Wednesday, 23 March 2016

Cara Mudah Menghadapi Cina

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Orang-orang dari Cina ini memiliki sejarah yang cukup banyak di Indonesia ini. Kehidupan mereka pun mewarnai sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Berbagai catatan tentang kehadiran mereka pada banyak pulau di Indonesia ini bisa dilacak pada berbagai literatur. Mereka memang gemar bertualang dan mencari wilayah-wilayah baru. Di Indonesia ini tampak eksistensi mereka hampir pada seluruh wilayah.

            Banyak dari mereka yang mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan yang baru di Indonesia ini sehingga terjadi akulturasi yang positif. Kita bisa melihat bahwa mayoritas mereka ingin menjadi bagian dari masyarakat Indonesia serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya. Akan tetapi, ada pula benturan-benturan kecil-kecil yang terjadi dengan masyarakat. Bahkan, mereka pernah berniat menguasai kerajaan di Indonesia meskipun akhirnya tidak kesampaian.

            Paling tidak, ada catatan sejarah mengenai “niat” mereka untuk menguasai tersebut. Mereka sempat akan menyerbu Kerajaan Poli. Sekarang namanya menjadi Bali. Kerajaan Poli atau Bali tersebut saat itu dipimpin oleh seorang perempuan, namanya Ratu Shima. Ratu ini dikenal sangat tegas dan tidak pilih bulu. Ia lebih menekankan rakyatnya agar berperilaku baik dan berbudi pekerti luhur. Untuk menjamin kehamonisan rakyatnya, ia “mengharamkan” emas. Memiliki emas dianggap sebagai kejahatan besar dan serius. Siapa pun yang memiliki emas, hukumannya adalah “mati”. Ia memang memberlakukan hukum itu dengan penuh ketegasan, malah kelewat “kejam”.

            Kerajaan Cina sempat akan menyerbu untuk menguasainya. Sebelum menyerang, Cina melakukan semacam “uji coba” pada kharisma Ratu Shima terhadap rakyatnya, rakyat Bali. Intelijen Cina sengaja menyimpan sekarung emas di tengah jalan untuk menguji rakyat dan penguasa Bali. Selama berbulan-bulan, karung itu tidak ada yang menyentuhnya. Orang-orang pun tidak mempedulikannya. Suatu saat para pembesar istana melalui jalan itu. Tanpa sengaja, Sang Putera Mahkota menendang karung berisi emas itu. Mengetahui hal tersebut, Ratu Shima marah bukan main. Ia pun segera akan menghukum mati anaknya sendiri. Terjadilah kegoncangan di istana. Para pembesar istana cemas jika Putera Mahkota dihukum mati. Mereka pun protes dan memohon agar Putera Mahkota diampuni dan tidak dihukum mati. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Ratu Shima akhirnya tidak jadi menghukum mati anaknya. Akan tetapi, kaki Putera Mahkota yang telah menyentuh karung emas itu harus dipotong. Tegas bukan main dia.

            Setelah melihat peristiwa itu, Kerajaan Cina pun mengurungkan niatnya untuk menyerang dan menguasai Bali. Mereka tidak berani berhadapan dengan pemimpin yang tegas dan memiliki kharisma tinggi di hadapan rakyatnya.

            Belajar dari kearifan lokal atau local wisdom yang pernah terjadi di Bali tersebut, untuk menghadapi Cina yang mulai berulah, bermain “api” di perairan Indonesia, para pemimpin Indonesia harus mempunyai suara yang sama tegas soal kedaulatan Indonesia serta pelanggaran yang dilakukan kapal nelayan Cina dan coast guard China. Para pembesar Indonesia pun harus sama-sama tidak mempedulikan keinginan Cina untuk membebaskan para pencuri ikan asal Cina itu. Di samping itu, rakyat Indonesia pun harus memiliki pandangan yang sama dengan pemerintah Indonesia soal perilaku Cina yang arogan itu. Apabila rakyat dan para pemimpinnya memiliki satu suara, Cina pun berhitung ulang untuk melakukan arogansi lainnya di wilayah Indonesia.

            Tampaknya, pemerintah Indonesia melalui para menterinya bersama DPR RI sudah satu suara. Yang belum satu suara adalah kemungkinan para pengusaha yang sudah sering berbisnis dengan pihak Cina. Mereka mungkin agak ragu berseberangan pendapat dengan Cina karena sudah sedikit agak “terbeli” oleh pihak Cina. Hal yang agak mengkhawatirkan adalah pernyataan Istana Jokowi yang segera menegaskan bahwa “Indonesia tidak berkonflik dengan Cina”. Pernyataan itu terlalu prematur. Soal Indonesia berkonflik atau tidak dengan Cina sesungguhnya bergantung pada sikap Cina sendiri. Indonesia memang tidak menginginkan konflik dan menganggap bahwa kasus kapal Kway Fey itu cuma soal penangkapan para pencuri asal Cina yang harus dihukum oleh hukum Indonesia. Kasusnya menjadi besar karena pemerintah Cina bersikap arogan dan seolah-olah bisa mendesakkan keinginannya untuk membebaskan para pencoleng itu.

            Kita harus mendukung penuh Menteri Susi Pudjiastuti dan Menlu Retno Marsudi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Investasi dan bisnis Cina di Indonesia tidak boleh menjadi alasan untuk tidak bersikap tegas soal kedaulatan dan hukum Indonesia. Jangan ada satu elemen pun di Indonesia ini yang melemahkan Susi-Retno. Hal itu disebabkan jika ada sedikit ketidakbersamaan di dalam negeri, pemerintah Cina memiliki celah untuk memainkan keinginannya yang sama sekali tidak terpuji di Indonesia.

            Kita bisa melihat bahwa sengketa Laut Cina Selatan berlarut-larut karena tidak ada kebersamaan di antara anggota Asean dalam menentang arogansi Cina dalam menguasai wilayah perairan yang luas tersebut, malahan melanggar wilayah perairan negara lain. Akibatnya, Cina berkonflik dengan Filipina, Malaysia, Brunai, dan Vietnam. Cina merasa tenang melakukan pelanggaran tersebut karena Kamboja seolah-olah telah “terbeli” oleh berbagai investasi yang dilakukan Cina di sana. Kamboja memang selalu berupaya untuk tidak membuat Cina marah. Artinya, Cina memainkan celah ketidakbersamaan di dalam anggota Asean.

            Apakah Indonesia akan seperti Kamboja yang mudah sekali ditarik hidungnya bagai kerbau congek oleh Cina?

            Memalukan!

No comments:

Post a Comment