oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Orang-orang dari Cina ini
memiliki sejarah yang cukup banyak di Indonesia ini. Kehidupan mereka pun
mewarnai sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Berbagai catatan tentang
kehadiran mereka pada banyak pulau di Indonesia ini bisa dilacak pada berbagai literatur.
Mereka memang gemar bertualang dan mencari wilayah-wilayah baru. Di Indonesia
ini tampak eksistensi mereka hampir pada seluruh wilayah.
Banyak dari mereka yang mampu beradaptasi dengan baik di
lingkungan yang baru di Indonesia ini sehingga terjadi akulturasi yang positif.
Kita bisa melihat bahwa mayoritas mereka ingin menjadi bagian dari masyarakat
Indonesia serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya.
Akan tetapi, ada pula benturan-benturan kecil-kecil yang terjadi dengan
masyarakat. Bahkan, mereka pernah berniat menguasai kerajaan di Indonesia
meskipun akhirnya tidak kesampaian.
Paling tidak, ada catatan sejarah mengenai “niat” mereka
untuk menguasai tersebut. Mereka sempat akan menyerbu Kerajaan Poli. Sekarang
namanya menjadi Bali. Kerajaan Poli atau Bali tersebut saat itu dipimpin oleh
seorang perempuan, namanya Ratu Shima. Ratu ini dikenal sangat tegas dan tidak
pilih bulu. Ia lebih menekankan rakyatnya agar berperilaku baik dan berbudi
pekerti luhur. Untuk menjamin kehamonisan rakyatnya, ia “mengharamkan” emas.
Memiliki emas dianggap sebagai kejahatan besar dan serius. Siapa pun yang
memiliki emas, hukumannya adalah “mati”. Ia memang memberlakukan hukum itu
dengan penuh ketegasan, malah kelewat “kejam”.
Kerajaan Cina sempat akan menyerbu untuk menguasainya.
Sebelum menyerang, Cina melakukan semacam “uji coba” pada kharisma Ratu Shima
terhadap rakyatnya, rakyat Bali. Intelijen Cina sengaja menyimpan sekarung emas
di tengah jalan untuk menguji rakyat dan penguasa Bali. Selama berbulan-bulan,
karung itu tidak ada yang menyentuhnya. Orang-orang pun tidak mempedulikannya.
Suatu saat para pembesar istana melalui jalan itu. Tanpa sengaja, Sang Putera
Mahkota menendang karung berisi emas itu. Mengetahui hal tersebut, Ratu Shima
marah bukan main. Ia pun segera akan menghukum mati anaknya sendiri. Terjadilah
kegoncangan di istana. Para pembesar istana cemas jika Putera Mahkota dihukum
mati. Mereka pun protes dan memohon agar Putera Mahkota diampuni dan tidak
dihukum mati. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Ratu Shima akhirnya tidak
jadi menghukum mati anaknya. Akan tetapi, kaki Putera Mahkota yang telah
menyentuh karung emas itu harus dipotong. Tegas bukan main dia.
Setelah melihat peristiwa itu, Kerajaan Cina pun
mengurungkan niatnya untuk menyerang dan menguasai Bali. Mereka tidak berani
berhadapan dengan pemimpin yang tegas dan memiliki kharisma tinggi di hadapan
rakyatnya.
Belajar dari kearifan lokal atau local wisdom yang pernah terjadi di Bali tersebut, untuk menghadapi
Cina yang mulai berulah, bermain “api” di perairan Indonesia, para pemimpin
Indonesia harus mempunyai suara yang sama tegas soal kedaulatan Indonesia serta
pelanggaran yang dilakukan kapal nelayan Cina dan coast guard China. Para pembesar Indonesia pun harus sama-sama
tidak mempedulikan keinginan Cina untuk membebaskan para pencuri ikan asal Cina
itu. Di samping itu, rakyat Indonesia pun harus memiliki pandangan yang sama
dengan pemerintah Indonesia soal perilaku Cina yang arogan itu. Apabila rakyat
dan para pemimpinnya memiliki satu suara, Cina pun berhitung ulang untuk
melakukan arogansi lainnya di wilayah Indonesia.
Tampaknya, pemerintah Indonesia melalui para menterinya
bersama DPR RI sudah satu suara. Yang belum satu suara adalah kemungkinan para
pengusaha yang sudah sering berbisnis dengan pihak Cina. Mereka mungkin agak
ragu berseberangan pendapat dengan Cina karena sudah sedikit agak “terbeli”
oleh pihak Cina. Hal yang agak mengkhawatirkan adalah pernyataan Istana Jokowi yang
segera menegaskan bahwa “Indonesia tidak berkonflik dengan Cina”. Pernyataan
itu terlalu prematur. Soal Indonesia berkonflik atau tidak dengan Cina
sesungguhnya bergantung pada sikap Cina sendiri. Indonesia memang tidak
menginginkan konflik dan menganggap bahwa kasus kapal Kway Fey itu cuma soal penangkapan
para pencuri asal Cina yang harus dihukum oleh hukum Indonesia. Kasusnya
menjadi besar karena pemerintah Cina bersikap arogan dan seolah-olah bisa
mendesakkan keinginannya untuk membebaskan para pencoleng itu.
Kita harus mendukung penuh Menteri Susi Pudjiastuti dan
Menlu Retno Marsudi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Investasi dan
bisnis Cina di Indonesia tidak boleh menjadi alasan untuk tidak bersikap tegas
soal kedaulatan dan hukum Indonesia. Jangan ada satu elemen pun di Indonesia
ini yang melemahkan Susi-Retno. Hal itu disebabkan jika ada sedikit
ketidakbersamaan di dalam negeri, pemerintah Cina memiliki celah untuk
memainkan keinginannya yang sama sekali tidak terpuji di Indonesia.
Kita bisa melihat bahwa sengketa Laut Cina Selatan
berlarut-larut karena tidak ada kebersamaan di antara anggota Asean dalam
menentang arogansi Cina dalam menguasai wilayah perairan yang luas tersebut,
malahan melanggar wilayah perairan negara lain. Akibatnya, Cina berkonflik
dengan Filipina, Malaysia, Brunai, dan Vietnam. Cina merasa tenang melakukan
pelanggaran tersebut karena Kamboja seolah-olah telah “terbeli” oleh berbagai
investasi yang dilakukan Cina di sana. Kamboja memang selalu berupaya untuk
tidak membuat Cina marah. Artinya, Cina memainkan celah ketidakbersamaan di
dalam anggota Asean.
Apakah Indonesia akan seperti Kamboja yang mudah sekali ditarik
hidungnya bagai kerbau congek oleh Cina?
Memalukan!
No comments:
Post a Comment