oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak sekali ya orang yang
kalap soal Candi Borobudur ini. Mereka mati-matian ingin mematahkan hasil
penelitian Fahmi Basya. Sayangnya, mereka semua pasti gagal. Bisa jadi memang penelitian
Fahmi Basya memiliki kekurangan. Namanya juga penelitian, akan lebih
disempurnakan oleh para peneliti yang memiliki perhatian yang sama atau menjadi
dasar kajian bagi penelitian berikutnya atau menjadi bahan komparasi bagi
penelitian yang sedang dijalankan. Akan tetapi, tidak akan lari dari inti
isunya, yaitu Borobudur adalah peninggalan Sulaiman as. Apalagi, saya pernah
mengalami pengalaman batin di Borobudur dan mendapatkan banyak pengetahuan di
Borobudur. Saya tidak akan lari dari keyakinan saya karena saya menggunakan
akal, pikiran, perasaan, hati, dan kalbu.
Upaya
orang-orang untuk melemahkan hasil penelitian bahwa Borobudur adalah
peninggalan Sulaiman as sudah sampai pada tahap lucu bikin saya tertawa
terbahak-bahak. Apa saja mereka tulis. Apa saja mereka omongin. Hal-hal yang
nggak jelas pun digunakan untuk membantah hasil penelitian itu. Bahkan, mereka
pun memutarbalikan fakta, mencoba menipu umat Islam dan seluruh manusia. Yang
penting mereka “menang”. Benar dan salah bukan menjadi ukuran. Mereka hanya
ingin menang dan bukan ingin “benar”.
Setiap ada waktu mencermati tulisan mereka, saya memiliki
banyak dugaan tentang mereka. Orang-orang itu memang terganggu dengan
penelitian Fahmi Basya. Mereka takut sekali dengan kebangkitan Islam. Mereka
khawatir sekali Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Mereka takut sekali
kehilangan jaringan bisnis. Mereka malu telah mempercayai hal yang salah.
Sebenarnya, tak perlu malu kalau telah melakukan
kesalahan. Akui saja, lalu perbaiki dengan pemahaman yang benar. Salah itu
“boleh”, manusiawi. Yang rusak itu adalah mempertahankan kesalahan sebagai
sebuah kebenaran.
Orang-orang Islam yang membantah hasil penelitian itu
adalah orang-orang yang terganggu bisnisnya. Mereka kemungkinan pemilik travel
perjalanan haji atau umrah yang dilengkapi fasilitas piknik di Timur Tengah,
termasuk yang memiliki akses ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mereka khawatir
penelitian itu membuat enggan jamaah untuk ikut travel mereka. Oleh sebab itu,
mereka terus-terusan membantah untuk kepentingan bisnis mereka. Rendah sekali
mereka. Biasanya, travel yang mereka miliki itu travel bodong tidak berizin
yang kerap menipu jamaahnya. Penipu memang begitu. Sudah menipu konsumennya,
nggak mau menerima kebenaran lagi. Kacau.
Yang membantah hasil penelitian itu pun banyak yang dari
luar negeri. Orang-orang asing juga ikut membantah. Hal itu bisa dilihat dari
bahasa yang mereka gunakan adalah bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar
serta bukan pula bahasa Indonesia yang digunakan masyarakat Indonesia
sehari-hari. Dari kalimat-kalimatnya, tampak sekali mereka menggunakan
fasilitas google translate. Kualitas
bantahan mereka nggak berbeda dengan bantahan yang berasal dari dalam negeri,
kualitas odong-odong.
Kalau bantahan dari nonmuslim, tidak perlu dibahas lagi.
Ada penelitian atau tidak ada penelitian, mereka tetap begitu. Sama sekali
tidak aneh.
Yang membuat saya tergelitik adalah ada yang mengaku
seorang arkeolog yang melakukan bantahan terhadap hasil penelitian Fahmi Basya.
Bantahannya sangat lucu dan merendahkan harga diri arkeolog seluruh dunia.
Fahmi Basya mencoba membuktikan kebenaran teorinya bahwa pemindahan arupadatu
dari kawasan Candi Boko ke Borobudur sekarang mengakibatkan adanya gesekan dengan
alam pada saat pemindahan yang menghasilkan bahwa garis-garis pahatan yang ada
di Borobudur lebih samar, tidak tegas seperti pahatan-pahatan reruntuhannya di
Candi Ratu Boko. Orang yang mengaku arkeolog itu membantahnya bahwa samarnya
ukiran yang ada di Borobudur diakibatkan oleh abrasi karena ditemukan lebih lama
dibandingkan Candi Boko, bukan oleh proses pemindahan. Adapun guratan pahatan
dan ukiran pada reruntuhan Ratu Boko lebih tegas karena ditemukannya lebih
baru. Artinya, Borobudur ditemukan lebih dulu, kemudian mengalami proses
abrasi. Adapun Candi Boko ditemukan kemudian sehingga belum mengalami abrasi
sebagaimana yang ada di Candi Borobudur.
Hebat sekali Sang Arkeolog itu melawak. Dia harusnya
ikutan stand up comedy.
Dia bilang Borobudur ditemukan lebih dulu, lalu Candi
Boko. Itu sudah sangat jelas salahnya. Dia memutarbalikan fakta. Yang benar
adalah Candi Boko dulu ditemukan, kemudian Borobudur. Candi Boko itu ditemukan
pada 1790, adapun Candi Borobudur ditemukan kemudian pada 1814. Seharusnya,
yang mengalami proses abrasi lebih cepat adalah Candi Boko, bukan Borobudur.
Paham ya?
Kemudian, seharusnya, logika mengatakan bahwa abrasi yang
dialami Candi Boko menimbulkan kerusakan yang sangat parah karena kawasan candi
ini ditemukan berupa reruntuhan, bukan terpendam di dalam tanah. Berbeda dengan
Borobudur yang ditemukan dalam keadaan tertutupi lumpur. Artinya, seharusnya
yang guratan ukirannya samar atau tidak jelas adalah reruntuhan Candi Boko
karena ditemukan tergeletak berupa reruntuhan. Adapun Borobudur seharusnya
lebih tegas karena ditemukan lebih baru dibandingkan Candi Boko dan berada
terpendam dalam tanah. Akan tetapi, kenyataannya adalah sebaliknya. Guratan
yang di Candi Borobudur lebih samar dan guratan di Candi Boko lebih tegas.
Jadi, teori Sang Arkeolog soal abrasi itu sangat tidak mungkin dan tidak masuk
akal. Alasan abrasi adalah alasan yang dicari-cari dan dipaksakan. Bukanlah
abrasi yang membuat perbedaan guratan itu, melainkan adanya gesekan dengan alam
saat pemindahan dalam kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya.
So, bagi mereka
yang masih mau membantah, ada pesan dari Allah swt.
“Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan
yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) mengulangi’.” (QS
As Saba, 34 : 49)
Apabila kebenaran telah datang, kebatilan itu tidak akan
mampu memulai lagi kebatilannya dan tidak akan mengulangi lagi kebatilannya.
Kekuatan kebatilan telah lenyap dan sia-sia untuk dipertahankan. Hal itu
sebagaimana yang pernah saya tulis soal buraq.
Ketika kebenaran tentang buraq sudah datang, kebatilan tentang buraq pun
hilang musnah dan tidak akan pernah kembali lagi.
Jadi, soal Borobudur peninggalan agama Budha urang teundeun di handeuleum hieum sahieum-hieumna. Urang tunda di hanjuang siang. Mangsa datang teu kudu disampeur deui da geus salah bari ilang sirna tanpa karana.
No comments:
Post a Comment