Friday, 18 March 2016

Dua Hasil Penelitian yang Mendiskreditkan Indonesia

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kedua hasil penelitian yang sangat mendiskreditkan Indonesia itu adalah mengenai pelacuran dan korupsi. Banyak orang bahkan ahli, baik asing maupun dalam negeri yang mengatakan bahwa pelacuran dan korupsi memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Sesungguhnya, bagi saya, semua hasil penelitian itu hanya berupa tuduhan atau “pemaksaan” sejarah yang sebenarnya tidak ada. Banyak hal yang harus digugat dalam penelitian mereka.

Saya sendiri berpendapat bahwa pelacuran dan korupsi itu adalah budaya yang dikenalkan oleh bangsa asing pada Indonesia, terutama oleh bangsa penjajah. Pendapat saya itu tidak akan pernah berubah sebelum ada bukti yang kuat dan akurat tak terbantahkan tentang hal itu. Mari kita lihat satu per satu.


Pelacuran

Pelacur memiliki arti orang yang menyerahkan diri kepada umum sebagai pemuas seks dengan maksud mendapatkan imbalan, baik materi maupun uang. Kata kuncinya adalah menyerahkan diri kepada umum.

            Dalam beberapa tulisan mengenai sejarah pelacuran di Indonesia, tampaknya ada “pemaksaan” keyakinan (brainwashed) bahwa pelacuran itu dimulai dalam perilaku pemberian hadiah berupa perempuan dari seorang pejabat kepada pejabat di atasnya. Hal itu memang terjadi dalam masa kerajaan-kerajaan di Indonesia.

Akan tetapi, saya tidak bisa paham mengapa para peneliti itu mengatakan bahwa perempuan-perempuan itu adalah pelacur atau cikal bakal para pelacur masa kini?

Benar memang mereka dihadiahkan. Benar mereka merupakan upeti. Akan tetapi, mereka bukanlah pelacur. Mereka adalah perempuan-perempuan yang hanya menyerahkan dirinya kepada satu orang, yaitu raja atau penguasa lainnya. Mereka sama sekali tidak menyerahkan dirinya kepada umum untuk mendapatkan imbalan uang. Bahkan, di antara mereka banyak yang meningkat statusnya apabila telah melahirkan anak-anak raja.

Apakah pelacur akan meningkat statusnya setelah melahirkan anak dari pria hidung belang?

Tidak!

Bahkan mungkin proses kelahiran itu akan dihambat dengan upaya ilegal aborsi.

Sangatlah tidak pantas mengatakan bahwa perempuan yang dihadiahkan kepada raja adalah pelacur atau cikal bakal pelacur-pelacur Indonesia. Dari rahim perempuan-perempuan itu sangat sering lahir anak yang justru menjadi orang-orang hebat dan tercatat dalam sejarah Indonesia. Ibu mereka bukanlah pelacur.

            Pelacuran justru mulai merebak ketika Indonesia menderita kemiskinan akibat dari penjajahan. Upaya melepaskan diri dari kemiskinan itu salah satunya adalah menjadi pelacur. Para perempuan miskin itu terpaksa melacurkan diri pada serdadu-serdadu penjajah, pedagang-pedagang di pelabuhan, pegawai-pegawai yang stres, dan lain sebagainya.

            Memang ada sih yang mirip bahwa pelacuran sudah ada di Indonesia sejak lama, tetapi kita harus melihat bahwa hal itu terjadi setelah adanya interaksi dengan bangsa asing, yaitu India. Misalnya, di Bali. Seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur. Akan tetapi, hal itu bukanlah bisa disebutkan pelacuran karena perempuan itu sedang berada dalam kondisi “dipaksa” oleh raja, bukan atas kemauan sendiri. Saya lebih suka menyebutnya sebagai penindasan terhadap perempuan. Hal yang harus diingat pula adalah bahwa perilaku itu terjadi bukan berasal budaya atau kebiasaan asli orang Indonesia, melainkan setelah terjadi interaksi dengan budaya asing, yaitu India. Hal itu bisa dilihat dari adanya kasta-kasta yang sama sekali tidak dikenal di dalam ajaran setiap agama lokal atau agama asli Indonesia yang jumlahnya ratusan itu.

            Pelacuran dimulai ketika terjadi interaksi secara negatif dengan bangsa asing. Pelacuran bukanlah perangai asli bangsa Indonesia. Pelacuran terjadi karena paksaan akibat himpitan ekonomi pada masa penjajahan.

            Penjajah memang brengsek!


Korupsi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain.

Korupsi berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak, busuk. Suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Perilaku korup ini selalu dilakukan diam-diam dan merugikan institusi yang pelaku korup berada di dalamnya. Kerugiannya bisa berupa kerusakan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial.

Tidak ada catatan sejarah yang meyakinkan bahwa korupsi merupakan budaya asli Indonesia dan berasal dari watak asli bangsa Indonesia. Korupsi timbul dan tumbuh justru setelah terjadi interaksi dengan bangsa asing, terutama penjajah.

Banyak peneliti, baik dalam negeri maupun asing yang berupaya mencari jejak-jejak sejarah korupsi di Indonesia. Akan tetapi, semuanya hanya mendapatkan data-data lemah tanpa bukti dan sangat sulit dipercaya. Salah seorang profesor asing yang dikutip dalam buku Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi susunan S.H. Alatas pernah menuduh bahwa benih-benih budaya korupsi di Indonesia dimulai dalam budaya pemberian hadiah pada pemimpinnya ketika panen padi (pesta panen). Semua masyarakat memberikan hadiah berupa hasil panen kepada pemimpinnya dalam suatu acara yang besar dihadiri oleh orang banyak.

Bagi saya, itu bukanlah benih-benih korupsi. Hal itu disebabkan pemberian hadiah itu dilaksanakan secara terbuka bersama masyarakat umum sebagai ungkapan terima kasih kepada pemimpinnya dan tidak dimaksudkan untuk mengubah kebijakan Sang Pemimpin untuk kepentingan pribadi. Justru budaya itu menumbuhkan kebersamaan yang tinggi dan sikap gotong royong yang positif. Berbeda dengan korupsi yang selalu dilakukan secara diam-diam, rahasia, dan dimaksudkan untuk mengubah kebijakan agar menguntungkan pribadi dan kelompoknya.

Paham?

Adapula penelitian yang katanya dilakukan oleh Lipi, yang terkesan “memaksa” bahwa budaya korupsi di Indonesia sudah terjadi sejak zaman dulu, yaitu zaman kerajaan-kerajaan. Mereka mengatakan bahwa perang-perang yang terjadi antara kerajaan yang satu dengan yang lainnya berasal dari perilaku korup. Demikian pula saling rebut kekuasaan dalam suatu kerajaan disebut merupakan perilaku korup. Pendapat ini sungguh aneh karena tidak ada bukti penggelapan uang atau penyuapan dalam peristiwa-peristiwa itu. Perang dan korupsi adalah dua hal yang berbeda. Perang ya perang. Korupsi ya korupsi. Kalaupun perang adalah untuk korupsi, itu adalah hal yang lebih aneh. Pengambilan harta sebuah negara melalui perang, bukanlah korupsi, melainkan lebih tepat disebut upaya perampokan atau penaklukan.

Ngerti?

Adalagi pendapat tanpa bukti yang disampaikan oleh jebolan Antropologi Korupsi yang kuliahnya di luar negeri. Kata dia korupsi di Indonesia disebabkan karena budaya kerajaan dan kekerabatan para bangsawan yang saling berbagi di lingkungan keluarga. Hal itu terus terjadi berkembang sampai hari ini.

Berpendapat sih boleh, tetapi harus ada data dan fakta.

Keluarga kerajaan mana sih yang melakukan hal seperti itu?

Harusnya Sang Ahli Antropologi Korupsi itu menjelaskan secara spesifik.

Tahun berapa kejadian korup berlangsung dalam kerajaan itu?

Angka tahun itu harus jelas. Jadi, bisa dilihat bahwa kalau memang benar terjadi, bisa tampak jelas apakah pada kurun waktu itu sudah terjadi interaksi dengan bangsa asing penjajah atau belum. Kalau sudah terjadi interaksi dengan bangsa asing, saya setuju karena memang sudah ada pengaruh negatif. Kalau belum ada interaksi dengan pihak asing, saya sangat meragukannya.

Korupsi mulai tumbuh justru setelah terjadi interaksi dengan bangsa penjajah, terutama Belanda. Pendapatan VOC yang sangat besar mengakibatkan banyak terjadinya korupsi yang sekaligus menimbulkan banyak hutang. Akhirnya, VOC bangkrut. Perilaku bangsa asing dalam tubuh VOC inilah yang kemudian diikuti oleh para pegawai dan pejabat pribumi yang kemudian mewabah sampai hari ini. Inilah catatan sejarah yang banyak buktinya.

Dengan demikian, kehadiran penjajah asing itu telah memperkenalkan perilaku korup yang sangat sulit diatasi sampai hari ini.  Korupsi bukanlah budaya asli Indonesia.


Dengan demikian, jangan gemar berbangga-bangga meniru perilaku negatif bangsa asing. Bisa rusak otak, rusak pikiran, rusak hati, dan rusak moral.

No comments:

Post a Comment