Sunday, 23 October 2016

Deddy Corbuzier, Ario Kiswinar, Mario Teguh

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Masalah yang menimpa Deddy Corbuzier, Ario Kiswinar, dan Mario Teguh sebenarnya jika ingin diselesaikan dengan mudah, pasti selesai dengan mudah. Demikian pula jika ingin dipersulit, pasti akan sangat menyulitkan. Mudah dan sulitnya mereka menyelesaikan perseteruan bergantung ketiganya sendiri. Tidak bisa selesai dengan mudah jika hanya salah seorang yang ingin menyelesaikan masalah dengan mudah, tetapi yang dua orang lagi ingin mempersulitnya.

            Perseteruan di antara mereka berawal dari salah satu tayangan di acara Hitam Putih pada stasiun televisi Trans7. Bintang tamu dalam salah satu acara itu adalah Ario Kiswinar yang kabarnya adalah anak Mario Teguh, motivator tersohor itu. Dalam acara itu terungkap seolah-olah Ario adalah anak kandung Mario Teguh yang tidak diakui oleh Mario Teguh. Kebetulan sekali acara itu sempat saya tonton, padahal jarang-jarang saya menyaksikan Hitam Putih karena acara itu tidak penting-penting amat bagi saya. Bahkan, ketika ada seseorang yang saya kenal menjadi bintang tamu di acara itu pun saya tidak menontonnya. Teman-teman saya saja yang ribut ngasih tahu bahwa Si Anu jadi bintang tamu di Hitam Putih. Saya sih biasa saja meskipun bersyukur juga Hitam Putih mau membantu dia.

            Saya melihat masalah yang melibatkan Deddy, Ario, dan Mario Teguh terbagi dalam dua hal yang tidak boleh dicampur-campurkan karena akan membuat suasana makin runyam. Pertama, soal penayangan acara Hitam Putih yang dianggap “kurang beretika”. Kedua, soal hubungan ayah-anak antara Mario Teguh dan Ario Kiswinar. Kedua masalah itu sebenarnya terpisah, tetapi tampaknya masyarakat melihatnya seperti tercampur hingga banyak yang memiliki pikiran kusut.

            Masalah pertama adalah soal tidak berimbangnya penyampaian informasi dalam tayangan tersebut. Dalam dunia saya, tulis-menulis, termasuk di dalamnya jurnalisme, ada kode etik yang harus selalu dipatuhi apabila menyampaikan informasi yang mengandung konflik, perseteruan, atau perbedaan paham. Seluruh pihak yang terlibat dalam konflik harus diberikan ruang dan hak yang sama dalam menyampaikan pandangannya. Namanya cover both side. Akan lebih baik lagi jika Sang Penyampai Informasi, baik itu wartawan maupun host, melakukan cover all side, yaitu penelitian mendalam sebelum informasi itu disebarluaskan. Penyampai informasi yang melakukan hal-hal tersebut adalah “penyampai informasi yang penuh etika” dan berkualitas tinggi. Apabila tidak melakukan kode etik itu, apalagi dengan sengaja tidak melakukannya, penyampai informasi itu bisa dikategorikan sebagai “penyampai informasi yang tidak beretika” dan berkualitas rendah. Demikian pula informasi yang disampaikannya pun akan memiliki kualitas yang sangat rendah karena hanya berasal dari salah satu pihak tanpa memberikan pihak lainnya untuk menyampaikan pandangannya.

            Tampaknya, persoalan etikalah yang membuat kubu Mario Teguh melayangkan somasi pada Deddy. Mario Teguh merasa bahwa acara itu menyuguhkan informasi yang tidak berimbang kepada masyarakat. Memang tayangan acara itu sangat tidak berimbang karena hanya menampilkan Ario Kiswinar dan itu sangatlah tidak beretika. Seharusnya, sebelum acara itu ditayangkan, pihak Hitam Putih berusaha keras menghubungi Mario Teguh untuk hadir pada saat yang sama dalam acara yang sama bersama Ario Kiswinar. Itu namanya “penuh dengan etika” sehingga informasi yang disampaikannya berkualitas tinggi.

            Tidak masalah jika setelah dihubungi, Mario Teguh menolak hadir atau bahkan sulit sekali dihubungi. Akan tetapi, Deddy harus menyampaikan dengan jelas kepada masyarakat dalam acara langsung itu bahwa dirinya atau tim kreatifnya telah menghubungi Mario Teguh, tetapi Mario Teguh menolak untuk hadir atau sangat sulit dihubungi. Minimal satu kali Deddy wajib secara etika menyampaikan alasan ketidakhadiran Mario Teguh tersebut kepada masyarakat pada saat acara langsung itu berlangsung. Jika itu dilakukan, Hitam Putih dan Deddy sudah menjalankan etikanya secara penuh tanggung jawab dan itu sangat beretika. Jika tidak, itulah yang saya sebut “tidak beretika” dan pasti menimbulkan masalah.

            Meskipun Mario Teguh tidak bisa dihubungi atau menolak untuk hadir bersama Ario Kiswinar dalam acara yang sama, Deddy dan Hitam Putih tetap harus memberikan kesempatan secara baik-baik kepada Mario Teguh untuk memberikan hak jawab dengan ruang dan waktu yang seimbang tentang segala informasi yang disampaikan Ario Kiswinar. Begitu seharusnya.

            Sepanjang yang saya ingat, jika saya tidak lupa, dalam acara itu memang Deddy tidak menjelaskan baik dirinya maupun Hitam Putih telah menghubungi Mario Teguh untuk hadir pada acara langsung itu. Deddy bahkan tampaknya menikmati acara itu yang mempertontonkan secara sepihak seolah-olah Mario Teguh Sang Motivator itu ternyata memiliki keburukan dalam hidupnya dengan “menelantarkan anak kandung” karena tidak mengakuinya sebagai anak.

            Deddy baru menjelaskan bahwa pihaknya telah menghubungi Mario Teguh sebelumnya, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari Mario Teguh setelah adanya somasi yang dilayangkan pihak Mario Teguh. Itu sangatlah disayangkan. Deddy sudah melakukan kewajiban etikanya dengan baik jika memang benar telah menghubungi Mario Teguh sebelumnya. Soal Mario menolak atau tidak bisa dihubungi, itu salah Mario Teguh dan bukan salah Deddy. Sayangnya, Deddy tidak menyampaikan upayanya itu pada saat acara berlangsung dan mungkin tidak bersegera memberikan kesempatan dengan baik kepada Mario Teguh untuk menyampaikan hak jawabnya dengan ruang dan waktu yang berimbang. Deddy malah memberikan kesempatan kepada Mario Teguh dengan kata-kata “tantangan” untuk hadir dalam acara Hitam Putih. Seharusnya, Deddy jangan menantang karena itu sudah merupakan kewajiban etika Hitam Putih untuk memberikan hak jawab kepada Mario Teguh.


Somasi

Somasi itu apaan, sih?

            Kok, orang-orang banyak yang blingsatan nggak karu-karuan kalau mendapatkan somasi?

            Semengerikan apa sih itu makhluk yang namanya somasi?

            Sepanjang yang saya tahu, somasi itu adalah teguran atau peringatan.

            Kalau kita ditegur, kan tinggal dijawab saja. Kalau kita diingatkan, kan tinggal dijelaskan saja.

            Apa susahnya?

            Kalau kita naik bus kota berdesak-desakan, tiba-tiba ada yang menegur atau mengingatkan kita bahwa kaki kita menginjak kaki orang lain, kan tinggal minta maaf saja. Kalau bukan kaki kita yang menginjaknya, tinggal jawab saja bahwa kaki dia bukan terinjak kita, tetapi tertindih kardus barang milik orang lain. Urusan selesai sudah sampai di sana, tidak perlu panjang-panjang. Kalau kita ngotot-ngototan, urusan tambah panjang dan makin rumit, malah membahayakan.

            Begitu kan?

            Buatlah hal yang mudah semakin mudah. Yang sulit, jadikan hal yang mudah. Jangan yang mudah dijadikan hal yang sulit, malahan makin diperumit.

            Deddy Corbuzier itu cuma disomasi Mario Teguh, enteng sekali menyelesaikannya. Kalau saya, pernah disomasi oleh penguasa bersuasana Orde Baru.

            Tahu kan bagaimana menakutkannya jika berhadapan dengan penguasa bersuasana Orde Baru?

            Jika berselisih dengan penguasa saat itu, kita tiba-tiba bisa dituduh PKI, subversif, ekstremis, anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), ditahan tanpa kejelasan, bahkan bisa “hilang” tanpa bisa ditemukan keluarga kita. Mengerikan sekali saat itu jika kita bermasalah dengan penguasa.

            Saya pernah disomasi saat itu. Saya masih sangat muda dan kurang pertimbangan, cepat menantang siapa saja yang saya anggap salah. Saya pernah menulis judul artikel yang besar dengan warna mencolok pada jilid depan sebuah majalah pendidikan. Saya menulis judul yang teramat provokatif, yaitu Pramuka Pandu Gadungan.

            Kenapa?

            Kaget?

            Saya yakin judul Pramuka Pandu Gadungan sampai hari ini masih mengejutkan orang meskipun kita sudah hidup di alam reformasi-kebebasan. Apalagi saat itu yang masih beratmosfir Orde Baru, judul itu menyakitkan hati para Pramuka Indonesia. Pramuka itu bukan organisasi ecek-ecek. Seluruh pejabat di Indonesia secara ex-officio adalah anggota Pramuka. Presiden RI sampai dengan lurah atau kepala desa adalah anggota Pramuka dan memilliki Gugus Depan masing-masing.

            Somasi terhadap saya itu datang malah dari lembaga tertinggi Pramuka di Indonesia, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia (Kwarnas). Kwarnas itu secara langsung di bawah pembinaan Presiden RI, selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional (Kamabinas). Soeharto, semasa masih presiden, adalah Kamabinas. Saya dengar orang-orang Kwarnas marah-marah dan maki-maki saya, tentunya di belakang saya. Saya cuma dengar ceritera dari orang-orang saja.

            Somasi itu datang dari Kwarnas melalui Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Barat (Kwarda Jabar), kemudian kepada pemimpin perusahaan tempat saya bekerja. Teman-teman saya pada kaget, orang-orang yang sejak dulu iri sama saya malah kelihatan senang atas hal yang menimpa saya. Saya dipanggil bos, ditegur, lalu disampaikan somasi yang diterimanya terhadap saya dan saya diwajibkan menghadap ke Kwarda Jabar dan Kwarnas untuk mempertanggungjawabkan “perbuatan” saya. Saya diharuskan hadir pada tanggal yang sudah ditetapkan.

            Saya terangkan saja segalanya kepada bos saya. Dia pun mengerti.

            Saya pun menghadap kepada Ketua Kwarda Jabar, saat itu Didi Edia Kartadinata, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Di atas dia ada Ketua Majelis Pembimbing Daerah (Kamabida), yaitu Gubernur Jawa Barat. Saya datang sendirian, tidak diantar siapa pun, apalagi pengacara. Tak ada pengacara dan memang saya tidak memerlukan pengacara.

            Buat apa pengacara?

            Jika menggunakan pengacara, malah bisa-bisa urusan tambah ribet, nggak selesai-selesai.

            Di dalam ruangan yang sudah ditentukan, saya menghadap Ketua Kwarda Jabar. Saya dikelilingi banyak Pramuka. Ada Wakil Ketua Kwarda dan beberapa pengurus Pramuka Jawa Barat lainnya. Saya diam saja mendengarkan Ketua Kwarda berbicara dari awal sampai dengan akhir.

            Tak ada kata lain yang keluar dari mulut saya, kecuali, “Iya Pak, … iya Pak, … iya Pak, ….”

            Tak ada satu kalimat pun yang saya dengar dari Ketua Kwarda yang menyalahkan saya. Demikian pula para pengurus Pramuka Jawa Barat yang mengelilingi saya, tidak pernah menyalahkan saya.

            Bahkan, Ketua Kwarda Jabar terkesan menyalahkan atasannya sendiri, yaitu Kwarnas yang terlalu cepat men-somasi saya, “Mestinya, mereka baca dulu isi artikelnya secara lengkap, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan.”

            Seperti saya bilang, saya hanya mengatakan, “Iya Pak ….”

            Setelah itu, kami bersalaman, lalu mengobrol beramah-tamah, tertawa-tawa, melucu sebagaimana para Pramuka yang sedang bercanda ria. Kemudian, makan-makan, tak ada yang menyalahkan siapa pun dan tak ada yang disalahkan oleh siapa pun.

            Satu masalah sudah selesai. Tinggal satu lagi proses yang harus saya hadapi, yaitu menghadap Kwarnas yang katanya marah besar terhadap saya dan memaki-maki saya.

            Saya menghadap perwakilan Kwarnas tepat pada tanggal yang mereka tetapkan sendiri dan di lokasi yang mereka tetapkan sendiri pula. Saya ikuti saja keinginan mereka. Tidak susah, kok. Biasa saja.

            Kali ini saya tidak datang sendiri. Bos saya ingin menemani saya, termasuk juga teman dan adik kelas saya yang sedang magang kerja di tempat saya kerja. Jadi, kami berempat menghadap Kwarnas. Saya tidak pernah mengajak mereka karena saya tidak membutuhkannya. Akan tetapi, mereka sendiri yang ingin menemani saya. Saya sih senang-senang saja karena ada teman ngobrol dan diskusi.

            Dari pihak yang mewakili Kwarnas ada beberapa orang yang hadir, termasuk  Bupati Cianjur, Muchtar dan Pramuka Teladan dari Sukabumi.

            Pada awal pertemuan dengan Kwarnas bos saya yang langsung dengan cepat berbicara, “Jangan bikin anak buah saya down!”

            Saya kaget. Wah, alamat rada keras nih urusan. Padahal, sebenarnya saya tidak menginginkan suasana yang tegang.

            Akan tetapi, pada saat wakil Kwarnas berbicara, sama sekali tidak menyalahkan saya. Bahkan, menyinggung judul artikel yang saya tulis pun tidak. Mereka malahan menerangkan dengan panjang lebar tentang sejarah Pramuka, fungsi dan tugas Pramuka, manfaat Pramuka, dan lain sebagainya. Pada akhir pembicaraan mereka meminta bantuan saya untuk bersedia membantu Pramuka jika ada pihak-pihak lain yang menyudutkan atau menjatuhkan nama baik Pramuka.

            Saya hanya bilang satu kata, “Siap.”

            Pertemuan pun selesai. Kemudian, sebagaimana kebiasaan para Pramuka, kami berbincang-bincang tentang banyak hal, bercanda, bertukar informasi, makan-makan, dan lain sebagainya. Somasi pun selesai sudah, tak ada yang diperdebatkan dan tidak ada yang dirugikan.

            Hal yang lebih menyenangkan adalah semenjak adanya somasi tersebut, saya malah banyak diminta ikut terlibat dalam berbagai kegiatan kepramukaan, baik itu di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi. Saya diminta membantu pelaksanaan Jambore Nasional dan Jambore Daerah, termasuk kegiatan Kata, Seni, dan Olahraga (Kanira). Pernah pula diminta menjadi trainer tentang kehumasan untuk para Pandega, termasuk ditunjuk sebagai juri fotografi untuk kegiatan Pramuka nasional. Beberapa kali pula saya diajak untuk meliput kegiatan Wakamabinas Try Soetrisno yang saat itu Wakil Presiden RI.

            Somasi yang pernah dilayangkan terhadap saya oleh Kwarnas Gerakan Pramuka Indonesia itu tak pernah diingat-ingat lagi. Seolah-olah sudah dilupakan. Semuanya baik-baik saja karena memang diselesaikan dengan baik-baik saja. Tak ada permusuhan, tak ada suara keras, dan tak ada kekisruhan. Kami tetap berhubungan dengan baik.

            Coba bayangkan jika saat itu saya ngotot tidak mau menanggapi somasi dari Kwarnas dengan baik dan tidak memenuhi undangan mereka, lalu bos saya pasang pengacara mahal untuk bikin ribut. Situasi pasti akan semrawut dan masalah tidak selesai. Saya mungkin akan terkenal se-Indonesia karena dianggap melawan penguasa yang sangat kuat.

            Akan tetapi, untuk apa?

            Untuk apa menjadi orang terkenal, tetapi terkenal dengan kekisruhan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik?

            Buat apa beken, tetapi dikelilingi suasana yang tidak karuan?

            Saya sebagai orang Sunda memilih untuk “laukna beunang, caina herang”, ‘ikannya dapat, tetapi airnya tidak keruh’.  Artinya, masalah terselesaikan, tetapi suasana tetap tenang, tidak kisruh.

            Sebagai orang Islam, saya meyakini bahwa Allah swt memang memperbolehkan kita untuk menggunakan “ketegasan dan kekerasan” dalam mempertahankan kebenaran dan harga diri. Akan tetapi, Allah swt lebih menyukai jika kita menggunakan jalan damai dan baik untuk mempertahankan kebenaran dan harga diri.

            Jika kita mendapatkan somasi dari siapa pun, jangan cepat bereaksi berlebihan. Pelajari dulu dengan tenang, lalu jawab dengan baik. Kalau harus ada pertemuan, agendakan pertemuan itu sesuai dengan kesepakatan, baik waktunya maupun tempatnya agar semua pihak dapat hadir untuk menyelesaikan masalah. Kalau memang kita salah, minta maaf saja, lalu lakukan sesuatu agar kesalahan kita bisa diperbaiki dengan cepat dan baik. Kalau memang kita tidak salah, jelaskan dengan baik bahwa kita tidak melakukan sesuatu hal yang salah. Tidak perlu marah-marah atau overacting, lucu jadinya.

            Mudah, kan?

            Hal itu akan menjadi sulit jika memang kita tidak ingin menyelesaikannya dengan baik karena “dipenjara” oleh egoisme diri kita serta diperbudak oleh “keangkuhan” diri kita yang sesungguhnya merendahkan martabat diri kita sendiri.


