oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Siapa sih yang namanya Ahok itu?
Dia kan cuma WNI keturunan Cina nonmuslim yang aktif
dalam politik hingga menjadi gubernur DKI. Tidak lebih daripada itu. Dia bukan
WNI keturunan Cina nonmuslim terbaik. Banyak yang lebih hebat dibandingkan dia
dalam bidangnya masing-masing. Ada yang menjadi olahragawan, pengusaha,
pendidik, budayawan, rohaniwan, dan lain sebagainya. Soal Ahok itu soal kecil.
Jadi, tidak perlu menjadikan dia sebagai subjek penting yang harus
diomong-omongin setiap hari. Biasa saja atuh.
Masyarakat harus fokus terhadap dugaan penistaan agama
yang dia lakukan dan bukan terhadap sosoknya secara khusus. Dia manusia biasa.
Jadi, perhatikan saja kasusnya atau materinya, bukan mengembangkan kebencian
kepada dirinya.
Sehebat apa sih yang namanya jabatan gubernur itu hingga
harus mati-matian berebut dan menjegal orang lain?
Gubernur itu kan hanya jabatan politik untuk memimpin
pemerintahan sipil. Gubernur bukanlah pemimpin keseluruhan dari sebuah
provinsi. Gubernur DKI tidak menguasai seluruh bidang di Provinsi DKI. Gubernur
pun tidak akan bisa seenaknya dalam memimpin DKI. Hal itu disebabkan ada
pemimpin-pemimpin lain di DKI yang tidak di bawah pemerintahannya. Ada pemimpin
lain di DKI, misalnya Ketua DPRD DKI yang bisa menjadi penyeimbang gubernur
dalam memimpin DKI. Ketua DPRD bukanlah pegawai gubernur. Kepada Ketua DPRD-lah
masyarakat seharusnya berkeluh kesah apabila ada kebijakan gubernur yang
membuat kerusakan di masyarakat. Adapula Pangdam yang sama sekali tidak patuh
kepada gubernur. Artinya, Gubernur tidak menguasai TNI. Ada juga Kapolda yang
bukan bawahan gubernur. Kalau gubernur melanggar hukum, Kapolda bisa
menangkapnya. Di samping itu. ada pula kekuasaan kehakiman yang sama sekali di
luar kekuasaan gubernur. Jadi, gubernur
DKI itu hanya salah satu pemimpin yang bertugas melayani masyarakat DKI dengan
kekuasaan yang sangat terbatas, bahkan berada dalam pengawasan KPK. Sekali
tercium bau korupsi dan terbukti nyata, KPK bisa segera menangkapnya.
Mengapa hanya gubernur yang harus beragama Islam?
Bagaimana jika Pangdam beragama Kristen?
Bagaimana jika Kapolda beragama Konghucu?
Bagaimana jika Kapolres dan Kapolsek beragama Hindu?
Bagaimana jika hakim ketua di pengadilan negeri atau
pengadilan tinggi beragama Budha?
Bagaimana jika kepala Rumah Sakit Umum Daerah beragama Kaharingan?
Mereka semua itu adalah para pemimpin di instansinya
masing-masing.
Mau protes juga dengan menggunakan Q.S. Al Maaidah : 51?
Dalam kasus dugaan penistaan agama sesungguhnya soal Ahok
dan jabatan gubernur itu adalah soal kecil. Bagi saya, menjadi tidaklah penting
yang namanya Ahok dan jabatan gubernur. Hal yang sangat penting adalah adanya
bidang-bidang yang akan berubah jika salah memutuskan perkara ini. Perubahan
itu bisa menjadi sangat buruk dan mengganggu perkembangan Indonesia.
Bidang-bidang itu adalah bahasa
Indonesia, keamanan dan ketertiban, keberlangsungan hidup negara, penggunaan
ayat Al Quran, serta pemahaman dan
pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51.
Ucapan Ahok yang
dianggap menistakan agama itu menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, harus dikaji
bahasa yang digunakan Ahok itu, apakah mengandung unsur penistaan atau tidak.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Akan tetapi,
bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi
bahasa baru yang meninggalkan bahasa Melayu. Para ahli bahasa Indonesia
mencermati terus perkembangan ini dan memberikan panduan bagi penggunaannya
berupa aturan-aturan yang harus digunakan untuk berkomunikasi. Aturan-aturan
itu digunakan untuk tetap menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terus
berkembang, tetapi tetap efektif dan efisien untuk digunakan sebagai alat
komunikasi sehingga tidak menimbulkan distorsi ataupun kesalahan penafsiran
dari para penggunanya, baik itu penyampai pesan maupun penerima pesan.
Hal itu menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu
menafsirkan bahasa orang lain, termasuk bahasa yang digunakan Ahok ketika
dianggap menistakan ayat Al Quran, apalagi jika sudah masuk ke ranah hukum.
Tidak bisa semua orang mengklaim bahwa dirinya sudah memeriksa kata per kata,
lalu membuat kesimpulan sendiri.
Memangnya dia siapa?
Mereka siapa?
Harus orang yang memahami aturan berbahasa dan teruji
secara akademis yang dapat dijadikan rujukan dalam menafsirkan bahasa
Indonesia. Mereka bisa berasal dari kalangan perguruan tinggi dengan gelar yang
sangat tinggi dalam bidang bahasa Indonesia.
Kalau semua orang bisa menafsirkan bahasa Indonesia
seenak dirinya, saya jadi pengangguran dong. Beberapa penerbit dan penulis
naskah kerap menghubungi saya untuk memastikan apakah bahasa Indonesia yang
mereka pergunakan adalah sudah baik dan benar sehingga pikiran mereka bisa
sampai dengan sempurna kepada para pembacanya.
Kalau semua orang memahami bahasa Indonesia dengan baik,
mengapa para penerbit dan penulis itu masih menghubungi saya untuk saya edit
bahasa mereka?
Terbitkan saja langsung masuk ke percetakan kalau mereka
yakin benar. Buktinya, mereka tidak yakin hingga meminta bantuan saya.
Jadi, karena bahasa yang dipergunakan Ahok adalah bahasa
Indonesia, harus orang yang benar-benar ahli bahasa Indonesia yang mampu
mengeluarkan fatwa dalam hal bahasa berdasarkan aturan-aturan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar. Di samping itu, fatwa itu pun harus dijelaskan
dengan benar asal-usulnya atau alasan-alasannya. Jangan tiba-tiba keluar fatwa
tanpa ada penjelasan apa yang menyebabkan fatwa itu muncul. Poin-poin penting
penyebab munculnya fatwa itu harus masuk akal sehat.
Apabila aparat penegak hukum salah dalam memutuskan
perkara Ahok, aturan-aturan bahasa Indonesia bisa berantakan. Inilah yang patut
dikhawatirkan karena akan merusakkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional. Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang anarkis yang mudah
sekali menimbulkan berbagai kesalahan penafsiran. Itu adalah hal yang teramat
buruk.
Keamanan dan ketertiban pun akan terganggu jika salah
memutuskan. Semua kelompok atau bahkan semua orang bisa seenaknya menuduh orang
lain tanpa alasan yang dibenarkan. Kemudian, siapa pun berhak untuk mendesakkan
keinginannya sehingga jika tidak sesuai dengan keinginannya akan menimbulkan
goncangan-goncangan lainnya. Hukum menjadi sangat tidak berwibawa. Hukum
sebagai panglima menjadi hanyalah mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Hal ini bisa merosot ke arah kehidupan yang anarkis.
Kehidupan negara pun akan mulai terancam jika tidak
mematuhi proses hukum dan salah dalam memutuskan. Akan ada banyak orang yang
tidak mengerti atas keputusan yang salah dan itu memicu perlawanan serta
penurunan kepercayaan kepada negara. Lambat laun, cepat atau lambat negeri ini
bisa meluncur ke arah kegagalan sebagaimana yang terjadi di negara-negara
gagal, seperti, Irak, Libya, Suriah, Afghanistan, dan yang lainnya.
Untuk mencegah hal ini terjadi, hukum harus ditegakkan
berdasarkan aturan-aturan hukum dan bukan atas dasar kepentingan mayoritas
maupun minoritas. Kebenaran itu tidak didasarkan atas jumlah mayoritas dan
minoritas, melainkan atas bukti dan fakta yang masuk akal. Kaum muslimin di
Mekah pada masa Rasulullah saw adalah minoritas, tetapi itu adalah kebenaran.
Justru yang mayoritas kaum kafir adalah pihak yang salah. Apabila ternyata ada
hukum yang dianggap salah sehingga mengakibatkan keputusan yang salah, ubahlah
hukum itu terlebih dahulu secara konstitusional dan bukan dengan cara huru-hara.
Apabila salah dalam memutuskan, pelecehan terhadap
ayat-ayat Al Quran akan terus terjadi. Bagi saya, penggunaan ayat-ayat Al Quran
dalam setiap pemilihan yang berkaitan dengan politik dan ekonomi adalah
pelecehan. Setiap calon pemimpin menggandeng ahli agama, lalu menggunakan
ayat-ayat Al Quran untuk mendukung jagoannya. Akan tetapi, dalam prosesnya
mereka saling menyerang dan menjatuhkan, bahkan melakukan black campaign. Setiap pesaing menggunakan ayat Al Quran untuk
menjatuhkan saingannya. Itu adalah pelecehan terhadap ayat-ayat suci Al Quran.
Hal tersebut pun berkaitan dengan pemahaman dan
pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 yang kerap berbeda. Saya sangat berharap
perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok justru memunculkan
banyak hikmah untuk kaum muslimin. Allah swt sudah menjadikan perbedaan yang
terjadi di antara sesama kaum muslim sebagai berkah dan rahmat. Hal itu
disebabkan perbedaan-perbedaan yang terjadi dapat mendorong kaum muslimin untuk
mencari kebenaran yang sama karena tujuannya adalah sama, yaitu mengabdikan
diri kepada Allah swt. Ke depan pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 hendaklah
sama, tidak lagi berbeda. Para ahli Islam harus mencari jalan untuk pemahaman
dan pelaksanaan yang sama berdasarkan penjelasan dari ayat-ayat Al Quran lain
di luar Al Maaidah : 51, penafsiran para ahli tafsir terdahulu dan terpercaya,
hadits-hadits Nabi saw, tarikh, dan lain sebagainya. Minimal itu yang harus
menjadi dasarnya, bukan emosi, kemarahan, dukungan politik kepada suatu
kelompok, maupun kebencian kepada suatu kelompok. Para ahli Islam harus
bersama-sama tidak merasa letih dan bosan untuk mendapatkan kesamaan, jangan hanya
puas dengan perbedaan dan nyaman dengan banyak perbedaan. Dengan kesungguhan
dan pengabdian yang kuat kepada Allah swt, kita akan menemukan penafsiran yang
lebih jelas dan masuk akal atas ayat-ayat yang kerap dipahami dan dilaksanakan
secara berbeda. Tuhan kita sama, Nabi kita sama, Al Quran kita sama. Dengan
kejernihan pikiran dan hati, insyaallah kita
akan mendapatkan pemahaman yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan sama
pula.
Jika para ahli Islam Indonesia dapat menemukan kesamaan
itu, dunia Islam akan mencontoh kita dalam menjalankan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Kita pun dapat
menyadarkan saudara-saudara kita sesama muslim yang sedang saling bunuh di
negara-negara gagal itu untuk berpegang kepada pemahaman-pemahaman yang sama.
Mereka berkelahi dan saling bunuh di antara sesamanya karena memiliki pemahaman
yang berbeda. Setiap pihak yang bertempur memiliki keyakinan bahwa merekalah
yang paling benar. Itu adalah situasi yang membingungkan. Al Quran-nya sama,
tetapi saling bunuh. Kemungkinan besarnya adalah di antara mereka terdapat
kepentingan-kepentingan duniawi yang rendah yang diperjuangkan dengan cara
menggunakan ayat-ayat Al Quran. Itulah pelecehan terhadap ayat-ayat Al Quran. Hal
yang membuat situasi lebih parah adalah suasana itu dimanfaatkan oleh
orang-orang di luar Islam dengan tujuan merampok kekayaan umat Islam.
Maukah kita seperti mereka?
Tidak, bukan?
Maukah kita di Indonesia ini menjadi cahaya bagi dunia
Islam, bahkan bagi seluruh dunia?
Masa tidak mau.
No comments:
Post a Comment