oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kayak pertandingan sepak bola ya, pakai skor segala, 0-2.
Memang Otto Hasibuan yang penasihat hukum Jessica Kumala
Wongso itu sendiri yang membuatnya seperti itu.
Kata Otto, “Skornya masih kosong-kosong karena ini belum
inkrah. Kami masih banding.”
Hal itu disampaikannya saat wawancara dengan iNews beberapa saat pascavonis dua puluh
tahun penjara buat Jessica yang diyakini hakim sebagai “pembunuh Wayan Mirna
Salihin” dengan menggunakan racun sianida di dalam Vietnam Ice coffe.
Skor kosong-kosong atau 0-0 menurut Otto karena vonis
hakim belumlah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Tim Jessica masih
mengajukan banding. Itulah dasar Otto berpendapat skornya kosong-kosong. Akan
tetapi, bagi saya, Tim Jessica sudah kalah kosong-dua, 0-2. Kekalahan pertama
adalah kekalahan dalam sidang praperadilan. Adapun kekalahan kedua adalah dalam
sidang yang menghasilkan vonis dua puluh tahun penjara itu.
Upaya banding memang merupakan hak yang harus dihormati
dan diperbolehkan, tetapi harus berhati-hati. Hal itu disebabkan Tim Jessica
bisa kalah lagi sehingga skornya menjadi 0-3. Kalau mereka menang, itu bagus
meskipun jaksa mungkin juga tidak diam. Kalau mereka kalah, artinya kalah ketiga
kalinya. Kalau mengajukan upaya hukum lain, lalu kalah lagi, skornya jadi
banyak kalahnya, bisa 0-4, lalu 0-5, dan seterusnya. Kalau menang, itu bagus.
Akan tetapi, kalau kalah lagi dan kalah lagi, bahkan mungkin hukumannya bisa jadi
diperberat menjadi hukuman mati, sungguh kecelakaan besar bagi mereka. Kalau
sudah jadi hukuman mati, lalu minta grasi kepada Presiden RI, tetapi permohonan
grasi itu ditolak, skornya bisa menjadi 0-10 untuk kekalahan Tim Jessica-Otto.
Itu sungguh kecelakaan yang menimbulkan penderitaan besar berkepanjangan.
Skor kekalahan 0-10 itu bisa didasarkan pada kekalahan
dalam sidang, tak ditemukannya pelanggaran yang dilakukan hakim oleh Komisi
Yudisial, penolakan grasi, kekalahan di mata publik, dan lain sebagainya.
Menurut saya, kekalahan di mata publik adalah yang paling
berbahaya bagi tim Otto Hasibuan. Kalau upaya hukum untuk membebaskan Jessica
sudah habis dan Otto kalah lagi, kalah lagi, dan terus kalah, sangat mungkin
masyarakat akan tidak percaya kepada Otto Hasibuan dan timnya untuk membantu
masyarakat apabila ada masyarakat yang sedang memiliki perkara hukum.
Hal itu mudah sekali dipahami karena siapa yang mau
dibantu oleh pengacara yang terus-terusan kalah?
Jika itu terjadi, sudah bisa diduga bahwa “lonceng
kematian bagi karir Otto dan timnya sebagai penasihat hukum” berdentang sangat
keras. Hati-hati To karena kasus ini ditonton mungkin oleh lebih dari seratus
juta pasang mata.
Ada baiknya Otto kembali pada kata-katanya yang
bijaksana, “Kalah dan menang itu biasa.”
Toh, Persib Bandung juga tidak bisa terus-terusan jadi
juara sepak bola di kancah nasional, bukan?
Adakalanya menang, adakalanya kalah. Biasa saja.
Memang sih, kalah dan menang itu biasa, tetapi kalah di
depan lebih dari seratus juta pasang mata rakyat Indonesia, rasanya “pasti
sesuatu banget”. Apalagi sebelumnya, Otto rajin membangun opini publik bahwa
Jessica pasti bebas karena tidak bersalah dan Jaksa Penuntut Umum yang banyak
melakukan kekurangan, tetapi ternyata hakim memutuskan Jessica bersalah.
Eh, … maaf … saya tadi mengatakan bahwa kalah di depan
lebih dari seratus juta pasang mata rasanya “pasti sesuatu banget” bukan
berarti saya dapat merasakan perasaan Otto, Jessica, dan timnya. Saya hanya
menduga. Hal itu disebabkan seperti pendapat Otto bahwa yang namanya “perasaan”
hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu. Dia berpendapat seperti itu ketika
mengkritisi hakim yang memandang bahwa seolah-olah Jessica “bersandiwara”
menangis di depan hakim. Menurut Otto, hakim tidak boleh menuduh seperti itu
karena yang tahu apakah Jessica menangis disebabkan sedih atau bersandiwara
hanyalah Tuhan dan Jessica sendiri yang tahu. Oleh sebab itu, begitu pula “perasaan”
ketika kalah dalam persidangan yang ditonton jutaan pasang mata, hanya Tuhan,
Jessica, Otto, dan timnya yang tahu. Jadi, saya tidak memiliki hak dan memang
tidak tahu perasaan mereka yang sesungguhnya.
Meskipun demikian, bagi saya, aneh juga ketika Otto
mengatakan bahwa seolah-olah sorot mata Hakim Binsar itu menunjukkan kebencian
kepada Jessica.
Bukankah kebencian itu juga merupakan perasaan?
Dari mana Otto tahu bahwa sorot mata Hakim Binsar penuh
kebencian?
Bukankah sorot mata Hakim Binsar penuh kebencian atau
penuh kasih sayang hanyalah Tuhan dan Hakim Binsar sendiri yang tahu?
Sudahlah, tidak perlu terus-terusan melakukan upaya hukum
jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Kalau mau pun, harus
diperhitungkan matang-matang. Ingat, kasus ini diperhatikan jutaan pasang mata
yang mengadili segala yang terjadi. Masyarakat adalah hakim yang teramat
berbahaya. Vonis dari masyarakat adalah akan memuliakan kalian atau akan
melecehkan dan menjatuhkan kalian dengan hancurnya kepercayaan masyarakat
kepada kalian. Kalau masyarakat sudah kehilangan kepercayaan, kalian tidak akan
dibutuhkan lagi.
Saya orang Sunda punya pesan, “Sing asak-asak ngejo bisi tutung jagana. Sing asak-asak nenjo bisi
kaduhung jagana.”
Maksudnya, pandai-pandailah mempertimbangkan dan
melakukan segala sesuatu dengan tepat dan matang agar tidak menyesal nantinya.
No comments:
Post a Comment