oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ngeri ya judulnya?
Kalau dibahasaindonesiakan artinya menjadi “habib lawan kiyai”. Saya tidak begitu
paham mengapa orang-orang membanding-bandingkan mereka.
Untuk apa?
Untuk mengejar kehormatan?
Rendah sekali keinginan itu.
Akan
tetapi, ini terjadi. Gilang Al-Ghifary yang katanya ustadz dan mengakui sebagai
murid Bahar bin Smith dalam ceramahnya lantang mengatakan bahwa “belajar kepada 1 habib bodoh ukurannya sama
dengan belajar kepada 70 kiyai yang berilmu”. Ini aneh dan tidak masuk
akal.
Saya tidak tahu mereka mendapat dalil dari mana. Saya pikir
mereka cuma mengarang sendiri.
Setelah
saya coba cari tahu, memang katanya dulu ada orang yang disebut ulama
berpendapat seperti itu, namanya Ibnu Hajar Al Haytami. Maaf kalau saya salah
eja namanya, telinga saya kurang jelas mendengar namanya. Meskipun demikian,
saya tidak yakin dengan redaksinya, soalnya saya tidak tahu Ibnu Hajar itu
hidup tahun berapa, orang mana, dan di mana dia berkata seperti itu.
Apakah ketika dia hidup, sudah ada gelar habib dan gelar
kiyai?
Gelar
habib itu kan mulai dipromosikan Rabithah Alawiyah yang berdiri pada 1928 dan
hanya di Indonesia, tidak ada di negara lain, iya kan?
Tahun
berapa Ibnu Hajar hidup? Sudah ada gelar habib ketika dia hidup?
Gelar
kiyai itu kan hanya ada di Indonesia. Tidak ada di negara lain.
Di
mana Ibnu Hajar hidup? Di mana dia berkata seperti itu? Adakah gelar kiyai di
Arab atau di Timur Tengah?
Kalaupun
Ibnu Hajar pernah berkata mirip dengan kalimat Gilang atau Bahar, itu cuma pendapat.
Semua orang bisa berpendapat berdasarkan pemahamannya masing-masing.
Pendapatnya bisa sama, bisa berbeda, bisa diterima, bisa pula ditolak.
Pendapat
itu sudah tertolak sejak lama oleh ulama besar dunia asal Indonesia, Syekh
Nawawi Al Bantani, ‘Syekh Nawawi dari Banten, Indonesia’. Syekh Nawawi adalah
ulama rujukan dunia pada masanya. Beliau imam di Mekah dan Madinah. Namanya
tercantum dalam kamus Arab. Ada dua orang Indonesia yang namanya tercantum
dalam kamus Arab, yaitu Presiden Soekarno dan Syekh Nawawi. Jelas dia adalah
ulama besar dunia. Syekh Nawawi punya keturunan yang menjadi pejabat sangat tinggi
di Indonesia, yaitu Wakil Presiden RI K.H. Maruf Amin.
Menurut
Syekh Nawawi, “1 orang berilmu itu
derajatnya lebih tinggi dibandingkan 60 habib yang bodoh”.
Itu
juga pendapat. Tinggal kita sebagai umat mencerna, menganalisa, dan mengikuti
pendapat mana yang masuk akal dan bisa bermanfaat bagi kehidupan ini. Kalau
orang seperti saya ini, tidak akan pernah mau belajar kepada orang yang bodoh,
apapun gelarnya, keturunan siapa pun dia.
Sudah
mah saya teh bodoh, belajarnya ke orang bodoh, makin bodoh atuh saya.
Kalau
belajar sama orang bodoh, kapan mau pintarnya kita?
Malah
kepintaran kita bisa jadi rusak karena mengikuti orang bodoh.
Kalau
mau belajar kedokteran, ya belajarlah ke dokter yang pintar, jelas
pendidikannya, bukan ke dokter-dokteran. Bahaya atuh bisa rusak manusia kalau
begitu mah.
Secara
logika, tidak mungkin deh belajar ke orang yang bodoh. Bahkan, kalau kita ketemu
dengan orang bodoh, kewajiban kita adalah membuatnya pintar sehingga dia bisa
hidup lebih baik lagi, keturunan siapa pun dia. Itu juga kalau dia mau jadi
lebih pintar. Kalau memilih untuk tetap menjadi orang bodoh, terserah dia.
