oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Beragam cara yang ditempuh kelompok-kelompok yang mengaku-aku pejuang Islam untuk menegakkan NII dalam mencari pengikut. Dulu mereka menakuti-nakuti orang dengan cara memberikan argumen bahwa orang tidak bisa disebut muslim jika tidak mengucapkan dua kalimah syahadat di depan imam mereka meskipun berasal dari keluarga muslim yang taat. Mereka mempengaruhi calon pengikutnya itu terus-menerus sampai cenderung mengganggu aktivitas rutin orang tersebut. Dalam pandangan mereka, meskipun berasal dari keluarga muslim dan melakukan ajaran Islam, tetap akan masuk neraka jika tidak dibaiat di hadapan pemimpin mereka.
Orang-orang yang masih rendah pemahaman Islam-nya, tetapi memiliki semangat tinggi untuk mengagungkan Islam biasanya terpengaruh. Mereka yang terpengaruh biasanya dari kalangan generasi muda meskipun banyak juga dari kalangan orang tua.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, cara tersebut sudah sangat tidak efektif, tatkala pengikut mereka yang masih memiliki pemikiran kritis melihat dengan jelas bahwa akhlak di kelompok tersebut lebih rendah dibandingkan dengan akhlak orang-orang Islam pada umumnya. Misalnya, kurangnya disiplin dalam menjalankan shalat, sangat jarang membaca Al Quran dan berdzikir, sering berbicara kotor cenderung seksual, berperilaku kasar, kurangnya rasa kemanusiaan, tidak peduli dengan lingkungan, menganggap orang lain sebagai musuh karena kafir, bahkan menghalalkan untuk mencuri barang dan harta orang lain meskipun itu harta orangtua mereka sendiri. Oleh sebab itu, banyak pengikutnya yang mulai meninggalkan kelompok-kelompok itu karena merasa ajaran Islam itu bukan seperti yang ada di dalam kelompok tersebut.
Apalagi pada masa awal reformasi, 1998. Para pengikut mereka melihat dengan nyata bahwa kelompok-kelompok yang mengaku pejuang Islam itu hampir tidak melakukan apapun untuk masyarakat Indonesia, padahal selama berada dalam era Soeharto, para pemimpin kelompok tersebut menggencarkan pemahaman bahwa pemerintahan Orde Baru itu adalah kafir dan musuh yang harus dilenyapkan. Akan tetapi, dalam kenyataannya yang menumbangkan rezim Orde Baru bukanlah kelompok-kelompok NII itu, melainkan para mahasiswa dan tokoh-tokoh reformasi yang sering dilecehkan oleh para pemimpin kelompok tersebut. Mereka malahan tetap saja asyik mengeksploitasi pengikutnya untuk mencari dana dan pengikut baru, baik halal maupun haram. Setelah rezim Orba tumbang pun, kelompok-kelompok misterius itu tetap tidak melakukan hal nyata untuk berpartisipasi dalam membangun negara. Begitu-begitu saja aktivitas mereka itu. Monoton, statis, membosankan, seenaknya.
Para pengikut yang mulai meninggalkan kelompok yang katanya pejuang tersebut memang mendapat berbagai cap istimewa dari para pemimpinnya dan teman-temannya yang masih bertahan, yaitu murtad, kafir, atau zalim. Akan tetapi, orang-orang yang sudah tidak merasa kerasan lagi berada dalam kelompok dan kecewa, tidak mempedulikan hal tersebut. Mereka tak peduli mau dianggap kafir, murtad, zalim, atau sebutan lainnya. Mereka hanya ingin meninggalkan kelompok misterius itu. Banyak di antara mereka yang kemudian bergabung dengan partai-partai tertentu, mendirikan LSM, aktif di pesantren, atau kembali ke masyarakat untuk kemudian menjalani kehidupan normal bersama masyarakat lainnya. Sebagian malah ada yang menjadi anggota legislatif atau menempati posisi penting di dalam pemerintahan. Bahkan, tidak sedikit yang bergabung dalam Laskar Jihad untuk mempertahankan NKRI.
