oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Kedua
hasil penelitian yang sangat mendiskreditkan Indonesia itu adalah mengenai
pelacuran dan korupsi. Banyak orang bahkan ahli, baik asing maupun dalam negeri
yang mengatakan bahwa pelacuran dan korupsi memiliki sejarah yang panjang di
Indonesia. Sesungguhnya, bagi saya, semua hasil penelitian itu hanya berupa
tuduhan atau “pemaksaan” sejarah yang sebenarnya tidak ada. Banyak hal yang harus
digugat dalam penelitian mereka.
Saya
sendiri berpendapat bahwa pelacuran dan korupsi itu adalah budaya yang
dikenalkan oleh bangsa asing pada Indonesia, terutama oleh bangsa penjajah.
Pendapat saya itu tidak akan pernah berubah sebelum ada bukti yang kuat dan
akurat tak terbantahkan tentang hal itu. Mari kita lihat satu per satu.
Pelacuran
Pelacur
memiliki arti orang yang menyerahkan diri kepada umum sebagai pemuas seks
dengan maksud mendapatkan imbalan, baik materi maupun uang. Kata kuncinya
adalah menyerahkan diri kepada umum.
Dalam beberapa tulisan mengenai
sejarah pelacuran di Indonesia, tampaknya ada “pemaksaan” keyakinan (brainwashed) bahwa pelacuran itu dimulai
dalam perilaku pemberian hadiah berupa perempuan dari seorang pejabat kepada
pejabat di atasnya. Hal itu memang terjadi dalam masa kerajaan-kerajaan di
Indonesia.
Akan tetapi, saya tidak bisa paham mengapa para peneliti
itu mengatakan bahwa perempuan-perempuan itu adalah pelacur atau cikal bakal
para pelacur masa kini?
Benar memang mereka dihadiahkan. Benar mereka merupakan
upeti. Akan tetapi, mereka bukanlah pelacur. Mereka adalah perempuan-perempuan
yang hanya menyerahkan dirinya kepada satu orang, yaitu raja atau penguasa
lainnya. Mereka sama sekali tidak menyerahkan dirinya kepada umum untuk mendapatkan
imbalan uang. Bahkan, di antara mereka banyak yang meningkat statusnya apabila
telah melahirkan anak-anak raja.
Apakah pelacur akan meningkat statusnya setelah
melahirkan anak dari pria hidung belang?
Tidak!
Bahkan mungkin proses kelahiran itu akan dihambat dengan
upaya ilegal aborsi.
Sangatlah tidak pantas mengatakan bahwa perempuan yang
dihadiahkan kepada raja adalah pelacur atau cikal bakal pelacur-pelacur
Indonesia. Dari rahim perempuan-perempuan itu sangat sering lahir anak yang
justru menjadi orang-orang hebat dan tercatat dalam sejarah Indonesia. Ibu
mereka bukanlah pelacur.
Pelacuran justru mulai merebak
ketika Indonesia menderita kemiskinan akibat dari penjajahan. Upaya melepaskan
diri dari kemiskinan itu salah satunya adalah menjadi pelacur. Para perempuan
miskin itu terpaksa melacurkan diri pada serdadu-serdadu penjajah,
pedagang-pedagang di pelabuhan, pegawai-pegawai yang stres, dan lain
sebagainya.
Memang ada sih yang mirip bahwa
pelacuran sudah ada di Indonesia sejak lama, tetapi kita harus melihat bahwa
hal itu terjadi setelah adanya interaksi dengan bangsa asing, yaitu India.
Misalnya, di Bali. Seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang
kuat dari keluarga secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan
tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, dia akan dikirim ke
luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan
kepada raja secara teratur. Akan tetapi, hal itu bukanlah bisa disebutkan
pelacuran karena perempuan itu sedang berada dalam kondisi “dipaksa” oleh raja,
bukan atas kemauan sendiri. Saya lebih suka menyebutnya sebagai penindasan terhadap perempuan. Hal yang
harus diingat pula adalah bahwa perilaku itu terjadi bukan berasal budaya atau
kebiasaan asli orang Indonesia, melainkan setelah terjadi interaksi dengan
budaya asing, yaitu India. Hal itu bisa dilihat dari adanya kasta-kasta yang
sama sekali tidak dikenal di dalam ajaran setiap agama lokal atau agama asli
Indonesia yang jumlahnya ratusan itu.
Pelacuran dimulai ketika terjadi
interaksi secara negatif dengan bangsa asing. Pelacuran bukanlah perangai asli
bangsa Indonesia. Pelacuran terjadi karena paksaan akibat himpitan ekonomi pada
masa penjajahan.
Penjajah memang brengsek!
Korupsi
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan korupsi sebagai penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaan) dan sebagainya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan orang lain.
Korupsi berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak,
busuk. Suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok
(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
Perilaku korup ini selalu dilakukan diam-diam dan
merugikan institusi yang pelaku korup berada di dalamnya. Kerugiannya bisa berupa
kerusakan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Tidak ada catatan sejarah yang meyakinkan bahwa korupsi
merupakan budaya asli Indonesia dan berasal dari watak asli bangsa Indonesia.
Korupsi timbul dan tumbuh justru setelah terjadi interaksi dengan bangsa asing,
terutama penjajah.
Banyak peneliti, baik dalam negeri maupun asing yang
berupaya mencari jejak-jejak sejarah korupsi di Indonesia. Akan tetapi,
semuanya hanya mendapatkan data-data lemah tanpa bukti dan sangat sulit
dipercaya. Salah seorang profesor asing yang dikutip dalam buku Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi susunan
S.H. Alatas pernah menuduh bahwa
benih-benih budaya korupsi di Indonesia dimulai dalam budaya pemberian hadiah
pada pemimpinnya ketika panen padi (pesta panen). Semua masyarakat memberikan
hadiah berupa hasil panen kepada pemimpinnya dalam suatu acara yang besar
dihadiri oleh orang banyak.
Bagi saya, itu bukanlah benih-benih korupsi. Hal itu
disebabkan pemberian hadiah itu dilaksanakan secara terbuka bersama masyarakat
umum sebagai ungkapan terima kasih kepada pemimpinnya dan tidak dimaksudkan
untuk mengubah kebijakan Sang Pemimpin untuk kepentingan pribadi. Justru budaya
itu menumbuhkan kebersamaan yang tinggi dan sikap gotong royong yang positif.
Berbeda dengan korupsi yang selalu dilakukan secara diam-diam, rahasia, dan
dimaksudkan untuk mengubah kebijakan agar menguntungkan pribadi dan
kelompoknya.
Paham?
Adapula penelitian yang katanya dilakukan oleh Lipi, yang
terkesan “memaksa” bahwa budaya korupsi di Indonesia sudah terjadi sejak zaman
dulu, yaitu zaman kerajaan-kerajaan. Mereka mengatakan bahwa perang-perang yang
terjadi antara kerajaan yang satu dengan yang lainnya berasal dari perilaku
korup. Demikian pula saling rebut kekuasaan dalam suatu kerajaan disebut
merupakan perilaku korup. Pendapat ini sungguh aneh karena tidak ada bukti
penggelapan uang atau penyuapan dalam peristiwa-peristiwa itu. Perang dan
korupsi adalah dua hal yang berbeda. Perang ya perang. Korupsi ya korupsi.
Kalaupun perang adalah untuk korupsi, itu adalah hal yang lebih aneh.
Pengambilan harta sebuah negara melalui perang, bukanlah korupsi, melainkan
lebih tepat disebut upaya perampokan
atau penaklukan.
Ngerti?
Adalagi pendapat tanpa bukti yang disampaikan oleh
jebolan Antropologi Korupsi yang kuliahnya di luar negeri. Kata dia korupsi di
Indonesia disebabkan karena budaya kerajaan dan kekerabatan para bangsawan yang
saling berbagi di lingkungan keluarga. Hal itu terus terjadi berkembang sampai
hari ini.
Berpendapat sih boleh, tetapi harus ada data dan fakta.
Keluarga kerajaan mana sih yang melakukan hal seperti
itu?
Harusnya Sang Ahli Antropologi Korupsi itu menjelaskan
secara spesifik.
Tahun berapa kejadian korup berlangsung dalam kerajaan
itu?
Angka tahun itu harus jelas. Jadi, bisa dilihat bahwa
kalau memang benar terjadi, bisa tampak jelas apakah pada kurun waktu itu sudah
terjadi interaksi dengan bangsa asing penjajah atau belum. Kalau sudah terjadi
interaksi dengan bangsa asing, saya setuju karena memang sudah ada pengaruh
negatif. Kalau belum ada interaksi dengan pihak asing, saya sangat
meragukannya.
Korupsi mulai tumbuh justru setelah terjadi interaksi
dengan bangsa penjajah, terutama Belanda. Pendapatan VOC yang sangat besar
mengakibatkan banyak terjadinya korupsi yang sekaligus menimbulkan banyak
hutang. Akhirnya, VOC bangkrut. Perilaku bangsa asing dalam tubuh VOC inilah
yang kemudian diikuti oleh para pegawai dan pejabat pribumi yang kemudian
mewabah sampai hari ini. Inilah catatan sejarah yang banyak buktinya.
Dengan demikian, kehadiran penjajah asing itu telah
memperkenalkan perilaku korup yang sangat sulit diatasi sampai hari ini. Korupsi bukanlah budaya asli Indonesia.
Dengan demikian, jangan gemar berbangga-bangga meniru
perilaku negatif bangsa asing. Bisa rusak otak, rusak pikiran, rusak hati, dan
rusak moral.
No comments:
Post a Comment