oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kalau ada orang yang
menganggap bahwa ayat suci Al Quran tidak bisa digunakan untuk berbohong, dia
salah besar dan kurang gaul. Saya tidak mengejek orang-orang seperti ini,
tetapi mendorong mereka agar dapat memahami banyak hal dan bergaul lebih luas,
jangan hanya tahu soal dirinya, kelompoknya, dan negaranya, melainkan pula
meluaskan pandangan ke seluruh dunia. Sekarang ini zaman internet, tidak selalu
harus pergi ke luar negeri untuk bisa memahami dunia. Buka saja internet, ada
banyak hal yang dapat dipelajari. Kalau memiliki kesempatan untuk pergi ke luar
negeri, itu lebih bagus.
Sesungguhnya, dari zaman ke zaman, ayat Al Quran sering
sekali digunakan sebagai alat untuk membohongi manusia. Ayat-ayat Al Quran ini
kerap digunakan sebagai alat berbohong untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Selalu politik dan ekonomi yang dituju para pendusta ini. Mereka yang selalu
menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk berbohong adalah para anti-Islam yang menghalangi manusia untuk menemukan kebenaran
Islam dan orang-orang Islam yang
ingin berkuasa secara ekonomi dan politik tanpa prestasi.
Lebih dari dua ratus orang anti-Islam luar negeri,
terutama Eropa pernah berdebat dengan saya dan saya kalahkan mereka semuanya,
atas izin Allah swt. Mereka menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk membohongi
manusia, khususnya orang-orang Eropa agar tidak masuk Islam. Hal itu disebabkan
mereka semakin hari semakin khawatir atas perkembangan Islam di Eropa mengingat
menurut CNBC jumlah umat Islam selalu bertambah cepat setiap hari, yaitu 68.000
orang di seluruh dunia per hari selalu masuk Islam. Bahkan, di setiap satu
masjid di Amerika Serikat dan Eropa dalam satu hari selalu ada orang yang masuk
Islam, antara 1 s.d. 4 orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Subhanallah.
Ada ratusan ayat Al Quran yang mereka gunakan untuk
menghalangi manusia menuju Allah swt.
Mereka memposting ayat-ayat itu ketika berdebat dengan saya. Cek saja
sendiri. Saudara-saudara bisa masuk ke akun Google+ saya, lalu cari
perdebatan-perdebatan saya di Youtube dengan para kafirun berkulit putih itu.
Ayat-ayat yang selalu mereka pergunakan ada di sana, catat, lalu kumpulkan,
kalian akan terkejut. Kalau Saudara-saudara malas mencarinya, saya beritahu
saja tujuan mereka. Dengan ayat-ayat itu, mereka membelokan pikiran manusia
agar menganggap bahwa Islam itu kasar dan keji, kejam dan suka membunuh,
terbelakang dan gemar memperbudak perempuan, gemar berperang dan suka menguasai
hidup orang lain, kaku dan anti-kebebasan berpendapat, serta banyak lagi hal buruk
lainnya.
Tentu saja banyak sekali ayat yang seperti itu dan memang
benar isinya seperti itu serta mudah sekali dipahami seperti itu jika hanya
membaca ayat itu satu per satu tanpa ada penjelasan lain dari ayat lainnya, asbabun nuzul, hadits, tarikh, dan dari
pendapat para ahli tafsir terpercaya. Itu artinya, ayat Al Quran dapat
digunakan sebagai alat untuk berbohong.
Di kalangan umat Islam sendiri banyak yang melakukan hal
seperti itu, terutama pada kelompok-kelompok kecil yang kerap mengklaim diri
sebagai yang paling benar dan paling suci.
Ayat favorit yang sering digunakan mereka adalah yang
menyatakan, “Taatlah kepada Allah swt,
kepada Rasul, dan kepada pemimpin di antara kalian.”
Ayat itu biasanya
digunakan pemimpinnya untuk menuntut kepatuhan dari para pengikutnya. Pemimpinnya
menggunakan ayat itu agar para pengikutnya hanya patuh kepada dirinya dan bukan
kepada orang lain. Pengikutnya dipaksa patuh dan hanya menerima ilmu
pengetahuan dari dirinya, bukan dari orang lain. Bahkan, tak jarang pemimpin
mereka mengharamkan buku-buku Islam dari para penulis Islam terkenal. Tak heran
apabila mereka hidup tampak ekslusif, menutup diri, dan cenderung melecehkan
orang lain. Jangan terkejut pula jika dalam pandangan mereka, siapa pun orang
yang berada di luar geng mereka
adalah kafir karena tidak patuh kepada pemimpin mereka. Presiden sampai dengan
lurah adalah pemimpin thaghut. Ketua
Ormas-ormas Islam, baik yang besar maupun yang kecil adalah pendukung
kekafiran.
Apa itu artinya?
Itu artinya ayat Al Quran dapat digunakan sebagai alat
untuk berbohong. Setiap geng-geng kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk bermanfaat
bagi orang banyak menggunakan ayat kepatuhan itu untuk mempertahankan
eksistensi dirinya. Setiap geng menggunakan ayat itu, tetapi mereka berbeda
geng.
Kalau begitu, geng mana yang pemimpinnya harus dipatuhi?
Setiap pemimpin geng berbeda menggunakan ayat itu.
Bingung, bukan?
Hal itu disebabkan mereka menggunakan ayat Al Quran untuk
membohongi manusia demi mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.
Benarlah Allah swt dan Muhammad saw mengajari kita bahwa
apabila hendak membaca Al Quran, harus terlebih dahulu mengucapkan taudz dan basmallah. Taudz sangat
berguna agar syetan dan hawa nafsu kita tidak menjerumuskan kita ke dalam
pemahaman-pemahaman yang salah dari ayat-ayat yang kita baca. Basmallah berarti mengundang Allah swt
untuk memberikan kasih dan sayang kepada kita ketika membaca Al Quran sekaligus
membuat kemahakasihsayangan Allah swt mewujud pada diri kita. Jangan membaca Al
Quran dengan kemarahan hanya untuk mencari-cari dalil untuk menjatuhkan orang
lain, terutama sesama muslim. Itu sama halnya bersekutu dengan syetan untuk
membuat kekisruhan di muka Bumi.
Memperalat
Al Quran dalam Pemilu
Yang saya maksud Pemilu itu
mencakup setiap pemilihan pemimpin di Indonesia, baik itu Pilkades, Pilkada,
Pileg, maupun Pilpres. Dalam setiap pemilihan, ayat Al Quran digunakan sebagai
alat untuk menarik para pemilik hak pilih agar memilih jagoannya. Mereka ingin
menunjukkan bahwa jagoannya dan kelompoknya adalah yang paling shaleh, yang
paling beriman, dan paling Islam. Perilaku memperalat Al Quran ini bahkan
terjadi pula dalam pemilihan pemimpin atau ketua di dalam partai yang sama.
Persaingan di dalam tubuh partai pun kerap menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk
meyakinkan bahwa jagoannya adalah yang paling layak memimpin. Malahan, hal ini
terjadi pula dalam pemilihan ketua di dalam Ormas-ormas kepemudaan Islam. Di
antara sesama muslim sendiri, ayat-ayat Al Quran ini sering dipergunakan untuk
menjatuhkan nama baik lawannya ketika dalam masa pemilihan.
Kita tidak perlu berbohong tentang hal ini karena hal ini
sering sekali terjadi. Tidak perlu menutup-nutupi kenyataan karena hanya akan
memperburuk citra kita sebagai muslim, baik di hadapan Allah swt, malaikat, dan
seluruh manusia. Tidak perlu menghindar dari kebenaran karena memang keburukan
ini sangat sering terjadi. Sudah seharusnya perilaku seperti ini segera
dihentikan.
Saya ini sering merasa kesal, marah, sedih, serta ingin
berbicara yang kasar-kasar dan tidak terpuji jika melihat dan mendengar orang-orang
bergerombol meneriakkan Allahu Akbar,
Laailaahailallaah, atau kata-kata lainnya hanya untuk mendapatkan
kepentingan sesaat serta hanya untuk membela kepentingan politik dan ekonomi
sekelompok orang. Bagi saya, mereka itu seolah-olah sedang memperalat
kalimat-kalimat Allah swt hanya untuk kepentingan rendah mereka.
Betapa kesalnya saya ketika di depan gedung pemerintahan
Provinsi Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung, ada ribuan orang beradu fisik hanya
gara-gara perbedaan calon kepala daerah. Mereka berteriak-teriak dan berbicara
sangat kasar tidak senonoh untuk saling memaki. Ormas-ormas pendukung dua
partai besar berbeda calon itu sama-sama meneriakan Allahu Akbar, kemudian membacakan banyak sekali ayat Al Quran.
Pihak yang satu rela berjihad dan syahid, pihak lawannya juga sama siap
bertarung sampai mati. Mereka yang sedang berkelahi itu sama-sama memiliki
dalil dari ayat-ayat Al Quran. Mereka siap
sekali beradu jotos, padahal sama-sama menggunakan dan meneriakkan ayat-ayat Al
Quran. Beruntung sekali polisi sigap bertahan berada di tengah-tengah kedua
gerombolan itu untuk mencegah pertarungan terjadi dengan lebih mengerikan.
Perilaku bodoh macam apa itu?
Mereka sama-sama meneriakan takbir, tetapi saling mengejek dan memaki, bahkan kalau tak ada
polisi, bisa saling bunuh.
Saya menerima selebaran yang mereka buat. Masing-masing
bersandar pada Al Quran lengkap dengan huruf arab dengan banyak sekali ayat,
tetapi saling bermusuhan.
Kalau mereka ditanya, pasti setiap pihak mengklaim diri
paling benar dan menyalahkan pihak lainnya. Akan tetapi, mereka dalam posisi
saling berseteru. Perseteruan mereka hanya diakibatkan oleh dugaan adanya
penggelembungan suara ketika Pilkada. Setiap pihak menuding pihak lainnya yang
telah melakukan kecurangan dalam Pilkada. Kini persoalan mereka telah
diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.
Perilaku macam apa itu?
Itulah yang menyebabkan saya sangat tidak menyukai
demokrasi. Orang-orang banyak yang melecehkan Al Quran hanya untuk kepentingan
politik dan ekonomi. Menjijikan.
Agak mendingan jika mereka berkampanye menggunakan ayat
Al Quran, lalu setelah terpilih bekerja bersandarkan Al Quran. Akan tetapi,
ternyata banyak yang sebelumnya menggunakan ayat Al Quran, bekerja seenaknya,
lalu ditangkap karena korupsi, Narkoba, Pungli, pelecehan seksual, penghinaan, dan
tidak prorakyat. Mereka benar-benar menyalahgunakan Al Quran. Brengsek mereka.
Q.S.
Al Maaidah : 51
Saya bukan pendukung Ahok
dan bukan pula anti-Ahok. Saya tidak akan memilih Ahok dan tidak pula akan memilih
calon lainnya karena saya orang Bandung. Kalaupun saya orang Jakarta, saya
tetap tidak akan memilih siapa pun karena saya tidak menyukai demokrasi.
Paham, kan?
Mari kita lihat dulu terjemahan dari Q.S. Al Maaidah :
51.
“Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ‘teman
setia(mu)’; mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.
Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.”
Terjemahan tersebut
saya ambil dari Tafsir Qur’an per Kata:
Dilengkapi Asbabun Nuzul dan Terjemah yang disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A..
Dalam kitab lain, “teman setia(mu)” diterjemahkan sebagai “pemimpin(mu)”. Baik diterjemahkan sebagai “teman setia(mu),
maupun “pemimpin(mu)”, inti pesannya adalah “jangan menjadikan orang Yahudi dan
orang Nasrani” sebagai “orang kepercayaanmu”.
Q.S. Al Maaidah : 51
ini kerap digunakan orang ketika memasuki masa-masa pemilihan pemimpin yang di
dalamnya ada sangkut pautnya dengan penguasaan politik dan ekonomi. Masa-masa
Pilkada, Pileg, dan Pilpres adalah langganan bagi penggunaan ayat ini. Anehnya,
ayat-ayat ini tidak pernah digunakan ketika memilih pemimpin yang tidak
bersangkutan dengan politik dan ekonomi. Misalnya, ayat ini tak digunakan
ketika memilih pemimpin paduan suara, pemimpin keamanan kampung, pemimpin
personalia, manajer di pabrik, pemimpin marching
band, pemimpin demonstrasi, pemimpin kerja bakti, pemimpin paguyuban sopir
Angkot dan ojek, pemimpin koperasi, pemimpin persatuan montir motor, pemimpin
karang taruna, pemimpin organisasi profesi, pemimpin organisasi kesarjanaan,
kapten kesebelasan sepak bola, dan pemimpin-pemimpin lainnya. Padahal, dalam
ayat itu jelas sekali ada larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan
Nasrani. Seharusnya, kalau mau konsisten, digunakan pula ketika memilih
pemimpin panitia tujuh belas agustusan. Pemimpin di tingkat apa pun dalam level
apa pun dan dalam kegiatan apa pun mestinya harus dijadikan masalah jika ada
pemimpin yang tidak beragama Islam.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa ayat itu bisa
dipahami secara sederhana, yaitu jangan
memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani, memang benar. Akan
tetapi, ternyata tidak sesederhana itu.
Buktinya adalah jika ditanyakan mengapa ayat ini tidak
digunakan ketika memilih pemimpin paduan suara, pemimpin keamanan kampung,
pemimpin personalia, manajer di pabrik, pemimpin marching band, pemimpin demonstrasi, pemimpin kerja bakti, pemimpin
paguyuban sopir Angkot dan ojek, pemimpin koperasi, pemimpin persatuan montir
motor, pemimpin karang taruna, pemimpin organisasi profesi, pemimpin organisasi
kesarjanaan, kapten kesebelasan sepak bola, dan pemimpin-pemimpin lainnya, orang
pasti membutuhkan penjelasan atau keterangan lain untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Paling tidak, kita akan menggunakan logika kita
untuk menjawabnya. Hal itu menunjukkan bahwa ternyata memang tidak sesederhana
itu untuk memahami dan melaksanakan Q.S. Al Maaidah : 51. Belum lagi dalam ayat
itu hanya ada larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Ayat
itu tidak melarang untuk memilih pemimpin dari kalangan Hindu, Budha, dan
Konghucu.
Jadi, hanya Yahudi dan Nasrani yang dilarang dipilih
untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, Hindu, Budha, dan Konghucu tidak dilarang
sama sekali untuk dijadikan pemimpin.
Begitukah?
Bagaimana dengan kaum muslimin minoritas di negara
mayoritas nonmuslim yang tidak memiliki calon pemimpin dari kalangan Islam?
Haruskah mereka memaksakan diri untuk menjadi pemimpin
meskipun tidak memiliki kesiapan yang jelas?
Sekali lagi, sangat tidak sederhana untuk memahami dan
melaksanakan ayat tersebut.
Mengapa Allah swt menurunkan ayat yang melarang untuk
menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin?
Nah, untuk menjawab pertanyaan itu, kita memerlukan
keterangan lain, yaitu asbabun nuzul, ‘penyebab
turunnya ayat’.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat itu
turun terkait dengan pasca-Perang Uhud yang membuat umat Islam kalah dan berada
dalam kondisi lemah. Kondisi kritis yang dialami umat Islam membuat beberapa
orang Islam memilih untuk bersekutu dan meminta perlindungan pada kaum Yahudi
atau kaum Nasrani. Mereka takut ditimpa kesusahan dan penderitaan jika terjadi
hal-hal yang lebih buruk menimpa kaum muslimin. Mereka menduga bahwa dengan
bersekutu dengan Yahudi dan Nasrani dapat menyelamatkan mereka dari penderitaan
atau kesulitan yang sangat mungkin terjadi. Di samping itu, ada pula orang yang
setelah bersekutu dengan Yahudi, pergi kembali kepada Rasulullah saw untuk
mengikrarkan kesetiaan diri sebagai pengikut setia Rasulullah ketika terjadi
perang antara kaum muslimin dengan Yahudi Bani Qainuqa. Hal-hal itulah yang
menyebabkan turunnya Q.S. Al Maaidah : 51.
Saat itu sedang terjadi perang antara kaum muslimin
dengan kafir Quraisy. Perang adalah situasi yang teramat membahayakan.
Sebenarnya, yang berperang seharusnya bukan antara kaum muslimin dengan kafir
Quraisy, melainkan antara penduduk Madinah dengan kafir Quraisy. Penduduk
Madinah, termasuk Yahudi, Nasrani, dan para penyembah berhala seharusnya ikut
berperang melawan kafir Quraisy karena telah terikat perjanjian dengan kaum
muslimin bahwa seluruh penduduk Madinah meskipun berbeda agama dan keyakinan
harus membela negeri Madinah dari setiap musuh yang ingin merusakkan Madinah.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, hanya orang-orang Islam yang bertempur.
Umat-umat agama lain tidak ikut bertempur membela Madinah, kecuali beberapa
orang saja. Ini adalah suatu kenyataan yang menunjukkan bahwa kaum Nasrani dan
Yahudi di Madinah saat itu sama sekali tidak bisa dipercaya dan tidak
menghormati perjanjian dengan kaum muslimin. Oleh sebab itu, wajar sekali jika
Allah swt memerintahkan umat Islam untuk tidak berlindung dan berteman setia
dengan Nasrani dan Yahudi. Nasrani dan Yahudi telah wan prestasi serta hanya
cari selamat sendiri dan tidak mau menanggung risiko untuk hidup dalam
kebersamaan dalam perjanjian yang sebetulnya telah mereka setujui.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah Nabi Muhammad saw
bukanlah pemimpin untuk keseluruhan Madinah, melainkan hanya pemimpin untuk
kaum muslimin. Adapun Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, dan umat-umat lain
tetap dipimpin oleh pemimpinnya masing-masing. Tidak ada hubungan komando
antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, antara umat yang satu dengan
umat yang lainnya. Setiap agama dan setiap umat memiliki hukum, aturan, cara
hidup, dan tujuan masing-masing tanpa ada keterkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Islam hidup dengan cara Islam, Yahudi dengan keyahudiannya, Nasrani
dengan kenasraniannya, demikian pula umat dan agama yang lain hidup dengan
tatacara mereka masing-masing. Adapun hubungan antarumat, antaragama, serta
dengan wilayah Madinah diikat oleh perjanjian yang intinya adalah toleransi
atau kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berbisnis, serta
kewajiban saling membantu dan saling melindungi untuk mempertahankan negeri
Madinah. Hubungan politik seperti itu membuat rentan adanya pengkhianatan yang
dapat dilakukan oleh suatu umat atau suatu agama terhadap umat dan agama
lainnya. Mereka memiliki rakyat masing-masing, memiliki pemimpin masing-masing,
serta memiliki angkatan perang masing-masing yang satu sama lain berbeda
komando dan berbeda tujuan hidup. Ketika umat Islam menderita kekalahan dalam
Perang Uhud yang menimbulkan kelemahan dalam barisan kaum muslimin, kaum Yahudi
dan kaum Nasrani adalah kelompok yang paling rentan melakukan pengkhianatan
terhadap perjanjian yang telah disepakati dengan kaum muslimin untuk hidup
damai di negeri Madinah. Kaum Yahudi dan Nasrani mudah sekali bersekutu dengan
kaum kafir Quraisy untuk mengalahkan kaum muslimin yang sedang dalam keadaan
sangat lemah. Memang sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa berikutnya
kecurangan Yahudi dan Nasrani lebih tampak jelas dalam mengingkari perjanjian
damai. Oleh sebab itu, wajar Allah swt melarang kaum muslimin untuk berteman
setia atau mengangkat pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani karena bisa
memperlemah barisan perang kaum muslimin serta membocorkan rahasia-rahasia
strategi perang Muhammad saw kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang pada ujungnya
sampai ke telinga kaum kafir Quraisy.
Hal teramat penting yang wajib diketahui adalah ancaman
Allah swt kepada orang Islam yang meminta perlindungan, mengangkat pemimpin,
dan berteman setia dengan Yahudi dan Nasrani. Ancaman itu ada dalam kalimat
akhir Q.S. Al Maaidah : 51.
“…Siapa di antara
kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk
golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang
zalim.”
Orang-orang Islam
yang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, pelindung, dan teman setia
secara otomatis akan dipandang bukan lagi sebagai seorang muslim, melainkan
sama dengan Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, mereka akan diperlakukan
sebagaimana Yahudi dan Nasrani oleh Allah swt dan oleh kaum muslimin yang setia
kepada Muhammad saw.
Ayat itu merupakan ancaman yang nyata terjadi karena
Allah swt berkehendak membukakan penyakit-penyakit jahat yang tersembunyi dalam
hati para Yahudi dan Nasrani. Penyakit hati mereka itu terwujud dalam
tindak-tanduk mereka sehari-hari yang teramat buruk dan hina sehingga berujung
pada hancurnya perjanjian yang telah dibuat dengan kaum muslimin untuk damai.
Ketika penyakit hati mereka mewujud dalam perilaku nyata dan menghancurkan perdamaian,
Allah swt memperkuat iman kaum muslimin, meningkatkan ekonomi kaum muslimin,
dan memperbesar kekuatan kaum muslimin secara cepat. Ketika perjanjian
dihancurkan oleh perilaku busuk kaum Yahudi, kaum muslimin pun menganggap
perjanjian itu batal. Pengkhianatan kaum Yahudi pun dibalas keras dan sadis
oleh kaum muslimin, terjadilah pengepungan dan pembantaian terhadap kaum Yahudi
oleh kaum muslimin. Yahudi Bani Qainuqa dikepung kaum muslimin sampai akhirnya
diusir dari Madinah. Demikian pula Yahudi Bani Nadzhir mengalami hal yang sama,
bahkan lebih mengerikan. Kaum Nasrani pun menderita hal yang serupa pula pada
masa-masa berikutnya setelah melakukan gangguan dan pembunuhan tanpa alasan
yang jelas terhadap kaum muslimin. Pengejaran dan pemburuan terhadap kaum Nasrani
Romawi oleh kaum muslimin pun menjadi-jadi hingga kaum Nasrani hanya mampu
bertahan terdesak di dalam benteng-bentengnya sendiri tanpa bisa melakukan
perlawanan yang berarti.
Itulah kenapa Allah swt mengancam kaum muslimin dalam
Q.S. Al Maaidah : 51 untuk tidak berteman setia dan tidak menjadikan Yahudi
atau Nasrani sebagai pemimpin. Orang Islam yang setia kepada kaum Yahudi dan
Nasrani akan mengalami nasib yang serupa pula, yaitu dikejar, diburu, dan
dibantai karena pengkhianatan mereka terhadap perjanjian yang telah disepakati.
