oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Tadinya sih, judulnya mau Antara
Masjid Quba dan Borobudur, tetapi tidak setiap orang tahu masjid itu.
Terus, mau ganti judul yang lebih dekat, yaitu Antara Masjid Agung Bandung dan Borobudur, tetapi sama juga tidak
setiap orang tahu Masjid Agung Bandung dan sejarahnya. Ya sudah, bikin judul
yang kira-kira bisa setiap orang tahu: Antara
Motor Bebek dan Borobudur.
Pasti tahu kan motor bebek?
Kalau mengatakan “bebek”, harus jelas huruf-hurufnya,
jangan sampai ada yang diubah dengan huruf “m”. Kalau berubah, nanti
pengucapannya jadi “bebem”.
Sepanjang hidup saya sampai saat ini, selalu menggunakan sepeda
motor Honda, baik bebek maupun sport. Hanya satu kali saya membeli motor Suzuki
dan satu kali pula Vespa. Kalau mobil, ya nggak tetap. Pernah Suzuki, pernah
Mitsubishi, pernah juga Daihatsu. Maksudnya, dalam tulisan kali ini saya akan membandingkan
motor bebek Honda dengan Borobudur.
Saya
berusaha mengingat-ingat perkembangan motor bebek Honda. Motor bebek Honda yang
pertama kali saya naiki ketika masih sangat kecil adalah motor Honda yang 50
cc. Itu punya ayah saya. Saya sering diajak kesana-kemari pake motor itu,
kadang duduk di depan, kadang duduk di belakang. Produk motor Honda itu
berkembang menjadi 70 cc. Lalu, bentuknya berubah lagi kalau tidak salah,
menjadi Super Cup 700. Kemudian, meningkat menjadi Super Cup 800. Setelah itu,
keluar Astrea. Lalu, Astrea Star. Timbul lagi yang baru, Astrea Prima. Habis
itu, kalau tidak salah ingat, ada Legenda. Kemudian, meningkat lagi menjadi
Impressa. Lalu, ada Supra Fit. Selanjutnya, ada lagi Supra X. Berganti lagi
menjadi Supra X Neo. Terus, ada Vario. Belakangan, Beat muncul. Begitulah
kira-kira perkembangan motor Honda.
Pendeknya,
beginilah motor bebek Honda mengalami peningkatan: 50 cc, 70 cc, Super Cup 700,
Super Cup 800, Astrea, Astrea Star, Astrea Prima, Legenda, Impressa, Supra Fit,
Supra X, Supra X Neo, Vario, dan Beat. Ke depannya entah ada apa lagi, tetapi
sebagai pabrik sepeda motor, Honda pasti akan bikin produk baru.
Kita
bisa lihat perkembangan sepeda motor Honda itu. Produk motor yang awal
merupakan dasar dari pembentukan motor terbaru berikutnya. Teknologi pada motor
yang awal atau lebih dulu menjadi dasar bagi pengembangan teknologi untuk motor
selanjutnya yang lebih terbaru dan lebih modern dari segi mesin, rangka, maupun
bodi. Tak ada motor terbaru jika tak ada motor lama. Yang lama adalah dasar
bagi yang baru. Produk terbaru pasti lebih bagus daripada produk yang lebih
lama.
Begitu
kan pastinya?
Sekarang
mari kita lihat Borobudur. Candi megah yang ajaib, misterius, dan penuh dengan
ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah produk terbaru dari produk bangunan
sebelumnya.
Pertanyaannya
adalah bangunan apa yang menjadi dasar teknologi untuk menjadi bangunan Candi
Borobudur?
Candi
yang mana yang merupakan dasar pijakan bagi pembangunan Borobudur?
Kalau
motor Honda kan bisa dilihat. Honda 70 cc itu berasal dari perkembangan motor
yang 50 cc. Yang 70 cc menjadi dasar pengetahuan bagi Super Cup 700. Begitu
seterusnya.
Lalu,
Borobudur berawal dari teknologi bangunan yang mana?
Kemudian,
Borobudur itu adalah bangunan kuno yang sudah sangat lama.
Bangunan
mana yang sekarang merupakan produk terbaru setelah Borobudur?
Candi
yang mana yang merupakan produk pengembangan dari Candi Borobudur?
Kalau
tidak ada, mengapa manusia-manusia yang mengklaim sebagai pewarisnya tidak
melakukan peningkatan lagi dengan membangun bangunan yang lebih hebat dan lebih
modern penuh dengan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan Borobudur?
Ada
masalah apa antara kalian dengan leluhur kalian?
Mengapa
leluhur kalian tidak memberikan dan tidak menurunkan pengetahuan itu kepada
kalian sehingga kalian tidak mampu mengembangkannya dengan lebih hebat lagi?
Apakah
leluhur kalian terlalu pelit untuk berbagi ilmu kalau memang benar kalian
adalah para pewarisnya?
Penjelasan
logis apa yang kalian miliki untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya itu?
Lihat
itu Masjid Agung Bandung yang terus berkembang dari zaman ke zaman. Semuanya
bisa dilacak teknologinya. Generasi sekarang sangat mampu untuk
mengembangkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Masjid itu akan terus berubah
dan berkembang sesuai perkembangan zaman.
Ibu
saya ketika dia masih kecil pernah mendengar ramalan bahwa Masjid Agung Bandung
itu tidak akan pernah berhenti dibangun. Masjid itu akan selalu berubah
meningkat ke tingkat yang lebih tinggi. Memang kenyataannya demikian hingga
hari ini.
Untuk
Borobudur, penjelasan logis yang saya miliki saat ini adalah bahwa Borobudur
itu adalah peninggalan Nabi Sulaeman as sebagai tempat untuk mengabdikan diri
kepada Allah swt sesuai syariat yang ditentukan saat itu, sebagaimana firman
Allah swt dalam Al Quran Surat Al Hajj ayat 67 (22 : 67).
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan
syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-sekali mereka
membantah kamu dalam urusan ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya, kamu
benar-benar berada pada jalan yang lurus.”
Jadi,
Nabi Sulaeman as dan Borobudur itu adalah sesuai dengan syariat Islam pada
masanya yang masih belum sempurna. Islam yang sempurna itu adalah yang
disyariatkan kepada Muhammad saw. Jangan disamakan antara syariat zaman
Sulaeman as dengan syariat zaman Muhammad saw. Sulaeman as itu syariat Islam
yang masih belum sempurna dan disempurnakan setelah kehadiran Muhammad saw.
Jadi, soal patung atau hal lainnya itu disebabkan syariat-syariat yang
diturunkan secara bertahap dari kurang sempurna menuju ke kesempurnaan.
Akan
tetapi, belum sempurna itu bukan berarti salah, tetap benar, masih Islam-Islam
juga. Islam pada masanya. Hal itu seperti motor bebek Honda. Motor 70 cc itu ya
tetap motor Honda, cuma belum sesempurna motor Honda Vario.
Mengapa
kita tidak bisa mengetahui teknologi pembangunan Borobudur dan tidak mampu
untuk membuatnya kembali, bahkan yang lebih hebat dari itu?
Hal
itu disebabkan dosa-dosa nenek moyang kita yang teramat sangat kafir sehingga
Allah swt memberikan azab yang sangat keras dan mengerikan. Bukan hanya manusia
yang dibantai, melainkan pula catatan pengetahuan dan teknologi yang
sesungguhnya rahmat itu, tetapi diselewengkan menjadi kesombongan dan kekafiran
oleh manusia, ikut dimusnahkan dalam banjir dan gempa tektonik-vulkanik yang
sangat hebat dan menggetarkan siapa pun juga, termasuk para jin sakti. Catatan
mengenai teknologi Borobudur pun ditenggelamkan.
Buktinya
kan jelas. Borobudur tertimbun lapisan tanah berabad-abad dan tak seorang pun
tahu di sana ada bangunan peribadatan yang megah. Kemudian, Benua Sundaland pun
hancur berkeping-keping menjadi kepulauan.
Allah
swt sendiri menggambarkan betapa mengerikannya bencana yang menimpa nenek
moyang kita beserta benuanya tersebut.
“(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu
melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak
yang disusukannya dan gugurlah segala wanita yang hamil dan kamu lihat manusia
dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allah
swt itu sangat kerasnya.” (QS 22 : 2)
Seorang
wanita baik-baik yang menjadi ibu pasti sangat sayang kepada bayinya. Akan
tetapi, rasa sayang itu lenyap seketika karena kegoncangan yang teramat dahsyat
terjadi di Bumi. Ia pun segera melarikan diri dan meninggalkan bayinya. Betapa
mengerikannya azab itu sampai mengalahkan cinta dan rasa peduli Sang Ibu yang
telah mengandung bayi terhadap bayinya sendiri. Azab itu pun sampai
menghancurkan sistem metabolisme tubuh dan susunan organ-organ tubuh manusia.
Saking hancurnya sistem dalam tubuh manusia, wanita-wanita yang sedang hamil
pun mengalami keguguran. Dahsyat sekali bencana itu. Karena kehancuran dalam
sistem tubuh, manusia pun sudah tidak mampu lagi mengoordinasikan tubuhnya
dengan baik. Antara otak, tangan, kaki, dan yang lainnya tak lagi teratur dan
tidak bisa lagi dikendalikan. Dari luar, manusia tampak sedang mabuk, padahal
tidak mabuk, tetapi sesungguhnya mengalami kehancuran sistem dalam tubuh. Tulang-tulang
dalam tubuh tak lagi tersusun rapi, malahan melukai bagian tubuh lainnya.
