oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Toleransi sama sekali tidak
diperbolehkan dalam dunia pengetahuan. Haram hukumnya. Kalau toleransi ada
dalam dunia ilmu pengetahuan, sama saja dengan menghambat ilmu pengetahuan dan
membodohi manusia. Dalam pengetahuan itu sama sekali tak ada toleransi. Dalam
dunia pengetahuan hanya ada benar dan
salah. Sama sekali tidak mempedulikan
perasaan orang lain, harga diri sebuah suku, ras, atau kehormatan sebuah agama.
Pengetahuan hanya berbicara tentang salah dan benar. Kalau ada yang tersinggung
dengan pengetahuan, itu risiko sendiri karena berpegang pada keyakinan yang
salah.
Di dalam dunia pengetahuan, kondisi “bodoh” itu adalah
wajar karena merupakan suatu kondisi seseorang atau sekelompok orang yang belum
mengetahui “hal yang sebenarnya” atau memang lemah dalam bidang yang tidak
dikuasainya. Saya tidak akan tersinggung jika disebut “bodoh” soal otomotif karena
memang tidak tahu apa-apa. Di samping itu, dalam lingkungan pengetahuan
melakukan “kesalahan” itu “boleh” karena dengan melakukan hal yang salah, kita
akan mengetahui “kebenaran”. Yang sangat diharamkan dalam pengetahuan adalah “berbohong”
karena dengan berbohong, semuanya akan jadi rusak dan kacau. Oleh sebab itu,
siapa pun yang mengajarkan untuk melakukan kebohongan adalah salah besar. Jika
ada “orang berilmu” atau “aliran keyakinan” atau “agama” atau “kelompok” yang
mengajarkan “kebohongan”, itu adalah para pengikut Iblis Laknatullah. Ingat, Dajjal
itu bermakna “Raja Bohong”. Siapa pun yang menganggap benar perilaku “bohong”,
adalah pengikutnya Dajjal.
Dunia sudah mengalami hal-hal besar dalam ilmu
pengetahuan, termasuk perjuangannya dalam mempertahankan kebenaran. Semua pasti
tahu ketika Gereja Katolik berpendapat bahwa “Bumi adalah datar dan di akhir Bumi adalah neraka”, semua orang di
Barat setuju dengan hal itu. Apalagi dikuatkan dengan pendapat filsuf Barat
kenamaan, seperti, Plato dan Aristoteles.
Siapa yang berani menyangkal pendapat itu ketika gereja
memiliki pengaruh sangat kuat dan dua filsuf barat besar mendukungnya?
Tidak ada!
Akan tetapi, kebenaran tetap berjalan, terus maju, dan
bertahan hingga menang. Galileo Galilei berpendapat berbeda dengan gereja dan
dua filsuf itu. Menurutnya, Bumi adalah bulat. Demikian pula Copernicus
mengatakan hal yang sama. Keduanya berkata berdasarkan ilmu pengetahuan yang
didasarkan atas data dan fakta yang mereka miliki. Akibatnya, gereja dan para
pendukungnya marah hingga menghukum Galileo Galilei sampai matinya.
Kini kita tahu siapa yang benar, bukan?
Gereja Katolik salah, Plato salah, Aristoteles salah.
Galileo Galilei dan Copernicus yang benar.
Begitulah ilmu pengetahuan, tak ada toleransi dengan
agama, keyakinan, dan kehormatan. Kalau benar, ya benar. Salah ya salah. Itu
saja.
Yang menang siapa?
Yang menang adalah pengetahuan yang benar.
Di Indonesia ini banyak sekali yang mendukung hasil
penelitian K.H. Fahmi Basya soal Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman as.
Banyak pula yang tidak menyetujuinya. Sesungguhnya, persoalan itu bisa
diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Siapa yang memiliki data dan fakta yang
lebih akurat dan daya analisis yang lebih tinggi, itulah yang harus diikuti.
Tak perlu dipermasalahkan soal toleransi dengan umat
Budha. Toleransi itu hanya ada dalam sikap, perilaku, dan pergaulan berbangsa
dan bertanah air. Toleransi itu adalah membiarkan orang lain untuk melakukan
ibadat sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Akan tetapi, tidak ada
toleransi dengan ilmu pengetahuan. Umat Budha harus patuh pada ilmu
pengetahuan. Siapa pun juga di muka Bumi ini harus patuh pada ilmu pengetahuan
karena dengan ilmu pengetahuan itulah manusia berkembang dari zaman ke zaman.
Lihat, bagaimana sekarang Gereja Katolik sudah sangat
patuh kepada ilmu pengetahuan. Mereka pun mengubah keyakinannya dari yang
asalnya berpendapat bahwa Bumi itu datar, menjadi Bumi itu adalah bulat.
Jangan berlindung di balik toleransi untuk mempertahankan
kebodohan!
Jangan menggunakan toleransi sebagai alat untuk
memburukkan orang lain!
Tak ada toleransi dalam pengetahuan. Yang ada hanya benar
dan salah!
Prof. J.G. de Casparis jelas salah dengan mengatakan
bahwa Borobudur dibangun pada abad 8 dan merupakan peninggalan kebesaran umat
Budha. Jika dia melakukan kesalahan, itu adalah hal yang diperbolehkan dalam
ilmu pengetahuan untuk mendapatkan hal yang lebih benar. Yang namanya
pengetahuan itu sifatnya harus “terbuka” untuk diuji dan bisa diteliti ulang
kebenarannya. Kalau tidak diboleh diuji, itu namanya bukan pengetahuan, melainkan
doktrin atau “dongeng sebelum beol”.
That is the law!
Begitulah hukumnya.
Akan tetapi, jika penelitiannya itu merupakan “pesanan”
untuk kepentingan kelompok tertentu, baik pengusaha ataupun penguasa, berarti J.G.
de Casparis jelas “pembohong”. Kebohongan itu tidak perlu diikuti dan kita
semua harus menyadari bahwa bangsa Indonesia telah dibohongi sejak lama.
Banyak sekali hasil penelitian yang isinya adalah
kebohongan dan memang dilakukan dengan maksud untuk “berbohong”. Saya sering melihatnya.
Hal yang lebih memprihatinkan adalah kita bangsa Indonesia kurang periksa
terhadap hasil penelitian itu, lalu mempercayainya sebagai sebuah kebenaran.
Insyaallah, lain
kali akan saya tulis berbagai hasil penelitian yang banyak bohongnya, tetapi
malah diajarkan pada berbagai perguruan tinggi sebagai sebuah kebenaran.
Adapula ilmu pengetahuan yang sudah tidak perlu lagi diajarkan, masih juga
diajarkan.
Akan tetapi, bolehlah satu saja kebohongan yang entah
dipercaya oleh siapa saya coba tulis di sini sedikit. Soal perahu Nabi Nuh as,
misalnya, penelitian itu kentara sekali “dustanya” dan kelihatan sekali kalang
kabutnya. Katanya, Nuh as adalah berasal dari wilayah Mesopotamia karena di
sana ada beberapa sungai dan mata air serta bekas-bekas bencana banjir. Para
peneliti pendusta itu mengatakan bahwa tidak ditemukan logam di sana. Mereka
pun menyimpulkan bahwa Nuh as hidup pada “zaman batu”.
Anehnya,
reruntuhan perahu itu kemudian ditemukan di pegunungan di wilayah Turki.
Kabarnya, perahu itu terdampar di sana setelah terapung-apung di lautan lepas. Mereka
menemukan tiang kapal yang pada tiang itu terdapat plat besi untuk mengikat ke
tubuh kapal. Lalu, di dalamnya ada gambar orang yang menggunakan ikat kepala
dengan tulisan “Noah”. Orang itu sedang memaku ke sebuah papan.
Bisa
lihat nggak, bagaimana bohongnya mereka?
Kelihatan
tidak kalang kabutnya data kedustaan mereka?
Perhatikan
ini.
Awalnya,
mereka mengatakan “tidak ditemukan logam”. Kesimpulannya adalah “zaman batu”.
Akan tetapi, begonya, ketika reruntuhannya ditemukan, ada “plat besi” dan gambar
orang sedang “memaku”.
Bukankah
plat besi dan paku itu adalah logam?
Bagaimana
mungkin dikatakan zaman batu, tetapi ada plat besi dan paku?
Lucu,
kan?
Itu
mah bukan hasil penelitian, melainkan cuma “dongeng sebelum beol”!
Terus,
lucunya lagi, di sana ada plat kayu yang bertuliskan Muhammad, Aisyah, Ali bin
Abi Thalib, serta Hasan dan Husen. Ceriteranya, ketika Nuh as cemas dalam
perahu, berdoa dan memuji-muji orang-orang mulia itu.
Kalau
nama Nabi Muhammad saw, okelah karena beliau adalah Rasulullah yang paling
tinggi derajatnya.
Akan
tetapi, kalau Aisyah, Ali, dan Hasan-Husen, apa maksudnya?
Nah,
mulai di sini saya curiga. Tujuan mereka meneliti dan menyebarkannya melalui
berbagai media ke seluruh dunia adalah cuma ingin mendapatkan hal yang ecek-ecek.
Tujuannya cuma bisnis. Mereka hanya
cari makan lewat sektor pariwisata.
Perhatikan
plat kayu yang ada nama-nama itu. Mereka ingin menarik umat Islam dari golongan
sunni dan syiah untuk piknik ke tempat yang mereka sebut “reruntuhan perahu
Nabi Nuh as”.
Memang
begitu kan kenyataannya?
Sekarang
situs itu dibuka untuk umum sebagai tempat pariwisata yang lebih besar. Lalu,
di Belanda dibuat replikanya yang di dalamnya dilengkapi dengan restoran.
Apa
yang saya tulis di sini baru sedikit. Sangat sedikit tentang keanehan itu. Saya
belum menulis hal yang tidak masuk akal lainnya. Misalnya, berapa banyak
binatang yang dimuat dalam perahu, berapa lama berada di lautan lepas,
bagaimana pemeliharaannya, berapa jarak antara kandang yang satu dengan
lainnya, bagaimana sanitasinya, berapa banyak manusia yang ada dalam perahu, bagaimana
sosok seorang rasul terhadap binatang, bekas kapal, dan lain sebagainya.
Tak
ada toleransi dalam ilmu pengetahuan!
Setiap
pengetahuan bersifat terbuka untuk diuji!
Jangan
berbohong!
Jangan
percaya hanya karena “orang bule” yang melakukan penelitian.
Oh
ya, saya punya pengalaman lucu tentang orang bule saat seminar internasional tentang
kompetensi guru. Kirain orang itu pintar, tetapi saat memberikan materi, dia menggunakan
bahan dari buku yang buku itu saya sendiri editornya. Judul bukunya kalau nggak Penelitian TIndakan Kelas, pasti yang Lesson Study, saya lupa-lupa ingat soalnya kejadiannya udah lama, sekitar tiga atau empat tahun lalu. Entarlah, saya ceritain lengkapnya.
Pokoknya lucu.
No comments:
Post a Comment