Dari penjelasan yang saya dapatkan dari berbagai sumber
tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan mengenai penyebab Allah swt melarang
kaum muslimin untuk mengangkat pemimpin dari Yahudi dan Nasrani serta berteman
setia dengan mereka. Pertama, saat
itu terjadi permusuhan sengit dan perang besar antara kaum muslimin dengan
kafir Quraisy. Kedua, kaum muslimin
sedang ditimpa melapetaka kekalahan dan kelemahan dalam berbagai bidang. Ketiga, kaum Yahudi, Nasrani, dan
umat-umat lain tidak menghormati perjanjian damai serta tidak bersama-sama
mempertahankan Madinah dari serangan musuh. Keempat,
setiap umat di Madinah tidak memiliki pemerintahan yang sama karena
dipimpin oleh pemimpinnya masing-masing serta memiliki hukum, tatacara hidup,
dan tujuan yang tidak sama. Kelima, setiap
umat memiliki otoritas masing-masing dan tidak berhubungan sehingga memiliki
pasukan perang masing-masing. Keenam, kaum
Yahudi melanggar perjanjian damai dengan kaum muslimin melalui
perilaku-perilaku khianat dan tindakan-tindakan pelecehan terhadap kaum
muslimin. Ketujuh, karena Yahudi dan
Nasrani tidak menghormati perjanjian damai, mereka berkecenderungan untuk
melakukan kerja sama rahasia dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan kaum
muslimin. Kedelapan, Allah swt berkehendak
menampilkan kebusukan hati Yahudi dan Nasrani dalam perilaku mereka sehari-hari
sehingga tampak nyata di hadapan kaum muslimin. Kesembilan, Allah swt berkehendak untuk membuat kaum muslimin
menjadi kaum yang sangat besar dan kuat sehingga mampu menghancurkan Yahudi dan
Nasrani berikut orang-orang Islam yang bergabung dengan Yahudi dan Nasrani.
Sembilan hal itulah yang menjadi syarat mutlak umat Islam
terlarang untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai orang kepercayaan. Paling
tidak, jika empat hal sudah ada, umat Islam pada masa sekarang ini wajib untuk
tidak menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai orang kepercayaan, baik itu sebagai
teman setia maupun sebagai pemimpin. Keempat hal itu ialah tidak menghormati dan merusakkan perjanjian, memisahkan diri dari
rantai komando kepemimpinan,
berkecenderungan melakukan kerusakan terhadap kaum muslimin, dan bekerja sama, baik secara rahasia maupun
terang-terangan dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam. Tanpa
keempat hal itu, Q.S. Al Maaidah : 51, belum boleh dilaksanakan. Artinya, tak
ada larangan untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia atau
bahkan sebagai pemimpin jika minimal keempat hal itu tidak terjadi.
Bukan berarti Q.S. Al Maaidah : 51 tidak berlaku,
melainkan hanya bisa diberlakukan apabila syarat-syaratnya atau
penyebab-penyebabnya sudah terjadi. Hal ini sebagaimana dengan shalat bahwa
shalat dzuhur itu wajib hukumnya, tetapi hanya boleh dilakukan jika waktunya
sudah tiba. Tidak boleh shalat dzuhur jika waktunya belum tiba, misalnya,
terlarang untuk shalat dzuhur pada pukul 10.00 WIB. Shalat dzuhur hanya bisa
dilaksanakan jika Matahari mulai tergelincir dari atas kepala kita.
Kita harus memerangi mereka jika mereka melakukan banyak
keburukan terhadap kita. Akan tetapi, kita wajib bersikap baik dan adil jika
mereka berkecenderungan hidup damai dengan kaum muslimin. Hal ini sebagaimana
yang ada dalam firman Allah swt Q.S. Al
Maaidah : 8.
“Wahai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati
ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa kita harus berlaku baik
dan adil kepada siapa pun tanpa membeda-bedakan agama dan ras sepanjang mereka
berbuat baik dan adil pula kepada kita. Jika mereka melakukan keburukan kepada
kita, kita diperbolehkan membalasnya sebatas sesuai dengan apa yang mereka
lakukan kepada kita, tidak boleh berlebihan. Kita tidak boleh melakukan
keburukan apa pun atas dasar kebencian kita terhadap kaum, agama, ras, ataupun
kelompok tertentu.
Dalam
Konteks Keindonesiaan
Dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia, urusan Yahudi tidak perlu dipermasalahkan karena
Yahudi bukanlah agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia. Di
samping itu, Indonesia pun haram hukumnya menjalin hubungan diplomatik dengan
Israel sepanjang Israel masih melakukan penjajahan terhadap Palestina. Hal itu
disebabkan Indonesia harus menampakkan pada dunia bahwa Indonesia sangat membenci penjajahan sebagaimana yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi, baik secara Islam maupun secara kenegaraan,
sangat diharamkan untuk menjalin hubungan erat dengan Yahudi dan Israel,
apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin. Itu sudah clear tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Hal yang masih belum dipahami dengan benar adalah hubungan
antara mayoritas kaum muslimin dengan agama yang secara resmi diakui oleh
pemerintah Indonesia, yaitu Kristen (dengan seluruh sektenya), Budha, Hindu, dan
Konghucu terkait masalah “teman setia” atau “kepemimpinan”. Hal ini sebenarnya
bisa dengan mudah dipahami jika kita sama-sama setia terhadap “perjanjian” yang
telah disepakati bersama.
Ingatlah, bahwa Negara Indonesia didirikan atas
perjanjian bersama yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Perjanjian itu adalah Proklamasi
Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila. Sebaiknya, kita singkat saja
ketiga hal tersebut sebagai 3P, yaitu Proklamasi, Pembukaan UUD, dan Pancasila.
Semua umat, seluruh golongan, setiap elemen bangsa harus
selalu menghormati 3P tersebut. Hal itu disebabkan 3P merupakan perjanjian
bersama yang sudah disepakati sejak lama untuk hidup bersama dalam damai di
Negara Indonesia. Siapa pun yang berniat atau mewujudkan niatnya untuk tidak
menghormati bahkan menghancurkan 3P wajib dianggap sebagai musuh negara. Mereka
harus dijadikan musuh bersama karena mengingkari atau merusakkan perjanjian
tersebut. Seluruh manusia yang berkewarganegaraan Indonesia wajib hukumnya
menjaga tegaknya 3P dan mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tercantum
dalam 3P.
Siapa pun wajib mengerahkan kreativitas dan potensi
dirinya untuk menjaga 3P dan untuk mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana
yang diinginkan 3P. Oleh sebab itu, semua orang memiliki hak yang sama untuk
berkreasi dan menunjukkan kecintaannya kepada Indonesia dalam mencapai tujuan
nasional Indonesia. Artinya, baik orang Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan
Konghucu memiliki hak yang sama, baik untuk menjadi pemimpin maupun menjadi orang
yang dipimpin dalam rangka menjaga 3P dan mewujudkan cita-cita nasional
sebagaimana yang ada dalam 3P. Ini adalah perjanjian, kecuali jika kalian tidak
ingin menghormati perjanjian yang telah lama disepakati. Jika kalian ingin
menghancurkan perjanjian, kalian adalah harus dicap sebagai musuh negara.
Terserah kalian sendiri.
Sepanjang mampu menjaga, menghormati, dan tidak
merusakkan 3P; tidak berkecenderungan melakukan kerusakan terhadap Indonesia
dan rakyatnya; tidak bekerja sama, baik secara rahasia maupun terang-terangan
dengan musuh-musuh negara untuk menghancurkan kedamaian Indonesia, siapa pun
boleh menjadi pemimpin dan berhak pula untuk menjadi orang yang dipimpin. Agama
apa pun dia dan dari suku mana pun dia. Semua WNI berhak menampilkan seluruh
prestasi dan potensinya agar bisa dipercaya untuk menjadi pemimpin di level apa
pun di Indonesia ini. Ini adalah perjanjian. Kalau tidak mau seperti itu,
batalkan dulu perjanjian yang lama, bentuk lagi perjanjian yang baru. Begitu
seharusnya kalau bisa.
Q.S. Al Maaidah : 51 belumlah perlu diberlakukan jika
kaum Nasrani dan kaum-kaum lainnya masih setia pada 3P; tidak berkecenderungan
melakukan kerusakan terhadap Indonesia dan rakyatnya; tidak bekerja sama, baik
secara rahasia maupun terang-terangan dengan musuh-musuh negara untuk
menghancurkan kedamaian Indonesia. Apabila kaum Nasrani maupun umat-umat
lainnya sudah menunjukkan ketidaksetiaan pada 3P; berkecenderungan melakukan
kerusakan terhadap Indonesia dan rakyatnya; bekerja sama, baik secara rahasia
maupun terang-terangan dengan musuh-musuh negara untuk menghancurkan kedamaian
Indonesia, berlakulah Q.S. Al Maaidah : 51. Itulah waktu yang tepat untuk
memberlakukan ayat tersebut, sebagaimana menunaikan shalat dzuhur tepat setelah
adzan dzuhur. Jangan shalat dzuhur sebelum waktunya tiba dan jangan
memberlakukan Q.S. Al Maaidah : 51 jika syarat-syaratnya belum dipenuhi.
Ruh
Indonesia adalah Islam
Sesungguhnya, Allah swt
sangat menyayangi Indonesia. Saking sayangnya, Allah swt menjadikan Islam
sebagai dasar bagi landasan hidup Indonesia dan menjadikan Islam sebagai tujuan
hidup Negara Indonesia.
Tidak percaya?
Mari kita perhatikan dengan sangat teliti!
Saya sudah mempelajarinya sejak lama dan beberapa kali
pula menulisnya dalam blog ini sedikit demi sedikit. Jika Saudara-saudara mau
sedikit letih berpikir, akan tampak jelas bagaimana Allah swt sangat sayang
kepada Indonesia. Tak berlebihan pula jika ada yang berpendapat bahwa Allah swt
mengutus Malaikat Rahmat
membentangkan sayapnya untuk menumbuhkan cinta kasih di seluruh penjuru Bumi
Indonesia.
Tadi sudah saya jelaskan bahwa Negara Indonesia didirikan
atas dasar perjanjian yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, yaitu Proklamasi Kemerdekaan
RI pada 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila (3P). Perjanjian
itu sesungguhnya adalah titik-titik cahaya dari ajaran Islam yang Allah swt
wujudkan ke dalam kehidupan nyata yang diilhamkan kepada founding fathers bangsa Indonesia sebagai anugerah terbesar bagi
bangsa Indonesia.
Bagaimana kita bisa yakin bahwa 3P itu adalah bagian dari
ajaran Islam?
Coba cek sendiri atau cek bersama-sama dengan seluruh
kiyai dan ahli agama Islam di seluruh Indonesia.
Adakah isi dari 3P itu bertentangan dengan ajaran Islam?
Tidak ada, bukan?
Kalau tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam,
berarti sesuai dengan ajaran Islam. Kalau sesuai dengan ajaran Islam, itulah
ajaran Islam. Itulah Islam.
Iya, toh?
Jadi, seluruh isi dari perjanjian pendirian Negara
Indonesia adalah ajaran Islam. Islam pulalah yang menjadi tujuan pendirian Negara
Indonesia.
Tujuan nasional bangsa Indonesia adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang
makmur lahir dan makmur batinnya berdasarkan Pancasila. Artinya, Negara
Indonesia wajib berupaya keras untuk memakmurkan negerinya sebagai alat
pengabdian kepada Allah swt yang di dalam Pancasila disebut Tuhan Yang Maha Esa.
