Tuesday 22 November 2016

TNI-Polri Berjihad Bisa Masuk Neraka

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam menanggapi kekhawatiran aksi-aksi makar di Indonesia, TNI-Polri tampaknya sangat siap untuk melakukan jihad secara fisik untuk menjaga keutuhan NKRI dan stabilitas kedamaian di Indonesia. Mereka tampaknya mengambil jalan pencegahan dibandingkan penanggulangan karena memang “mencegah” itu selalu lebih baik dibandingkan dengan “mengobati”. TNI-Polri berupaya keras di samping mengonsolidasikan dirinya, juga menebarkan imbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat dianggap sebagai makar terhadap negara. Di samping itu, TNI-Polri pun mulai menyebarkan semacam “teror” kepada pihak-pihak yang berniat mencoba mengganggu jalannya pemerintahan dan perkembangan hidup Indonesia. Teror itu disampaikan TNI-Polri dengan pesan tegas yang akan menindak siapa pun yang berniat melakukan makar, apalagi jika benar-benar melakukannya. Teror yang disampaikan itu diharapkan dapat mengurungkan niat siapa pun yang memiliki keinginan untuk mengganggu NKRI, baik mereka yang berada di dalam maupun di luar negeri. TNI-Polri lebih memilih untuk “meneror” mereka yang berkehendak bertindak inkonstitusional untuk menyelamatkan mereka yang berkehendak hidup secara konstitusional.

            Hal yang patut diingat adalah jihad itu harus selalu “untuk Allah swt” dan bukan untuk hal lainnya, apa pun itu. Jihad itu wajib menjadi alat untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dan bukan untuk mengabdikan diri kepada hal-hal lain di luar Allah swt. Apabila kita melakukan jihad bukan untuk Allah swt, celakalah kita karena akan berakhir di neraka. Rugi sekali kita karena menyangka telah melakukan hal yang benar, tetapi sesungguhnya sesat di hadapan Allah swt. Satu-satunya jihad yang benar hanyalah untuk pengabdian kepada Allah swt, bukan untuk negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan lain sebagainya. Jika kita berjihad dalam arti perang secara fisik tanpa menghubungkan diri dengan Allah swt, nerakalah tempat kita nanti, itu pasti. Dengan demikian, setiap langkah kita sejak niat jihad haruslah “hanya untuk Allah swt” agar mendapatkan surga yang dijanjikan beserta kenikmatan bidadari-bidadara, kehidupan menyenangkan yang tercukupi, kebahagiaan yang tiada pernah putus, dan janji-janji pasti Allah swt lainnya.

            Selintas tampaknya merupakan sesuatu hal yang benar bahwa berperang untuk kemuliaan negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi, sesungguhnya hal itu menyesatkan dan menyebabkan kita tidak dapat mencapai surga Allah swt.

            Ada kisah nyata yang teramat menarik tentang hal ini. Dalam sebuah perang pada zaman Muhammad Rasulullah saw, ada seseorang yang tewas dari barisan kaum muslimin. Banyak orang yang memuji dia sebagai pahlawan karena berperang tanpa lelah dan tanpa takut sampai akhirnya tewas terkena banyak anak panah dan sabetan pedang. Orang-orang menduga dia pasti syahid dan mendapatkan kenikmatan surga.

            Akan tetapi, Muhammad saw mengatakan, “Dia akan masuk neraka.”

            Orang-orang bingung dan kaget. Kemudian, mencari tahu hal ihwal orang yang tewas itu.

            Tak lama, diketahuilah bahwa ada orang yang sempat mendengar dia pernah berkata lantang, “Aku berperang sesungguhnya bukan untuk Allah dan Muhammad, melainkan aku tidak suka Madinah tanah airku dirusakkan oleh para penyerang!”

            Pahamlah orang-orang bahwa dia berperang dan mati bukan untuk Allah swt dan Islam, melainkan untuk tanah airnya sendiri. Oleh sebab itu, dia tidak syahid dan bukan syuhada. Nerakalah memang tempat dia nanti.

            Mau seperti dia?

            Jangan mau!

            Apabila TNI-Polri berperang untuk kemuliaan negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, matinya pasti masuk neraka. Rugi banget.