Runtuhnya Orde Baru, mulainya reformasi, serta terbukanya kesempatan untuk berorganisasi dan menyatakan pendapat membuat pengikut NII merosot drastis. Para aktivis yang waras otak merasa lebih senang menyalurkan aspirasi dan energinya melalui cara-cara yang legal, terbuka, dan tidak sembunyi-sembunyi lagi. Buat apa sembunyi-sembunyi lagi? Toh, semua sudah bisa sangat terbuka. Kita tak akan ditangkap jika menganggap NII adalah bentuk atau sistem negara yang paling bagus. Kita tak akan diberangus jika berdiskusi berkelompok-kelompok tentang NII. Semua sudah dijamin bebas untuk berpendapat. Sepanjang masih dalam gagasan, cita-cita, diskusi, it’s oke. Lain halnya kalau sudah mengorganisasikan orang untuk bergerak, mengumpulkan dan menggunakan senjata, kemudian mengganggu ketertiban dan keamanan umum, itu sudah menjadi pelanggaran serius dan memang harus dihentikan.
Penurunan jumlah pengikut tersebut, membuat NII menggunakan cara lain. Mereka memberikan tambahan ancaman. Kalau dulu orang-orang yang keluar dari NII hanya diejek dan dikata-katai sebagai murtad, kafir, zalim, kambing, atau yang lainnya, belakangan meningkat dengan ditambah ancaman penganiayaan dan pemukulan. Hal tersebut dilakukan karena cap-cap murtad, kafir, dan zalim sudah tidak efektif untuk mempertahankan pengikut tetap berada dalam kelompoknya. Ancaman penganiayaan dan pemukulan diharapkan menjadi pagar agar tidak ada anggota yang kabur dari dalam kelompok.
Beberapa orang yang telah berusaha keluar dari jeratan NII aneh itu mengaku sering dikejar-kejar, bahkan ditunggui lengahnya sampai di rumahnya sendiri. Oleh sebab itu, di antara mereka ada yang meminta perlindungan di pesantren-pesantren dari kejaran orang-orang yang dulunya se-ikhwan atau se-akhwat itu. Pesantren Daarut Tauhid yang dipimpin Aa Gym pernah menjadi tempat perlindungan orang-orang yang kabur dari NII tersebut.
Akan tetapi, lain halnya dengan para pemberani. Ketika banyak orang yang lari kabur takut dianiaya, dipukuli, para pemberani malah petantang-petenteng menantang. Ada pengakuan dari seorang mantan anggota NII yang kemudian menjadi jamaah Laskar Jihad. Dia sudah kesal dengan NII karena menganggu kuliahnya dan mengganggu kuliah kakaknya sehingga gagal studi. Ketika keluar dari NII, orang-orang NII masih terus memburunya, mengajaknya berdebat, melecehkannya, bahkan ada kecenderungan berlaku lebih kasar. Karena sudah memiliki kelompok baru, yaitu Laskar Jihad yang sempat bertarung di Poso mempertahankan NKRI, ia menjadi sangat berani. Ia menantang orang-orang NII yang terus memburunya untuk bersama-sama mempersenjatai diri, kemudian berangkat sama-sama ke Poso. Ia ingin membuktikan siapa sebenarnya yang lebih hebat jihad-nya, dirinya ataukah orang-orang itu. Berdasarkan pengakuannya, orang-orang NII mundur teratur dan tidak lagi mengganggunya sampai kini. Ia sahabat dekat saya sejak kecil, bahkan lebih mirip sebagai saudara.
