oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Seharusnya, pada bulan
Ramadhan ini seluruh umat Islam lebih banyak menahan diri, menguasai diri,
mengendalikan hawa nafsu, serta menebarkan kebaikan, menciptakan perdamaian,
dan menyebarkan kasih sayang. Artinya, tak perlu diikuti atau dijadikan teladan
mereka yang mengumbar hawa nafsu negatif, berbicara kotor, menyakiti hati orang
lain, dan menciptakan permusuhan. Sayang sekali, Ramadhan yang mulia ini
dikotori oleh hal-hal bernada provokatif negatif.
Berawal dari kekesalan dan kejengkelan Gus Fuad Plered,
pemuka agama yang sangat dihormati kalangan nahdliyin yang menilai bahwa
terlalu banyak orang yang mengaku habib, tetapi ceramahnya mengandung banyak
kebencian, makian, arogan, kasar, dan menimbulkan perpecahan. Menurutnya, hanya
satu-dua atau hanya sedikit habib yang berdakwah memberikan pencerahan dan
pemahaman yang menyejukkan bagi umat. Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa para
habib yang kasar-kasar dan tidak mencerahkan itu tidak perlu berdakwah lagi di
Indonesia karena berbahaya bagi umat. Gus Fuad Plered yang diyakini sebagai
keturunan Sunan Ampel itu beberapa kali mengkritik dan menyayangkan sikap,
ucapan, dan perilaku Bahar bin Smith yang menurutnya tidak “mempribumi”, tidak
sesuai dengan sikap asli bangsa Indonesia yang dikenal baik, lembut, dan
tenang.
Gus Fuad Plered (Foto: Editor.id) |
Tampaknya kritikan Gus Fuad dibalas oleh Bahar bin Smith
yang sudah dua kali masuk penjara ini gara-gara menganiaya santri dan ocehannya
saat ceramah. Entah akan berapa kali lagi dia akan masuk penjara. Bahar
menganggap Gus Fuad bodoh, bahkan mengatakan bahwa di Indonesia ini tidak ada
keturunan Wali Songo, terputus. Kalau pun ada, itu berasal dari garis keturunan
ibu.
Bahar bin Smith (Foto: Postingnews.id) |
Ucapan Bahar ini tentu saja membuat tersinggung dan marah keturunan para wali. Keturunan Sunan Gunung Djati yang nyambung ke Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Maulana Yusuf, Sultan Hasanudin, dan masih banyak lagi benar-benar angkat suara dan meminta Bahar mencabut pernyataannya, termasuk memohon maaf. Kalaupun ada bukti terputusnya keturunan para wali, harus dijelaskan secara ilmiah.
Lebih jauh dari itu, K.H. Imaduddin Utsman Al Bantani
yang jelas dari Banten, Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka,
Kresek, Banten lebih mempopulerkan hasil penelitiannya. Kyai Imaduddin yang
juga Ketua Fatwa Komisi MUI Banten dengan suara lantang menjelaskan bahwa orang-orang
yang mengaku habib di Indonesia belum terbukti secara ilmiah merupakan
keturunan Nabi Muhammad saw. Bahkan, menurutnya, Bani Alawiyin itu terputus hubungan
darahnya dengan Nabi Muhammad saw. Bani Alawiyin yang biasa disebut Ba alawy
ini termasuk di dalamnya Bahar Smith dan orang-orang yang serupa dengannya.
Justru bani ini dianggap tidak terhubung dengan Rasulullah saw. Tak heran, banyak kalangan yang ingin bukti
ilmiah, termasuk tes DNA untuk lebih menguatkan keyakinan ada-tidaknya hubungan
darah dengan Muhammad saw.
K.H. Imaduddin Utsman Al Bantani (Foto: Inews.id) |
Makin jauh, ada pemuka agama yang sangat marah, mengaitkan
dengan urusan politik bahwa keturunan
Yaman tidak pantas untuk banyak gaya di Indonesia. Pribumi adalah pemilik hak
yang sah untuk memimpin Indonesia.
Sayyid Seif Alwy dengan suara menggelegar sangat marah
berpidato dalam bahasa Sunda, “Saha nu
ngomong keturunan Wali Songo euweuh? Kadieu siah! Dikepret bulak-balik ku aing
ayeuna keneh! Gelut jeung aing! Moal eleh gelut aing mah! Rek saha wae
digampleng ku aing! [Siapa yang bilang keturunan Wali Songo tidak ada? Ke sini!
Saya kepret bolak-balik sekarang juga! Berantem sama gua sekarang! Tidak akan
kalah berkelahi saya mah! Siapa pun akan gua tempeleng!] Kalau ada di Indonesia, tetapi membenci Wali
Songo dan menganggap keturunan Wali Songo tidak ada, minggat dari Indonesia!”
Sayyid Seif Alwy (Foto: Portal Majalengka - Pikiran Rakyat.com)
Coba kalau sudah begini, makin kacau jadinya, makin aneh.
Menurut saya ini perkara yang diada-adakan dengan banyak kebodohan dan
ketololan.
Sejak saya kecil, ngaji, tidak ada guru ngaji, ustadz,
atau kiyai yang ngaku-ngaku keturunan Nabi Muhammad saw, terus marah-marah
minta dihormati. Tidak ada seorang pun yang teriak-teriak ‘saya cucu Nabi!’,
tidak ada yang mengaku-ngaku keturunan Nabi saw, lalu mengemis untuk dimuliakan.
Semua biasa saja hubungannya antara murid dengan guru. Kalaupun ada di antara
guru-guru saya adalah keturunan Nabi Muhammad saw, bukan dianya sendiri yang
bilang, melainkan orang-orang lain yang ngasih tahu saya bahwa dia adalah
keturunan Rasulullah saw. Dianya sendiri, tidak pernah bicara soal itu dan
bersikap biasa saja seperti orang normal lainnya. Rasa hormat saya dan murid
lainnya itu bukan dipaksa, tetapi karena memang timbul dari hati karena
keluhuran ilmunya, kemuliaan sikapnya, dan kasih sayang kepada murid-muridnya.
K.H. Muchtar Adam, pendiri pesantren Babussalam tidak
pernah meminta saya untuk memuliakannya, biasa saja. Saya menghormatinya karena
memang keluhuran ilmunya yang menulis indeks Al Quran. Dulu sebelum ada
internet, untuk memahami Al Quran, saya gunakan buku itu. Fungsinya mirip
google, yaitu cari kata kunci yang diperlukan, maka ada runtunan ayat yang
memuat kata itu di bukunya. Sekarang, bukunya sudah tidak diperlukan karena ada
internet dan google. Setelah K.H. Muchtar Adam wafat, saya baru tahu bahwa
cucunya adalah murid saya, mahasiswa saya. Biasa saja, saling menghormati
secara normal.
Keturunan Nabi saw yang sangat saya hormati karena
ilmunya, saya kenal dari buku yang ditulisnya sendiri, Futh Al Ghaib, Penyingkap Kegaiban. Syekh Abdul Qadir Jaelani. Kalau
membaca bukunya, seolah-olah Syekh ada di depan saya dan saya tunduk mendengarkan
ajaran-ajarannya.
Pada dasarnya saya menghormati semua guru, bahkan semua
orang, siapa pun dia jika melakukan kebaikan dan kemuliaan. Tidak peduli dengan
leluhurnya. Orang baik adalah orang mulia, keturunan siapa pun dia.
Dulu itu tidak dikenal istilah habib yang minta
dimuliakan, merengek minta dihormati. Istilah habib itu mulai merebak sejak
Pilpres 2014 yang kemudian makin marak memasuki Pilpres 2019, semuanya terkait
politik. Makin ke sini makin runyam, mengganggu ketenangan keturunan para wali
sehingga mereka marah. Para wali itu jelas diakui sebagai keturunan Nabi
Muhammad saw. Keturunan para wali sekarang sudah berada pada berbagai bidang
kehidupan, ada yang tetap mengajarkan agama, ada yang jadi pengusaha, dokter, pejabat
pemerintah, bahkan Jenderal Dudung pun termasuk keturunan Sunan Gunung Djati.
Sekarang, tiba-tiba bermunculan keturunan para wali yang
marah dan tersinggung karena dianggap garis darahnya terputus kepada Nabi
Muhammad saw. Padahal, mereka dulu tenang-tenang saja hidup dengan masyarakat
tanpa mengaku-aku sebagai keturunan wali dan Nabi Muhammad saw. Biasa saja
hidup normal dengan masyarakat lainnya. Sekarang, gara-gara ucapan Bahar yang
sudah dipenjara dan mungkin akan dipenjara lagi itu, seolah-olah terjadi
rebutan siapa yang paling benar merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Lumayan
memalukan menurut saya.
Untuk apa membicarakan dan menyombongkan garis darah
leluhur dengan angkuh?
Hal yang paling penting kan adalah bagaimana mencerahkan,
menenangkan, dan menebarkan manfaat di tengah masyarakat, iya kan?
Iya toh pisan atuh.
Memalukan sekali jika mengaku-aku sebagai keturunan Nabi
saw, tetapi kerjaannya bikin kegaduhan dan membuat umat berhati keras, tumpul,
bodoh, dan tersesat. Sangatlah mulia jika mampu menciptakan kondisi masyarakat
yang bermanfaat bagi masyarakat lainnya karena manusia yang paling baik adalah
yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Ingat, ini Ramadhan, jangan picu kegaduhan. Malu-maluin
saja.
Lupa dengan manfaat Ramadhan yang penuh berkah dan
ampunan?
Kata Habib Jindan bin Novel, nanti di akhirat ada banyak
orang yang berteriak-teriak kepada Nabi Muhammad saw bahwa mereka adalah cucu
Nabi saw. Akan tetapi, Muhammad saw tidak mengakuinya. Orang-orang itu heran
bahwa mereka adalah berasal dari darah daging Nabi saw, tetapi tidak diakui.
Kata Nabi saw, benar kalian berasal dariku, tetapi bukan dari spermaku. Kalian
berasal dari air kencingku.
Habib Jindan bin Novel (Foto: Twitter) |
Coba Habib Jindan bicara begitu. Artinya, dia marah
terhadap orang-orang yang mengaku cucu Nabi saw, tetapi berperilaku memalukan
Nabi Muhammad saw.
Foto Bahar Smith saya dapatkan dari Postingnews id; Gus
Fuad Plered dari Editor id; Kyai Imaduddin dari iNews id; Sayyid Seif Alwy dari
Portal Majalengka – Pikiran Rakyat com; Habib Jindan bin Novel dari Twitter.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment