oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Saya berandai-andai bahwa
kasus Ahok mengenai dugaan penistaan agama dapat diselesaikan dengan cara
Sunda. Berandai-andai itu berarti berkhayal. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya
berupa khayalan saya karena sudah sulit dilaksanakan. Seandainya, kasus Ahok
belum masuk ke pengadilan, cara Sunda ini masih dapat digunakan. Akan tetapi,
kasusnya sudah masuk ke pengadilan dan hukum jalan terus sampai mendapatkan
keputusan yang pasti.
Karena tulisan ini hanya berupa khayalan, saya sarankan
Saudara yang tidak menyukai khayalan saya untuk tidak membacanya. Sebaiknya,
Saudara segera tutup halaman ini, lalu cari tulisan saya yang lain yang bukan
khayalan atau beralih ke situs lain. Saya tidak apa-apa kok kalau tulisan ini
tidak dibaca oleh Saudara. Akan tetapi, Saudara tampaknya bandel sehingga terus
saja membaca tulisan ini.
Iya kan?
Saudara memang bandel dan terus bertahan membaca tulisan
saya.
Saya benar, kan?
Saudara tidak beralih ke tulisan lain atau ke situs lain.
Saudara di sini terus bersama saya.
Cobalah ikuti saran saya untuk segera meninggalkan
halaman ini. Silakan pergi.
Tuh, kan Saudara terus di sini dan tidak mau pergi.
Ya, sudah kalau tidak mau dikasih tahu. Disaranin jangan
membaca tulisan ini, malah terus-terusan membaca. Saudara memang manusia yang
bandel.
Harus dengan kalimat apalagi saya menyarankan Saudara
untuk pergi dari halaman ini?
Saya harus mencoba untuk mengusir Saudara, “Pergi! Cepat
pergi ke situs lain! Jangan baca tulisan ini!”
Masyaallah, Anda
tidak juga mau pergi.
Apa menariknya tulisan ini?
Saya kan sudah bilang isinya hanya khayalan, tetapi
Saudara tetap saja penasaran. Okelah kalau begitu, terserah Anda saja.
Jangan salahkan saya kalau Saudara terus membaca, lalu
tersinggung. Kemudian, menuduh saya sebagai pelanggar Sara. Salah Saudara
sendiri. Jangan melaporkan saya ke polisi dengan menggunakan UU ITE atau UU
tentang Sara karena saya sudah mengusir Saudara, tetapi Saudara tidak mau pergi
juga.
Salah siapa kalau begitu, hayo?
Salah Saudara sendiri atuh.
Saya bilang jangan baca, eh … terus membaca juga.
Saudara salah parah banget. Kacau.
Tuh, kan masih terus membaca juga.
Oke, saya menyerah, silakan baca tulisan ini bersama saya
sampai dengan selesai. Salah sendiri.
Indonesia harus belajar dari urang Sunda ketika mendapatkan penghinaan. Suku Sunda pernah
dilecehkan dan dihina.
Masih ingat ucapan pelecehan yang dilakukan Rizieq
Shihab?
Dia memplesetkan salam orang Sunda sampurasun dengan mengubahnya menjadi campur racun!
Ingat sekarang?
Kejadiannya masih belum lama kok.
Itu benar-benar mutlak pelecehan yang dilakukan Rizieq
terhadap orang Sunda. Tak ada penafsiran yang berbeda mengenai pelecehan itu.
Dibandingkan QS Al Maidaah : 51, pelecehan yang dilakukan Rizieq sangat akurat
dan terang-benderang. Kasus dugaan penghinaan yang dilakukan Ahok masih
debatable. Saya sendiri tidak melihat ada kata-kata Ahok yang menunjukkan
penghinaan, baik secara kata-kata dalam bahasa Indonesia maupun dari tafsir
Ibnu Katsir dan dari Sejarah Muhammad karya
Mohamad Haekal. Berbeda dengan pelecehan yang dilakukan Rizieq yang jelas-jelas
memplesetkan sampurasun dengan
mengubahnya secara sengaja menjadi campur
racun. Plesetan itu sangat jelas dan tidak mungkin debatable.
Pelecehan Rizieq yang angkuh dan arogan itu tentu saja
membuat marah orang Sunda. Rizieq pun dilaporkan Ormas Sunda kepada pihak
kepolisian. Orang Sunda yang mencintai sukunya menuntut Rizieq memohon maaf
kepada masyarakat Sunda, bahkan mungkin sebagian ada yang menginginkan Rizieq
dipenjara karena melakukan penghinaan kepada orang Sunda.
Sampurasun itu
kata yang teramat mulia bagi orang Sunda karena memiliki makna mendoakan
keselamatan bagi manusia, melembutkan hati, meluweskan perilaku, mengungkapkan
rasa persaudaraan, dan melapangkan dada untuk senantiasa mampu memberikan maaf
kepada orang lain. Kata itu memiliki makna yang sama dengan assalaamualaikum wr. wb.. Orang Sunda
sudah memiliki anugerah yang besar bahwa sebelum bahasa Arab hadir di tanah
Sunda, Sang Cipta Rasa, yaitu Sang Hyang Kersa, yaitu Allah swt sudah
memberikan kata salam dalam bahasa Sunda untuk digunakan sehari-hari sebagai
doa, sebagaimana ajaran keluhuran Islam yang dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi
as.
Coba bayangkan betapa tidak sopannya Rizieq memplesetkan
doa untuk keselamatan menjadi campur
racun?
Tak heran jika banyak orang Sunda marah. Jika saja orang
Sunda mau, Jakarta bisa dipenuhi orang Sunda. Demo kemarin-kemarin yang diklaim
sebagai demonstrasi umat Islam itu mah sangat sedikit. Demo itu kan hanya klaim
merupakan demonstrasi umat Islam, padahal hanya beberapa kelompok umat Islam.
Sebagian besar umat Islam kan tidak ikutan demo. Sebagian besar umat Islam
tetap dengan aktivitasnya masing-masing. Kalau saja orang Sunda mau demonstrasi
untuk menuntut Rizieq memohon maaf, bahkan menuntut agar Rizieq dimasukkan
dalam jeruji besi, luas Jakarta tidak akan mampu menampung orang Sunda yang
berdemo karena orang Sunda akan memenuhi Jakarta sampai ke gang-gang terkecil.
Orang Sunda itu akan gampang tersulut emosi jika para
pemimpin dan tokoh-tokohnya menyerukan bergerak dengan kalimat ajakan, “Demi Eyang Prabu Siliwangi!”
Akan tetapi, orang Sunda tidak melakukannya, padahal
jelas-jelas tanpa penafsiran berbeda bahwa Rizieq telah melakukan pelecehan.
Inilah yang saya bilang bahwa bangsa Indonesia harus
belajar dari urang Sunda. Ketika
orang Sunda marah, Ormas Sunda melaporkan Rizieq ke polisi, dan mulai ada
konflik-konflik fisik antara massa Ormas Sunda dan massa FPI, para pemimpin dan
tokoh Sunda berupaya segera meredam kemarahan orang-orang Sunda. Gubernur Jawa
Barat Ahmad Heryawan segera tampil dengan sejuk. Ia menjelaskan bahwa sampurasun itu sama dengan assalaamualaikum. Ia pun mencoba
menenangkan orang Sunda bahwa Rizieq memplesetkan sampurasun menjadi campur
racun itu secara tidak sengaja. Kemudian, mengisyaratkan bahwa sebaiknya
Rizieq dimaafkan oleh orang Sunda. Demikian pula Walikota Bandung Ridwan Kamil
menenangkan masyarakat dengan penjelasan yang mirip sebagaimana yang
diungkapkan Gubernur Jabar Aher. Demikian pula, para tokoh-tokoh Sunda yang
menganggap bahwa perilaku bodoh Rizieq itu sebagai sesuatu hal yang tidak perlu
dibesar-besarkan.
Coba bayangkan, bagaimana bijaksananya para pemimpin
resmi di tanah Sunda itu dalam meredam kemarahan orang Sunda?
Rizieq yang sepanjang pengetahuan saya tidak pernah
meminta maaf atas kebodohan dan kesombongan dirinya itu, sudah dimaafkan oleh
orang Sunda. Rizieq tidak meminta maaf pun, orang Sunda sudah memaafkan.
Coba bayangkan kalau para pemimpin pemerintahan dan
tokoh-tokoh di tanah Sunda menggerakkan rakyatnya untuk menuntut Rizieq masuk
penjara dan meminta maaf kepada rakyat Sunda, kemudian demonstrasi di Monas,
depan Istana, dan gedung MPR/DPR, Jakarta pasti habis. Jakarta pasti heurin ku tangtung wargi Sunda. Jakarta
tidak akan bergerak sama sekali karena akan terlalu penuh oleh puluhan juta
orang Sunda. Polri dan TNI akan lebih sibuk, lebih letih, dan lebih kelabakan.
Tidak terjadinya demonstrasi besar-besaran oleh orang
Sunda itu disebabkan oleh para pemimpin Sunda, baik formal maupun nonformal,
akademisi Sunda, aktivis kesundaan, dan rakyat Sunda cepat memahami bahwa
demonstrasi untuk hal itu sangatlah tidak produktif dan bisa memicu
disintegrasi bangsa. Bahkan, berpotensi menghambat laju pembangunan nasional.
Di samping itu, rakyat Sunda sudah merasa cukup dengan tindakan Ormas Sunda
yang melaporkan Rizieq ke polisi sebagai warning
bahwa orang Sunda tidak menyukai
perilaku tidak sopan Rizieq. Rakyat Sunda berharap bahwa Rizieq tidak
mengulanginya lagi.
Berbeda halnya jika Rizieq mengulangi kebodohannya lagi,
situasinya bisa lain. Kalau dia mengulangi lagi kecerobohannya dan nyaman atau
merasa senang karena orang Sunda tidak meneruskan kemarahannya, saya menyerukan
kepada seluruh pemimpin formal dan nonformal di tanah Sunda untuk menggerakkan
rakyat Sunda mendesak Polri, TNI, dan Presiden untuk memenjarakan Rizieq FPI
karena orang ini benar-benar berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan
Indonesia. Jika dia mengulanginya lagi, dia benar-benar orang yang berbahaya.
Pasukan TNI Siliwangi harus benar-benar berdiri bersama orang Sunda. Kalau
Rizieq paham dan tidak mengulangi perilakunya lagi yang bisa menyakitkan hati
orang lain, itulah hal yang sangat diharapkan orang Sunda sehingga kita bisa
hidup bersama berdampingan saling menghormati, saling menghargai, dan saling melindungi.
Bagaimana dengan Ahok?
Begini Saudara … eh, tadi sudah saya bilang kan jangan
membaca tulisan ini?
Akan tetapi, Saudara terus membacanya. Jadi, mari kita
selesaikan.
Saya berkhayal bahwa kasus dugaan penistaan agama yang
dilakukan oleh Ahok bisa diselesaikan dengan cara Sunda mirip dengan kasus campur racun Rizieq. Demonstrasi besar yang telah dilakukan
beberapa kelompok umat Islam sesungguhnya sudah masuk ke hati Ahok bahwa
kelompok-kelompok itu tidak menyukai Ahok dan nonmuslim lainnya membahas atau
membicarakan ayat-ayat suci Al Quran karena itu adalah domain umat Islam. Sudah
cukup Ahok mendapatkan peringatan. Dengan sedikit keyakinan, kita bisa berharap
bahwa dia tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi, sebagai hukuman atas
pelanggaran etika yang dilakukan Ahok, kita bisa menuntut Ahok untuk setiap
hari meminta maaf kepada umat Islam di media massa selama setahun penuh.
Mengenai adanya penghinaan dalam kata-kata Ahok, baik
secara bahasa Indonesia maupun tafsir, sebenarnya debatable. Di antara ahli
Islam sendiri terdapat perbedaan pandangan mengenai QS Al Maidaah : 51
sebagaimana yang disampaikan Kapolri Tito Karnavian. Sebaiknya, perbedaan
pemahaman terhadap ayat ini diselesaikan di kelas-kelas kuliah atau di
ruang-ruang pengkajian Islam dan bukan di pengadilan. Dengan masuknya kasus
dugaan penistaan ini ke ruang pengadilan, sesungguhnya, saya sebagai orang
Islam merasa malu sekaligus marah. Hal itu disebabkan dengan masuknya kasus
dugaan penistaan agama oleh Ahok ke ruang pengadilan ini sama artinya dengan
menyerahkan kebenaran pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 ke tangan hakim dan
bukan ke tangan para ahli Islam yang jujur. Keputusan hakim bisa menentukan arah
pemahaman QS Al Maidaah : 51. Artinya, jika Ahok dinyatakan tidak bersalah, QS
Al Maidaah : 51 secara hukum dinyatakan “sama sekali tidak terkait dengan
pemilihan pemimpin” dan setiap orang yang pernah menggunakan ayat ini untuk
pemilihan pemimpin dinyatakan salah secara hukum. Sebaliknya, jika Ahok
dinyatakan bersalah, QS Al Maidaah : 51 akan berpotensi untuk terus digunakan
dalam meraih kepemimpinan di Indonesia ini, berkualitas atau tidak calon
pemimpin, yang penting Islam. Hal ini pun akan membuat kebingungan umat Islam
pada wilayah-wilayah tempat umat Islam sebagai minoritas dan tidak memiliki
calon pemimpin yang siap memimpin. Jadi, penafsiran dan pemahaman mengenai QS
Al Maidaah : 51 akan sangat dipengaruhi oleh hakim. Keputusan hakimlah yang
menentukan arah pemahaman QS Al Maidaah : 51 dan bukan hasil diskusi,
penelitian, penelaahan, dan pengkajian para ahli Islam yang jujur dan jernih
hati. Para ahli Islam dari pihak Jaksa
Penuntut Umum mungkin akan mengatakan bahwa QS Al Maidaah : 51 adalah memang
ayat yang harus digunakan umat Islam dalam memilih pemimpin sehingga Ahok memang
bersalah. Akan tetapi, para ahli Islam dari pihak pembela mungkin akan
bersikeras bahwa ayat itu tidak berkaitan dengan pemilihan pemimpin sehingga
Ahok tidak bersalah. Pada akhirnya, kedua pandangan yang berbeda itu harus
tunduk kepada keputusan hakim. Artinya, salah satu pandangan dari kedua kubu
para ahli itu harus dinyatakan salah oleh hakim.
Sungguh, saya pribadi merasa malu dengan hal itu. Para
ahli Islam harus tunduk kepada hakim mengenai penafsiran ayat-ayat Al Quran.
Padahal, seharusnya para hakimlah yang harus belajar banyak dari para ahli
Islam.
Sungguh, Allah swt memperhatikan kita. Allah swt akan
sangat marah dan pasti menghukum dengan keras orang-orang yang secara salah
memberikan arti terhadap firman-Nya yang sangat luhur dan mulia. Apalagi jika
mengartikan ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan politik dan
ekonomi dan bukan untuk mendapatkan keridhoan Allah swt dengan cara memuliakan
manusia dan kemanusiaan serta menebarkan cinta, kasih, dan perdamaian. Allah
swt sangat mampu menjatuhkan bencana kepada seseorang, sekelompok orang, bahkan
sebuah bangsa jika sudah marah karena petunjuk-Nya yang suci dijadikan bahan
persengketaan.
Sebagaimana yang tadi saya sampaikan bahwa saya berkhayal
bahwa kasus seperti ini bisa diselesaikan sebagaimana orang Sunda meredam
kemarahan terhadap Rizieq. Beri peringatan Ahok untuk tidak mengulanginya lagi.
Suruh dia meminta maaf setiap hari selama satu tahun. Selesaikan perbedaan
pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 oleh para ahli Islam. Biarkan para ahli
Islam berdebat dan berlelah-lelah hingga mendapatkan pemahaman yang sama karena
ayat itu diucapkan oleh Zat Yang Sama, Allah swt.
Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Boy Rafli
Amar bahwa setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat tidak harus semuanya
berakhir di kepolisian. Masyarakat bisa menyelesaikannya sendiri dengan
cara-cara yang bijak dan mencerahkan.
Indonesia harus belajar dari urang Sunda yang telah mengerem
kemarahan sehingga situasi tetap damai, tenang, bersatu, dan tidak menimbulkan
potensi konflik di tengah masyarakat. Sungguh, Allah swt menginginkan kasih
sayang dan perdamaian di muka Bumi ini. Kitalah yang harus menjadi wakil-Nya
dalam menebar cinta kasih damai di seluruh penjuru muka Bumi. Demi Allah swt.
No comments:
Post a Comment