oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Istilah “radikal” sudah lebih dulu terkenal dibandingkan “manipulator agama”. Kedua istilah ini saat ini di Indonesia
ditujukan pada mereka yang dianggap membuat kesesatan berpikir dengan
menggunakan agama. Agama apapun. Akan tetapi, karena di Indonesia ini mayoritas
Islam dan ada kelompok-kelompok kecil yang dianggap mengacaukan kehidupan
beragama, sangat terasa bahwa kedua istilah itu menyasar pada kelompok-kelompok
Islam. Sesungguhnya, pada seluruh agama dan keyakinan terdapat
kelompok-kelompok radikal dan memanipulasi agama untuk kepentingan kelompoknya
sendiri, baik politik maupun ekonomi. Contohnya, di Myanmar ada Budha radikal,
di India ada Hindu Radikal, di Irlandia ada Kristen Radikal, di Jepang ada
agama radikal, di Israel ada sekte Yahudi radikal, di Eropa juga ada
radikalisme yang berasal dari keyakinan-keyakinan tertentu.
Istilah radikal sendiri sebetulnya tidak selalu memiliki
arti negatif, bahkan awalnya kebanyakan positif. Radikal berasal dari bahasa
latin, “radix”, artinya ‘akar’. Dengan demikian, radikal adalah
sikap yang selalu ingin menyelesaikan masalah secara tuntas hingga ke
akar-akarnya. Orang yang radikal tidak ingin menyelesaikan masalah
setengah-setengah, tetapi ingin tuntas hingga akarnya meskipun harus
mengeluarkan energi habis-habisan. Akan tetapi, saat ini arti kata radikal
mengalami penyempitan makna menjadi sebuah sikap yang ingin benar sendiri,
intoleran, tidak mau berdiskusi, keras kepala, tidak mau mendengar pendapat
orang lain, selalu menyalahkan orang lain, dan menyelesaikan masalah dengan
kekerasan.
Memang sikap radikal akan menjadi positif jika didasari
hal-hal positif, misalnya, Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, Jenderal Soedirman,
Gatot Soebroto, Moh. Natsir, Jos Soedarso, dan pahlawan-pahlawan Indonesia
lainnya adalah orang-orang radikal yang tidak mau setengah-setengah berjuang. Mereka
tidak mau tanggung bertarung. Mereka hanya menginginkan kemerdekaan, bukan yang
lain. Oleh sebab itu, timbul slogan “Merdeka
atoe Mati!”. Itu radikalisme. Akan tetapi, sikap radikal akan menjadi negatif
jika didasari oleh hal-hal negatif. Contohnya, di Jerman keyakinan Nazi adalah
radikal dan menimbulkan kekacauan di antara umat manusia. Demikian pula dalam
hal keagamaan jika tidak mau mendengar pendapat orang lain, keras kepala, dan
melakukan manipulasi dengan menggunakan sentimen-sentimen dan emosi keagamaan,
radikalisme menjadi negatif. Misalnya, kalau mendukung calon A, masuk neraka;
kalau mendukung calon B masuk surga.
Karena radikal memiliki makna positif pula, sepertinya
pemerintah merasa perlu untuk mempertegas istilah untuk mereka yang dianggap mengganggu dengan memanipulasi agama
untuk kepentingan politik maupun ekonomi mereka. Muncullah istilah “manipulator agama”.
Manipulasi sendiri
memiliki arti tindakan melakukan rekayasa, penambahan, pengurangan, penghilangan,
penyembunyian, pengaburan, pemutarbalikkan fakta, penyesatan, pendustaan,
pengacauan dari kenyataan yang sebenarnya. Orang yang melakukannya disebut
manipulator. Jika norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan keagamaan
dimanipulasi untuk melakukan kekacauan, kerusakkan, keributan, dan mendapatkan
keuntungan politik serta ekonomi, pelakunya pantas disebut manipulator agama.
Para manipulator ini biasanya hanya berbicara satu arah,
enggan berdebat, enggan berdiskusi, enggan untuk menerima pendapat orang lain.
Mereka hanya mengumbar pendapatnya sendiri dan secara langsung menyalahkan
pihak lain tanpa periksa. Mereka menginginkan kekacauan dan kesesatan berpikir
untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.
Berbeda dengan mereka yang berbeda pemahaman, pendapat,
tetapi tetap menjaga keharmonisan hubungan dan ketertiban. Para manipulator
tidak berusaha menjaga keharmonisan, melainkan terus mengampanyekan
manipulasinya. Adapun mereka yang bukan manipulator akan tetap menjaga hubungan
baik meskipun memiliki perbedaan paham.
Seperti itu kira-kira.
Kalau enggak mengerti, ngacung!
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment