oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sudah manusiawi jika kita
membenci perilaku-perilaku jahat semacam korupsi, penipuan, pemerkosaan,
perzinahan, fitnah, kecurangan, dan kedustaan. Akan tetapi, tidak boleh pula
membenci berlebihan hingga tidak masuk akal. Misalnya, kita mengatakan bahwa
koruptor adalah anti-Pancasila, penipu penerimaan pegawai negeri adalah
anti-NKRI, atau pelaku pemerasan pada instansi adalah anti-pemerintah.
Kebencian seperti itu adalah berlebihan. Rasa tidak suka
hendaknya ditampakkan secara proporsional, seimbang terhadap perilakunya. Jika
kita memvonis orang sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, atau anti-pemerintah,
haruslah ada bukti nyata, baik tertulis ataupun lisan yang menyatakan dengan
tegas bahwa orang itu anti terhadap pilar-pilar bangsa. Kalau tidak ada,
mereka, para pelaku kejahatan itu sesungguhnya pendukung pilar-pilar bangsa,
tetapi sedang bermasalah dengan hukum. Hal itu memang harus dijatuhi hukuman
sesuai dengan jenis kesalahannya dan sesuai dengan hukum yang telah diberlakukan.
Hal yang sama juga kita tidak bisa mengatakan bahwa seorang
ustadz telah murtad karena melakukan pelecehan seksual terhadap santriwatinya.
Tak bisa kita mengatakan murtad terhadap seorang muslim yang berzinah,
mabuk-mabukan, mengonsumsi Narkoba, atau bahkan mengorupsi uang zakat, sedekah,
maupun infak. Mereka tetap muslim, tetapi sedang melakukan pelanggaran terhadap
ajaran Islam. Mereka adalah muslim yang khilaf sehingga melakukan penyimpangan.
Perilaku mereka harus dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku, kemudian
disadarkan kembali pada jalan yang seharusnya.
Jangan berlebihan dalam membenci kejahatan.
Berperilakulah adil dan seimbang. Sungguh, melatih diri untuk berperilaku adil
dan seimbang tanpa sikap berlebihan akan melembutkan hati kita sehingga
pikiran, perasaan, dan tindakan kita akan terasa lebih terang dan tampak jauh
lebih jernih dibandingkan mereka yang selalu memelihara sikap berlebihan yang
cenderung kasar.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment