Saturday 5 November 2016

Terlalu Sering Ayat Al Quran Digunakan sebagai Alat untuk Berbohong

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Kalau ada orang yang menganggap bahwa ayat suci Al Quran tidak bisa digunakan untuk berbohong, dia salah besar dan kurang gaul. Saya tidak mengejek orang-orang seperti ini, tetapi mendorong mereka agar dapat memahami banyak hal dan bergaul lebih luas, jangan hanya tahu soal dirinya, kelompoknya, dan negaranya, melainkan pula meluaskan pandangan ke seluruh dunia. Sekarang ini zaman internet, tidak selalu harus pergi ke luar negeri untuk bisa memahami dunia. Buka saja internet, ada banyak hal yang dapat dipelajari. Kalau memiliki kesempatan untuk pergi ke luar negeri, itu lebih bagus.

            Sesungguhnya, dari zaman ke zaman, ayat Al Quran sering sekali digunakan sebagai alat untuk membohongi manusia. Ayat-ayat Al Quran ini kerap digunakan sebagai alat berbohong untuk kepentingan politik dan ekonomi. Selalu politik dan ekonomi yang dituju para pendusta ini. Mereka yang selalu menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk berbohong adalah para anti-Islam yang menghalangi manusia untuk menemukan kebenaran Islam dan orang-orang Islam yang ingin berkuasa secara ekonomi dan politik tanpa prestasi.

            Lebih dari dua ratus orang anti-Islam luar negeri, terutama Eropa pernah berdebat dengan saya dan saya kalahkan mereka semuanya, atas izin Allah swt. Mereka menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk membohongi manusia, khususnya orang-orang Eropa agar tidak masuk Islam. Hal itu disebabkan mereka semakin hari semakin khawatir atas perkembangan Islam di Eropa mengingat menurut CNBC jumlah umat Islam selalu bertambah cepat setiap hari, yaitu 68.000 orang di seluruh dunia per hari selalu masuk Islam. Bahkan, di setiap satu masjid di Amerika Serikat dan Eropa dalam satu hari selalu ada orang yang masuk Islam, antara 1 s.d. 4 orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Subhanallah.

            Ada ratusan ayat Al Quran yang mereka gunakan untuk menghalangi manusia menuju Allah swt.  Mereka memposting ayat-ayat itu ketika berdebat dengan saya. Cek saja sendiri. Saudara-saudara bisa masuk ke akun Google+ saya, lalu cari perdebatan-perdebatan saya di Youtube dengan para kafirun berkulit putih itu. Ayat-ayat yang selalu mereka pergunakan ada di sana, catat, lalu kumpulkan, kalian akan terkejut. Kalau Saudara-saudara malas mencarinya, saya beritahu saja tujuan mereka. Dengan ayat-ayat itu, mereka membelokan pikiran manusia agar menganggap bahwa Islam itu kasar dan keji, kejam dan suka membunuh, terbelakang dan gemar memperbudak perempuan, gemar berperang dan suka menguasai hidup orang lain, kaku dan anti-kebebasan berpendapat, serta banyak lagi hal buruk lainnya.

            Tentu saja banyak sekali ayat yang seperti itu dan memang benar isinya seperti itu serta mudah sekali dipahami seperti itu jika hanya membaca ayat itu satu per satu tanpa ada penjelasan lain dari ayat lainnya, asbabun nuzul, hadits, tarikh, dan dari pendapat para ahli tafsir terpercaya. Itu artinya, ayat Al Quran dapat digunakan sebagai alat untuk berbohong.    

            Di kalangan umat Islam sendiri banyak yang melakukan hal seperti itu, terutama pada kelompok-kelompok kecil yang kerap mengklaim diri sebagai yang paling benar dan paling suci.

            Ayat favorit yang sering digunakan mereka adalah yang menyatakan, “Taatlah kepada Allah swt, kepada Rasul, dan kepada pemimpin di antara kalian.”

            Ayat itu biasanya digunakan pemimpinnya untuk menuntut kepatuhan dari para pengikutnya. Pemimpinnya menggunakan ayat itu agar para pengikutnya hanya patuh kepada dirinya dan bukan kepada orang lain. Pengikutnya dipaksa patuh dan hanya menerima ilmu pengetahuan dari dirinya, bukan dari orang lain. Bahkan, tak jarang pemimpin mereka mengharamkan buku-buku Islam dari para penulis Islam terkenal. Tak heran apabila mereka hidup tampak ekslusif, menutup diri, dan cenderung melecehkan orang lain. Jangan terkejut pula jika dalam pandangan mereka, siapa pun orang yang berada di luar geng mereka adalah kafir karena tidak patuh kepada pemimpin mereka. Presiden sampai dengan lurah adalah pemimpin thaghut. Ketua Ormas-ormas Islam, baik yang besar maupun yang kecil adalah pendukung kekafiran.

            Apa itu artinya?

            Itu artinya ayat Al Quran dapat digunakan sebagai alat untuk berbohong. Setiap geng-geng kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk bermanfaat bagi orang banyak menggunakan ayat kepatuhan itu untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Setiap geng menggunakan ayat itu, tetapi mereka berbeda geng.

            Kalau begitu, geng mana yang  pemimpinnya harus dipatuhi?

            Setiap pemimpin geng berbeda menggunakan ayat itu.

            Bingung, bukan?

            Hal itu disebabkan mereka menggunakan ayat Al Quran untuk membohongi manusia demi mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.

            Benarlah Allah swt dan Muhammad saw mengajari kita bahwa apabila hendak membaca Al Quran, harus terlebih dahulu mengucapkan taudz dan basmallah. Taudz sangat berguna agar syetan dan hawa nafsu kita tidak menjerumuskan kita ke dalam pemahaman-pemahaman yang salah dari ayat-ayat yang kita baca. Basmallah berarti mengundang Allah swt untuk memberikan kasih dan sayang kepada kita ketika membaca Al Quran sekaligus membuat kemahakasihsayangan Allah swt mewujud pada diri kita. Jangan membaca Al Quran dengan kemarahan hanya untuk mencari-cari dalil untuk menjatuhkan orang lain, terutama sesama muslim. Itu sama halnya bersekutu dengan syetan untuk membuat kekisruhan di muka Bumi.  


Memperalat Al Quran dalam Pemilu

Yang saya maksud Pemilu itu mencakup setiap pemilihan pemimpin di Indonesia, baik itu Pilkades, Pilkada, Pileg, maupun Pilpres. Dalam setiap pemilihan, ayat Al Quran digunakan sebagai alat untuk menarik para pemilik hak pilih agar memilih jagoannya. Mereka ingin menunjukkan bahwa jagoannya dan kelompoknya adalah yang paling shaleh, yang paling beriman, dan paling Islam. Perilaku memperalat Al Quran ini bahkan terjadi pula dalam pemilihan pemimpin atau ketua di dalam partai yang sama. Persaingan di dalam tubuh partai pun kerap menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk meyakinkan bahwa jagoannya adalah yang paling layak memimpin. Malahan, hal ini terjadi pula dalam pemilihan ketua di dalam Ormas-ormas kepemudaan Islam. Di antara sesama muslim sendiri, ayat-ayat Al Quran ini sering dipergunakan untuk menjatuhkan nama baik lawannya ketika dalam masa pemilihan.

            Kita tidak perlu berbohong tentang hal ini karena hal ini sering sekali terjadi. Tidak perlu menutup-nutupi kenyataan karena hanya akan memperburuk citra kita sebagai muslim, baik di hadapan Allah swt, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak perlu menghindar dari kebenaran karena memang keburukan ini sangat sering terjadi. Sudah seharusnya perilaku seperti ini segera dihentikan.

            Saya ini sering merasa kesal, marah, sedih, serta ingin berbicara yang kasar-kasar dan tidak terpuji jika melihat dan mendengar orang-orang bergerombol meneriakkan Allahu Akbar, Laailaahailallaah, atau kata-kata lainnya hanya untuk mendapatkan kepentingan sesaat serta hanya untuk membela kepentingan politik dan ekonomi sekelompok orang. Bagi saya, mereka itu seolah-olah sedang memperalat kalimat-kalimat Allah swt hanya untuk kepentingan rendah mereka.

            Betapa kesalnya saya ketika di depan gedung pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung, ada ribuan orang beradu fisik hanya gara-gara perbedaan calon kepala daerah. Mereka berteriak-teriak dan berbicara sangat kasar tidak senonoh untuk saling memaki. Ormas-ormas pendukung dua partai besar berbeda calon itu sama-sama meneriakan Allahu Akbar, kemudian membacakan banyak sekali ayat Al Quran. Pihak yang satu rela berjihad dan syahid, pihak lawannya juga sama siap bertarung sampai mati. Mereka yang sedang berkelahi itu sama-sama memiliki dalil dari ayat-ayat Al Quran.  Mereka siap sekali beradu jotos, padahal sama-sama menggunakan dan meneriakkan ayat-ayat Al Quran. Beruntung sekali polisi sigap bertahan berada di tengah-tengah kedua gerombolan itu untuk mencegah pertarungan terjadi dengan lebih mengerikan.

            Perilaku bodoh macam apa itu?

            Mereka sama-sama meneriakan takbir, tetapi saling mengejek dan memaki, bahkan kalau tak ada polisi, bisa saling bunuh.

            Saya menerima selebaran yang mereka buat. Masing-masing bersandar pada Al Quran lengkap dengan huruf arab dengan banyak sekali ayat, tetapi saling bermusuhan.

            Kalau mereka ditanya, pasti setiap pihak mengklaim diri paling benar dan menyalahkan pihak lainnya. Akan tetapi, mereka dalam posisi saling berseteru. Perseteruan mereka hanya diakibatkan oleh dugaan adanya penggelembungan suara ketika Pilkada. Setiap pihak menuding pihak lainnya yang telah melakukan kecurangan dalam Pilkada. Kini persoalan mereka telah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.

            Perilaku macam apa itu?

            Itulah yang menyebabkan saya sangat tidak menyukai demokrasi. Orang-orang banyak yang melecehkan Al Quran hanya untuk kepentingan politik dan ekonomi. Menjijikan.

            Agak mendingan jika mereka berkampanye menggunakan ayat Al Quran, lalu setelah terpilih bekerja bersandarkan Al Quran. Akan tetapi, ternyata banyak yang sebelumnya menggunakan ayat Al Quran, bekerja seenaknya, lalu ditangkap karena korupsi, Narkoba, Pungli, pelecehan seksual, penghinaan, dan tidak prorakyat. Mereka benar-benar menyalahgunakan Al Quran. Brengsek mereka.


Q.S. Al Maaidah : 51

Saya bukan pendukung Ahok dan bukan pula anti-Ahok. Saya tidak akan memilih Ahok dan tidak pula akan memilih calon lainnya karena saya orang Bandung. Kalaupun saya orang Jakarta, saya tetap tidak akan memilih siapa pun karena saya tidak menyukai demokrasi.

            Paham, kan?

            Mari kita lihat dulu terjemahan dari Q.S. Al Maaidah : 51.

            “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ‘teman setia(mu)’; mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.”

            Terjemahan tersebut saya ambil dari Tafsir Qur’an per Kata: Dilengkapi Asbabun Nuzul dan Terjemah yang disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A.. Dalam kitab lain, “teman setia(mu)” diterjemahkan sebagai “pemimpin(mu)”.  Baik diterjemahkan sebagai “teman setia(mu), maupun “pemimpin(mu)”, inti pesannya adalah “jangan menjadikan orang Yahudi dan orang Nasrani” sebagai “orang kepercayaanmu”.

            Q.S. Al Maaidah : 51 ini kerap digunakan orang ketika memasuki masa-masa pemilihan pemimpin yang di dalamnya ada sangkut pautnya dengan penguasaan politik dan ekonomi. Masa-masa Pilkada, Pileg, dan Pilpres adalah langganan bagi penggunaan ayat ini. Anehnya, ayat-ayat ini tidak pernah digunakan ketika memilih pemimpin yang tidak bersangkutan dengan politik dan ekonomi. Misalnya, ayat ini tak digunakan ketika memilih pemimpin paduan suara, pemimpin keamanan kampung, pemimpin personalia, manajer di pabrik, pemimpin marching band, pemimpin demonstrasi, pemimpin kerja bakti, pemimpin paguyuban sopir Angkot dan ojek, pemimpin koperasi, pemimpin persatuan montir motor, pemimpin karang taruna, pemimpin organisasi profesi, pemimpin organisasi kesarjanaan, kapten kesebelasan sepak bola, dan pemimpin-pemimpin lainnya. Padahal, dalam ayat itu jelas sekali ada larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Seharusnya, kalau mau konsisten, digunakan pula ketika memilih pemimpin panitia tujuh belas agustusan. Pemimpin di tingkat apa pun dalam level apa pun dan dalam kegiatan apa pun mestinya harus dijadikan masalah jika ada pemimpin yang tidak beragama Islam.

            Jika ada orang yang mengatakan bahwa ayat itu bisa dipahami secara sederhana, yaitu jangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani, memang benar. Akan tetapi, ternyata tidak sesederhana itu.

            Buktinya adalah jika ditanyakan mengapa ayat ini tidak digunakan ketika memilih pemimpin paduan suara, pemimpin keamanan kampung, pemimpin personalia, manajer di pabrik, pemimpin marching band, pemimpin demonstrasi, pemimpin kerja bakti, pemimpin paguyuban sopir Angkot dan ojek, pemimpin koperasi, pemimpin persatuan montir motor, pemimpin karang taruna, pemimpin organisasi profesi, pemimpin organisasi kesarjanaan, kapten kesebelasan sepak bola, dan pemimpin-pemimpin lainnya, orang pasti membutuhkan penjelasan atau keterangan lain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Paling tidak, kita akan menggunakan logika kita untuk menjawabnya. Hal itu menunjukkan bahwa ternyata memang tidak sesederhana itu untuk memahami dan melaksanakan Q.S. Al Maaidah : 51. Belum lagi dalam ayat itu hanya ada larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Ayat itu tidak melarang untuk memilih pemimpin dari kalangan Hindu, Budha, dan Konghucu.

            Jadi, hanya Yahudi dan Nasrani yang dilarang dipilih untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, Hindu, Budha, dan Konghucu tidak dilarang sama sekali untuk dijadikan pemimpin.

            Begitukah?

            Bagaimana dengan kaum muslimin minoritas di negara mayoritas nonmuslim yang tidak memiliki calon pemimpin dari kalangan Islam?

            Haruskah mereka memaksakan diri untuk menjadi pemimpin meskipun tidak memiliki kesiapan yang jelas?

            Sekali lagi, sangat tidak sederhana untuk memahami dan melaksanakan ayat tersebut.

            Mengapa Allah swt menurunkan ayat yang melarang untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin?

            Nah, untuk menjawab pertanyaan itu, kita memerlukan keterangan lain, yaitu asbabun nuzul, ‘penyebab turunnya ayat’.

            Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat itu turun terkait dengan pasca-Perang Uhud yang membuat umat Islam kalah dan berada dalam kondisi lemah. Kondisi kritis yang dialami umat Islam membuat beberapa orang Islam memilih untuk bersekutu dan meminta perlindungan pada kaum Yahudi atau kaum Nasrani. Mereka takut ditimpa kesusahan dan penderitaan jika terjadi hal-hal yang lebih buruk menimpa kaum muslimin. Mereka menduga bahwa dengan bersekutu dengan Yahudi dan Nasrani dapat menyelamatkan mereka dari penderitaan atau kesulitan yang sangat mungkin terjadi. Di samping itu, ada pula orang yang setelah bersekutu dengan Yahudi, pergi kembali kepada Rasulullah saw untuk mengikrarkan kesetiaan diri sebagai pengikut setia Rasulullah ketika terjadi perang antara kaum muslimin dengan Yahudi Bani Qainuqa. Hal-hal itulah yang menyebabkan turunnya Q.S. Al Maaidah : 51.

            Saat itu sedang terjadi perang antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy. Perang adalah situasi yang teramat membahayakan. Sebenarnya, yang berperang seharusnya bukan antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy, melainkan antara penduduk Madinah dengan kafir Quraisy. Penduduk Madinah, termasuk Yahudi, Nasrani, dan para penyembah berhala seharusnya ikut berperang melawan kafir Quraisy karena telah terikat perjanjian dengan kaum muslimin bahwa seluruh penduduk Madinah meskipun berbeda agama dan keyakinan harus membela negeri Madinah dari setiap musuh yang ingin merusakkan Madinah. Akan tetapi, dalam kenyataannya, hanya orang-orang Islam yang bertempur. Umat-umat agama lain tidak ikut bertempur membela Madinah, kecuali beberapa orang saja. Ini adalah suatu kenyataan yang menunjukkan bahwa kaum Nasrani dan Yahudi di Madinah saat itu sama sekali tidak bisa dipercaya dan tidak menghormati perjanjian dengan kaum muslimin. Oleh sebab itu, wajar sekali jika Allah swt memerintahkan umat Islam untuk tidak berlindung dan berteman setia dengan Nasrani dan Yahudi. Nasrani dan Yahudi telah wan prestasi serta hanya cari selamat sendiri dan tidak mau menanggung risiko untuk hidup dalam kebersamaan dalam perjanjian yang sebetulnya telah mereka setujui.

            Hal lain yang patut diperhatikan adalah Nabi Muhammad saw bukanlah pemimpin untuk keseluruhan Madinah, melainkan hanya pemimpin untuk kaum muslimin. Adapun Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, dan umat-umat lain tetap dipimpin oleh pemimpinnya masing-masing. Tidak ada hubungan komando antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, antara umat yang satu dengan umat yang lainnya. Setiap agama dan setiap umat memiliki hukum, aturan, cara hidup, dan tujuan masing-masing tanpa ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Islam hidup dengan cara Islam, Yahudi dengan keyahudiannya, Nasrani dengan kenasraniannya, demikian pula umat dan agama yang lain hidup dengan tatacara mereka masing-masing. Adapun hubungan antarumat, antaragama, serta dengan wilayah Madinah diikat oleh perjanjian yang intinya adalah toleransi atau kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berbisnis, serta kewajiban saling membantu dan saling melindungi untuk mempertahankan negeri Madinah. Hubungan politik seperti itu membuat rentan adanya pengkhianatan yang dapat dilakukan oleh suatu umat atau suatu agama terhadap umat dan agama lainnya. Mereka memiliki rakyat masing-masing, memiliki pemimpin masing-masing, serta memiliki angkatan perang masing-masing yang satu sama lain berbeda komando dan berbeda tujuan hidup. Ketika umat Islam menderita kekalahan dalam Perang Uhud yang menimbulkan kelemahan dalam barisan kaum muslimin, kaum Yahudi dan kaum Nasrani adalah kelompok yang paling rentan melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian yang telah disepakati dengan kaum muslimin untuk hidup damai di negeri Madinah. Kaum Yahudi dan Nasrani mudah sekali bersekutu dengan kaum kafir Quraisy untuk mengalahkan kaum muslimin yang sedang dalam keadaan sangat lemah. Memang sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa berikutnya kecurangan Yahudi dan Nasrani lebih tampak jelas dalam mengingkari perjanjian damai. Oleh sebab itu, wajar Allah swt melarang kaum muslimin untuk berteman setia atau mengangkat pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani karena bisa memperlemah barisan perang kaum muslimin serta membocorkan rahasia-rahasia strategi perang Muhammad saw kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang pada ujungnya sampai ke telinga kaum kafir Quraisy.

            Hal teramat penting yang wajib diketahui adalah ancaman Allah swt kepada orang Islam yang meminta perlindungan, mengangkat pemimpin, dan berteman setia dengan Yahudi dan Nasrani. Ancaman itu ada dalam kalimat akhir Q.S. Al Maaidah : 51.

            “…Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.”

            Orang-orang Islam yang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, pelindung, dan teman setia secara otomatis akan dipandang bukan lagi sebagai seorang muslim, melainkan sama dengan Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, mereka akan diperlakukan sebagaimana Yahudi dan Nasrani oleh Allah swt dan oleh kaum muslimin yang setia kepada Muhammad saw.

            Ayat itu merupakan ancaman yang nyata terjadi karena Allah swt berkehendak membukakan penyakit-penyakit jahat yang tersembunyi dalam hati para Yahudi dan Nasrani. Penyakit hati mereka itu terwujud dalam tindak-tanduk mereka sehari-hari yang teramat buruk dan hina sehingga berujung pada hancurnya perjanjian yang telah dibuat dengan kaum muslimin untuk damai. Ketika penyakit hati mereka mewujud dalam perilaku nyata dan menghancurkan perdamaian, Allah swt memperkuat iman kaum muslimin, meningkatkan ekonomi kaum muslimin, dan memperbesar kekuatan kaum muslimin secara cepat. Ketika perjanjian dihancurkan oleh perilaku busuk kaum Yahudi, kaum muslimin pun menganggap perjanjian itu batal. Pengkhianatan kaum Yahudi pun dibalas keras dan sadis oleh kaum muslimin, terjadilah pengepungan dan pembantaian terhadap kaum Yahudi oleh kaum muslimin. Yahudi Bani Qainuqa dikepung kaum muslimin sampai akhirnya diusir dari Madinah. Demikian pula Yahudi Bani Nadzhir mengalami hal yang sama, bahkan lebih mengerikan. Kaum Nasrani pun menderita hal yang serupa pula pada masa-masa berikutnya setelah melakukan gangguan dan pembunuhan tanpa alasan yang jelas terhadap kaum muslimin. Pengejaran dan pemburuan terhadap kaum Nasrani Romawi oleh kaum muslimin pun menjadi-jadi hingga kaum Nasrani hanya mampu bertahan terdesak di dalam benteng-bentengnya sendiri tanpa bisa melakukan perlawanan yang berarti.

            Itulah kenapa Allah swt mengancam kaum muslimin dalam Q.S. Al Maaidah : 51 untuk tidak berteman setia dan tidak menjadikan Yahudi atau Nasrani sebagai pemimpin. Orang Islam yang setia kepada kaum Yahudi dan Nasrani akan mengalami nasib yang serupa pula, yaitu dikejar, diburu, dan dibantai karena pengkhianatan mereka terhadap perjanjian yang telah disepakati.

            Dari penjelasan yang saya dapatkan dari berbagai sumber tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan mengenai penyebab Allah swt melarang kaum muslimin untuk mengangkat pemimpin dari Yahudi dan Nasrani serta berteman setia dengan mereka. Pertama, saat itu terjadi permusuhan sengit dan perang besar antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy. Kedua, kaum muslimin sedang ditimpa melapetaka kekalahan dan kelemahan dalam berbagai bidang. Ketiga, kaum Yahudi, Nasrani, dan umat-umat lain tidak menghormati perjanjian damai serta tidak bersama-sama mempertahankan Madinah dari serangan musuh. Keempat, setiap umat di Madinah tidak memiliki pemerintahan yang sama karena dipimpin oleh pemimpinnya masing-masing serta memiliki hukum, tatacara hidup, dan tujuan yang tidak sama. Kelima, setiap umat memiliki otoritas masing-masing dan tidak berhubungan sehingga memiliki pasukan perang masing-masing. Keenam, kaum Yahudi melanggar perjanjian damai dengan kaum muslimin melalui perilaku-perilaku khianat dan tindakan-tindakan pelecehan terhadap kaum muslimin. Ketujuh, karena Yahudi dan Nasrani tidak menghormati perjanjian damai, mereka berkecenderungan untuk melakukan kerja sama rahasia dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan kaum muslimin. Kedelapan, Allah swt berkehendak menampilkan kebusukan hati Yahudi dan Nasrani dalam perilaku mereka sehari-hari sehingga tampak nyata di hadapan kaum muslimin. Kesembilan, Allah swt berkehendak untuk membuat kaum muslimin menjadi kaum yang sangat besar dan kuat sehingga mampu menghancurkan Yahudi dan Nasrani berikut orang-orang Islam yang bergabung dengan Yahudi dan Nasrani.

            Sembilan hal itulah yang menjadi syarat mutlak umat Islam terlarang untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai orang kepercayaan. Paling tidak, jika empat hal sudah ada, umat Islam pada masa sekarang ini wajib untuk tidak menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai orang kepercayaan, baik itu sebagai teman setia maupun sebagai pemimpin. Keempat hal itu ialah tidak menghormati dan merusakkan perjanjian, memisahkan diri dari rantai komando kepemimpinan,  berkecenderungan melakukan kerusakan terhadap kaum muslimin, dan bekerja sama, baik secara rahasia maupun terang-terangan dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam. Tanpa keempat hal itu, Q.S. Al Maaidah : 51, belum boleh dilaksanakan. Artinya, tak ada larangan untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia atau bahkan sebagai pemimpin jika minimal keempat hal itu tidak terjadi.

            Bukan berarti Q.S. Al Maaidah : 51 tidak berlaku, melainkan hanya bisa diberlakukan apabila syarat-syaratnya atau penyebab-penyebabnya sudah terjadi. Hal ini sebagaimana dengan shalat bahwa shalat dzuhur itu wajib hukumnya, tetapi hanya boleh dilakukan jika waktunya sudah tiba. Tidak boleh shalat dzuhur jika waktunya belum tiba, misalnya, terlarang untuk shalat dzuhur pada pukul 10.00 WIB. Shalat dzuhur hanya bisa dilaksanakan jika Matahari mulai tergelincir dari atas kepala kita.  

            Kita harus memerangi mereka jika mereka melakukan banyak keburukan terhadap kita. Akan tetapi, kita wajib bersikap baik dan adil jika mereka berkecenderungan hidup damai dengan kaum muslimin. Hal ini sebagaimana yang ada dalam firman Allah swt Q.S.  Al Maaidah : 8.

            “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

            Ayat di atas menjelaskan bahwa kita harus berlaku baik dan adil kepada siapa pun tanpa membeda-bedakan agama dan ras sepanjang mereka berbuat baik dan adil pula kepada kita. Jika mereka melakukan keburukan kepada kita, kita diperbolehkan membalasnya sebatas sesuai dengan apa yang mereka lakukan kepada kita, tidak boleh berlebihan. Kita tidak boleh melakukan keburukan apa pun atas dasar kebencian kita terhadap kaum, agama, ras, ataupun kelompok tertentu.


Dalam Konteks Keindonesiaan

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, urusan Yahudi tidak perlu dipermasalahkan karena Yahudi bukanlah agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia. Di samping itu, Indonesia pun haram hukumnya menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sepanjang Israel masih melakukan penjajahan terhadap Palestina. Hal itu disebabkan Indonesia harus menampakkan pada dunia bahwa Indonesia sangat membenci penjajahan sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi, baik secara Islam maupun secara kenegaraan, sangat diharamkan untuk menjalin hubungan erat dengan Yahudi dan Israel, apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin. Itu sudah clear tidak perlu dipermasalahkan lagi.

            Hal yang masih belum dipahami dengan benar adalah hubungan antara mayoritas kaum muslimin dengan agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, yaitu Kristen (dengan seluruh sektenya), Budha, Hindu, dan Konghucu terkait masalah “teman setia” atau “kepemimpinan”. Hal ini sebenarnya bisa dengan mudah dipahami jika kita sama-sama setia terhadap “perjanjian” yang telah disepakati bersama.

            Ingatlah, bahwa Negara Indonesia didirikan atas perjanjian bersama yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Perjanjian itu adalah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila. Sebaiknya, kita singkat saja ketiga hal tersebut sebagai 3P, yaitu Proklamasi, Pembukaan UUD, dan  Pancasila.

            Semua umat, seluruh golongan, setiap elemen bangsa harus selalu menghormati 3P tersebut. Hal itu disebabkan 3P merupakan perjanjian bersama yang sudah disepakati sejak lama untuk hidup bersama dalam damai di Negara Indonesia. Siapa pun yang berniat atau mewujudkan niatnya untuk tidak menghormati bahkan menghancurkan 3P wajib dianggap sebagai musuh negara. Mereka harus dijadikan musuh bersama karena mengingkari atau merusakkan perjanjian tersebut. Seluruh manusia yang berkewarganegaraan Indonesia wajib hukumnya menjaga tegaknya 3P dan mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam 3P.

            Siapa pun wajib mengerahkan kreativitas dan potensi dirinya untuk menjaga 3P dan untuk mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana yang diinginkan 3P. Oleh sebab itu, semua orang memiliki hak yang sama untuk berkreasi dan menunjukkan kecintaannya kepada Indonesia dalam mencapai tujuan nasional Indonesia. Artinya, baik orang Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu memiliki hak yang sama, baik untuk menjadi pemimpin maupun menjadi orang yang dipimpin dalam rangka menjaga 3P dan mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana yang ada dalam 3P. Ini adalah perjanjian, kecuali jika kalian tidak ingin menghormati perjanjian yang telah lama disepakati. Jika kalian ingin menghancurkan perjanjian, kalian adalah harus dicap sebagai musuh negara. Terserah kalian sendiri.

            Sepanjang mampu menjaga, menghormati, dan tidak merusakkan 3P; tidak berkecenderungan melakukan kerusakan terhadap Indonesia dan rakyatnya; tidak bekerja sama, baik secara rahasia maupun terang-terangan dengan musuh-musuh negara untuk menghancurkan kedamaian Indonesia, siapa pun boleh menjadi pemimpin dan berhak pula untuk menjadi orang yang dipimpin. Agama apa pun dia dan dari suku mana pun dia. Semua WNI berhak menampilkan seluruh prestasi dan potensinya agar bisa dipercaya untuk menjadi pemimpin di level apa pun di Indonesia ini. Ini adalah perjanjian. Kalau tidak mau seperti itu, batalkan dulu perjanjian yang lama, bentuk lagi perjanjian yang baru. Begitu seharusnya kalau bisa.

            Q.S. Al Maaidah : 51 belumlah perlu diberlakukan jika kaum Nasrani dan kaum-kaum lainnya masih setia pada 3P; tidak berkecenderungan melakukan kerusakan terhadap Indonesia dan rakyatnya; tidak bekerja sama, baik secara rahasia maupun terang-terangan dengan musuh-musuh negara untuk menghancurkan kedamaian Indonesia. Apabila kaum Nasrani maupun umat-umat lainnya sudah menunjukkan ketidaksetiaan pada 3P; berkecenderungan melakukan kerusakan terhadap Indonesia dan rakyatnya; bekerja sama, baik secara rahasia maupun terang-terangan dengan musuh-musuh negara untuk menghancurkan kedamaian Indonesia, berlakulah Q.S. Al Maaidah : 51. Itulah waktu yang tepat untuk memberlakukan ayat tersebut, sebagaimana menunaikan shalat dzuhur tepat setelah adzan dzuhur. Jangan shalat dzuhur sebelum waktunya tiba dan jangan memberlakukan Q.S. Al Maaidah : 51 jika syarat-syaratnya belum dipenuhi.


Ruh Indonesia adalah Islam

Sesungguhnya, Allah swt sangat menyayangi Indonesia. Saking sayangnya, Allah swt menjadikan Islam sebagai dasar bagi landasan hidup Indonesia dan menjadikan Islam sebagai tujuan hidup Negara Indonesia.

            Tidak percaya?

            Mari kita perhatikan dengan sangat teliti!

            Saya sudah mempelajarinya sejak lama dan beberapa kali pula menulisnya dalam blog ini sedikit demi sedikit. Jika Saudara-saudara mau sedikit letih berpikir, akan tampak jelas bagaimana Allah swt sangat sayang kepada Indonesia. Tak berlebihan pula jika ada yang berpendapat bahwa Allah swt mengutus Malaikat Rahmat membentangkan sayapnya untuk menumbuhkan cinta kasih di seluruh penjuru Bumi Indonesia.

            Tadi sudah saya jelaskan bahwa Negara Indonesia didirikan atas dasar perjanjian yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yaitu Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila (3P). Perjanjian itu sesungguhnya adalah titik-titik cahaya dari ajaran Islam yang Allah swt wujudkan ke dalam kehidupan nyata yang diilhamkan kepada founding fathers bangsa Indonesia sebagai anugerah terbesar bagi bangsa Indonesia.

            Bagaimana kita bisa yakin bahwa 3P itu adalah bagian dari ajaran Islam?

            Coba cek sendiri atau cek bersama-sama dengan seluruh kiyai dan ahli agama Islam di seluruh Indonesia.

            Adakah isi dari 3P itu bertentangan dengan ajaran Islam?

            Tidak ada, bukan?

            Kalau tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam, berarti sesuai dengan ajaran Islam. Kalau sesuai dengan ajaran Islam, itulah ajaran Islam. Itulah Islam.

            Iya, toh?

            Jadi, seluruh isi dari perjanjian pendirian Negara Indonesia adalah ajaran Islam. Islam pulalah yang menjadi tujuan pendirian Negara Indonesia.

            Tujuan nasional bangsa Indonesia adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang makmur lahir dan makmur batinnya berdasarkan Pancasila. Artinya, Negara Indonesia wajib berupaya keras untuk memakmurkan negerinya sebagai alat pengabdian kepada Allah swt yang di dalam Pancasila disebut Tuhan Yang Maha Esa.

