Bendera Revolusi yang ditulis oleh Soekarno sendiri. Saya
sudah dua kali khatam membaca buku tebal
itu.
Soekarno tidak ekstrim seperti Kemal Ataturk yang membuat
Turki menjadi negara sekuler. Soekarno hanya mengkritik orang Islam dan ulama agar
mampu berjuang dan bertarung merebut kursi parlemen sehingga dapat menggunakannya
untuk mewujudkan cita-cita Islam mereka. Dalam kata lain, Soekarno
mempersilakan kekuatan Islam untuk menguasai negara dengan cara memenuhi kursi
parlemen. Hal itu pun mendorong kekuatan Islam untuk menunjukkan benar-benar keislamannya
sehingga dapat dipercaya oleh rakyat untuk mengelola negara.
Hingga saat ini pintu yang dibukakan Soekarno untuk
memasuki medan juang dalam “mengislamkan” negara sudah terbuka lebar. Semua
kekuatan Islam memperoleh hak untuk memasuki parlemen. Akan tetapi, ternyata mereka
yang kerap “merintih” untuk mendapatkan kondisi negara dalam keadaan Islam
seperti yang mereka pikirkan tidak pernah juga terwujud.
Pintu sudah dibuka, medan juang sudah dimasuki, hak
mendapatkan kekuasaan telah diperoleh, tetapi keinginan untuk menyatukan Islam
dengan negara tidak juga terwujud. Pasti ada yang salah di dalam diri
orang-orang yang suka “merintih” itu. Mereka tidak mampu memenuhi kursi
parlemen dengan baik dan sempurna.
Apa masalahnya?
Pikirkan saja sendiri.
Cengeng
Saya melihat bahwa
akhir-akhir ini banyak “ulama cengeng” yang mengemis dan meminta-minta rasa hormat
dari orang lain. Dari beberapa demonstrasi yang diklaim sebagai gerakan umat
Islam, padahal hanya sekelompok kecil umat Islam, kalau tidak salah, banyak
spanduk atau baligo atau poster yang “cengeng” bertuliskan semacam Hormati Ulama, Muliakan Ulama, Jangan Hina Ulama, atau Jangan Kriminalisasi Ulama.
Tulisan-tulisan macam
apa itu?
Memalukan!
Tulisan-tulisan cengeng itu tidak perlu ada. Ulama akan
selalu dihormati jika benar-benar memberikan bimbingan, arahan, pencerahan,
kesejukan, pemecahan masalah, dan kedamaian
pada hati orang banyak. Oleh sebab itu, ulama tidak perlu
tulisan-tulisan cengeng semacam itu. Lakukanlah kewajibannya sebagai wakil
Allah swt dan penerus Nabi Muhammad saw di muka Bumi ini dalam menebarkan kasih
dan kedamaian sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah swt. Rasa hormat orang
banyak itu akan datang dengan sendirinya jika orang-orang yang dianggap ulama
itu melakukan kewajibannya dengan baik.
Bolehlah orang-orang diingatkan untuk selalu menghormati
ulama, memuliakan ulama, dan mematuhi ulama jika berada di kelas TK, SD, SMP,
SMA, pengajian-pengajian, atau majelis-majelis taklim. Hal itu bukanlah
merupakan “kecengengan”, melainkan suatu upaya membentuk pribadi dan kehidupan
sosial yang lebih baik dalam arti kita harus selalu menghormati dan memuliakan
orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dibandingkan kita. Dengan rasa hormat
kita kepada mereka, yaitu ulama sama artinya dengan memberikan ketenangan dan
keluasan berpikir bagi para ulama untuk memberikan arahan dan bimbingan yang
baik kepada kita.
Akan tetapi, jika teriakan-teriakan Hormati Ulama, Muliakan Ulama, Jangan Hina Ulama, atau Jangan Kriminalisasi Ulama itu hanya
untuk menghalangi orang untuk memberikan kritikan kepada para ulama yang
dianggap tidak baik atau menghambat penegakkan hukum kepada orang-orang yang
disebut ulama itu, itulah yang saya sebut ulama cengeng. Dalam kata lain, ulama
cengeng adalah mereka yang meminta orang-orang untuk menghormati dan memuliakan
dirinya hanya untuk menyembunyikan kesalahan diri dan melindungi diri dari
masalah-masalah yang menimpanya. Orang-orang seperti ini justru telah
merusakkan nama baik ulama itu sendiri. Hal itu disebabkan banyak ulama yang
sampai hari ini tetap dihormati dan dimuliakan orang karena memang dirinya
adalah orang terhormat dan mulia, bukan sebagai orang yang gemar bikin onar.
Ulama yang benar-benar sangat takut kepada Allah swt tidak memerlukan spanduk,
baligo, maupun poster untuk meminta rasa hormat dan kemuliaan dari orang
banyak. Mereka tidak memerlukan itu karena mereka hanya ingin cinta dari Allah
swt. Rasa hormat orang banyak itu akan datang dengan sendirinya karena perilaku
dan ilmunya yang sangat terpuji. Kata-katanya mencerahkan dan memberikan
kedalaman ilmu, bukan provokasi.
Adapula orang-orang yang inginnya disebut ulama dan ingin
selalu dihormati dengan cara mengajak orang bernostalgia ke masa lalu.
Orang-orang diingatkan terhadap jasa para ulama dalam membentuk Negara
Indonesia. Mereka berharap bahwa masyarakat sekarang tidak meminggirkan ulama
karena ulama sangat besar jasanya bagi Indonesia.