Urusan Keluarga

Urusan Ario Kiswinar dengan Mario Teguh adalah urusan keluarga. Kita tidak perlu kepo-kepo amat tentang urusan orang lain. Semua orang pernah memiliki masalah, malah pernah berbuat dosa. Allah swt pun menegaskan hal itu bahwa tidak ada anak Adam yang tidak berdosa, tetapi manusia yang paling baik adalah yang melakukan taubat dan memperbaiki diri dari kesalahannya. Pertengkaran Mario Teguh dan Aryani sudah selesai dengan perceraian. Hal itu berarti memang pernikahan mereka bermasalah dan sudah diselesaikan pengadilan agama dengan jalan perceraian.

            Untuk apa diungkit-ungkit lagi masalah yang sudah lama?

            Nggak ada kerjaan!

            Soal kesahihan hubungan ayah-anak antara Ario dan Mario kan bisa diselesaikan dengan tes DNA.

            Di mana susahnya?

            Tinggal lakukan saja tes itu. Selesai.

            Sebenarnya, tidak perlu dipublikasikan dan tidak perlu menggunakan pengacara untuk mendapatkan pengakuan Mario. Datang saja Ario sebagai anak dan sebagai pria yang berusia lebih muda kepada Mario, lalu sampaikan kegelisahan hatinya. Lakukan tes DNA, terima hasilnya. Apa pun hasilnya, baik terbukti sebagai anak kandung maupun tidak terbukti, hubungan mereka akan tetap baik-baik saja jika ditempuh dengan jalan yang baik-baik. Tidak perlu diumbar-umbar ke khayalak umum karena itu sangat tidak perlu kalau memang menginginkan hidup lebih baik. Jika untuk memastikan hubungan ayah-anak dengan cara menantang di media massa, bukti hasil apa pun dari tes DNA, tetap menyisakan memori yang buruk karena ditempuh dengan cara yang kurang etis.

            Aneh rasanya jika ada anak menantang ayahnya di depan umum agar ayahnya mengakui dirinya sebagai anak. Biasanya kan seorang anak ingin diakui ayahnya adalah untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, kehormatan, cinta, status, dan hal-hal lainnya yang dapat mengisi kekosongan hatinya. Kalau menantang ayahnya di depan umum sehingga berpotensi mempermalukan ayahnya sendiri, memang sangat janggal. Entah apa yang diinginkannya.

            Jangankan anak yang masih diragukan, anak asli kandung pun banyak yang diusir ayahnya jika mempermalukan ayahnya. Bahkan, sama sekali tidak diakui anak dan dinyatakan sebagai “putus hubungan” meskipun benar-benar anak kandung. Ayah yang masih mengakui anaknya sebagai anak kandung meskipun anaknya telah mempermalukan dirinya, mencoreng nama baik keluarga, merusakkan lingkungan, dan melanggar hukum adalah ayah yang teramat mulia hatinya, lapang dadanya, ayah yang sangat baik.

            Berbeda jika seorang anak datang kepada ayahnya untuk diakui sebagai anak kandung dengan cara yang baik dengan memohon, “Pak, saya ini anak Bapak dan Bapak sampai kapan pun adalah ayah kandung saya. Jika Bapak tidak yakin bahwa saya adalah anak Bapak, saya sangat ingin tes DNA untuk membuktikan bahwa Bapak adalah benar-benar ayah saya. Sungguh, tak ada orang lain yang benar-benar ayah kandung saya, kecuali Bapak. Saya sangat mencintai Bapak, menghormati Bapak, dan bangga terhadap Bapak.”

            Beda kan antara kata-kata lembut dan manis dengan tantangan kasar penuh teriak di media massa?

            Pasti beda atuh!

            Yang mengatakan sama, pasti orang yang begonya nggak ketulungan.

            Jika hal itu dilakukan Ario kepada Mario dengan cara yang baik dan tidak perlu bawa-bawa pengacara atau media massa serta Mario Teguh memang menyayanginya karena memang mengenalnya sejak bayi, urusan akan bisa selesai dengan mudah dan baik. Apa pun hasil tes DNA, hubungan keduanya akan tetap baik, bahkan semakin baik. Jika hasilnya positif bahwa Ario adalah anak kandung Mario, mereka akan semakin bahagia. Kalaupun hasilnya negatif dalam arti Ario bukan anak kandung Mario, hubungan mereka tetap terjalin dengan baik karena masalah diselesaikan dengan baik-baik.

            Bisa kan menyelesaikan masalah tanpa perlu teriak-teriak, marah-marah, atau jual tampang sok jago di media massa?


            Permudahlah urusan orang lain agar Allah swt mempermudah urusanmu.

No comments:

Post a Comment