            Jika kita perhatikan pidato Ir. Soekarno mengenai Pancasila di depan Sidang Umum PBB, indah sekali. Dia mengisyaratkan bahwa Sila Pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa adalah berasal dari ajaran Islam yang dengan tegas menyatakan diri sebagai para penganut Allah swt Yang Mahatunggal. Adapun penganut agama lain di Indonesia menerimanya dengan tulus karena mengakui dengan sepenuh hati bahwa perjuangan Indonesia dan seluruh perkembangan kehidupan Indonesia tidak bisa terlepas dari Islam.

            Berdasarkan penuturan Soekarno di depan Sidang Umum PBB tersebut, kita dapat memahami bahwa betapa sayangnya Allah swt kepada Indonesia. Inti dari ajaran Islam yaitu tauhid telah menjadi Sila Pertama dari Pancasila. Dalam pada itu, Allah swt telah melunakkan, menjinakkan, dan melembutkan hati para pemeluk agama non-Islam untuk menerima tauhid sebagai bagian dari dasar hidup mereka yang termuat dalam Pancasila.

            Bukankah pemilik hati itu adalah Allah swt?

            Bukankah yang mampu membolak-balikan hati itu adalah Allah swt?

            Bukankah Allah swt mampu membuat keras hati para pemeluk agama non-Islam untuk menolak Ketuhanan Yang Maha Esa?

            Mengapa Allah swt membuat hati para pemeluk non-Islam begitu lembut dan lapang menerima tauhid dalam hidup mereka?

            Itu tandanya Allah swt sayang kepada Indonesia.

            Allah swt telah menjadikan Islam sebagai landasan hidup bangsa Indonesia. Allah swt telah menjadikan Islam sebagai tujuan bangsa Indonesia. Landasan dan tujuan hidup ada di dalam Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila (3P). Dengan demikian, yang kita butuhkan adalah orang-orang yang teguh dan setia pada perjanjian dan matanya terfokus pada tujuan nasional bangsa Indonesia. Tak masalah agamanya apa dan berasal dari suku mana, toh yang wajib dijadikan landasan kerja dan tujuan hidup adalah Islam. Mau orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau agama lokal, landasan dan tujuan hidupnya dalam berbangsa dan bernegara adalah sama, yaitu Islam. Jadi, tak ada yang perlu diributkan soal perbedaan agama dan suku dalam hal kepemimpinan. Dari awal sampai dengan akhir hidup bangsa ini tetap harus Islam. Kalau tidak mengarah pada Islam¸ akan dianggap musuh negara, tak peduli itu orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, maupun penganut agama lokal.

            Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan perbedaan suku, ras, agama, dan adat istiadat sudah selesai dan tidak boleh ada lagi. Yang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia adalah orang-orang terbaik dan para pemimpin terbaik yang setia pada dasar dan tujuan perjanjian pendirian Negara Indonesia yang sangat islami itu. Tak masalah agama apa pun dia dan berasal dari suku mana pun dia, sepanjang tidak menghancurkan perjanjian dan tidak menghambat pencapaian tujuan nasional, semua orang berhak memimpin dan berhak pula dipimpin.

            Untuk apa kita mempertahankan egoisme Sara jika justru menghancurkan landasan dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya sangat islami itu?

            Untuk apa kita mendukung pihak-pihak yang justru menghambat Indonesia mencapai tujuan nasionalnya?

            Ada dua jenis manusia yang haram didukung untuk memimpin Indonesia di level apa pun, yaitu mereka yang akan menghancurkan tujuan perjanjian pendirian Negara Indonesia serta mereka yang mengganggu sehingga menghambat pencapaian tujuan nasional Indonesia. Mereka yang menghancurkan landasan dan tujuan hidup bangsa adalah jelas musuh negara sehingga wajib diperangi. Adapun mereka yang mengganggu sehingga menghambat tujuan hidup negara adalah para pelanggar hukum, seperti, koruptor, pengedar Narkoba, mafia hukum, kriminal, penjual legislasi, penyebar fitnah, pembuat kegaduhan, penjual manusia, pencuri, pemerkosa, pelaku pelecehan seks, dan seabrek kejahatan lainnya. Mereka bukan musuh negara, tetapi orang-orang busuk yang harus diperlakukan sebagai penjahat dan wajib dihukum berat sesuai dengan perbuatannya masing-masing.


Soal Ahok

Sekali lagi. Saya bukan pendukung Ahok dan bukan pula anti-Ahok. Saya tidak akan memilih Ahok dan tidak pula akan memilih calon lainnya karena saya orang Bandung. Kalaupun saya orang Jakarta, saya tetap tidak akan memilih siapa pun karena saya tidak menyukai demokrasi.

            Paham, kan?

            Soal pernyataan Ahok yang dianggap melakukan penghinaan kepada Al Quran, sayang sekali, saya berulang-ulang mempelajarinya dan tidak menemukan ada kata-kata yang menghina Al Quran dan menghina ulama. Sama sekali dia tidak mengatakan Q.S. Al Maaidah : 51 itu bohong. Demikian pula sama sekali dia tidak menyinggung-nyingung ulama. Tak ada penghinaan yang dilakukan Ahok. Tak perlu kita memaksakan diri untuk menuduh Ahok melakukan penghinaan jika memang tidak ada buktinya, sebagaimana tidak perlu memaksa para penegak hukum untuk memenjarakan Ahok karena tuduhan korupsi jika tidak ada buktinya. Jika tak ada bukti, kita harus bersikap adil untuk tidak memaksakan kehendak hanya karena kebencian kita kepada agama tertentu atau ras tertentu.

