Wednesday 26 April 2023

Habib Vs Kiyai

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ngeri ya judulnya?

            Kalau dibahasaindonesiakan artinya menjadi “habib lawan kiyai”. Saya tidak begitu paham mengapa orang-orang membanding-bandingkan mereka.

            Untuk apa?

            Untuk mengejar kehormatan?

            Rendah sekali keinginan itu.

Akan tetapi, ini terjadi. Gilang Al-Ghifary yang katanya ustadz dan mengakui sebagai murid Bahar bin Smith dalam ceramahnya lantang mengatakan bahwa “belajar kepada 1 habib bodoh ukurannya sama dengan belajar kepada 70 kiyai yang berilmu”. Ini aneh dan tidak masuk akal.

            Saya tidak tahu mereka mendapat dalil dari mana. Saya pikir mereka cuma mengarang sendiri.

Setelah saya coba cari tahu, memang katanya dulu ada orang yang disebut ulama berpendapat seperti itu, namanya Ibnu Hajar Al Haytami. Maaf kalau saya salah eja namanya, telinga saya kurang jelas mendengar namanya. Meskipun demikian, saya tidak yakin dengan redaksinya, soalnya saya tidak tahu Ibnu Hajar itu hidup tahun berapa, orang mana, dan di mana dia berkata seperti itu.

            Apakah ketika dia hidup, sudah ada gelar habib dan gelar kiyai?

Gelar habib itu kan mulai dipromosikan Rabithah Alawiyah yang berdiri pada 1928 dan hanya di Indonesia, tidak ada di negara lain, iya kan?

Tahun berapa Ibnu Hajar hidup? Sudah ada gelar habib ketika dia hidup?

Gelar kiyai itu kan hanya ada di Indonesia. Tidak ada di negara lain.

Di mana Ibnu Hajar hidup? Di mana dia berkata seperti itu? Adakah gelar kiyai di Arab atau di Timur Tengah?

Kalaupun Ibnu Hajar pernah berkata mirip dengan kalimat Gilang atau Bahar, itu cuma pendapat. Semua orang bisa berpendapat berdasarkan pemahamannya masing-masing. Pendapatnya bisa sama, bisa berbeda, bisa diterima, bisa pula ditolak.

Pendapat itu sudah tertolak sejak lama oleh ulama besar dunia asal Indonesia, Syekh Nawawi Al Bantani, ‘Syekh Nawawi dari Banten, Indonesia’. Syekh Nawawi adalah ulama rujukan dunia pada masanya. Beliau imam di Mekah dan Madinah. Namanya tercantum dalam kamus Arab. Ada dua orang Indonesia yang namanya tercantum dalam kamus Arab, yaitu Presiden Soekarno dan Syekh Nawawi. Jelas dia adalah ulama besar dunia. Syekh Nawawi punya keturunan yang menjadi pejabat sangat tinggi di Indonesia, yaitu Wakil Presiden RI K.H. Maruf Amin.

Menurut Syekh Nawawi, “1 orang berilmu itu derajatnya lebih tinggi dibandingkan 60 habib yang bodoh”.

Itu juga pendapat. Tinggal kita sebagai umat mencerna, menganalisa, dan mengikuti pendapat mana yang masuk akal dan bisa bermanfaat bagi kehidupan ini. Kalau orang seperti saya ini, tidak akan pernah mau belajar kepada orang yang bodoh, apapun gelarnya, keturunan siapa pun dia.

Sudah mah saya teh bodoh, belajarnya ke orang bodoh, makin bodoh atuh saya.

Kalau belajar sama orang bodoh, kapan mau pintarnya kita?

Malah kepintaran kita bisa jadi rusak karena mengikuti orang bodoh.

Kalau mau belajar kedokteran, ya belajarlah ke dokter yang pintar, jelas pendidikannya, bukan ke dokter-dokteran. Bahaya atuh bisa rusak manusia kalau begitu mah.

Secara logika, tidak mungkin deh belajar ke orang yang bodoh. Bahkan, kalau kita ketemu dengan orang bodoh, kewajiban kita adalah membuatnya pintar sehingga dia bisa hidup lebih baik lagi, keturunan siapa pun dia. Itu juga kalau dia mau jadi lebih pintar. Kalau memilih untuk tetap menjadi orang bodoh, terserah dia.

Ini juga sesuai dengan pengalaman saya pribadi. Pernah ada keturunan Nabi Muhammad saw yang berkonsultasi tentang studinya kepada saya. Saya tidak akan sebut namanya untuk melindungi nama baiknya. Pokoknya sebutan di depan namanya ada ciri keturunan Nabi saw. Kalau keturunan dari cucu Nabi saw Imam Husein, di depannya ada sebutan “sayid” untuk laki-laki dan “sayidah” untuk perempuan. Kalau keturunan dari Imam Hasan ada sebutan “syarif” untuk laki-laki dan “syarifah” untuk perempuan.

Sebelum saya teruskan kisah pengalaman ini, saya minta teman-teman saya yang tahu kejadiannya, tahu peristiwanya, tidak perlu berkomentar, apalagi menyebutkan seluruh nama lengkap orang yang saya ceriterakan ini. Ini untuk melindungi keluarganya.

Dia mengeluh tentang studinya dan berniat untuk berhenti menuntut ilmu di perguruan tinggi. Hal itu disebabkan setelah dia mengalami cedera benturan di kepala akibat kecelakaan motor, jadi mudah lelah berpikir. Berpikir sebentar saja, butuh waktu istirahat atau tidur cukup lama untuk pulih kembali.

Setelah mendengar keluhannya, saya bilang, “Jangan berhenti kuliah.”

Dia tahu saya benar, tetapi dia sudah sangat letih dan merasa tidak sanggup meneruskannya. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi bersama ibunya. Mereka menjelaskan kesulitan-kesulitan untuk meneruskan kuliah dan meminta saran saya.

Saya tetap bilang, “Jangan berhenti kuliah.”

Setelah ibunya banyak berbicara, saya malah tambah yakin untuk tetap menyarankan jangan berhenti kuliah. Soalnya, ibunya bilang hanya akan melunasi semua hutangnya ke kampus selama dua tahun lalu karena anaknya tidak bayar lagi biaya kuliah selama sakit dua tahun itu. Dia tidak mau meninggalkan hutang ke kampus sebelum anaknya benar-benar menghentikan studinya. Selain itu, ibunya bilang agak aneh juga terhadap anaknya. Kalau untuk meneruskan belajar di perguruan tinggi, anaknya tampak lelah, tetapi ketika mengajar di pesantren, semangatnya sangat tinggi. Memang keluarga itu punya pesantren besar dengan ribuan santri dan di dalamnya ada MI, MTs, dan Aliyah.

Saya bilang, “Kalau semangat mengajar, justru harus diteruskan kuliah karena syarat menjadi guru itu kan harus minimal selesai pendidikan S1.”

Beberapa minggu kemudian, ibunya datang lagi bersama ayahnya. Mereka minta saran apa yang harus dilakukan agar anaknya selesai kuliahnya. Saya menyarankan agar kakak iparnya yang sedang kuliah S2 membantunya, selesaikan soal hutang ke kampusnya, dan kalau sangat diperlukan, saya pun bisa membantunya kapan saja.

Alhamdulillah, kini studinya sudah selesai dan sah menjadi sarjana. Dia pun dapat terus syiar Islam di pesantrennya dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Mereka sekeluarga mengucapkan terima kasih. Saya pun bersyukur bisa membantu orang, apalagi dzuriyat Rasulullah saw.

Saya mengisahkan ini bukan berarti mengatakan orang yang saya bantu dan keturunan Nabi saw itu lebih bodoh dibandingkan saya, melainkan keturunan Nabi saw pun tetap harus mendapatkan bantuan jika berada dalam kondisi down, kebingungan, ataupun letih. Mereka juga manusia seperti kita yang bisa sakit, terjatuh, tersisih, berjuang, berhasil, dan mulia. Tidak mungkin saya mengatakan dia bodoh.

Masa orang bodoh punya pesantren yang jumlah santrinya ribuan?

Jadi orang berilmu itu penting untuk memberikan jalan dan bantuan kepada mereka yang sedang membutuhkan saran dan jalan untuk memecahkan masalahnya. Soal urusan darah atau nasab, keturunan Nabi saw sudah memiliki kemuliaan tersendiri. Akan tetapi soal ilmu, itu tidak berhubungan dengan darah. Ilmu itu harus dipelajari dan dialami agar dapat memberikan manfaat kepada mereka yang ilmunya berada di bawah ilmu yang kita miliki.

Keturunan Nabi Muhammad saw yang memiliki ilmu tinggi adalah jauh lebih baik daripada orang-orang bodoh, keturunan siapa pun dia.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment