Monday 28 March 2016

Arkeolog Ngaco, Lucu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak sekali ya orang yang kalap soal Candi Borobudur ini. Mereka mati-matian ingin mematahkan hasil penelitian Fahmi Basya. Sayangnya, mereka semua pasti gagal. Bisa jadi memang penelitian Fahmi Basya memiliki kekurangan. Namanya juga penelitian, akan lebih disempurnakan oleh para peneliti yang memiliki perhatian yang sama atau menjadi dasar kajian bagi penelitian berikutnya atau menjadi bahan komparasi bagi penelitian yang sedang dijalankan. Akan tetapi, tidak akan lari dari inti isunya, yaitu Borobudur adalah peninggalan Sulaiman as. Apalagi, saya pernah mengalami pengalaman batin di Borobudur dan mendapatkan banyak pengetahuan di Borobudur. Saya tidak akan lari dari keyakinan saya karena saya menggunakan akal, pikiran, perasaan, hati, dan kalbu.

Upaya orang-orang untuk melemahkan hasil penelitian bahwa Borobudur adalah peninggalan Sulaiman as sudah sampai pada tahap lucu bikin saya tertawa terbahak-bahak. Apa saja mereka tulis. Apa saja mereka omongin. Hal-hal yang nggak jelas pun digunakan untuk membantah hasil penelitian itu. Bahkan, mereka pun memutarbalikan fakta, mencoba menipu umat Islam dan seluruh manusia. Yang penting mereka “menang”. Benar dan salah bukan menjadi ukuran. Mereka hanya ingin menang dan bukan ingin “benar”.

            Setiap ada waktu mencermati tulisan mereka, saya memiliki banyak dugaan tentang mereka. Orang-orang itu memang terganggu dengan penelitian Fahmi Basya. Mereka takut sekali dengan kebangkitan Islam. Mereka khawatir sekali Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Mereka takut sekali kehilangan jaringan bisnis. Mereka malu telah mempercayai hal yang salah.

            Sebenarnya, tak perlu malu kalau telah melakukan kesalahan. Akui saja, lalu perbaiki dengan pemahaman yang benar. Salah itu “boleh”, manusiawi. Yang rusak itu adalah mempertahankan kesalahan sebagai sebuah kebenaran.

            Orang-orang Islam yang membantah hasil penelitian itu adalah orang-orang yang terganggu bisnisnya. Mereka kemungkinan pemilik travel perjalanan haji atau umrah yang dilengkapi fasilitas piknik di Timur Tengah, termasuk yang memiliki akses ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mereka khawatir penelitian itu membuat enggan jamaah untuk ikut travel mereka. Oleh sebab itu, mereka terus-terusan membantah untuk kepentingan bisnis mereka. Rendah sekali mereka. Biasanya, travel yang mereka miliki itu travel bodong tidak berizin yang kerap menipu jamaahnya. Penipu memang begitu. Sudah menipu konsumennya, nggak mau menerima kebenaran lagi. Kacau.

            Yang membantah hasil penelitian itu pun banyak yang dari luar negeri. Orang-orang asing juga ikut membantah. Hal itu bisa dilihat dari bahasa yang mereka gunakan adalah bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bukan pula bahasa Indonesia yang digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari. Dari kalimat-kalimatnya, tampak sekali mereka menggunakan fasilitas google translate. Kualitas bantahan mereka nggak berbeda dengan bantahan yang berasal dari dalam negeri, kualitas odong-odong.

            Kalau bantahan dari nonmuslim, tidak perlu dibahas lagi. Ada penelitian atau tidak ada penelitian, mereka tetap begitu. Sama sekali tidak aneh.

            Yang membuat saya tergelitik adalah ada yang mengaku seorang arkeolog yang melakukan bantahan terhadap hasil penelitian Fahmi Basya. Bantahannya sangat lucu dan merendahkan harga diri arkeolog seluruh dunia. Fahmi Basya mencoba membuktikan kebenaran teorinya bahwa pemindahan arupadatu dari kawasan Candi Boko ke Borobudur sekarang mengakibatkan adanya gesekan dengan alam pada saat pemindahan yang menghasilkan bahwa garis-garis pahatan yang ada di Borobudur lebih samar, tidak tegas seperti pahatan-pahatan reruntuhannya di Candi Ratu Boko. Orang yang mengaku arkeolog itu membantahnya bahwa samarnya ukiran yang ada di Borobudur diakibatkan oleh abrasi karena ditemukan lebih lama dibandingkan Candi Boko, bukan oleh proses pemindahan. Adapun guratan pahatan dan ukiran pada reruntuhan Ratu Boko lebih tegas karena ditemukannya lebih baru. Artinya, Borobudur ditemukan lebih dulu, kemudian mengalami proses abrasi. Adapun Candi Boko ditemukan kemudian sehingga belum mengalami abrasi sebagaimana yang ada di Candi Borobudur.

            Hebat sekali Sang Arkeolog itu melawak. Dia harusnya ikutan stand up comedy.

            Dia bilang Borobudur ditemukan lebih dulu, lalu Candi Boko. Itu sudah sangat jelas salahnya. Dia memutarbalikan fakta. Yang benar adalah Candi Boko dulu ditemukan, kemudian Borobudur. Candi Boko itu ditemukan pada 1790, adapun Candi Borobudur ditemukan kemudian pada 1814. Seharusnya, yang mengalami proses abrasi lebih cepat adalah Candi Boko, bukan Borobudur.

            Paham ya?

            Kemudian, seharusnya, logika mengatakan bahwa abrasi yang dialami Candi Boko menimbulkan kerusakan yang sangat parah karena kawasan candi ini ditemukan berupa reruntuhan, bukan terpendam di dalam tanah. Berbeda dengan Borobudur yang ditemukan dalam keadaan tertutupi lumpur. Artinya, seharusnya yang guratan ukirannya samar atau tidak jelas adalah reruntuhan Candi Boko karena ditemukan tergeletak berupa reruntuhan. Adapun Borobudur seharusnya lebih tegas karena ditemukan lebih baru dibandingkan Candi Boko dan berada terpendam dalam tanah. Akan tetapi, kenyataannya adalah sebaliknya. Guratan yang di Candi Borobudur lebih samar dan guratan di Candi Boko lebih tegas. Jadi, teori Sang Arkeolog soal abrasi itu sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal. Alasan abrasi adalah alasan yang dicari-cari dan dipaksakan. Bukanlah abrasi yang membuat perbedaan guratan itu, melainkan adanya gesekan dengan alam saat pemindahan dalam kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya.

            So, bagi mereka yang masih mau membantah, ada pesan dari Allah swt.

“Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) mengulangi’.” (QS As Saba, 34 : 49)

            Apabila kebenaran telah datang, kebatilan itu tidak akan mampu memulai lagi kebatilannya dan tidak akan mengulangi lagi kebatilannya. Kekuatan kebatilan telah lenyap dan sia-sia untuk dipertahankan. Hal itu sebagaimana yang pernah saya tulis soal buraq. Ketika kebenaran tentang buraq sudah datang, kebatilan tentang buraq pun hilang musnah dan tidak akan pernah kembali lagi.

            Jadi, soal Borobudur peninggalan agama Budha urang teundeun di handeuleum hieum sahieum-hieumna. Urang tunda di hanjuang siang. Mangsa datang teu kudu disampeur deui da geus salah bari ilang sirna tanpa karana.                    

No comments:

Post a Comment