Thursday, 10 November 2016

Amerika Serikat Tak Siap Kesetaraan Gender

oleh Tom Finadin


Bandung, Putera Sang Surya

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) atas Hillary Clinton, tak lepas dari perilaku dan suasana kebatinan rakyat AS sendiri. Angka hasil pemilihan di AS dapat dijadikan cermin bagaimana sebenarnya perilaku batin rakyat AS kebanyakan. Seorang pengusaha AS dalam bidang IT, Timothy Francis, yang diwawancarai tvOne secara langsung dari AS, menyatakan bahwa kekalahan Hillary Clinton salah satunya disebabkan oleh “tidak siapnya rakyat AS menerima perempuan sebagai pemimpin atau presiden”. Rakyat AS ternyata seperti itu, masih mempersoalkan jenis kelamin dalam hal kepemimpinan.

            Saya hanya ingin tertawa terbahak-bahak. Bukan menertawakan AS, melainkan menertawakan orang-orang sok tahu dan sok pintar di Indonesia. Banyak aktivis kesetaraan gender di Indonesia sangat sering merendahkan pandangan, nilai, dan norma bangsanya sendiri, Indonesia, sebagai masih terbelakang karena mendahulukan pria untuk menjadi pemimpin serta meminggirkan kaum perempuan dalam soal politik dan hubungan sosial. Banyak aktivis dan politisi sejenis ini yang sering sekali membanding-bandingkan antara Indonesia dengan Amerika Serikat mengenai kesetaraan gender. Mereka dengan sangat yakin bahwa Amerika Serikat lebih maju karena tidak menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin. Kata mereka rakyat AS sudah berpikiran sangat terbuka karena tidak mempermasalahkan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Mereka sangat yakin bahwa AS lebih beradab dibandingkan Indonesia.

            Dasar sok tahu orang-orang ini!

            Dasar Penipu!

            Mereka berbicara sok cerdas dengan mengharapkan Indonesia menjadi seperti AS dengan memberikan kesempatan yang luas bagi kaum perempuan.

            Dasar banyak omong tanpa ilmu kalian!

            Sampai sekarang saja Amerika Serikat menurut Timothy Francis masih enggan untuk memiliki presiden berjenis kelamin perempuan sehingga Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45. Jadi, para aktivis dan politisi yang sok tahu dan penipu itu sudah terpenjara pikirannya dengan selalu menganggap bahwa apa pun tentang AS pasti bagus dan apa pun tentang Indonesia pasti buruk dan terbelakang. Lalu, pengetahuan mereka yang terbatas itu digunakan untuk merendahkan Indonesia dan Islam dengan membuat ilustrasi bahwa Islam dan Indonesia menghalangi perempuan untuk maju.

            Bodoh orang-orang ini!

            Mereka pantas ditertawakan … hahahahahaha …!

            Soal gender ini justru Indonesia lebih bagus. Indonesia pernah punya presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputeri. Bahkan, sesungguhnya sejak zaman dulu pun Indonesia sudah memberikan kesempatan yang teramat luar biasa bagi perempuan untuk aktif dalam berbagai bidang kehidupan asal para perempuannya bisa aktif di luar rumah. Tak ada yang menghalangi perempuan Indonesia untuk berkiprah dalam kehidupan. Jauh sebelum orang-orang kulit putih itu teriak-teriak soal kesetaraan gender, Indonesia sudah memiliki banyak pemimpin perempuan.

            Saya ingatkan lagi soal ini.

            Soekarno mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan Indonesia itu ibarat dua sayap burung Garuda. Burung Garuda bisa terbang sangat tinggi jika kedua sayapnya kuat dan sehat. Jika salah satu sayapnya sakit, Garuda pun tidak bisa terbang tinggi.

            Hal itu menunjukkan bahwa Soekarno sangat mendukung para perempuan dalam memajukan bangsa dan negara bersama kaum laki-laki. Bahkan, dalam hal pendidikan, jika dalam sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi untuk menyekolahkan anaknya, anak yang harus lebih dulu mendapatkan pendidikan adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki. Biarkan anak laki-laki belakangan. Dahulukan anak perempuan. Soekarno menjelaskan bahwa anak perempuan harus lebih dahulu mendapatkan pendidikan karena akan menjadi ibu dan harus mendidik putera-puterinya untuk masa depan. Di samping itu, Soekarno menjelaskan bahwa kaum pria hanya bekerja sepanjang siang, sedangkan perempuan bekerja siang dan malam.

            Apa lagi yang diragukan mengenai penghormatan Indonesia kepada kaum perempuannya?

            Jangan sedikit-sedikit mencontohkan luar negeri. Sedikit-sedikit Amerika Serikat. Sedikit-sedikit Eropa. Sebetulnya, bangsa Indonesia ini sudah membebaskan perempuan untuk bergerak dan berprestasi dari dulu. Asal perempuannya mau dan bisa, tidak ada yang akan menghalangi. Akan tetapi, kalau tidak mau dan tidak bisa, jangan teriak-teriak pengen bebas dan memiliki hak sama.

            Memangnya mau melakukan apa teriak-teriak tentang kebebasan?

            Pengen bebas keluyuran?

            Pengen bebas berbuat maksiat?

            Tidak perlu teriak-teriak soal kesamaan hak. Perempuan Indonesia itu dari dulu sudah bebas kok asal mau dan bisa.

            Nggak percaya?

            Perhatikan para perempuan yang bebas bergerak tanpa harus teriak tentang persamaan hak dan Ham dari luar negeri itu!

            Subanglarang, Permaisuri Raja Sunda Pajajaran. Ia hidup antara abad 16-17 Masehi. Subanglarang adalah ratu yang melahirkan Raden Kian Santang, Pangeran Sunda yang menyebarkan Islam di tanah Pasundan. Subanglarang mendirikan pesantren besar dan mendapat cinderamata dari Laksamana Cina Cheng Ho berupa mercusuar.

            Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga sekitar tahun 674 Masehi. Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan serta mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Ia pun melarang rakyat untuk memiliki emas. Ia sadar emas bisa membuat rakyatnya jahat dan gemar bertengkar.  Ia pernah menghukum anaknya sendiri karena kaki anaknya tidak sengaja menyentuh karung emas.

            Dyah Pitaloka Citraresmi, hidup antara 1340-1357 Masehi. Ia  adalah Puteri Kerajaan Sunda. Ia adalah perempuan tercantik di seluruh kerajaan kepulauan Nusantara. Banyak raja yang ingin memperistri Dyah Pitaloka dan tak ada perempuan yang membuat Raja Majapahit Hayam Wuruk jatuh cinta, kecuali Dyah Pitaloka Citraresmi.

            Ia perempuan yang sangat berani. Ia tetap melakukan perlawanan meskipun seluruh prajurit dan keluarganya telah gugur dalam Perang Bubat. Ia sendirian bertahan melawan 5.000 pasukan musuh. Dyah Pitaloka Citraresmi tetap mempertahankan harga diri Kerajaan Sunda dari penghinaan musuh-musuhnya. Sampai hari ini ada ribuan gadis Sunda yang menggunakan nama Dyah Pitaloka.

            Cut Nyak Dhien, pemimpin besar Perang Kerajaan Islam Aceh yang hidup antara  1848–1908. Sepanjang hidupnya bertempur melawan penjajahan Belanda. Dia tidak pernah kalah perang. Teriakan Allahu Akbar adalah senjatanya.

            Akan tetapi, ketika sudah tua, ia sakit. Seorang pasukannya mengadakan perjanjian dengan Belanda. Ia ingin Belanda mengobati Cut Nyak Dhien. Belanda setuju. Akan tetapi, Cut Nyak Dhien marah.

            Meskipun dirawat di rumah sakit, ia tetap berhubungan dengan pasukan Aceh untuk terus bertempur.  Akhirnya, Belanda memindahkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal di sana.

            Gambar Cut Nyak Dhien menjadi gambar salah satu pecahan mata uang kertas Indonesia.

            Cut Nyak Meutia. pejuang perang Aceh yang hidup pada 1870-1910. Ia bersama suaminya yang bernama Teuku Muhammad melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

            Raden Dewi Sartika adalah pahlawan pendidikan yang lahir di Bandung. Ia hidup antara 1884–1947. Ia adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Dewi Sartika adalah orang pertama yang membuka sekolah untuk perempuan, “Sakola Istri”.

            Raden Adjeng Kartini, puteri bangsawan Jawa. Ia hidup  antara 1879-1904. Ia gemar membaca majalah-majalah Eropa. Ia kemudian berhubungan melalui surat menyurat dengan teman-temannya di Eropa. Setelah Kartini meninggal, surat-surat itu dikumpulkan kemudian menjadi buku, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

            Rangkayo Rasuna Said, perempuan pejuang antikolonial yang hebat. Ia hidup antara 1910 s.d. 1965. Tulisan-tulisannya yang sangat tajam menyerang pemerintah Kolonial Belanda. Akibatnya, ia sempat ditahan Belanda. Kemudian, ia dipercaya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat. Setelah itu, ia kembali dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.

            Maria Walanda Maramis  hidup pada 1872-1924. Ia lahir dalam keluarga pejuang antikolonialis. Kakaknya, Andries Maramis, adalah aktivis yang  memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kemudian, ia pernah menjadi menteri dan duta besar Indonesia.