Bagi orang-orang semacam ini, saya perlu mengingatkan
kata-kata dari Ali bin Abi Thalib ra, “Bukan
pemuda namanya yang selalu berkata ‘Ini bapakku’. Pemuda adalah yang mampu
mengatakan ‘Inilah aku’.”
Begitu kira-kira yang
dikatakan Ali ra. Meskipun tidak tepat benar redaksinya, tetapi maknanya memang
seperti itu.
Bolehlah ucapan Ali ra digunakan untuk mengingatkan kita
sebagai kaum muslimin, terutama ulama. Ulama tidak boleh terus-terusan
membangga-banggakan ulama masa lalu, tetapi tunjukkanlah diri ulama masa kini.
Benar sekali ulama masa lalu banyak jasanya. Pendustalah
yang mengingkari peranan ulama dalam membangun dan mendirikan Indonesia. Akan
tetapi, itu kan masa lalu.
Bagaimana dengan ulama masa kini?
Ulama masa lalu telah menunjukkan prestasinya. Mereka
memiliki prestasi sendiri, jasa sendiri, pahala sendiri, dan keagungan sendiri
di hadapan Allah swt.
Ulama sekarang harus memiliki prestasi sendiri, jasa
sendiri, dan keagungan sendiri di hadapan Allah swt.
Setiap umat memiliki masa dan nilai tersendiri di hadapan
Allah swt. Ulama masa lalu jelas banyak sekali jasanya, terlalu banyak karya
positifnya. Ulama sekarang pun seharusnya tidak selalu menyandarkan diri pada
jasa-jasa para pendahulunya, melainkan menunjukkan dirinya sendiri, prestasinya
sendiri, kiprahnya sendiri, dan nilainya sendiri, baik di hadapan Allah swt
maupun di hadapan seluruh manusia.
Ulama yang selalu mengingat-ingatkan orang atas jasa
ulama terdahulu yang hanya bertujuan untuk mendapatkan rasa hormat dari orang
banyak, akan mudah sekali jatuh menjadi “ulama cengeng”.
Ulama masa lalu telah besar jasanya membuat Indonesia
merdeka dan tetap berdiri kokoh. Ulama sekarang harus memiliki jasa yang juga
besar dalam mengisi kemerdekaan dengan berbagai hal positif dan mendorong
rakyat untuk membangun dalam rangka meratakan jalan agar umat dapat menapaki
jalan yang baik untuk mencapai Allah swt dengan suci dan bersih.
Berani
Melakukan Otokritik
Kalaulah ulama itu merupakan
strata atau lapisan sosial tersendiri di dalam masyarakat kita, hendaklah
memiliki kemampuan untuk melakukan otokritik untuk menyehatkan lapisan
sosialnya sendiri. Tidak perlu malu atau sungkan untuk mengakui bahwa di antara
orang-orang yang disebut ulama itu tidak semuanya baik. Kita semua manusia yang
memiliki celah untuk melakukan kesalahan dan taubat adalah obatnya. Tak perlu
ragu untuk membenahi diri karena kenyataan sudah menunjukkan bahwa ada beberapa
oknum ahli agama yang melakukan hal tidak terpuji.
Bukankah beberapa kali kita menyaksikan ada orang yang
disebut ahli agama, tetapi melakukan pelecehan seksual kepada santriwatinya?
Cara untuk membenahi diri para ulama bisa dengan cara
yang lembut semisal melakukan “saling menasihati” di antara para ulama atau dengan
cara yang keras semisal menjauhkan atau memisahkan diri dari orang-orang yang
inginnya disebut ulama, tetapi tidak menunjukkan pribadi sebagai ulama yang
sesungguhnya. Bisa pula dengan hal lainnya sesuai dengan keilmuan para ulama yang
terhormat.
Saya menulis hal seperti ini karena menginginkan bahwa
ulama tetap berada dalam posisi terhormat dan mulia di tengah masyarakat serta
tidak tercoreng oleh mereka yang ingin disebut ulama, tetapi mencederai nama
baik ulama dengan menciptakan kebingungan dan kegaduhan di tengah masyarakat.
Jujur saja, sebagai orang Islam, saya dan masyarakat muslim lainnya membutuhkan
arahan dan bimbingan para ulama yang benar-benar ulama agar dapat menapaki
jalan yang lurus untuk mencapai keridhoan Allah swt dan bukan kebisingan yang
penuh provokasi.
Apabila para ulama tidak bersegera membenahi diri, ada
lapisan sosial masyarakat lain yang berpotensi mengambil alih peranan para
ulama. Perlahan namun pasti, saat ini pun mereka sudah melakukannya. Mereka
adalah para motivator, trainer softskill,
akademisi, dan psikolog yang sangat memahami kebutuhan masyarakat. Sangat
sering mereka menggunakan ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad
saw dalam menjawab dan menyelesaikan banyak keresahan dan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat pun tampaknya mendapatkan jawaban yang memuaskan dan mulai
bergantung kepada mereka. Adapun para ahli agama mulai terbatasi hanya sebagai
pembaca doa. Sungguh, saya tidak ingin ini terus terjadi. Saya malah berharap
para ulama dan para motivator, trainer, akademisi, dan psikolog dapat saling
mengisi sehingga memperkaya masyarakat kita dengan penuh kebaikan dan percaya
diri.
Bukankah para motivator, trainer softskill, akademisi, dan psikolog mampu memahami Al Quran dan hadits Nabi Muhammad saw karena mereka adalah juga para murid dari para ulama yang saleh?
No comments:
Post a Comment