            Segala yang kita lakukan harus diawali dengan pengetahuan yang jelas dan benar. Apabila ada kesalahan, segera perbaiki. Dengan pemahaman yang benar, niat pun akan benar, caranya pun akan benar, serta berakhir di tempat yang benar, yaitu Surga Allah swt.

            Agar jihad atau perang fisik yang kita lakukan mendapatkan ridha dan surga Allah swt, pemahaman kita harus lengkap sehingga niat pun akan bulat tanpa ada keraguan dan kekecewaan sedikit pun. Dengan demikian, jika kita tetap hidup, berada dalam kemuliaan dan jika kita mati, syahid mendapatkan kemuliaan pula. Pilihannya hanya dua, yaitu mati syahid atau hidup mulia. Tak ada kerugian di dalam kedua hal itu.

            Allah swt telah menganugerahi kita, Indonesia, dengan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Anugerah besar dari Allah swt itu harus kita jaga sebagai bentuk pengabdian kita kepada Allah swt. TNI-Polri dilengkapi dengan fisik dan senjata untuk menjaga anugerah Allah swt. Dengan demikian, jihad dalam arti perang fisik yang dilakukan TNI-Polri harus tetap dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara menjaga, melindungi, melestarikan, dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Allah swt yang tetap harus menjadi tujuan kita dengan cara menjaga seluruh anugerah-Nya. Kita jangan terjebak dengan terbatas hanya pada kecintaan terhadap anugerah-Nya, tetapi harus pula lebih mencintai Sang Pemberi Anugerah itu, yaitu Allah swt.

            Apabila hal ini bisa dipahami dengan benar dan dibulatkan dalam hati hingga menjadi niat yang pasti, insyaallah, apabila harus mati, keadaannya berada dalam kesyahidan dan mendapatkan surga dengan berlipat kenikmatan dan kebahagiaan sebagaimana yang dijanjikan Allah swt. Sebaliknya, apabila hanya terjebak dalam kecintaan pada anugerah-Nya, neraka akan menjadi tempat terakhir kalian.

            Memang cukup sulit saya menerangkannya karena memang sangat sulit. Itulah sebabnya kita diwajibkan minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam membaca surat Al Fatihah. Artinya, minimal tujuh belas kali kita harus memohon petunjuk agar Allah swt berkenan menjelaskan kepada kita tentang shiratal mustaqim, ‘jalan yang lurus’ dan bukan jalan yang bengkok. Hal itu disebabkan sebagaimana yang kita tahu bahwa shiratal mustaqim itu digambarkan bagai rambut yang dibelah tujuh. Sehelai rambut saja sudah sangat tipis dan cukup sulit dilihat, apalagi jika rambut yang sudah sangat tipis itu  dibelah tujuh.

            Terbayang kan bagaimana sulitnya kita melihat sehelai rambut dibelah tujuh?

            Tipis, tipis sekali, bahkan mungkin harus menggunakan kaca pembesar atau mikroskop untuk melihatnya dengan lebih jelas.

            Bagai rambut dibelah tujuh itu menjelaskan bahwa batas antara benar dan salah itu sangat tipis. Batas baik dan buruk itu sering samar. Pemahaman soal surga dan neraka pun sering dikaburkan dan tampak buram. Hal-hal itu mengakibatkan kita bisa salah paham, salah niat, dan salah melangkah karena menyangka telah berbuat baik, padahal sesungguhnya sedang melakukan keburukan. Kita bisa menduga bakal masuk surga, tetapi sesungguhnya adalah calon penghuni neraka.

            Sama rumitnya dengan memahami soal jihad dan akibatnya.

            Apabila TNI-Polri berjihad hanya untuk membela Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, tempatnya pasti di neraka.

            Apabila TNI-Polri berjihad untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara menjaga dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, tempatnya insyaallah di surga.

            Bisa kan membedakannya?

            Yang satu hanya mencintai ciptaan Allah swt, tempatnya di neraka.

            Yang satu lagi mencintai Allah swt dengan segala ciptaan-Nya, tempatnya di surga.

            Insyaallah, kita semua bisa mengerti. Mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan petunjuk kepada kita. Amin.




No comments:

Post a Comment