Jika kita perhatikan pidato Ir. Soekarno mengenai
Pancasila di depan Sidang Umum PBB, indah sekali. Dia mengisyaratkan bahwa Sila
Pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah berasal dari ajaran Islam yang dengan tegas menyatakan
diri sebagai para penganut Allah swt Yang Mahatunggal. Adapun penganut agama
lain di Indonesia menerimanya dengan tulus karena mengakui dengan sepenuh hati
bahwa perjuangan Indonesia dan seluruh perkembangan kehidupan Indonesia tidak
bisa terlepas dari Islam.
Berdasarkan penuturan Soekarno di depan Sidang Umum PBB
tersebut, kita dapat memahami bahwa betapa sayangnya Allah swt kepada
Indonesia. Inti dari ajaran Islam yaitu tauhid
telah menjadi Sila Pertama dari Pancasila. Dalam pada itu, Allah swt telah
melunakkan, menjinakkan, dan melembutkan hati para pemeluk agama non-Islam
untuk menerima tauhid sebagai bagian dari dasar hidup mereka yang termuat dalam
Pancasila.
Bukankah pemilik hati itu adalah Allah swt?
Bukankah yang mampu membolak-balikan hati itu adalah
Allah swt?
Bukankah Allah swt mampu membuat keras hati para pemeluk
agama non-Islam untuk menolak Ketuhanan
Yang Maha Esa?
Mengapa Allah swt
membuat hati para pemeluk non-Islam begitu lembut dan lapang menerima tauhid
dalam hidup mereka?
Itu tandanya Allah swt sayang kepada Indonesia.
Allah swt telah menjadikan Islam sebagai landasan hidup
bangsa Indonesia. Allah swt telah menjadikan Islam sebagai tujuan bangsa
Indonesia. Landasan dan tujuan hidup ada di dalam Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945, dan
Pancasila (3P). Dengan demikian, yang kita butuhkan adalah orang-orang yang teguh
dan setia pada perjanjian dan matanya terfokus pada tujuan nasional bangsa
Indonesia. Tak masalah agamanya apa dan berasal dari suku mana, toh yang wajib
dijadikan landasan kerja dan tujuan hidup adalah Islam. Mau orang Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau agama lokal, landasan dan tujuan hidupnya
dalam berbangsa dan bernegara adalah sama, yaitu Islam. Jadi, tak ada yang
perlu diributkan soal perbedaan agama dan suku dalam hal kepemimpinan. Dari
awal sampai dengan akhir hidup bangsa ini tetap harus Islam. Kalau tidak
mengarah pada Islam¸ akan dianggap musuh negara, tak peduli itu orang Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, maupun penganut agama lokal.
Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan perbedaan
suku, ras, agama, dan adat istiadat sudah selesai dan tidak boleh ada lagi.
Yang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia adalah orang-orang terbaik dan
para pemimpin terbaik yang setia pada dasar dan tujuan perjanjian pendirian Negara
Indonesia yang sangat islami itu. Tak masalah agama apa pun dia dan berasal
dari suku mana pun dia, sepanjang tidak menghancurkan perjanjian dan tidak
menghambat pencapaian tujuan nasional, semua orang berhak memimpin dan berhak
pula dipimpin.
Untuk apa kita mempertahankan egoisme Sara jika justru
menghancurkan landasan dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara yang
sesungguhnya sangat islami itu?
Untuk apa kita mendukung pihak-pihak yang justru
menghambat Indonesia mencapai tujuan nasionalnya?
Ada dua jenis manusia yang haram didukung untuk memimpin
Indonesia di level apa pun, yaitu mereka yang akan menghancurkan tujuan perjanjian
pendirian Negara Indonesia serta mereka yang mengganggu sehingga menghambat pencapaian
tujuan nasional Indonesia. Mereka yang menghancurkan landasan dan tujuan hidup
bangsa adalah jelas musuh negara sehingga wajib diperangi. Adapun mereka yang
mengganggu sehingga menghambat tujuan hidup negara adalah para pelanggar hukum,
seperti, koruptor, pengedar Narkoba, mafia hukum, kriminal, penjual legislasi,
penyebar fitnah, pembuat kegaduhan, penjual manusia, pencuri, pemerkosa, pelaku
pelecehan seks, dan seabrek kejahatan lainnya. Mereka bukan musuh negara,
tetapi orang-orang busuk yang harus diperlakukan sebagai penjahat dan wajib
dihukum berat sesuai dengan perbuatannya masing-masing.
Soal
Ahok
Sekali lagi. Saya bukan
pendukung Ahok dan bukan pula anti-Ahok. Saya tidak akan memilih Ahok dan tidak
pula akan memilih calon lainnya karena saya orang Bandung. Kalaupun saya orang
Jakarta, saya tetap tidak akan memilih siapa pun karena saya tidak menyukai
demokrasi.
Paham, kan?
Soal pernyataan Ahok yang dianggap melakukan penghinaan
kepada Al Quran, sayang sekali, saya berulang-ulang mempelajarinya dan tidak
menemukan ada kata-kata yang menghina Al Quran dan menghina ulama. Sama sekali
dia tidak mengatakan Q.S. Al Maaidah : 51 itu bohong. Demikian pula sama sekali
dia tidak menyinggung-nyingung ulama. Tak ada penghinaan yang dilakukan Ahok.
Tak perlu kita memaksakan diri untuk menuduh Ahok melakukan penghinaan jika
memang tidak ada buktinya, sebagaimana tidak perlu memaksa para penegak hukum
untuk memenjarakan Ahok karena tuduhan korupsi jika tidak ada buktinya. Jika
tak ada bukti, kita harus bersikap adil untuk tidak memaksakan kehendak hanya
karena kebencian kita kepada agama tertentu atau ras tertentu.
Aparat hukum, baik itu kepolisian atau KPK wajib bekerja
berdasarkan data, fakta, dan bukti, bukan atas dasar desakan pihak-pihak
tertentu. Sangatlah berbahaya jika penegak hukum menghukum atau mengadili orang
yang tidak melakukan kesalahan apa pun. Jika itu terjadi, penegakan hukum akan berjalan
dengan tidak adil. Desakan pihak-pihak tertentu ataupun desakan masyarakat,
tidaklah boleh dibenarkan sebagai dasar untuk memenjarakan atau mengadili orang.
Desakan dan demonstrasi adalah bahasa politik. Adapun hukum harus menggunakan bahasa
data, fakta, dan bukti.
Dari segi bahasa dan tafsir pun saya tidak menemukan
penghinaan yang dilakukan Ahok. Satu-satunya kesalahan yang dilakukan Ahok
adalah soal etika. Dia nonmuslim dan keturunan Tionghoa, tak seharusnya
berbicara tentang Al Quran yang bisa menimbulkan perdebatan di tengah publik,
kecuali yang ringan-ringan saja. Dia memang berkali-kali mengutip beberapa
ajaran Islam dengan baik, misalnya, soal keharusan mendengarkan tausiyah menjelang maghrib pada bulan
Ramadhan dan keharusan pemimpin untuk meneladani sifat-sifat Rasulullah,
seperti, fathonah, siddiq tabligh, dan
amanah. Mungkin karena merasa sudah
bisa diterima oleh kaum muslimin kebanyakan, Ahok tanpa sadar merasa nyaman
apabila membicarakan beberapa ajaran Islam yang menurutnya tidak dilaksanakan
semestinya oleh kaum muslimin, seperti Q.S. Al Maaidah : 51. Kesalahan etika
yang dilakukan Ahok ini sebenarnya sudah harus selesai dengan permintaan maaf
yang diucapkan Ahok. Hal ini sudah merupakan kesadaran yang penuh dari Ahok
atas kesalahan etikanya. Diharapkan dia tidak mengulanginya pada masa depan.
Sesungguhnya, tak masalah jika Ahok ataupun nonmuslim
lainnya berpendapat bahwa Al Quran itu seluruhnya bohong dan dusta. Toh, mereka
nonmuslim. Mereka tidak menjadi orang Islam karena salah satunya tidak
mempercayai Al Quran sebagai kebenaran. Kalau menurut mereka Al Quran adalah
kebenaran, mereka seharusnya menjadi orang Islam. Hal ini sama pula dengan saya
dan orang Islam lainnya yang menganggap bahwa kitab suci agama apa pun, kecuali
Al Quran adalah tercampur dengan berbagai kebohongan dan banyak kedustaan. Hal seperti
ini merupakan hak kita sebagai orang Islam untuk menjauhkan siksa api neraka dari diri kita dan keluarga kita. Kita
akan mengajari keluarga kita dan orang-orang terdekat bahwa kitab suci agama
lain sebagai dusta dan penuh kebohongan. Kita pun akan menyebut bahwa nonmuslim
adalah kaum kafir. Jika kita mengajarkan bahwa agama lain di luar Islam adalah
benar, sama artinya dengan menjerumuskan diri, keluarga, dan lingkungan kita ke
dalam siksa api neraka. Setiap pemeluk agama berhak melindungi diri dan
orang-orang terdekatnya untuk tidak terpengaruh oleh agama lain. Setiap pemeluk
agama berhak menganggap pemeluk agama lain sebagai kaum kafir, sesat, dan calon
penghuni neraka. Saya tidak akan marah dan kesal jika disebut orang kafir,
sesat, dan calon penghuni neraka paling dasar dengan siksaan yang mengerikan.
Saya hanya akan tertawa sampai terpingkal-pingkal. Toh, yang mengatakan saya
kafir dan sesat itu bukan orang Islam. Orang kafir kok mengatakan saya kafir,
yang bener aja. Kalau yang mengatakan saya kafir, sesat, atau calon penghuni
neraka itu Aa Gym, Hasyim Muzadi, Quraish Shihab, saya baru mikir. Kalau orang
nonmuslim yang mengatakannya, buat apa saya pikirin? Mendingan tertawa renyah
saja.
Hal yang patut diperhatikan adalah jika hendak
mempertahankan keyakinan diri, keluarga, dan orang-orang terdekat dari pengaruh
agama lain dengan cara menuduh agama lain beserta kitabnya penuh kebohongan dan
dusta, haruslah di tempat-tempat yang tertutup, jangan di depan publik atau di
ruang-ruang publik atau didengar oleh penganut yang agamanya kita sebut dusta.
Hal itu sangat berbahaya karena bisa memicu konflik dan pelanggaran hukum.
Lakukanlah di lingkungan terbatas tanpa perlu diketahui oleh pemeluk agama lain.
Hal itu disebabkan setiap warga negara Indonesia wajib hukumnya untuk
menghormati, menjaga, dan melaksanakan perjanjian 3P yang telah disepakati oleh
para founding fathers yang terdiri
atas berbagai agama. Setiap umat di Negara
Indonesia harus tetap menjaga kehidupan harmonis dalam hubungan sosial serta dalam
pergaulan berbangsa dan bernegara.
Sekali lagi, saya tidak menemukan kesalahan dalam
kata-kata Ahok di Kepulauan Seribu itu. Satu-satunya kesalahan Ahok adalah
persoalan etika dan itu seharusnya sudah selesai dengan permohonan maaf yang
diucapkan Ahok. Ahok dan nonmuslim lainnya harus lebih berhati-hati untuk
berbicara tentang Al Quran jika tidak benar-benar memahami ayat Al Quran
tersebut. Hal yang lebih besar dari itu semua adalah kita membutuhkan
orang-orang kredibel untuk menjadi pemimpin di Indonesia dalam level apa pun
agar dapat membawa Indonesia mencapai tujuan nasionalnya secara cepat, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang
makmur lahir dan makmur batinnya berdasarkan Pancasila.
No comments:
Post a Comment