            Maria Walanda Maramis adalah perempuan yang sangat memperhatikan tugas dan tanggung jawab perempuan, baik di dalam rumah tangga sebagai ibu, sebagai istri, maupun sebagai pendidik. Ia kemudian mendirikan organisasi  Percintaan Ibu kepada Anak Temurunannya (Pikat). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.

            Martha Christina Tiahahu, pemberani yang hidup antara 1800-1818. Pada usia 17 ia melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Ia selalu mendampingi ayahnya Kapitan Paulus Tiahahu dalam menyerang Belanda. Ia selalu mengobarkan semangat perang prajuritnya dan mengajak para perempuan untuk ikut berperang. Akibatnya, Belanda kewalahan mendapat perlawanan dari para perempuan. Karena semangat dan keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat patung Martha Christina Tiahahu.

            Siti Walidah Ahmad Dahlan hidup pada 1872-1946. Ia adalah Istri Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Muhammadiyah. Siti sangat memperhatikan kaum perempuan. Oleh sebab itu, ia mendirikan organisasi perempuan yang bernama Sopo Tresno  untuk mendidik kaum perempuan. Ia bersama suaminya mengganti nama Sopo Tresno menjadi Aisyiyah. Nama itu berasal dari nama isteri Nabi Muhammad saw, Aisyah ra. Dalam organisasi itu, ia mendirikan lembaga pendidikan bagi para perempuan. Para perempuan dididik agar mampu menjadi pendidik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin rapat besar organisasi besar Muhammadiyah di Indonesia.

            Nyi Ageng Serang terlahir dengan nama asli Raden Ajeng (RA) Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi. Nyi Ageng Serang merupakan puteri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkeu Buwono I. Nyi Ageng juga merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga penyebar Islam yang sangat berpengaruh di Indonesia.

            Ketika menjadi penguasa Serang, banyak rakyatnya kelaparan dan mengalami kesengsaraan akibat ulah dari penjajah Belanda. Ia selalu membantu kesengsaraan rakyatnya dengan membagi-bagikan pangan. Selain itu, ia juga melakukan perlawanan fisik untuk mengusir pasukan Belanda dari tanah kelahirannya itu.

            Ia pun ikut dalam Perang Diponegoro pada 1825. Atas jasa dan keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat monumen Nyi Ageng Serang.

            Opu Daeng Risadju, anggota keluarga bangsawan Luwu.  Ia lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, pada 1880. Dalam sepanjang hidupnya ia dididik ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama Islam.

            Opu Daeng Risaju melakukan perlawanan terhadap kejahatan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. NICA memutuskan untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Al-Quran. Opu Daeng Risaju pun segera membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.

            Indonesia sejak dulu sudah sangat menghormati perempuan. Bahkan, semakin tua perempuan, semakin besar kekuasaannya di Indonesia ini. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Belanda (saya lupa lagi namanya) disebutkan bahwa hidup kaum perempuan Indonesia masa lalu terbagi dalam tiga fase penting, yaitu masa kanak-kanak yang penuh keriangan dan kesenangan, masa kepatuhan kepada suami, dan masa penuh kekuasaan ketika menjadi seorang nenek. Ketiga masa itu adalah sangat bagus dan penuh kehormatan dibandingkan masa sekarang yang terlalu bangga dengan perilaku-perilaku impor dari negara lain. Masa sekarang ini malah cenderung mengkhawatirkan karena perempuan Indonesa bisa terjerumus ke dalam empat fase kehidupan penting yang negatif, yaitu: masa kanak-kanak yang penuh kebingungan karena kurang pengawasan, masa remaja yang penuh kegalauan tanpa bimbingan, masa pernikahan yang rentan perceraian akibat perselingkuhan, dan masa pembuangan ke panti jompo setelah menjadi nenek.

            Mana yang lebih baik, masa lalu yang diikat oleh keluhuran norma dan budaya asli Indonesia atau masa sekarang yang bangga dengan perilaku impor bangsa asing?

            Orang waras yang punya otak cerdas dan jernih pasti bisa menjawabnya dengan mudah.

            Dengan demikian, jangan suka sok tahu dengan mengatakan bahwa orang-orang Barat peradaban nilai dan normanya lebih hebat dibandingkan Indonesia. Sementara itu, Indonesia masih terbelakang karena tidak menghargai perempuan. Padahal, Hillary Clinton tidak bisa menjadi presiden AS salah satunya disebabkan dia perempuan. Ini terjadi pada abad modern.

            Paham, ya?


            Masa tidak paham.

No comments:

Post a Comment