            Aparat hukum, baik itu kepolisian atau KPK wajib bekerja berdasarkan data, fakta, dan bukti, bukan atas dasar desakan pihak-pihak tertentu. Sangatlah berbahaya jika penegak hukum menghukum atau mengadili orang yang tidak melakukan kesalahan apa pun. Jika itu terjadi, penegakan hukum akan berjalan dengan tidak adil. Desakan pihak-pihak tertentu ataupun desakan masyarakat, tidaklah boleh dibenarkan sebagai dasar untuk memenjarakan atau mengadili orang. Desakan dan demonstrasi adalah bahasa politik. Adapun hukum harus menggunakan bahasa data, fakta, dan bukti.

            Dari segi bahasa dan tafsir pun saya tidak menemukan penghinaan yang dilakukan Ahok. Satu-satunya kesalahan yang dilakukan Ahok adalah soal etika. Dia nonmuslim dan keturunan Tionghoa, tak seharusnya berbicara tentang Al Quran yang bisa menimbulkan perdebatan di tengah publik, kecuali yang ringan-ringan saja. Dia memang berkali-kali mengutip beberapa ajaran Islam dengan baik, misalnya, soal keharusan mendengarkan tausiyah menjelang maghrib pada bulan Ramadhan dan keharusan pemimpin untuk meneladani sifat-sifat Rasulullah, seperti, fathonah, siddiq tabligh, dan amanah. Mungkin karena merasa sudah bisa diterima oleh kaum muslimin kebanyakan, Ahok tanpa sadar merasa nyaman apabila membicarakan beberapa ajaran Islam yang menurutnya tidak dilaksanakan semestinya oleh kaum muslimin, seperti Q.S. Al Maaidah : 51. Kesalahan etika yang dilakukan Ahok ini sebenarnya sudah harus selesai dengan permintaan maaf yang diucapkan Ahok. Hal ini sudah merupakan kesadaran yang penuh dari Ahok atas kesalahan etikanya. Diharapkan dia tidak mengulanginya pada masa depan.

            Sesungguhnya, tak masalah jika Ahok ataupun nonmuslim lainnya berpendapat bahwa Al Quran itu seluruhnya bohong dan dusta. Toh, mereka nonmuslim. Mereka tidak menjadi orang Islam karena salah satunya tidak mempercayai Al Quran sebagai kebenaran. Kalau menurut mereka Al Quran adalah kebenaran, mereka seharusnya menjadi orang Islam. Hal ini sama pula dengan saya dan orang Islam lainnya yang menganggap bahwa kitab suci agama apa pun, kecuali Al Quran adalah tercampur dengan berbagai kebohongan dan banyak kedustaan. Hal seperti ini merupakan hak kita sebagai orang Islam untuk menjauhkan siksa api neraka dari diri kita dan keluarga kita. Kita akan mengajari keluarga kita dan orang-orang terdekat bahwa kitab suci agama lain sebagai dusta dan penuh kebohongan. Kita pun akan menyebut bahwa nonmuslim adalah kaum kafir. Jika kita mengajarkan bahwa agama lain di luar Islam adalah benar, sama artinya dengan menjerumuskan diri, keluarga, dan lingkungan kita ke dalam siksa api neraka. Setiap pemeluk agama berhak melindungi diri dan orang-orang terdekatnya untuk tidak terpengaruh oleh agama lain. Setiap pemeluk agama berhak menganggap pemeluk agama lain sebagai kaum kafir, sesat, dan calon penghuni neraka. Saya tidak akan marah dan kesal jika disebut orang kafir, sesat, dan calon penghuni neraka paling dasar dengan siksaan yang mengerikan. Saya hanya akan tertawa sampai terpingkal-pingkal. Toh, yang mengatakan saya kafir dan sesat itu bukan orang Islam. Orang kafir kok mengatakan saya kafir, yang bener aja. Kalau yang mengatakan saya kafir, sesat, atau calon penghuni neraka itu Aa Gym, Hasyim Muzadi, Quraish Shihab, saya baru mikir. Kalau orang nonmuslim yang mengatakannya, buat apa saya pikirin? Mendingan tertawa renyah saja.

            Hal yang patut diperhatikan adalah jika hendak mempertahankan keyakinan diri, keluarga, dan orang-orang terdekat dari pengaruh agama lain dengan cara menuduh agama lain beserta kitabnya penuh kebohongan dan dusta, haruslah di tempat-tempat yang tertutup, jangan di depan publik atau di ruang-ruang publik atau didengar oleh penganut yang agamanya kita sebut dusta. Hal itu sangat berbahaya karena bisa memicu konflik dan pelanggaran hukum. Lakukanlah di lingkungan terbatas tanpa perlu diketahui oleh pemeluk agama lain. Hal itu disebabkan setiap warga negara Indonesia wajib hukumnya untuk menghormati, menjaga, dan melaksanakan perjanjian 3P yang telah disepakati oleh para founding fathers yang terdiri atas berbagai agama. Setiap umat di Negara Indonesia harus tetap menjaga kehidupan harmonis dalam hubungan sosial serta dalam pergaulan berbangsa dan bernegara.


            Sekali lagi, saya tidak menemukan kesalahan dalam kata-kata Ahok di Kepulauan Seribu itu. Satu-satunya kesalahan Ahok adalah persoalan etika dan itu seharusnya sudah selesai dengan permohonan maaf yang diucapkan Ahok. Ahok dan nonmuslim lainnya harus lebih berhati-hati untuk berbicara tentang Al Quran jika tidak benar-benar memahami ayat Al Quran tersebut. Hal yang lebih besar dari itu semua adalah kita membutuhkan orang-orang kredibel untuk menjadi pemimpin di Indonesia dalam level apa pun agar dapat membawa Indonesia mencapai tujuan nasionalnya secara cepat, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang makmur lahir dan makmur batinnya berdasarkan Pancasila.

No comments:

Post a Comment