Wednesday, 9 March 2016

Antara Motor Bebek dan Borobudur

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Tadinya sih, judulnya mau Antara Masjid Quba dan Borobudur, tetapi tidak setiap orang tahu masjid itu. Terus, mau ganti judul yang lebih dekat, yaitu Antara Masjid Agung Bandung dan Borobudur, tetapi sama juga tidak setiap orang tahu Masjid Agung Bandung dan sejarahnya. Ya sudah, bikin judul yang kira-kira bisa setiap orang tahu: Antara Motor Bebek dan Borobudur.

            Pasti tahu kan motor bebek?

            Kalau mengatakan “bebek”, harus jelas huruf-hurufnya, jangan sampai ada yang diubah dengan huruf “m”. Kalau berubah, nanti pengucapannya jadi “bebem”.

            Sepanjang hidup saya sampai saat ini, selalu menggunakan sepeda motor Honda, baik bebek maupun sport. Hanya satu kali saya membeli motor Suzuki dan satu kali pula Vespa. Kalau mobil, ya nggak tetap. Pernah Suzuki, pernah Mitsubishi, pernah juga Daihatsu. Maksudnya, dalam tulisan kali ini saya akan membandingkan motor bebek Honda dengan Borobudur.

Saya berusaha mengingat-ingat perkembangan motor bebek Honda. Motor bebek Honda yang pertama kali saya naiki ketika masih sangat kecil adalah motor Honda yang 50 cc. Itu punya ayah saya. Saya sering diajak kesana-kemari pake motor itu, kadang duduk di depan, kadang duduk di belakang. Produk motor Honda itu berkembang menjadi 70 cc. Lalu, bentuknya berubah lagi kalau tidak salah, menjadi Super Cup 700. Kemudian, meningkat menjadi Super Cup 800. Setelah itu, keluar Astrea. Lalu, Astrea Star. Timbul lagi yang baru, Astrea Prima. Habis itu, kalau tidak salah ingat, ada Legenda. Kemudian, meningkat lagi menjadi Impressa. Lalu, ada Supra Fit. Selanjutnya, ada lagi Supra X. Berganti lagi menjadi Supra X Neo. Terus, ada Vario. Belakangan, Beat muncul. Begitulah kira-kira perkembangan motor Honda.

Pendeknya, beginilah motor bebek Honda mengalami peningkatan: 50 cc, 70 cc, Super Cup 700, Super Cup 800, Astrea, Astrea Star, Astrea Prima, Legenda, Impressa, Supra Fit, Supra X, Supra X Neo, Vario, dan Beat. Ke depannya entah ada apa lagi, tetapi sebagai pabrik sepeda motor, Honda pasti akan bikin produk baru.

Kita bisa lihat perkembangan sepeda motor Honda itu. Produk motor yang awal merupakan dasar dari pembentukan motor terbaru berikutnya. Teknologi pada motor yang awal atau lebih dulu menjadi dasar bagi pengembangan teknologi untuk motor selanjutnya yang lebih terbaru dan lebih modern dari segi mesin, rangka, maupun bodi. Tak ada motor terbaru jika tak ada motor lama. Yang lama adalah dasar bagi yang baru. Produk terbaru pasti lebih bagus daripada produk yang lebih lama.

Begitu kan pastinya?

Sekarang mari kita lihat Borobudur. Candi megah yang ajaib, misterius, dan penuh dengan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah produk terbaru dari produk bangunan sebelumnya.

Pertanyaannya adalah bangunan apa yang menjadi dasar teknologi untuk menjadi bangunan Candi Borobudur?

Candi yang mana yang merupakan dasar pijakan bagi pembangunan Borobudur?

Kalau motor Honda kan bisa dilihat. Honda 70 cc itu berasal dari perkembangan motor yang 50 cc. Yang 70 cc menjadi dasar pengetahuan bagi Super Cup 700. Begitu seterusnya.

Lalu, Borobudur berawal dari teknologi bangunan yang mana?

Kemudian, Borobudur itu adalah bangunan kuno yang sudah sangat lama.

Bangunan mana yang sekarang merupakan produk terbaru setelah Borobudur?

Candi yang mana yang merupakan produk pengembangan dari Candi Borobudur?

Kalau tidak ada, mengapa manusia-manusia yang mengklaim sebagai pewarisnya tidak melakukan peningkatan lagi dengan membangun bangunan yang lebih hebat dan lebih modern penuh dengan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan Borobudur?

Ada masalah apa antara kalian dengan leluhur kalian?

Mengapa leluhur kalian tidak memberikan dan tidak menurunkan pengetahuan itu kepada kalian sehingga kalian tidak mampu mengembangkannya dengan lebih hebat lagi?

Apakah leluhur kalian terlalu pelit untuk berbagi ilmu kalau memang benar kalian adalah para pewarisnya?

Penjelasan logis apa yang kalian miliki untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya itu?

Lihat itu Masjid Agung Bandung yang terus berkembang dari zaman ke zaman. Semuanya bisa dilacak teknologinya. Generasi sekarang sangat mampu untuk mengembangkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Masjid itu akan terus berubah dan berkembang sesuai perkembangan zaman.

Ibu saya ketika dia masih kecil pernah mendengar ramalan bahwa Masjid Agung Bandung itu tidak akan pernah berhenti dibangun. Masjid itu akan selalu berubah meningkat ke tingkat yang lebih tinggi. Memang kenyataannya demikian hingga hari ini.

Untuk Borobudur, penjelasan logis yang saya miliki saat ini adalah bahwa Borobudur itu adalah peninggalan Nabi Sulaeman as sebagai tempat untuk mengabdikan diri kepada Allah swt sesuai syariat yang ditentukan saat itu, sebagaimana firman Allah swt dalam Al Quran Surat Al Hajj ayat 67 (22 : 67).

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-sekali mereka membantah kamu dalam urusan ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya, kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.”

Jadi, Nabi Sulaeman as dan Borobudur itu adalah sesuai dengan syariat Islam pada masanya yang masih belum sempurna. Islam yang sempurna itu adalah yang disyariatkan kepada Muhammad saw. Jangan disamakan antara syariat zaman Sulaeman as dengan syariat zaman Muhammad saw. Sulaeman as itu syariat Islam yang masih belum sempurna dan disempurnakan setelah kehadiran Muhammad saw. Jadi, soal patung atau hal lainnya itu disebabkan syariat-syariat yang diturunkan secara bertahap dari kurang sempurna menuju ke kesempurnaan.

Akan tetapi, belum sempurna itu bukan berarti salah, tetap benar, masih Islam-Islam juga. Islam pada masanya. Hal itu seperti motor bebek Honda. Motor 70 cc itu ya tetap motor Honda, cuma belum sesempurna motor Honda Vario.

Mengapa kita tidak bisa mengetahui teknologi pembangunan Borobudur dan tidak mampu untuk membuatnya kembali, bahkan yang lebih hebat dari itu?

Hal itu disebabkan dosa-dosa nenek moyang kita yang teramat sangat kafir sehingga Allah swt memberikan azab yang sangat keras dan mengerikan. Bukan hanya manusia yang dibantai, melainkan pula catatan pengetahuan dan teknologi yang sesungguhnya rahmat itu, tetapi diselewengkan menjadi kesombongan dan kekafiran oleh manusia, ikut dimusnahkan dalam banjir dan gempa tektonik-vulkanik yang sangat hebat dan menggetarkan siapa pun juga, termasuk para jin sakti. Catatan mengenai teknologi Borobudur pun ditenggelamkan.

Buktinya kan jelas. Borobudur tertimbun lapisan tanah berabad-abad dan tak seorang pun tahu di sana ada bangunan peribadatan yang megah. Kemudian, Benua Sundaland pun hancur berkeping-keping menjadi kepulauan.

Allah swt sendiri menggambarkan betapa mengerikannya bencana yang menimpa nenek moyang kita beserta benuanya tersebut.

“(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusukannya dan gugurlah segala wanita yang hamil dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allah swt itu sangat kerasnya.” (QS 22 : 2)

Seorang wanita baik-baik yang menjadi ibu pasti sangat sayang kepada bayinya. Akan tetapi, rasa sayang itu lenyap seketika karena kegoncangan yang teramat dahsyat terjadi di Bumi. Ia pun segera melarikan diri dan meninggalkan bayinya. Betapa mengerikannya azab itu sampai mengalahkan cinta dan rasa peduli Sang Ibu yang telah mengandung bayi terhadap bayinya sendiri. Azab itu pun sampai menghancurkan sistem metabolisme tubuh dan susunan organ-organ tubuh manusia. Saking hancurnya sistem dalam tubuh manusia, wanita-wanita yang sedang hamil pun mengalami keguguran. Dahsyat sekali bencana itu. Karena kehancuran dalam sistem tubuh, manusia pun sudah tidak mampu lagi mengoordinasikan tubuhnya dengan baik. Antara otak, tangan, kaki, dan yang lainnya tak lagi teratur dan tidak bisa lagi dikendalikan. Dari luar, manusia tampak sedang mabuk, padahal tidak mabuk, tetapi sesungguhnya mengalami kehancuran sistem dalam tubuh. Tulang-tulang dalam tubuh tak lagi tersusun rapi, malahan melukai bagian tubuh lainnya. Urat-urat menjadi kusut semrawut. Darah pun mengalir tak tentu arah. Pasti sakit sekali rasanya.

Kita memang tidak menyaksikan peristiwa itu. Akan tetapi, Allah swt menyuruh kita mengingatnya. Kita bisa lihat bagaimana Benua Sundaland yang asalnya satu itu menjadi hancur kecil-kecil berserakan. Betapa dahsyatnya hari itu. Kita bisa lihat pula bangunan-bangunan megah yang berada di atas dataran tinggi pun dikuburnya dalam lumpur hingga tak tampak lagi oleh mata manusia. Betapa berkuasanya Allah swt mengejar para pendosa hingga ke puncak gunung-gunung dan menangkapnya hingga tak berkutik ditelan Bumi.

Orang-orang yang diselamatkan dari peristiwa maha mengerikan itu pun akhirnya tersadar, kemudian berusaha bertobat. Salah satunya adalah dengan menghindari tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat-tempat maksiat dan penuh dengan kemusyrikan. Borobudur dan candi-candi lain pun ditinggalkan mereka dan tak pernah diceriterakan kepada anak cucunya. Mereka tak berniat menggalinya kembali dari dalam tanah. Berbeda jika kita mengalami bencana, lalu bencana itu menghancurkan Masjid Istiqlal misalnya, kita pasti akan mencarinya dan memperbaikinya kembali. Nenek moyang kita tidak seperti itu. Mereka memilih untuk menguburnya dalam ingatan mereka. Hal itu disebabkan kemungkinan besar Borobudur dan cand-candi lainnya serta bangunan megah lainnya pun telah menjadi tempat maksiat dan kemusyrikan, dijadikan tempat pemujaan terhadap malaikat, syetan, Iblis, dan roh-roh gentayangan lainnya. Padahal, bangunan-bangunan itu sesungguhnya awalnya didirikan untuk menyembah Allah swt. Manusia kafirlah yang telah menyalahgunakannya hingga Allah swt murka, lalu ditenggelamkan ke dalam Bumi. Akan tetapi, Allah swt tidak menghancurkan semuanya. Allah swt berkehendak manusia menemukannya kembali untuk menambah keimanannya kepada Allah swt.

Itulah alasan kenapa manusia tidak tahu awalnya di sana ada candi. Nenek moyang kita yang diselamatkan dari bencana tidak ingin mengingatnya kembali dan tidak ingin menceriterakan kepada anak cucunya karena khawatir akan mendapatkan lagi bencana-bencana hebat akibat dari penyalahgunaan terhadap bangunan-bangunan suci itu. Nenek moyang kita lebih memilih mengajari anak cucunya dengan budi pekerti yang baik, mengabdi kepada Sang Pencipta, tidak merugikan orang lain, bersikap ramah, lemah lembut, dan berbagai kebaktian yang penuh khidmat kepada Sang Maha Agung.

Hal yang paling penting diajarkan nenek moyang kita adalah soal air bah yang mampu melahap semua yang ada, menghancurkan seluruh harta dan jiwa, menghilangkan semua peradaban sampai ke puncak gunung. Hal itu dilakukan mereka agar anak cucunya selalu waspada bahwa perilaku yang buruk akan mengundang bencana banjir yang teramat dahsyat. Bukti ajaran itu ada di sekitar kita, tetapi kita tidak pernah menyadarinya.

Pengen tahu?

Penasaran ya?

Perhatikan ini.

Di seluruh tanah air Indonesia ini banyak sekali danau dan sungai. Di tempat-tempat itu bertahan legenda-legenda tentang terjadinya tempat itu. Hampir 99% danau di Indonesia selalu menceriterakan kisah yang sama, yaitu di sana ada kebaikan dan keburukan. Kemudian, pihak yang buruk menyakiti pihak yang baik. Pihak yang lebih merasa berkuasa menghina dan merendahkan pihak baik yang biasanya lebih lemah dan lebih lembut. Ketika keburukan menjadi-jadi dan pihak yang baik sudah keterlaluan disakiti, air bah pun datang menghancurkan semua yang ada, melumatkan kepongahan yang dibanggakan, dan memusnahkan kedustaan yang telah diyakini sebagai kebenaran. Mereka yang berdosa pun hancur musnah. Selalu begitu ceriteranya.

Kalau ada ceritera yang tidak begitu, beri tahu saya. Saya sangat ingin mendengarnya.

Jadi, soal motor bebek dan Borobudur itu bagaimana?

Ya pikirin saja sendiri.


Bisa, kan?

No comments:

Post a Comment