Tuesday 15 March 2016

Indonesia Harus Belajar Indonesia untuk Palestina

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Sebagaimana yang pernah saya tulis bahwa Indonesia ini adalah miniatur dunia. Ada ribuan suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan keyakinan. Ada ribuan bahkan jutaan peristiwa yang terjadi berikut beragam penyelesaiannya. Semua masalah yang terjadi di dunia ini pernah pula terjadi di Indonesia dan Indonesia berhasil menyelesaikannya atau sedang menuju keberhasilan dalam penyelesaiannya. Sesungguhnya, pengalaman Indonesia dengan masalah dan penyelesaiannya itu harus dijadikan bahan atau dasar rujukan untuk menyelesaikan berbagai kemelut di seluruh dunia. Allah swt telah memberikan banyak pelajaran pada Indonesia, baik memberikan masalah maupun memberikan petunjuk untuk menyelesaikannya.

            Tak ada masalah di dunia ini yang tidak pernah terjadi di Indonesia. Iya kan?

            Coba sebutkan satu saja masalah di dunia yang tidak pernah terjadi di Indonesia. Pasti tidak ada.

            Benar, kan?

            Salah!

            Makanya, kalau baca tulisan di internet itu hati-hati. Jangan tergiring para penulis yang berupaya mengacaukan pikiran pembacanya. Di internet ini banyak pembohong dan penipu. Tulisan saya di awal itu cuma menguji pembaca, apakah mudah ditipu atau tidak. Hal itu disebabkan saya yakin ketika membaca tulisan awal saya, ada banyak pembaca yang langsung percaya, padahal seharusnya jangan langsung percaya. Hati-hati.

            Sesungguhnya, ada masalah di dunia ini yang tidak pernah terjadi di Indonesia, yaitu “pembunuhan presiden”.

            Benar, kan?

            Nah, yang ini pasti benar.

            Di Indonesia ini tidak pernah terjadi pembunuhan terhadap presiden. Seburuk apa pun presiden Indonesia, sebenci apa pun rakyat Indonesia terhadap presidennya, pembunuhan terhadap presiden bukanlah watak dan kultur bangsa Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat yang sistem politiknya sering dibangga-banggakan orang itu. Banyak sekali presidennya yang mengalami upaya pembunuhan. Bahkan, Banyak Presiden AS itu yang benar-benar mati dibunuh. Mengerikan sekali dan sama sekali tidak beradab.

            Akan tetapi, anehnya banyak orang di Indonesia ini yang suka memuja-muji sistem politik AS. Padahal, banyak pembunuhan di sana, termasuk pada pemimpin politiknya, juga penurunan moral dan peningkatan kemaksiatan. Negara dengan banyak pembunuhan dan penurunan moral begitu dijadikan contoh. Bego banget.

            Sudahlah, bukan itu yang ingin saya tulis. Itu mah cuma iseng aja ngingetin pembaca agar tidak mudah ditipu dan dibohongi.

            Kita patut mengacungkan jempol untuk Presiden Jokowi yang tegas sikapnya terhadap persoalan Israel-Palestina. Itu pun terbukti dengan koordinasi yang baik terhadap Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang segera mengambil langkah-langkah politik dan diplomasi untuk mengejawantahkan sikap Indonesia tersebut.

            Sayangnya, setegas apa pun pemerintah Indonesia, sekasar apa pun rakyat Indonesia terhadap Israel,  seyakin apa pun Jokowi, selelah apa pun Retno Marsudi, Palestina tidak akan pernah berhasil melepaskan diri dari penjajahan Israel. Itu pasti.

            Hampir seluruh pengamat dunia dan Timur Tengah di Indonesia mengatakan bahwa kunci penyelesaian konflik Palestina-Israel adalah Israel sendiri. Artinya, Israel harus membuka diri untuk berdamai dan mengembalikan tanah dan harta rakyat Palestina yang telah dirampoknya agar bisa tercipta dua negara yang merdeka dan damai.

            Kalau kuncinya adalah Israel sendiri, sudah bisa dipastikan, konflik itu tidak akan pernah selesai dan Palestina akan terus menderita, bahkan akan lebih hancur dan diperbudak Israel. Hasil pengamatan yang menyerahkan kunci penyelesaian pada Israel adalah pernyataan yang menunjukkan bahwa “tak ada jalan lain” untuk menyelesaikan masalah dan membebaskan Palestina selain dari “kemurahan hati” Israel.

            Sampai kapan pun jika dunia berpandangan bahwa kuncinya adalah Israel sendiri, Palestina tidak akan pernah bebas dan akan semakin menyedihkan. Penjajah itu tidak akan pernah “bermurah hati” dan tidak akan pernah “membuka kunci pintu” untuk kebaikan bersama. Mereka akan terus menjajah dan merampok apa pun yang bisa mereka kuasai. Begitu kebiasaannya.

            Kita punya sejarah yang nyata. Belanda dan penjajah lainnya sering sekali melanggar perjanjian. Hasil-hasil perundingan dianggap hanya tulisan di kertas. Kita masih ingat bagaimana Pangeran Dipenogoro dicurangi, bagaimana pula penjajah tetap melancarkan agresi meskipun sudah ada perjanjian untuk tidak melakukan hal itu. Indonesia mengalami penderitaan dicurangi seperti itu. Oleh sebab itu, tak perlu heran jika Israel sering melanggar perjanjian dan tidak mematuhi resolusi PBB. Penjajah memang begitu tabiatnya.

            Kalau mau melepaskan diri dari penjajahan Israel, kuncinya bukanlah diserahkan pada Israel dan bukan pula pada dukungan Oki, bahkan bukan pula pada Indonesia. Kunci yang sebenarnya adalah ada pada Palestina sendiri, baik pemerintahnya, organisasi yang di dalamnya, dan seluruh rakyatnya.

            Mari kita lihat bagaimana Indonesia menghadapi penjajahan. Indonesia selalu kalah dan menderita dalam melawan penjajah. Penyebabnya adalah tidak ada persatuan dan kesatuan dalam melakukan perlawanan. Setiap kerajaan dan setiap organisasi perlawanan berjuang sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang baik. Oleh sebab itu, Ir. Soekarno menyadari betul hal itu sehingga bersama-sama tokoh nasionalis lainnya menyerukan persatuan dan kesatuan secara nasional untuk mencapai kemerdekaan bersama. Para founding fathers kita berupaya keras mewujudkan persatuan itu, baik dengan cara “terang-terangan” maupun dengan cara “sembunyi-sembunyi”. Seruan untuk bersatu itu mendapatkan sambutan yang hangat sehingga benar-benar tercipta perlawanan yang lebih terkoordinasi.

            Perbedaan paham dan hal lainnya dikesampingkan lebih dahulu. Ada tiga paham yang diperjuangkan untuk Indonesia merdeka ini, yaitu paham Islam, paham nasionalis, dan paham komunis. Ketiga paham ini sangat sering bentrok. Akan tetapi, ketika melakukan perlawanan, mereka bersama-sama mengusir penjajahan. Artinya, secara singkat dapatlah dikatakan bahwa saat itu kelompok-kelompok perlawanan mengesampingkan dahulu perbedaan agar tujuan awal bisa dicapai, yaitu kemerdekaan. Soal paham yang mana yang akan digunakan sebagai dasar negara, itu nomor dua. Nomor satu adalah merdeka dulu.

            Hal itu sebagaimana ceritera seorang kakek-kakek pejuang NII asli beberapa waktu lalu kepada saya.

            Sang Kakek itu bilang, “Kita ikuti Soekarno karena Soekarno janji yang penting merdeka aja dulu. Soal bentuk negara mau Islam, nasionalis, ataupun komunis, itu soal nanti. Kita merdeka aja dulu.”