Ini
juga sesuai dengan pengalaman saya pribadi. Pernah ada keturunan Nabi Muhammad
saw yang berkonsultasi tentang studinya kepada saya. Saya tidak akan sebut
namanya untuk melindungi nama baiknya. Pokoknya sebutan di depan namanya ada
ciri keturunan Nabi saw. Kalau keturunan dari cucu Nabi saw Imam Husein, di
depannya ada sebutan “sayid” untuk laki-laki dan “sayidah” untuk perempuan.
Kalau keturunan dari Imam Hasan ada sebutan “syarif” untuk laki-laki dan “syarifah”
untuk perempuan.
Sebelum
saya teruskan kisah pengalaman ini, saya minta teman-teman saya yang tahu
kejadiannya, tahu peristiwanya, tidak perlu berkomentar, apalagi menyebutkan
seluruh nama lengkap orang yang saya ceriterakan ini. Ini untuk melindungi
keluarganya.
Dia
mengeluh tentang studinya dan berniat untuk berhenti menuntut ilmu di perguruan
tinggi. Hal itu disebabkan setelah dia mengalami cedera benturan di kepala akibat
kecelakaan motor, jadi mudah lelah berpikir. Berpikir sebentar saja, butuh
waktu istirahat atau tidur cukup lama untuk pulih kembali.
Setelah
mendengar keluhannya, saya bilang, “Jangan berhenti kuliah.”
Dia
tahu saya benar, tetapi dia sudah sangat letih dan merasa tidak sanggup
meneruskannya. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi bersama ibunya. Mereka
menjelaskan kesulitan-kesulitan untuk meneruskan kuliah dan meminta saran saya.
Saya
tetap bilang, “Jangan berhenti kuliah.”
Setelah
ibunya banyak berbicara, saya malah tambah yakin untuk tetap menyarankan jangan
berhenti kuliah. Soalnya, ibunya bilang hanya akan melunasi semua hutangnya ke
kampus selama dua tahun lalu karena anaknya tidak bayar lagi biaya kuliah
selama sakit dua tahun itu. Dia tidak mau meninggalkan hutang ke kampus sebelum
anaknya benar-benar menghentikan studinya. Selain itu, ibunya bilang agak aneh
juga terhadap anaknya. Kalau untuk meneruskan belajar di perguruan tinggi,
anaknya tampak lelah, tetapi ketika mengajar di pesantren, semangatnya sangat
tinggi. Memang keluarga itu punya pesantren besar dengan ribuan santri dan di
dalamnya ada MI, MTs, dan Aliyah.
Saya
bilang, “Kalau semangat mengajar, justru harus diteruskan kuliah karena syarat
menjadi guru itu kan harus minimal selesai pendidikan S1.”
Beberapa
minggu kemudian, ibunya datang lagi bersama ayahnya. Mereka minta saran apa
yang harus dilakukan agar anaknya selesai kuliahnya. Saya menyarankan agar
kakak iparnya yang sedang kuliah S2 membantunya, selesaikan soal hutang ke
kampusnya, dan kalau sangat diperlukan, saya pun bisa membantunya kapan saja.
Alhamdulillah,
kini studinya sudah selesai dan sah menjadi sarjana. Dia pun dapat terus syiar
Islam di pesantrennya dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Mereka sekeluarga
mengucapkan terima kasih. Saya pun bersyukur bisa membantu orang, apalagi
dzuriyat Rasulullah saw.
Saya
mengisahkan ini bukan berarti mengatakan orang yang saya bantu dan keturunan
Nabi saw itu lebih bodoh dibandingkan saya, melainkan keturunan Nabi saw pun
tetap harus mendapatkan bantuan jika berada dalam kondisi down, kebingungan,
ataupun letih. Mereka juga manusia seperti kita yang bisa sakit, terjatuh,
tersisih, berjuang, berhasil, dan mulia. Tidak mungkin saya mengatakan dia
bodoh.
Masa
orang bodoh punya pesantren yang jumlah santrinya ribuan?
Jadi
orang berilmu itu penting untuk memberikan jalan dan bantuan kepada mereka yang
sedang membutuhkan saran dan jalan untuk memecahkan masalahnya. Soal urusan
darah atau nasab, keturunan Nabi saw sudah memiliki kemuliaan tersendiri. Akan
tetapi soal ilmu, itu tidak berhubungan dengan darah. Ilmu itu harus dipelajari
dan dialami agar dapat memberikan manfaat kepada mereka yang ilmunya berada di
bawah ilmu yang kita miliki.
Keturunan
Nabi Muhammad saw yang memiliki ilmu tinggi adalah jauh lebih baik daripada
orang-orang bodoh, keturunan siapa pun dia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment