oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Namanya Sekarmadji Maridjan
Kartosoerwirjo. Kalau dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo. Kita singkat saja SM Kartosuwiryo. Dia adalah Presiden Negara
Islam Indonesia (NII) yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 di wilayah
Garut, Jawa Barat.
Proklamasi NII ini dipicu oleh situasi politik saat itu
di Indonesia pasca-Perjanjian Renville. Kekuasaan NII sudah dilemahkan oleh NKRI
dan sekarang tidak memiliki pengaruh politik apa pun. Akan tetapi, saya tidak
ingin menulis hal itu. Itu sudah menjadi sejarah, masa lalu.
Hal yang membuat saya tertarik adalah tulisan SM
Kartosuwiryo mengenai pengertian “jihad
kecil” dan “jihad besar”. Istilah
jihad kecil dan jihad besar sendiri memang berasal dari Nabi Muhammad saw dalam
sebuah hadits.
Para pendakwah biasanya mengartikan jihad kecil sebagai
perang fisik atau pertempuran bersenjata. Adapun jihad besar diartikan sebagai
perang melawan diri sendiri atau melawan hawa nafsu. Dilihat dari kata “kecil”
dan “besar”. Jihad kecil memang lebih mudah karena musuhnya nyata dan risikonya
adalah membunuh atau dibunuh. Jihad besar itu lebih berat karena melawan hawa
nafsu sendiri yang tidak nyata dan berasal dari keburukan diri sendiri. Perlu
ketangguhan setiap hari untuk menang dalam jihad besar dan itu tidak mudah.
Kita sendiri merasakan susahnya, bukan?
Bangun untuk shalat Shubuh saja banyak yang sempoyongan
dan gagal karena kembali berakhir di tempat tidur lagi. Untuk disiplin belajar
dan bekerja saja, terseok-seok dan banyak alasan yang kemudian berakhir dalam masalah.
Iya, kan?
SM Kartosuwiryo memberikan pemahaman yang lebih luas soal
ini. Menurutnya, jihad kecil itu selalu menimbulkan hal negatif, seperti, kerusakan,
kehancuran, kesakitan, kematian, kemusnahan, keporakporandaan, dan kekalutan
negara. Berbeda dengan jihad besar yang mengarah pada hal positif seperti pembangunan bangsa dengan beragam pembangunan
fisik semacam gedung pemerintahan, jalan, jembatan, lembaga pendidikan, tempat
ibadat, dan infrastruktur lainnya. Di samping itu, jihad besar memiliki arah
pula pada peningkatan sumber daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam untuk
kepentingan rakyat, serta penguatan terhadap keimanan beragama.
Berdasarkan pendapat dari SM Kartosuwiryo tersebut, kita,
bangsa Indonesia yang saat ini hidup damai, tidak dalam situasi perang,
seharusnya memilih untuk melakukan jihad besar dengan cara membangun diri, keluarga,
masyarakat, dan bangsa sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing diri.
Tidak perlu melakukan jihad kecil yang arahnya pada pertarungan fisik dan
penghilangan nyawa karena hasilnya bakal negatif serta termasuk aksi makar,
huru-hara, terorisme yang jelas merusakkan perkembangan hidup rakyat Indonesia,
baik materil maupun spiritual.
Saat ini adalah masanya untuk jihad besar, bukan jihad
kecil.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment