Saturday, 24 December 2016

Menyelesaikan Kasus Ahok dengan Cara Sunda

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Saya berandai-andai bahwa kasus Ahok mengenai dugaan penistaan agama dapat diselesaikan dengan cara Sunda. Berandai-andai itu berarti berkhayal. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya berupa khayalan saya karena sudah sulit dilaksanakan. Seandainya, kasus Ahok belum masuk ke pengadilan, cara Sunda ini masih dapat digunakan. Akan tetapi, kasusnya sudah masuk ke pengadilan dan hukum jalan terus sampai mendapatkan keputusan yang pasti.

            Karena tulisan ini hanya berupa khayalan, saya sarankan Saudara yang tidak menyukai khayalan saya untuk tidak membacanya. Sebaiknya, Saudara segera tutup halaman ini, lalu cari tulisan saya yang lain yang bukan khayalan atau beralih ke situs lain. Saya tidak apa-apa kok kalau tulisan ini tidak dibaca oleh Saudara. Akan tetapi, Saudara tampaknya bandel sehingga terus saja membaca tulisan ini.

            Iya kan?

            Saudara memang bandel dan terus bertahan membaca tulisan saya.

            Saya benar, kan?

            Saudara tidak beralih ke tulisan lain atau ke situs lain. Saudara di sini terus bersama saya.

            Cobalah ikuti saran saya untuk segera meninggalkan halaman ini. Silakan pergi.

            Tuh, kan Saudara terus di sini dan tidak mau pergi.

            Ya, sudah kalau tidak mau dikasih tahu. Disaranin jangan membaca tulisan ini, malah terus-terusan membaca. Saudara memang manusia yang bandel.

            Harus dengan kalimat apalagi saya menyarankan Saudara untuk pergi dari halaman ini?

            Saya harus mencoba untuk mengusir Saudara, “Pergi! Cepat pergi ke situs lain! Jangan baca tulisan ini!”

            Masyaallah, Anda tidak juga mau pergi.

            Apa menariknya tulisan ini?

            Saya kan sudah bilang isinya hanya khayalan, tetapi Saudara tetap saja penasaran. Okelah kalau begitu, terserah Anda saja.

            Jangan salahkan saya kalau Saudara terus membaca, lalu tersinggung. Kemudian, menuduh saya sebagai pelanggar Sara. Salah Saudara sendiri. Jangan melaporkan saya ke polisi dengan menggunakan UU ITE atau UU tentang Sara karena saya sudah mengusir Saudara, tetapi Saudara tidak mau pergi juga.

            Salah siapa kalau begitu, hayo?

            Salah Saudara sendiri atuh.

            Saya bilang jangan baca, eh … terus membaca juga.

            Saudara salah parah banget. Kacau.

            Tuh, kan masih terus membaca juga.

            Oke, saya menyerah, silakan baca tulisan ini bersama saya sampai dengan selesai. Salah sendiri.

            Indonesia harus belajar dari urang Sunda ketika mendapatkan penghinaan. Suku Sunda pernah dilecehkan dan dihina.

            Masih ingat ucapan pelecehan yang dilakukan Rizieq Shihab?

            Dia memplesetkan salam orang Sunda sampurasun dengan mengubahnya menjadi campur racun!

            Ingat sekarang?

            Kejadiannya masih belum lama kok.

            Itu benar-benar mutlak pelecehan yang dilakukan Rizieq terhadap orang Sunda. Tak ada penafsiran yang berbeda mengenai pelecehan itu. Dibandingkan QS Al Maidaah : 51, pelecehan yang dilakukan Rizieq sangat akurat dan terang-benderang. Kasus dugaan penghinaan yang dilakukan Ahok masih debatable. Saya sendiri tidak melihat ada kata-kata Ahok yang menunjukkan penghinaan, baik secara kata-kata dalam bahasa Indonesia maupun dari tafsir Ibnu Katsir dan dari Sejarah Muhammad karya Mohamad Haekal. Berbeda dengan pelecehan yang dilakukan Rizieq yang jelas-jelas memplesetkan sampurasun dengan mengubahnya secara sengaja menjadi campur racun. Plesetan itu sangat jelas dan tidak mungkin debatable.

            Pelecehan Rizieq yang angkuh dan arogan itu tentu saja membuat marah orang Sunda. Rizieq pun dilaporkan Ormas Sunda kepada pihak kepolisian. Orang Sunda yang mencintai sukunya menuntut Rizieq memohon maaf kepada masyarakat Sunda, bahkan mungkin sebagian ada yang menginginkan Rizieq dipenjara karena melakukan penghinaan kepada orang Sunda.

            Sampurasun itu kata yang teramat mulia bagi orang Sunda karena memiliki makna mendoakan keselamatan bagi manusia, melembutkan hati, meluweskan perilaku, mengungkapkan rasa persaudaraan, dan melapangkan dada untuk senantiasa mampu memberikan maaf kepada orang lain. Kata itu memiliki makna yang sama dengan assalaamualaikum wr. wb.. Orang Sunda sudah memiliki anugerah yang besar bahwa sebelum bahasa Arab hadir di tanah Sunda, Sang Cipta Rasa, yaitu Sang Hyang Kersa, yaitu Allah swt sudah memberikan kata salam dalam bahasa Sunda untuk digunakan sehari-hari sebagai doa, sebagaimana ajaran keluhuran Islam yang dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi as.

            Coba bayangkan betapa tidak sopannya Rizieq memplesetkan doa untuk keselamatan menjadi campur racun?

            Tak heran jika banyak orang Sunda marah. Jika saja orang Sunda mau, Jakarta bisa dipenuhi orang Sunda. Demo kemarin-kemarin yang diklaim sebagai demonstrasi umat Islam itu mah sangat sedikit. Demo itu kan hanya klaim merupakan demonstrasi umat Islam, padahal hanya beberapa kelompok umat Islam. Sebagian besar umat Islam kan tidak ikutan demo. Sebagian besar umat Islam tetap dengan aktivitasnya masing-masing. Kalau saja orang Sunda mau demonstrasi untuk menuntut Rizieq memohon maaf, bahkan menuntut agar Rizieq dimasukkan dalam jeruji besi, luas Jakarta tidak akan mampu menampung orang Sunda yang berdemo karena orang Sunda akan memenuhi Jakarta sampai ke gang-gang terkecil.

            Orang Sunda itu akan gampang tersulut emosi jika para pemimpin dan tokoh-tokohnya menyerukan bergerak dengan kalimat ajakan, “Demi Eyang Prabu Siliwangi!”

            Akan tetapi, orang Sunda tidak melakukannya, padahal jelas-jelas tanpa penafsiran berbeda bahwa Rizieq telah melakukan pelecehan.

            Inilah yang saya bilang bahwa bangsa Indonesia harus belajar dari urang Sunda. Ketika orang Sunda marah, Ormas Sunda melaporkan Rizieq ke polisi, dan mulai ada konflik-konflik fisik antara massa Ormas Sunda dan massa FPI, para pemimpin dan tokoh Sunda berupaya segera meredam kemarahan orang-orang Sunda. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan segera tampil dengan sejuk. Ia menjelaskan bahwa sampurasun itu sama dengan assalaamualaikum. Ia pun mencoba menenangkan orang Sunda bahwa Rizieq memplesetkan sampurasun menjadi campur racun itu secara tidak sengaja. Kemudian, mengisyaratkan bahwa sebaiknya Rizieq dimaafkan oleh orang Sunda. Demikian pula Walikota Bandung Ridwan Kamil menenangkan masyarakat dengan penjelasan yang mirip sebagaimana yang diungkapkan Gubernur Jabar Aher. Demikian pula, para tokoh-tokoh Sunda yang menganggap bahwa perilaku bodoh Rizieq itu sebagai sesuatu hal yang tidak perlu dibesar-besarkan.

            Coba bayangkan, bagaimana bijaksananya para pemimpin resmi di tanah Sunda itu dalam meredam kemarahan orang Sunda?

            Rizieq yang sepanjang pengetahuan saya tidak pernah meminta maaf atas kebodohan dan kesombongan dirinya itu, sudah dimaafkan oleh orang Sunda. Rizieq tidak meminta maaf pun, orang Sunda sudah memaafkan.

            Coba bayangkan kalau para pemimpin pemerintahan dan tokoh-tokoh di tanah Sunda menggerakkan rakyatnya untuk menuntut Rizieq masuk penjara dan meminta maaf kepada rakyat Sunda, kemudian demonstrasi di Monas, depan Istana, dan gedung MPR/DPR, Jakarta pasti habis. Jakarta pasti heurin ku tangtung wargi Sunda. Jakarta tidak akan bergerak sama sekali karena akan terlalu penuh oleh puluhan juta orang Sunda. Polri dan TNI akan lebih sibuk, lebih letih, dan lebih kelabakan.

            Tidak terjadinya demonstrasi besar-besaran oleh orang Sunda itu disebabkan oleh para pemimpin Sunda, baik formal maupun nonformal, akademisi Sunda, aktivis kesundaan, dan rakyat Sunda cepat memahami bahwa demonstrasi untuk hal itu sangatlah tidak produktif dan bisa memicu disintegrasi bangsa. Bahkan, berpotensi menghambat laju pembangunan nasional. Di samping itu, rakyat Sunda sudah merasa cukup dengan tindakan Ormas Sunda yang melaporkan Rizieq ke polisi sebagai warning  bahwa orang Sunda tidak menyukai perilaku tidak sopan Rizieq. Rakyat Sunda berharap bahwa Rizieq tidak mengulanginya lagi.

            Berbeda halnya jika Rizieq mengulangi kebodohannya lagi, situasinya bisa lain. Kalau dia mengulangi lagi kecerobohannya dan nyaman atau merasa senang karena orang Sunda tidak meneruskan kemarahannya, saya menyerukan kepada seluruh pemimpin formal dan nonformal di tanah Sunda untuk menggerakkan rakyat Sunda mendesak Polri, TNI, dan Presiden untuk memenjarakan Rizieq FPI karena orang ini benar-benar berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan Indonesia. Jika dia mengulanginya lagi, dia benar-benar orang yang berbahaya. Pasukan TNI Siliwangi harus benar-benar berdiri bersama orang Sunda. Kalau Rizieq paham dan tidak mengulangi perilakunya lagi yang bisa menyakitkan hati orang lain, itulah hal yang sangat diharapkan orang Sunda sehingga kita bisa hidup bersama berdampingan saling menghormati, saling menghargai, dan saling melindungi.

            Bagaimana dengan Ahok?

            Begini Saudara … eh, tadi sudah saya bilang kan jangan membaca tulisan ini?

            Akan tetapi, Saudara terus membacanya. Jadi, mari kita selesaikan.

            Saya berkhayal bahwa kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok bisa diselesaikan dengan cara Sunda mirip dengan kasus campur racun  Rizieq. Demonstrasi besar yang telah dilakukan beberapa kelompok umat Islam sesungguhnya sudah masuk ke hati Ahok bahwa kelompok-kelompok itu tidak menyukai Ahok dan nonmuslim lainnya membahas atau membicarakan ayat-ayat suci Al Quran karena itu adalah domain umat Islam. Sudah cukup Ahok mendapatkan peringatan. Dengan sedikit keyakinan, kita bisa berharap bahwa dia tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi, sebagai hukuman atas pelanggaran etika yang dilakukan Ahok, kita bisa menuntut Ahok untuk setiap hari meminta maaf kepada umat Islam di media massa selama setahun penuh.

            Mengenai adanya penghinaan dalam kata-kata Ahok, baik secara bahasa Indonesia maupun tafsir, sebenarnya debatable. Di antara ahli Islam sendiri terdapat perbedaan pandangan mengenai QS Al Maidaah : 51 sebagaimana yang disampaikan Kapolri Tito Karnavian. Sebaiknya, perbedaan pemahaman terhadap ayat ini diselesaikan di kelas-kelas kuliah atau di ruang-ruang pengkajian Islam dan bukan di pengadilan. Dengan masuknya kasus dugaan penistaan ini ke ruang pengadilan, sesungguhnya, saya sebagai orang Islam merasa malu sekaligus marah. Hal itu disebabkan dengan masuknya kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok ke ruang pengadilan ini sama artinya dengan menyerahkan kebenaran pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 ke tangan hakim dan bukan ke tangan para ahli Islam yang jujur. Keputusan hakim bisa menentukan arah pemahaman QS Al Maidaah : 51. Artinya, jika Ahok dinyatakan tidak bersalah, QS Al Maidaah : 51 secara hukum dinyatakan “sama sekali tidak terkait dengan pemilihan pemimpin” dan setiap orang yang pernah menggunakan ayat ini untuk pemilihan pemimpin dinyatakan salah secara hukum. Sebaliknya, jika Ahok dinyatakan bersalah, QS Al Maidaah : 51 akan berpotensi untuk terus digunakan dalam meraih kepemimpinan di Indonesia ini, berkualitas atau tidak calon pemimpin, yang penting Islam. Hal ini pun akan membuat kebingungan umat Islam pada wilayah-wilayah tempat umat Islam sebagai minoritas dan tidak memiliki calon pemimpin yang siap memimpin. Jadi, penafsiran dan pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 akan sangat dipengaruhi oleh hakim. Keputusan hakimlah yang menentukan arah pemahaman QS Al Maidaah : 51 dan bukan hasil diskusi, penelitian, penelaahan, dan pengkajian para ahli Islam yang jujur dan jernih hati.  Para ahli Islam dari pihak Jaksa Penuntut Umum mungkin akan mengatakan bahwa QS Al Maidaah : 51 adalah memang ayat yang harus digunakan umat Islam dalam memilih pemimpin sehingga Ahok memang bersalah. Akan tetapi, para ahli Islam dari pihak pembela mungkin akan bersikeras bahwa ayat itu tidak berkaitan dengan pemilihan pemimpin sehingga Ahok tidak bersalah. Pada akhirnya, kedua pandangan yang berbeda itu harus tunduk kepada keputusan hakim. Artinya, salah satu pandangan dari kedua kubu para ahli itu harus dinyatakan salah oleh hakim.

            Sungguh, saya pribadi merasa malu dengan hal itu. Para ahli Islam harus tunduk kepada hakim mengenai penafsiran ayat-ayat Al Quran. Padahal, seharusnya para hakimlah yang harus belajar banyak dari para ahli Islam.

            Sungguh, Allah swt memperhatikan kita. Allah swt akan sangat marah dan pasti menghukum dengan keras orang-orang yang secara salah memberikan arti terhadap firman-Nya yang sangat luhur dan mulia. Apalagi jika mengartikan ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan politik dan ekonomi dan bukan untuk mendapatkan keridhoan Allah swt dengan cara memuliakan manusia dan kemanusiaan serta menebarkan cinta, kasih, dan perdamaian. Allah swt sangat mampu menjatuhkan bencana kepada seseorang, sekelompok orang, bahkan sebuah bangsa jika sudah marah karena petunjuk-Nya yang suci dijadikan bahan persengketaan.

            Sebagaimana yang tadi saya sampaikan bahwa saya berkhayal bahwa kasus seperti ini bisa diselesaikan sebagaimana orang Sunda meredam kemarahan terhadap Rizieq. Beri peringatan Ahok untuk tidak mengulanginya lagi. Suruh dia meminta maaf setiap hari selama satu tahun. Selesaikan perbedaan pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 oleh para ahli Islam. Biarkan para ahli Islam berdebat dan berlelah-lelah hingga mendapatkan pemahaman yang sama karena ayat itu diucapkan oleh Zat Yang Sama, Allah swt.

            Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Boy Rafli Amar bahwa setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat tidak harus semuanya berakhir di kepolisian. Masyarakat bisa menyelesaikannya sendiri dengan cara-cara yang bijak dan mencerahkan.

            Indonesia harus belajar dari urang Sunda yang telah mengerem kemarahan sehingga situasi tetap damai, tenang, bersatu, dan tidak menimbulkan potensi konflik di tengah masyarakat. Sungguh, Allah swt menginginkan kasih sayang dan perdamaian di muka Bumi ini. Kitalah yang harus menjadi wakil-Nya dalam menebar cinta kasih damai di seluruh penjuru muka Bumi. Demi Allah swt.

No comments:

Post a Comment