Adapula pengakuan menyedihkan dari seorang keturunan NII asli. Saya sebut asli karena memang NII SM Kartosoewiryo yang diproklamasikan 7 Agustus 1949. Ketika ayahnya dalam keadaan sakit, sebelum meninggal, sempat berpesan kepadanya agar ikut bergabung dan berjuang bersama NII. Karena tidak tahu tentang NII, ia menanyakan lebih detail kepada ayahnya. Ayahnya pun memberikan ciri-ciri yang lebih detail tentang orang-orang NII yang sezaman dengannya. Beberapa tahun setelah kewafatan ayahnya, secara tak sengaja ada orang yang mengajaknya bergabung dengan NII saat ini. Ia pun dengan gembira mengikutinya. Akan tetapi, setelah beberapa lama dalam kelompok tersebut, ia merasa kecewa dan sedih karena orang-orang yang berada di dalam kelompok itu sama sekali berbeda jauh dengan ciri-ciri yang digambarkan almarhum ayahnya. Ia pun segera keluar dari NII itu dan bertekad akan terus mencari orang-orang yang ciri-cirinya sesuai dengan yang digambarkan ayahnya. Ketika saya diberi tahu ciri-ciri yang digambarkan ayahnya itu, saya lumayan terhenyak karena ciri-ciri itu adalah ciri-ciri seorang pejuang muslim sejati. Hal itu wajar karena ayahnya hidup berada dalam zaman Perundingan Renville sehingga tetap terus melindungi rakyat dari penjajahan Belanda dalam barisan DI/TII. Ketika Kartosoewiryo tertangkap, ayahnya menyatakan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Soal ia masih menyarankan anaknya untuk bergabung bersama NII karena melihat pemerintahan Orde Baru sangat tidak baik. Ia memang meninggal pada masa Orde Baru. Lain halnya jika ia masih hidup pada masa ini, saya yakin ia tidak akan pernah menyarankan anaknya untuk bersama NII karena situasinya sudah berbeda jauh, perjuangan memuliakan Islam dan kaum muslimin saat ini bisa dilakukan dengan berbagai cara yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pada masa ini semakin hari semakin menurun kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran dan ketulusan NII dalam memperjuangkan Islam. Oleh sebab itu, tampaknya argumen mereka tentang tidak diakuinya keislaman seseorang jika tidak dibaiat di hadapan pemimpinnya, sudah tidak lagi efektif untuk menambah jumlah pengikut. Demikian juga cap murtad, kafir, zalim, dan lain sebagainya sudah tidak lagi dipedulikan, bahkan mungkin ditertawakan orang. Ancaman pemukulan dan penganiayaan pun ternyata tidak mampu memagari orang-orang untuk kabur dari kelompoknya. Kesulitan-kesulitan dalam mengumpulkan pengikut dan tentunya dana, tampaknya mendorong kelompok-kelompok NII membuat cara baru, yaitu menculik, menghipnotis, dan brainwashing. Mereka tampaknya benar-benar sudah frustasi sehingga menggunakan cara-cara kotor dan sangat jahat itu. Tak pernah Muhammad Rasulullah saw melakukan itu dalam berdakwah meskipun mungkin saja memiliki kemampuan itu. Toh, ia dekat dengan Allah swt, apa susahnya meminta kepada Allah swt agar mengosongkan pikiran orang, lalu memenuhinya dengan materi dakwahnya? Tapi tidak, bukan? Itu tidak mungkin dilakukan karena Islam itu ajaran yang harus diikuti dengan sepenuhnya kesadaran dan keikhlasan. Penculikan, hipnotis, dan cuci otak itu bertentangan dengan kesadaran dan keikhlasan. Artinya, yang dilakukan mereka itu bertentangan dengan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Orang-orang itu hanya frustasi. Mereka tak tahu lagi cara apa yang harus dilakukan untuk menambah jumlah pengikut yang sekaligus menambah jumlah dana mereka.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, kita tidak perlu habis-habisan menyalahkan NII apalagi para pemuda yang sudah menjadi korbannya. Kita mestinya introspeksi diri. Berkembangnya kelompok-kelompok itu merupakan pula dari gambaran masyarakat yang mengalami krisis identitas kepemimpinan. Kita memang saat ini tidak memiliki pemimpin yang menjadi tujuan dan anutan semua orang. Pada dasarnya setiap orang itu membutuhkan hero, figur, yang dapat memenuhi harapan jiwanya. Ketika kepemimpinan yang ada saat ini tidak mampu memenuhi jiwa banyak orang, tak heran orang mencari pemimpinnya sendiri karena itu sudah alamiah, naluriah. Everybody searching for a hero, people need someone to look up to.
Lebih jauh lagi, selama kita masih menggunakan sistem politik demokrasi, kita tidak akan pernah memiliki pemimpin kuat yang kokoh tertanam di dalam hati rakyat. Hal itu disebabkan demokrasi hanya menghasilkan pemimpin yang rapuh serapuh demokrasi itu sendiri. Pemimpin yang lahir dari demokrasi adalah pemimpin yang diciptakan dari persaingan kekuasaan yang kerap terhirukpikuki money politics, kampanye dusta, janji palsu, black campaigne, aksi tipu-tipu, pengumpulan modal dari ngutang sana-ngutang sini, jual beli pemilihan, janji-janji bisnis, hutang budi pada tim sukses dan investor, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin bisa lahir pemimpin yang kokoh, kuat, dan berakar di hati rakyat jika prosesnya saja sudah penuh lumpur kekotoran?
Orang-orang yang masih rendah pemahaman Islam-nya, tetapi memiliki semangat tinggi untuk mengagungkan Islam biasanya terpengaruh. Mereka yang terpengaruh biasanya dari kalangan generasi muda meskipun banyak juga dari kalangan orang tua.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, cara tersebut sudah sangat tidak efektif, tatkala pengikut mereka yang masih memiliki pemikiran kritis melihat dengan jelas bahwa akhlak di kelompok tersebut lebih rendah dibandingkan dengan akhlak orang-orang Islam pada umumnya. Misalnya, kurangnya disiplin dalam menjalankan shalat, sangat jarang membaca Al Quran dan berdzikir, sering berbicara kotor cenderung seksual, berperilaku kasar, kurangnya rasa kemanusiaan, tidak peduli dengan lingkungan, menganggap orang lain sebagai musuh karena kafir, bahkan menghalalkan untuk mencuri barang dan harta orang lain meskipun itu harta orangtua mereka sendiri. Oleh sebab itu, banyak pengikutnya yang mulai meninggalkan kelompok-kelompok itu karena merasa ajaran Islam itu bukan seperti yang ada di dalam kelompok tersebut.
Apalagi pada masa awal reformasi, 1998. Para pengikut mereka melihat dengan nyata bahwa kelompok-kelompok yang mengaku pejuang Islam itu hampir tidak melakukan apapun untuk masyarakat Indonesia, padahal selama berada dalam era Soeharto, para pemimpin kelompok tersebut menggencarkan pemahaman bahwa pemerintahan Orde Baru itu adalah kafir dan musuh yang harus dilenyapkan. Akan tetapi, dalam kenyataannya yang menumbangkan rezim Orde Baru bukanlah kelompok-kelompok NII itu, melainkan para mahasiswa dan tokoh-tokoh reformasi yang sering dilecehkan oleh para pemimpin kelompok tersebut. Mereka malahan tetap saja asyik mengeksploitasi pengikutnya untuk mencari dana dan pengikut baru, baik halal maupun haram. Setelah rezim Orba tumbang pun, kelompok-kelompok misterius itu tetap tidak melakukan hal nyata untuk berpartisipasi dalam membangun negara. Begitu-begitu saja aktivitas mereka itu. Monoton, statis, membosankan, seenaknya.
Para pengikut yang mulai meninggalkan kelompok yang katanya pejuang tersebut memang mendapat berbagai cap istimewa dari para pemimpinnya dan teman-temannya yang masih bertahan, yaitu murtad, kafir, atau zalim. Akan tetapi, orang-orang yang sudah tidak merasa kerasan lagi berada dalam kelompok dan kecewa, tidak mempedulikan hal tersebut. Mereka tak peduli mau dianggap kafir, murtad, zalim, atau sebutan lainnya. Mereka hanya ingin meninggalkan kelompok misterius itu. Banyak di antara mereka yang kemudian bergabung dengan partai-partai tertentu, mendirikan LSM, aktif di pesantren, atau kembali ke masyarakat untuk kemudian menjalani kehidupan normal bersama masyarakat lainnya. Sebagian malah ada yang menjadi anggota legislatif atau menempati posisi penting di dalam pemerintahan. Bahkan, tidak sedikit yang bergabung dalam Laskar Jihad untuk mempertahankan NKRI.
Runtuhnya Orde Baru, mulainya reformasi, serta terbukanya kesempatan untuk berorganisasi dan menyatakan pendapat membuat pengikut NII merosot drastis. Para aktivis yang waras otak merasa lebih senang menyalurkan aspirasi dan energinya melalui cara-cara yang legal, terbuka, dan tidak sembunyi-sembunyi lagi. Buat apa sembunyi-sembunyi lagi? Toh, semua sudah bisa sangat terbuka. Kita tak akan ditangkap jika menganggap NII adalah bentuk atau sistem negara yang paling bagus. Kita tak akan diberangus jika berdiskusi berkelompok-kelompok tentang NII. Semua sudah dijamin bebas untuk berpendapat. Sepanjang masih dalam gagasan, cita-cita, diskusi, it’s oke. Lain halnya kalau sudah mengorganisasikan orang untuk bergerak, mengumpulkan dan menggunakan senjata, kemudian mengganggu ketertiban dan keamanan umum, itu sudah menjadi pelanggaran serius dan memang harus dihentikan.
Penurunan jumlah pengikut tersebut, membuat NII menggunakan cara lain. Mereka memberikan tambahan ancaman. Kalau dulu orang-orang yang keluar dari NII hanya diejek dan dikata-katai sebagai murtad, kafir, zalim, kambing, atau yang lainnya, belakangan meningkat dengan ditambah ancaman penganiayaan dan pemukulan. Hal tersebut dilakukan karena cap-cap murtad, kafir, dan zalim sudah tidak efektif untuk mempertahankan pengikut tetap berada dalam kelompoknya. Ancaman penganiayaan dan pemukulan diharapkan menjadi pagar agar tidak ada anggota yang kabur dari dalam kelompok.
Beberapa orang yang telah berusaha keluar dari jeratan NII aneh itu mengaku sering dikejar-kejar, bahkan ditunggui lengahnya sampai di rumahnya sendiri. Oleh sebab itu, di antara mereka ada yang meminta perlindungan di pesantren-pesantren dari kejaran orang-orang yang dulunya se-ikhwan atau se-akhwat itu. Pesantren Daarut Tauhid yang dipimpin Aa Gym pernah menjadi tempat perlindungan orang-orang yang kabur dari NII tersebut.
Akan tetapi, lain halnya dengan para pemberani. Ketika banyak orang yang lari kabur takut dianiaya, dipukuli, para pemberani malah petantang-petenteng menantang. Ada pengakuan dari seorang mantan anggota NII yang kemudian menjadi jamaah Laskar Jihad. Dia sudah kesal dengan NII karena menganggu kuliahnya dan mengganggu kuliah kakaknya sehingga gagal studi. Ketika keluar dari NII, orang-orang NII masih terus memburunya, mengajaknya berdebat, melecehkannya, bahkan ada kecenderungan berlaku lebih kasar. Karena sudah memiliki kelompok baru, yaitu Laskar Jihad yang sempat bertarung di Poso mempertahankan NKRI, ia menjadi sangat berani. Ia menantang orang-orang NII yang terus memburunya untuk bersama-sama mempersenjatai diri, kemudian berangkat sama-sama ke Poso. Ia ingin membuktikan siapa sebenarnya yang lebih hebat jihad-nya, dirinya ataukah orang-orang itu. Berdasarkan pengakuannya, orang-orang NII mundur teratur dan tidak lagi mengganggunya sampai kini. Ia sahabat dekat saya sejak kecil, bahkan lebih mirip sebagai saudara.
Adapula pengakuan menyedihkan dari seorang keturunan NII asli. Saya sebut asli karena memang NII SM Kartosoewiryo yang diproklamasikan 7 Agustus 1949. Ketika ayahnya dalam keadaan sakit, sebelum meninggal, sempat berpesan kepadanya agar ikut bergabung dan berjuang bersama NII. Karena tidak tahu tentang NII, ia menanyakan lebih detail kepada ayahnya. Ayahnya pun memberikan ciri-ciri yang lebih detail tentang orang-orang NII yang sezaman dengannya. Beberapa tahun setelah kewafatan ayahnya, secara tak sengaja ada orang yang mengajaknya bergabung dengan NII saat ini. Ia pun dengan gembira mengikutinya. Akan tetapi, setelah beberapa lama dalam kelompok tersebut, ia merasa kecewa dan sedih karena orang-orang yang berada di dalam kelompok itu sama sekali berbeda jauh dengan ciri-ciri yang digambarkan almarhum ayahnya. Ia pun segera keluar dari NII itu dan bertekad akan terus mencari orang-orang yang ciri-cirinya sesuai dengan yang digambarkan ayahnya. Ketika saya diberi tahu ciri-ciri yang digambarkan ayahnya itu, saya lumayan terhenyak karena ciri-ciri itu adalah ciri-ciri seorang pejuang muslim sejati. Hal itu wajar karena ayahnya hidup berada dalam zaman Perundingan Renville sehingga tetap terus melindungi rakyat dari penjajahan Belanda dalam barisan DI/TII. Ketika Kartosoewiryo tertangkap, ayahnya menyatakan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Soal ia masih menyarankan anaknya untuk bergabung bersama NII