Urat-urat menjadi kusut semrawut. Darah pun mengalir tak tentu arah. Pasti
sakit sekali rasanya.
Kita
memang tidak menyaksikan peristiwa itu. Akan tetapi, Allah swt menyuruh kita
mengingatnya. Kita bisa lihat bagaimana Benua Sundaland yang asalnya satu itu
menjadi hancur kecil-kecil berserakan. Betapa dahsyatnya hari itu. Kita bisa
lihat pula bangunan-bangunan megah yang berada di atas dataran tinggi pun
dikuburnya dalam lumpur hingga tak tampak lagi oleh mata manusia. Betapa berkuasanya
Allah swt mengejar para pendosa hingga ke puncak gunung-gunung dan menangkapnya
hingga tak berkutik ditelan Bumi.
Orang-orang
yang diselamatkan dari peristiwa maha mengerikan itu pun akhirnya tersadar,
kemudian berusaha bertobat. Salah satunya adalah dengan menghindari
tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat-tempat maksiat dan penuh dengan
kemusyrikan. Borobudur dan candi-candi lain pun ditinggalkan mereka dan tak
pernah diceriterakan kepada anak cucunya. Mereka tak berniat menggalinya
kembali dari dalam tanah. Berbeda jika kita mengalami bencana, lalu bencana itu
menghancurkan Masjid Istiqlal misalnya, kita pasti akan mencarinya dan
memperbaikinya kembali. Nenek moyang kita tidak seperti itu. Mereka memilih
untuk menguburnya dalam ingatan mereka. Hal itu disebabkan kemungkinan besar
Borobudur dan cand-candi lainnya serta bangunan megah lainnya pun telah menjadi
tempat maksiat dan kemusyrikan, dijadikan tempat pemujaan terhadap malaikat, syetan,
Iblis, dan roh-roh gentayangan lainnya. Padahal, bangunan-bangunan itu sesungguhnya
awalnya didirikan untuk menyembah Allah swt. Manusia kafirlah yang telah
menyalahgunakannya hingga Allah swt murka, lalu ditenggelamkan ke dalam Bumi.
Akan tetapi, Allah swt tidak menghancurkan semuanya. Allah swt berkehendak
manusia menemukannya kembali untuk menambah keimanannya kepada Allah swt.
Itulah
alasan kenapa manusia tidak tahu awalnya di sana ada candi. Nenek moyang kita
yang diselamatkan dari bencana tidak ingin mengingatnya kembali dan tidak ingin
menceriterakan kepada anak cucunya karena khawatir akan mendapatkan lagi
bencana-bencana hebat akibat dari penyalahgunaan terhadap bangunan-bangunan
suci itu. Nenek moyang kita lebih memilih mengajari anak cucunya dengan budi
pekerti yang baik, mengabdi kepada Sang Pencipta, tidak merugikan orang lain,
bersikap ramah, lemah lembut, dan berbagai kebaktian yang penuh khidmat kepada
Sang Maha Agung.
Hal
yang paling penting diajarkan nenek moyang kita adalah soal air bah yang mampu
melahap semua yang ada, menghancurkan seluruh harta dan jiwa, menghilangkan semua
peradaban sampai ke puncak gunung. Hal itu dilakukan mereka agar anak cucunya
selalu waspada bahwa perilaku yang buruk akan mengundang bencana banjir yang
teramat dahsyat. Bukti ajaran itu ada di sekitar kita, tetapi kita tidak pernah
menyadarinya.
Pengen
tahu?
Penasaran
ya?
Perhatikan
ini.
Di
seluruh tanah air Indonesia ini banyak sekali danau dan sungai. Di
tempat-tempat itu bertahan legenda-legenda tentang terjadinya tempat itu.
Hampir 99% danau di Indonesia selalu menceriterakan kisah yang sama, yaitu di
sana ada kebaikan dan keburukan. Kemudian, pihak yang buruk menyakiti pihak
yang baik. Pihak yang lebih merasa berkuasa menghina dan merendahkan pihak baik
yang biasanya lebih lemah dan lebih lembut. Ketika keburukan menjadi-jadi dan
pihak yang baik sudah keterlaluan disakiti, air bah pun datang menghancurkan
semua yang ada, melumatkan kepongahan yang dibanggakan, dan memusnahkan kedustaan yang telah diyakini
sebagai kebenaran. Mereka yang berdosa pun hancur musnah. Selalu begitu
ceriteranya.
Kalau
ada ceritera yang tidak begitu, beri tahu saya. Saya sangat ingin mendengarnya.
Jadi,
soal motor bebek dan Borobudur itu bagaimana?
Ya
pikirin saja sendiri.
Bisa,
kan?
No comments:
Post a Comment