            Nah, ajaran Soekarno ini bisa diekspor ke Palestina. Di sana itu perlawanan juga tidak terkoordinasi dengan baik. Setiap organisasi punya ego masing-masing, seperti di Indonesia masa dulu. Ada yang ngotot pengen dasar Negara Palestina adalah Islam. Ada pula yang keras hati ingin dasarnya sekuler. Tidak adanya persatuan dalam melakukan perlawanan sudah jelas melemahkan kekuatan diri Palestina sendiri. Itu sudah terbukti terjadi di Indonesia. Sesungguhnya, pemerintah Indonesia bisa “mengajari” Palestina tentang pentingnya persatuan tersebut berdasarkan pengalaman sejarah sendiri. Pemerintah Indonesia bisa bersama-sama dengan Oki memfasilitasi pertemuan di antara kelompok-kelompok yang bertikai di Palestina. Sadarkan mereka dengan sejarah Indonesia sendiri, yaitu soal negara mau dasarnya Islam atau sekuler, itu soal nanti, yang penting merdeka dulu. Bentuk negara atau hal lainnya itu bisa diselesaikan nanti setelah merdeka. Begitulah Indonesia telah merdeka dengan pengalamannya.

            Kunci kekuatan itu sebenarnya ada dalam tubuh Palestina sendiri. Kebebasan Palestina itu bukanlah bergantung pada Indonesia, Oki, Israel, ataupun negara-negara lain. Kebebasan Palestina adalah bergantung pada Palestina sendiri.

            Rakyat Indonesia pasti akan sangat senang dan mendukung penuh jika Indonesia dijadikan tempat bersejarah bagi bersatunya faksi-faksi yang sering bertikai di Palestina untuk melakukan perlawanan secara bersama terhadap Israel. Indonesia pun akan dicatat dunia sebagai negara yang sangat berpengaruh untuk menciptakan “perdamaian dunia”.

            Setelah orang-orang Palestina bersatu, tetapkan cara perjuangannya. Mau kooperatif atau nonkooperatif. Mereka harus memilihnya. Mereka bisa bekerja bersama Israel untuk menciptakan perdamaian atau memilih untuk tidak bekerja sama. Ajari pula bagaimana mereka caranya untuk melakukan perlawanan dengan cara diplomasi dan militer. Indonesia sangat berpengalaman bagaimana menyinergikan perjuangan militer dengan perjuangan melalui jalur diplomasi.

            Ingatkan pula penderitaan Indonesia ketika penjajah melakukan politk devide et impera, ‘politik adu domba’, ‘politik belah bambu’. Penjajah akan melakukan hal itu di mana pun. Sejarah sudah membuktikannya. Kita diadu domba di antara sesama bangsa sendiri. Politik adu domba ini sangat mungkin terjadi di Palestina. Dengar-dengar Hamas itu partai yang dibentuk Israel untuk menjatuhkan Yaser Arafat dan PLO-nya. Itu sudah jadi tanda bahwa orang Palestina juga diadudomba oleh Israel.

            Kunci Palestina merdeka adalah pada diri Palestina sendiri. Mereka harus bersatu bersama senasib sepenanggungan. Indonesia harus menjadi motor utama dalam perdamaian sehingga tercipta dua negara merdeka, yaitu Palestina Merdeka dan Israel Merdeka. Negara-negara anggota Oki lainnya harus pula berada di belakang Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia, bukan cuma pinter rebutan minyak aja di negaranya masing-masing.

            Kalau Indonesia berhasil mentransfer pengetahuan, semangat, sejarah, dan energi Indonesia ke Palestina, Indonesia akan dicatat dalam tinta emas sejarah dunia sebagai “Negeri Ramah Penuh Berkah Pencipta Perdamaian”. Yang mencatat bukan hanya sejarah dunia, melainkan pula para malaikat dan Allah swt. Negeri ini akan mendapatkan banyak ampunan dari Allah swt, baik di dunia maupun di akhirat. Amin.
           


No comments:

Post a Comment