Monday 14 November 2016

Ahok dan Gubernur Itu Soal Kecil

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Siapa sih yang namanya Ahok itu?

            Dia kan cuma WNI keturunan Cina nonmuslim yang aktif dalam politik hingga menjadi gubernur DKI. Tidak lebih daripada itu. Dia bukan WNI keturunan Cina nonmuslim terbaik. Banyak yang lebih hebat dibandingkan dia dalam bidangnya masing-masing. Ada yang menjadi olahragawan, pengusaha, pendidik, budayawan, rohaniwan, dan lain sebagainya. Soal Ahok itu soal kecil. Jadi, tidak perlu menjadikan dia sebagai subjek penting yang harus diomong-omongin setiap hari. Biasa saja atuh.

            Masyarakat harus fokus terhadap dugaan penistaan agama yang dia lakukan dan bukan terhadap sosoknya secara khusus. Dia manusia biasa. Jadi, perhatikan saja kasusnya atau materinya, bukan mengembangkan kebencian kepada dirinya.

            Sehebat apa sih yang namanya jabatan gubernur itu hingga harus mati-matian berebut dan menjegal orang lain?

            Gubernur itu kan hanya jabatan politik untuk memimpin pemerintahan sipil. Gubernur bukanlah pemimpin keseluruhan dari sebuah provinsi. Gubernur DKI tidak menguasai seluruh bidang di Provinsi DKI. Gubernur pun tidak akan bisa seenaknya dalam memimpin DKI. Hal itu disebabkan ada pemimpin-pemimpin lain di DKI yang tidak di bawah pemerintahannya. Ada pemimpin lain di DKI, misalnya Ketua DPRD DKI yang bisa menjadi penyeimbang gubernur dalam memimpin DKI. Ketua DPRD bukanlah pegawai gubernur. Kepada Ketua DPRD-lah masyarakat seharusnya berkeluh kesah apabila ada kebijakan gubernur yang membuat kerusakan di masyarakat. Adapula Pangdam yang sama sekali tidak patuh kepada gubernur. Artinya, Gubernur tidak menguasai TNI. Ada juga Kapolda yang bukan bawahan gubernur. Kalau gubernur melanggar hukum, Kapolda bisa menangkapnya. Di samping itu. ada pula kekuasaan kehakiman yang sama sekali di luar kekuasaan gubernur. Jadi,  gubernur DKI itu hanya salah satu pemimpin yang bertugas melayani masyarakat DKI dengan kekuasaan yang sangat terbatas, bahkan berada dalam pengawasan KPK. Sekali tercium bau korupsi dan terbukti nyata, KPK bisa segera menangkapnya.

            Mengapa hanya gubernur yang harus beragama Islam?

            Bagaimana jika Pangdam beragama Kristen?

            Bagaimana jika Kapolda beragama Konghucu?

            Bagaimana jika Kapolres dan Kapolsek beragama Hindu?

            Bagaimana jika hakim ketua di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi beragama Budha?

            Bagaimana jika kepala Rumah Sakit Umum Daerah beragama Kaharingan?

            Mereka semua itu adalah para pemimpin di instansinya masing-masing.

            Mau protes juga dengan menggunakan Q.S. Al Maaidah : 51?

            Dalam kasus dugaan penistaan agama sesungguhnya soal Ahok dan jabatan gubernur itu adalah soal kecil. Bagi saya, menjadi tidaklah penting yang namanya Ahok dan jabatan gubernur. Hal yang sangat penting adalah adanya bidang-bidang yang akan berubah jika salah memutuskan perkara ini. Perubahan itu bisa menjadi sangat buruk dan mengganggu perkembangan Indonesia. Bidang-bidang itu adalah bahasa Indonesia, keamanan dan ketertiban, keberlangsungan hidup negara, penggunaan ayat Al Quran, serta pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51.

            Ucapan Ahok yang dianggap menistakan agama itu menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, harus dikaji bahasa yang digunakan Ahok itu, apakah mengandung unsur penistaan atau tidak.

            Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Akan tetapi, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi bahasa baru yang meninggalkan bahasa Melayu. Para ahli bahasa Indonesia mencermati terus perkembangan ini dan memberikan panduan bagi penggunaannya berupa aturan-aturan yang harus digunakan untuk berkomunikasi. Aturan-aturan itu digunakan untuk tetap menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terus berkembang, tetapi tetap efektif dan efisien untuk digunakan sebagai alat komunikasi sehingga tidak menimbulkan distorsi ataupun kesalahan penafsiran dari para penggunanya, baik itu penyampai pesan maupun penerima pesan.

            Hal itu menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu menafsirkan bahasa orang lain, termasuk bahasa yang digunakan Ahok ketika dianggap menistakan ayat Al Quran, apalagi jika sudah masuk ke ranah hukum. Tidak bisa semua orang mengklaim bahwa dirinya sudah memeriksa kata per kata, lalu membuat kesimpulan sendiri.

            Memangnya dia siapa?

            Mereka siapa?

            Harus orang yang memahami aturan berbahasa dan teruji secara akademis yang dapat dijadikan rujukan dalam menafsirkan bahasa Indonesia. Mereka bisa berasal dari kalangan perguruan tinggi dengan gelar yang sangat tinggi dalam bidang bahasa Indonesia.

            Kalau semua orang bisa menafsirkan bahasa Indonesia seenak dirinya, saya jadi pengangguran dong. Beberapa penerbit dan penulis naskah kerap menghubungi saya untuk memastikan apakah bahasa Indonesia yang mereka pergunakan adalah sudah baik dan benar sehingga pikiran mereka bisa sampai dengan sempurna kepada para pembacanya.

            Kalau semua orang memahami bahasa Indonesia dengan baik, mengapa para penerbit dan penulis itu masih menghubungi saya untuk saya edit bahasa mereka?

            Terbitkan saja langsung masuk ke percetakan kalau mereka yakin benar. Buktinya, mereka tidak yakin hingga meminta bantuan saya.

            Jadi, karena bahasa yang dipergunakan Ahok adalah bahasa Indonesia, harus orang yang benar-benar ahli bahasa Indonesia yang mampu mengeluarkan fatwa dalam hal bahasa berdasarkan aturan-aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Di samping itu, fatwa itu pun harus dijelaskan dengan benar asal-usulnya atau alasan-alasannya. Jangan tiba-tiba keluar fatwa tanpa ada penjelasan apa yang menyebabkan fatwa itu muncul. Poin-poin penting penyebab munculnya fatwa itu harus masuk akal sehat.

            Apabila aparat penegak hukum salah dalam memutuskan perkara Ahok, aturan-aturan bahasa Indonesia bisa berantakan. Inilah yang patut dikhawatirkan karena akan merusakkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang anarkis yang mudah sekali menimbulkan berbagai kesalahan penafsiran. Itu adalah hal yang teramat buruk.

            Keamanan dan ketertiban pun akan terganggu jika salah memutuskan. Semua kelompok atau bahkan semua orang bisa seenaknya menuduh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Kemudian, siapa pun berhak untuk mendesakkan keinginannya sehingga jika tidak sesuai dengan keinginannya akan menimbulkan goncangan-goncangan lainnya. Hukum menjadi sangat tidak berwibawa. Hukum sebagai panglima menjadi hanyalah mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan. Hal ini bisa merosot ke arah kehidupan yang anarkis.

            Kehidupan negara pun akan mulai terancam jika tidak mematuhi proses hukum dan salah dalam memutuskan. Akan ada banyak orang yang tidak mengerti atas keputusan yang salah dan itu memicu perlawanan serta penurunan kepercayaan kepada negara. Lambat laun, cepat atau lambat negeri ini bisa meluncur ke arah kegagalan sebagaimana yang terjadi di negara-negara gagal, seperti, Irak, Libya, Suriah, Afghanistan, dan yang lainnya.

            Untuk mencegah hal ini terjadi, hukum harus ditegakkan berdasarkan aturan-aturan hukum dan bukan atas dasar kepentingan mayoritas maupun minoritas. Kebenaran itu tidak didasarkan atas jumlah mayoritas dan minoritas, melainkan atas bukti dan fakta yang masuk akal. Kaum muslimin di Mekah pada masa Rasulullah saw adalah minoritas, tetapi itu adalah kebenaran. Justru yang mayoritas kaum kafir adalah pihak yang salah. Apabila ternyata ada hukum yang dianggap salah sehingga mengakibatkan keputusan yang salah, ubahlah hukum itu terlebih dahulu secara konstitusional dan bukan dengan cara huru-hara.

            Apabila salah dalam memutuskan, pelecehan terhadap ayat-ayat Al Quran akan terus terjadi. Bagi saya, penggunaan ayat-ayat Al Quran dalam setiap pemilihan yang berkaitan dengan politik dan ekonomi adalah pelecehan. Setiap calon pemimpin menggandeng ahli agama, lalu menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk mendukung jagoannya. Akan tetapi, dalam prosesnya mereka saling menyerang dan menjatuhkan, bahkan melakukan black campaign. Setiap pesaing menggunakan ayat Al Quran untuk menjatuhkan saingannya. Itu adalah pelecehan terhadap ayat-ayat suci Al Quran.

            Hal tersebut pun berkaitan dengan pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 yang kerap berbeda. Saya sangat berharap perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok justru memunculkan banyak hikmah untuk kaum muslimin. Allah swt sudah menjadikan perbedaan yang terjadi di antara sesama kaum muslim sebagai berkah dan rahmat. Hal itu disebabkan perbedaan-perbedaan yang terjadi dapat mendorong kaum muslimin untuk mencari kebenaran yang sama karena tujuannya adalah sama, yaitu mengabdikan diri kepada Allah swt. Ke depan pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 hendaklah sama, tidak lagi berbeda. Para ahli Islam harus mencari jalan untuk pemahaman dan pelaksanaan yang sama berdasarkan penjelasan dari ayat-ayat Al Quran lain di luar Al Maaidah : 51, penafsiran para ahli tafsir terdahulu dan terpercaya, hadits-hadits Nabi saw, tarikh, dan lain sebagainya. Minimal itu yang harus menjadi dasarnya, bukan emosi, kemarahan, dukungan politik kepada suatu kelompok, maupun kebencian kepada suatu kelompok. Para ahli Islam harus bersama-sama tidak merasa letih dan bosan untuk mendapatkan kesamaan, jangan hanya puas dengan perbedaan dan nyaman dengan banyak perbedaan. Dengan kesungguhan dan pengabdian yang kuat kepada Allah swt, kita akan menemukan penafsiran yang lebih jelas dan masuk akal atas ayat-ayat yang kerap dipahami dan dilaksanakan secara berbeda. Tuhan kita sama, Nabi kita sama, Al Quran kita sama. Dengan kejernihan pikiran dan hati, insyaallah kita akan mendapatkan pemahaman yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan sama pula.

            Jika para ahli Islam Indonesia dapat menemukan kesamaan itu, dunia Islam akan mencontoh kita dalam menjalankan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Kita pun dapat menyadarkan saudara-saudara kita sesama muslim yang sedang saling bunuh di negara-negara gagal itu untuk berpegang kepada pemahaman-pemahaman yang sama. Mereka berkelahi dan saling bunuh di antara sesamanya karena memiliki pemahaman yang berbeda. Setiap pihak yang bertempur memiliki keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Itu adalah situasi yang membingungkan. Al Quran-nya sama, tetapi saling bunuh. Kemungkinan besarnya adalah di antara mereka terdapat kepentingan-kepentingan duniawi yang rendah yang diperjuangkan dengan cara menggunakan ayat-ayat Al Quran. Itulah pelecehan terhadap ayat-ayat Al Quran. Hal yang membuat situasi lebih parah adalah suasana itu dimanfaatkan oleh orang-orang di luar Islam dengan tujuan merampok kekayaan umat Islam.

            Maukah kita seperti mereka?

            Tidak, bukan?

            Maukah kita di Indonesia ini menjadi cahaya bagi dunia Islam, bahkan bagi seluruh dunia?

            Masa tidak mau.

            

No comments:

Post a Comment