karena melihat pemerintahan Orde Baru sangat tidak baik. Ia memang meninggal pada masa Orde Baru. Lain halnya jika ia masih hidup pada masa ini, saya yakin ia tidak akan pernah menyarankan anaknya untuk bersama NII karena situasinya sudah berbeda jauh, perjuangan memuliakan Islam dan kaum muslimin saat ini bisa dilakukan dengan berbagai cara yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pada masa ini semakin hari semakin menurun kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran dan ketulusan NII dalam memperjuangkan Islam. Oleh sebab itu, tampaknya argumen mereka tentang tidak diakuinya keislaman seseorang jika tidak dibaiat di hadapan pemimpinnya, sudah tidak lagi efektif untuk menambah jumlah pengikut. Demikian juga cap murtad, kafir, zalim, dan lain sebagainya sudah tidak lagi dipedulikan, bahkan mungkin ditertawakan orang. Ancaman pemukulan dan penganiayaan pun ternyata tidak mampu memagari orang-orang untuk kabur dari kelompoknya. Kesulitan-kesulitan dalam mengumpulkan pengikut dan tentunya dana, tampaknya mendorong kelompok-kelompok NII membuat cara baru, yaitu menculik, menghipnotis, dan brainwashing. Mereka tampaknya benar-benar sudah frustasi sehingga menggunakan cara-cara kotor dan sangat jahat itu. Tak pernah Muhammad Rasulullah saw melakukan itu dalam berdakwah meskipun mungkin saja memiliki kemampuan itu. Toh, ia dekat dengan Allah swt, apa susahnya meminta kepada Allah swt agar mengosongkan pikiran orang, lalu memenuhinya dengan materi dakwahnya? Tapi tidak, bukan? Itu tidak mungkin dilakukan karena Islam itu ajaran yang harus diikuti dengan sepenuhnya kesadaran dan keikhlasan. Penculikan, hipnotis, dan cuci otak itu bertentangan dengan kesadaran dan keikhlasan. Artinya, yang dilakukan mereka itu bertentangan dengan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Orang-orang itu hanya frustasi. Mereka tak tahu lagi cara apa yang harus dilakukan untuk menambah jumlah pengikut yang sekaligus menambah jumlah dana mereka.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, kita tidak perlu habis-habisan menyalahkan NII apalagi para pemuda yang sudah menjadi korbannya. Kita mestinya introspeksi diri. Berkembangnya kelompok-kelompok itu merupakan pula dari gambaran masyarakat yang mengalami krisis identitas kepemimpinan. Kita memang saat ini tidak memiliki pemimpin yang menjadi tujuan dan anutan semua orang. Pada dasarnya setiap orang itu membutuhkan hero, figur, yang dapat memenuhi harapan jiwanya. Ketika kepemimpinan yang ada saat ini tidak mampu memenuhi jiwa banyak orang, tak heran orang mencari pemimpinnya sendiri karena itu sudah alamiah, naluriah. Everybody searching for a hero, people need someone to look up to.
Lebih jauh lagi, selama kita masih menggunakan sistem politik demokrasi, kita tidak akan pernah memiliki pemimpin kuat yang kokoh tertanam di dalam hati rakyat. Hal itu disebabkan demokrasi hanya menghasilkan pemimpin yang rapuh serapuh demokrasi itu sendiri. Pemimpin yang lahir dari demokrasi adalah pemimpin yang diciptakan dari persaingan kekuasaan yang kerap terhirukpikuki money politics, kampanye dusta, janji palsu, black campaigne, aksi tipu-tipu, pengumpulan modal dari ngutang sana-ngutang sini, jual beli pemilihan, janji-janji bisnis, hutang budi pada tim sukses dan investor, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin bisa lahir pemimpin yang kokoh, kuat, dan berakar di hati rakyat jika prosesnya saja sudah penuh lumpur kekotoran?
No comments:
Post a Comment