Tuesday, 15 March 2016

Tak Ada Toleransi dalam Ilmu Pengetahuan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Toleransi sama sekali tidak diperbolehkan dalam dunia pengetahuan. Haram hukumnya. Kalau toleransi ada dalam dunia ilmu pengetahuan, sama saja dengan menghambat ilmu pengetahuan dan membodohi manusia. Dalam pengetahuan itu sama sekali tak ada toleransi. Dalam dunia pengetahuan hanya ada benar dan salah. Sama sekali tidak mempedulikan perasaan orang lain, harga diri sebuah suku, ras, atau kehormatan sebuah agama. Pengetahuan hanya berbicara tentang salah dan benar. Kalau ada yang tersinggung dengan pengetahuan, itu risiko sendiri karena berpegang pada keyakinan yang salah.

            Di dalam dunia pengetahuan, kondisi “bodoh” itu adalah wajar karena merupakan suatu kondisi seseorang atau sekelompok orang yang belum mengetahui “hal yang sebenarnya” atau memang lemah dalam bidang yang tidak dikuasainya. Saya tidak akan tersinggung jika disebut “bodoh” soal otomotif karena memang tidak tahu apa-apa. Di samping itu, dalam lingkungan pengetahuan melakukan “kesalahan” itu “boleh” karena dengan melakukan hal yang salah, kita akan mengetahui “kebenaran”. Yang sangat diharamkan dalam pengetahuan adalah “berbohong” karena dengan berbohong, semuanya akan jadi rusak dan kacau. Oleh sebab itu, siapa pun yang mengajarkan untuk melakukan kebohongan adalah salah besar. Jika ada “orang berilmu” atau “aliran keyakinan” atau “agama” atau “kelompok” yang mengajarkan “kebohongan”, itu adalah para pengikut Iblis Laknatullah. Ingat, Dajjal itu bermakna “Raja Bohong”. Siapa pun yang menganggap benar perilaku “bohong”, adalah pengikutnya Dajjal.

            Dunia sudah mengalami hal-hal besar dalam ilmu pengetahuan, termasuk perjuangannya dalam mempertahankan kebenaran. Semua pasti tahu ketika Gereja Katolik berpendapat bahwa “Bumi adalah datar dan di akhir Bumi adalah neraka”, semua orang di Barat setuju dengan hal itu. Apalagi dikuatkan dengan pendapat filsuf Barat kenamaan, seperti, Plato dan Aristoteles.

            Siapa yang berani menyangkal pendapat itu ketika gereja memiliki pengaruh sangat kuat dan dua filsuf barat besar mendukungnya?

            Tidak ada!

            Akan tetapi, kebenaran tetap berjalan, terus maju, dan bertahan hingga menang. Galileo Galilei berpendapat berbeda dengan gereja dan dua filsuf itu. Menurutnya, Bumi adalah bulat. Demikian pula Copernicus mengatakan hal yang sama. Keduanya berkata berdasarkan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas data dan fakta yang mereka miliki. Akibatnya, gereja dan para pendukungnya marah hingga menghukum Galileo Galilei sampai matinya.

            Kini kita tahu siapa yang benar, bukan?

            Gereja Katolik salah, Plato salah, Aristoteles salah. Galileo Galilei dan Copernicus yang benar.

            Begitulah ilmu pengetahuan, tak ada toleransi dengan agama, keyakinan, dan kehormatan. Kalau benar, ya benar. Salah ya salah. Itu saja.

            Yang menang siapa?

            Yang menang adalah pengetahuan yang benar.

            Di Indonesia ini banyak sekali yang mendukung hasil penelitian K.H. Fahmi Basya soal Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman as. Banyak pula yang tidak menyetujuinya. Sesungguhnya, persoalan itu bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Siapa yang memiliki data dan fakta yang lebih akurat dan daya analisis yang lebih tinggi, itulah yang harus diikuti.

            Tak perlu dipermasalahkan soal toleransi dengan umat Budha. Toleransi itu hanya ada dalam sikap, perilaku, dan pergaulan berbangsa dan bertanah air. Toleransi itu adalah membiarkan orang lain untuk melakukan ibadat sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Akan tetapi, tidak ada toleransi dengan ilmu pengetahuan. Umat Budha harus patuh pada ilmu pengetahuan. Siapa pun juga di muka Bumi ini harus patuh pada ilmu pengetahuan karena dengan ilmu pengetahuan itulah manusia berkembang dari zaman ke zaman.

            Lihat, bagaimana sekarang Gereja Katolik sudah sangat patuh kepada ilmu pengetahuan. Mereka pun mengubah keyakinannya dari yang asalnya berpendapat bahwa Bumi itu datar, menjadi Bumi itu adalah bulat.

            Jangan berlindung di balik toleransi untuk mempertahankan kebodohan!

            Jangan menggunakan toleransi sebagai alat untuk memburukkan orang lain!

            Tak ada toleransi dalam pengetahuan. Yang ada hanya benar dan salah!

            Prof. J.G. de Casparis jelas salah dengan mengatakan bahwa Borobudur dibangun pada abad 8 dan merupakan peninggalan kebesaran umat Budha. Jika dia melakukan kesalahan, itu adalah hal yang diperbolehkan dalam ilmu pengetahuan untuk mendapatkan hal yang lebih benar. Yang namanya pengetahuan itu sifatnya harus “terbuka” untuk diuji dan bisa diteliti ulang kebenarannya. Kalau tidak diboleh diuji, itu namanya bukan pengetahuan, melainkan doktrin atau “dongeng sebelum beol”.

            That is the law!

            Begitulah hukumnya.

            Akan tetapi, jika penelitiannya itu merupakan “pesanan” untuk kepentingan kelompok tertentu, baik pengusaha ataupun penguasa, berarti J.G. de Casparis jelas “pembohong”. Kebohongan itu tidak perlu diikuti dan kita semua harus menyadari bahwa bangsa Indonesia telah dibohongi sejak lama.

            Banyak sekali hasil penelitian yang isinya adalah kebohongan dan memang dilakukan dengan maksud untuk “berbohong”. Saya sering melihatnya. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kita bangsa Indonesia kurang periksa terhadap hasil penelitian itu, lalu mempercayainya sebagai sebuah kebenaran.

            Insyaallah, lain kali akan saya tulis berbagai hasil penelitian yang banyak bohongnya, tetapi malah diajarkan pada berbagai perguruan tinggi sebagai sebuah kebenaran. Adapula ilmu pengetahuan yang sudah tidak perlu lagi diajarkan, masih juga diajarkan.

            Akan tetapi, bolehlah satu saja kebohongan yang entah dipercaya oleh siapa saya coba tulis di sini sedikit. Soal perahu Nabi Nuh as, misalnya, penelitian itu kentara sekali “dustanya” dan kelihatan sekali kalang kabutnya. Katanya, Nuh as adalah berasal dari wilayah Mesopotamia karena di sana ada beberapa sungai dan mata air serta bekas-bekas bencana banjir. Para peneliti pendusta itu mengatakan bahwa tidak ditemukan logam di sana. Mereka pun menyimpulkan bahwa Nuh as hidup pada “zaman batu”. 

Anehnya, reruntuhan perahu itu kemudian ditemukan di pegunungan di wilayah Turki. Kabarnya, perahu itu terdampar di sana setelah terapung-apung di lautan lepas. Mereka menemukan tiang kapal yang pada tiang itu terdapat plat besi untuk mengikat ke tubuh kapal. Lalu, di dalamnya ada gambar orang yang menggunakan ikat kepala dengan tulisan “Noah”. Orang itu sedang memaku ke sebuah papan.

Bisa lihat nggak, bagaimana bohongnya mereka?

Kelihatan tidak kalang kabutnya data kedustaan mereka?

Perhatikan ini.

Awalnya, mereka mengatakan “tidak ditemukan logam”. Kesimpulannya adalah “zaman batu”. Akan tetapi, begonya, ketika reruntuhannya ditemukan, ada “plat besi” dan gambar orang sedang “memaku”.

Bukankah plat besi dan paku itu adalah logam?

Bagaimana mungkin dikatakan zaman batu, tetapi ada plat besi dan paku?

Lucu, kan?

Itu mah bukan hasil penelitian, melainkan cuma “dongeng sebelum beol”!

Terus, lucunya lagi, di sana ada plat kayu yang bertuliskan Muhammad, Aisyah, Ali bin Abi Thalib, serta Hasan dan Husen. Ceriteranya, ketika Nuh as cemas dalam perahu, berdoa dan memuji-muji orang-orang mulia itu.

Kalau nama Nabi Muhammad saw, okelah karena beliau adalah Rasulullah yang paling tinggi derajatnya.

Akan tetapi, kalau Aisyah, Ali, dan Hasan-Husen, apa maksudnya?

Nah, mulai di sini saya curiga. Tujuan mereka meneliti dan menyebarkannya melalui berbagai media ke seluruh dunia adalah cuma ingin mendapatkan hal yang  ecek-ecek. Tujuannya cuma bisnis. Mereka hanya cari makan lewat sektor pariwisata.

Perhatikan plat kayu yang ada nama-nama itu. Mereka ingin menarik umat Islam dari golongan sunni dan syiah untuk piknik ke tempat yang mereka sebut “reruntuhan perahu Nabi Nuh as”.

Memang begitu kan kenyataannya?

Sekarang situs itu dibuka untuk umum sebagai tempat pariwisata yang lebih besar. Lalu, di Belanda dibuat replikanya yang di dalamnya dilengkapi dengan restoran.

Apa yang saya tulis di sini baru sedikit. Sangat sedikit tentang keanehan itu. Saya belum menulis hal yang tidak masuk akal lainnya. Misalnya, berapa banyak binatang yang dimuat dalam perahu, berapa lama berada di lautan lepas, bagaimana pemeliharaannya, berapa jarak antara kandang yang satu dengan lainnya, bagaimana sanitasinya, berapa banyak manusia yang ada dalam perahu, bagaimana sosok seorang rasul terhadap binatang, bekas kapal, dan lain sebagainya.

Tak ada toleransi dalam ilmu pengetahuan!

Setiap pengetahuan bersifat terbuka untuk diuji!

Jangan berbohong!

Jangan percaya hanya karena “orang bule” yang melakukan penelitian.


Oh ya, saya punya pengalaman lucu tentang orang bule saat  seminar internasional tentang kompetensi guru. Kirain orang itu pintar, tetapi saat memberikan materi, dia menggunakan bahan dari buku yang buku itu saya sendiri editornya. Judul bukunya kalau nggak Penelitian TIndakan Kelas, pasti yang Lesson Study, saya lupa-lupa ingat soalnya kejadiannya udah lama, sekitar tiga atau empat tahun lalu.  Entarlah, saya ceritain lengkapnya. Pokoknya lucu.

No comments:

Post a Comment