Saturday, 29 October 2016

0-2 untuk Kekalahan Tim Jessica

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Kayak pertandingan sepak bola ya, pakai skor segala, 0-2.

            Memang Otto Hasibuan yang penasihat hukum Jessica Kumala Wongso itu sendiri yang membuatnya seperti itu.

            Kata Otto, “Skornya masih kosong-kosong karena ini belum inkrah. Kami masih banding.”

            Hal itu disampaikannya saat wawancara dengan iNews beberapa saat pascavonis dua puluh tahun penjara buat Jessica yang diyakini hakim sebagai “pembunuh Wayan Mirna Salihin” dengan menggunakan racun sianida di dalam Vietnam Ice coffe.      

            Skor kosong-kosong atau 0-0 menurut Otto karena vonis hakim belumlah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Tim Jessica masih mengajukan banding. Itulah dasar Otto berpendapat skornya kosong-kosong. Akan tetapi, bagi saya, Tim Jessica sudah kalah kosong-dua, 0-2. Kekalahan pertama adalah kekalahan dalam sidang praperadilan. Adapun kekalahan kedua adalah dalam sidang yang menghasilkan vonis dua puluh tahun penjara itu.

            Upaya banding memang merupakan hak yang harus dihormati dan diperbolehkan, tetapi harus berhati-hati. Hal itu disebabkan Tim Jessica bisa kalah lagi sehingga skornya menjadi 0-3. Kalau mereka menang, itu bagus meskipun jaksa mungkin juga tidak diam. Kalau mereka kalah, artinya kalah ketiga kalinya. Kalau mengajukan upaya hukum lain, lalu kalah lagi, skornya jadi banyak kalahnya, bisa 0-4, lalu 0-5, dan seterusnya. Kalau menang, itu bagus. Akan tetapi, kalau kalah lagi dan kalah lagi, bahkan mungkin hukumannya bisa jadi diperberat menjadi hukuman mati, sungguh kecelakaan besar bagi mereka. Kalau sudah jadi hukuman mati, lalu minta grasi kepada Presiden RI, tetapi permohonan grasi itu ditolak, skornya bisa menjadi 0-10 untuk kekalahan Tim Jessica-Otto. Itu sungguh kecelakaan yang menimbulkan penderitaan besar berkepanjangan.

            Skor kekalahan 0-10 itu bisa didasarkan pada kekalahan dalam sidang, tak ditemukannya pelanggaran yang dilakukan hakim oleh Komisi Yudisial, penolakan grasi, kekalahan di mata publik, dan lain sebagainya.

            Menurut saya, kekalahan di mata publik adalah yang paling berbahaya bagi tim Otto Hasibuan. Kalau upaya hukum untuk membebaskan Jessica sudah habis dan Otto kalah lagi, kalah lagi, dan terus kalah, sangat mungkin masyarakat akan tidak percaya kepada Otto Hasibuan dan timnya untuk membantu masyarakat apabila ada masyarakat yang sedang memiliki perkara hukum.

            Hal itu mudah sekali dipahami karena siapa yang mau dibantu oleh pengacara yang terus-terusan kalah?

            Jika itu terjadi, sudah bisa diduga bahwa “lonceng kematian bagi karir Otto dan timnya sebagai penasihat hukum” berdentang sangat keras. Hati-hati To karena kasus ini ditonton mungkin oleh lebih dari seratus juta pasang mata.

            Ada baiknya Otto kembali pada kata-katanya yang bijaksana, “Kalah dan menang itu biasa.”

            Toh, Persib Bandung juga tidak bisa terus-terusan jadi juara sepak bola di kancah nasional, bukan?

            Adakalanya menang, adakalanya kalah. Biasa saja.

            Memang sih, kalah dan menang itu biasa, tetapi kalah di depan lebih dari seratus juta pasang mata rakyat Indonesia, rasanya “pasti sesuatu banget”. Apalagi sebelumnya, Otto rajin membangun opini publik bahwa Jessica pasti bebas karena tidak bersalah dan Jaksa Penuntut Umum yang banyak melakukan kekurangan, tetapi ternyata hakim memutuskan Jessica bersalah.

            Eh, … maaf … saya tadi mengatakan bahwa kalah di depan lebih dari seratus juta pasang mata rasanya “pasti sesuatu banget” bukan berarti saya dapat merasakan perasaan Otto, Jessica, dan timnya. Saya hanya menduga. Hal itu disebabkan seperti pendapat Otto bahwa yang namanya “perasaan” hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu. Dia berpendapat seperti itu ketika mengkritisi hakim yang memandang bahwa seolah-olah Jessica “bersandiwara” menangis di depan hakim. Menurut Otto, hakim tidak boleh menuduh seperti itu karena yang tahu apakah Jessica menangis disebabkan sedih atau bersandiwara hanyalah Tuhan dan Jessica sendiri yang tahu. Oleh sebab itu, begitu pula “perasaan” ketika kalah dalam persidangan yang ditonton jutaan pasang mata, hanya Tuhan, Jessica, Otto, dan timnya yang tahu. Jadi, saya tidak memiliki hak dan memang tidak tahu perasaan mereka yang sesungguhnya.

            Meskipun demikian, bagi saya, aneh juga ketika Otto mengatakan bahwa seolah-olah sorot mata Hakim Binsar itu menunjukkan kebencian kepada Jessica.

            Bukankah kebencian itu juga merupakan perasaan?

            Dari mana Otto tahu bahwa sorot mata Hakim Binsar penuh kebencian?

            Bukankah sorot mata Hakim Binsar penuh kebencian atau penuh kasih sayang hanyalah Tuhan dan Hakim Binsar sendiri yang tahu?

            Sudahlah, tidak perlu terus-terusan melakukan upaya hukum jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Kalau mau pun, harus diperhitungkan matang-matang. Ingat, kasus ini diperhatikan jutaan pasang mata yang mengadili segala yang terjadi. Masyarakat adalah hakim yang teramat berbahaya. Vonis dari masyarakat adalah akan memuliakan kalian atau akan melecehkan dan menjatuhkan kalian dengan hancurnya kepercayaan masyarakat kepada kalian. Kalau masyarakat sudah kehilangan kepercayaan, kalian tidak akan dibutuhkan lagi.

            Saya orang Sunda punya pesan, “Sing asak-asak ngejo bisi tutung jagana. Sing asak-asak nenjo bisi kaduhung jagana.”


            Maksudnya, pandai-pandailah mempertimbangkan dan melakukan segala sesuatu dengan tepat dan matang agar tidak menyesal nantinya.

No comments:

Post a Comment