oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam dunia modern dengan
jumlah penduduk di suatu negara sangat besar, tidak mungkin dilakukan demokrasi
langsung dalam arti rakyat menyampaikan sendiri aspirasinya kepada pemerintah.
Hal itu disebabkan beberapa hal, di antaranya, rakyat memiliki keterbatasan
dalam menyampaikan aspirasinya, baik itu keterbatasan pendidikan, pengalaman
hidup, kemampuan berpikir runut, dan keahlian dalam berbicara. Oleh sebab itu,
rakyat selalu mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dianggap lebih mampu
dibandingkan dirinya. Orang-orang inilah yang disebut dengan “wakil rakyat”.
Kalau zaman dulu,
ketika jumlah penduduk sedikit dengan wilayah suatu pemerintahan masih sempit,
rakyat bisa menyampaikan segala keinginannya secara langsung kepada raja.
Mereka tidak memerlukan wakil di sebuah kerajaan yang kecil-kecil. Hal ini
tidak bisa lagi dilakukan di dunia modern.
Di Indonesia dalam zaman penjajahan ada lapisan
masyarakat yang disebut “jago”. Saya
lebih suka mengistilahkannya sebagai “pendekar”.
Mereka ini memiliki dua fungsi, yaitu pertama,
menjadi alat kepanjangan pemerintah penjajah untuk menyampaikan program “company”, rakyat menyebutnya “kompeni”, orang Sunda menyebutnya “kumpeni”, artinya “perusahaan” yang dimiliki penjajah Belanda. Kedua, para pendekar pun berfungsi pula menjadi wakil rakyat untuk
menyampaikan segala kebutuhan dan keluh kesahnya kepada pemerintah kolonial.
Ketika program kompeni dengan kebutuhan masyarakat
selaras, kehidupan pun berjalan aman. Akan tetapi, ketika terjadi perbedaan,
terjadilah banyak konflik. Para pendekar ini pun terlibat. Sebagian ada yang
propenjajah, sebagian lagi ada yang prorakyat. Terjadilah pertarungan di antara
mereka. Dari sinilah segala asal muasal kisah dunia persilatan dimulai yang
menginspirasi berbagai kisah komik silat di Indonesia. Di dalam komik-komik
silat itu, kerap muncul para kompeni yang terlibat dalam pertarungan.
Bagi penjajah, para pendekar ini adalah alat yang menjadi
Humas-nya. Akan tetapi, bagi rakyat, para pendekar adalah wakil rakyat.
Dalam zaman sekarang para pendekar ini tersisihkan dan
tidak lagi banyak berperan dalam dunia politik. Kesaktian, kekuatan otot,
kemahiran bertarung, dan kegagahan pendekar sudah semakin tidak lagi berarti. Kalaupun masih ada
pendekar, peran mereka hanya digunakan ketika terjadi ancaman-ancaman yang
bersifat fisik dan itu sudah sangat jarang. Bahkan, penyelesaian masalah dengan
melibatkan para pendekar dianggap sudah kuno, ketinggalan zaman, dan tidak
beradab. Hal itu disebabkan penyelesaian masalah secara beradab adalah melalui
jalur hukum.
Peran para pendekar ini sekarang diambil oleh para anggota
dewan perwakilan rakyat, baik di daerah maupun di pusat, nasional. Merekalah
yang harus bertarung pada berbagai tingkatan pemerintahan, baik untuk
menyukseskan program pemerintah maupun untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Di seluruh dunia, tugas utama wakil rakyat ini ada tiga,
yaitu: controlling (pengawasan), legislasi (membuat undang-undang), dan budgeting (menyusun anggaran
pemerintahan). Pengawasan berarti mereka bertugas untuk mengontrol dan
mengawasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan harapan yang telah
disepakati sebelumnya. Pembuatan undang-undang pun wajib dilakukan wakil rakyat
agar segala peraturan dapat menyejahterakan, melindungi, dan menjamin kehidupan
rakyat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di samping itu,
penyusunan anggaran pun harus dilakukan wakil rakyat agar keuangan dapat
dibelanjakan dan digunakan untuk kepentingan bersama, baik pemerintah maupun
rakyat secara keseluruhan.
Dengan ketiga tugas utama tersebut, apabila dijalankan
dengan baik, sebetulnya rakyat tidak harus terlalu letih dan capek untuk
mengawasi jalannya pemerintahan. Hal itu disebabkan pengawasan itu adalah
tugasnya wakil rakyat. Mereka yang dipercaya untuk melakukan hal itu, digaji untuk
itu, difasilitasi untuk itu, dan diberikan kekuasaan untuk melakukan pengawasan
tersebut. Apabila ada penyelewengan atau kesalahan yang dilakukan pemerintah,
merekalah yang pertama kali harus bergerak, protes keras, bahkan memanggil
pemerintah untuk menjelaskan berbagai kerjanya yang dianggap suatu
penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu bukanlah tugas rakyat. Rakyat seharusnya
sudah diwakili berbagai keresahan, kegalauan, kepentingan, dan kebutuhannya.
Semestinya, rakyat tenang saja beraktivitas sesuai dengan potensinya
masing-masing dalam kehidupannya.
Apabila rakyat masih harus protes sendiri, demonstrasi
sendiri, marah-marah sendiri, mikir sendiri, untuk apa rakyat memiliki wakil
rakyat?
Di mana para wakil rakyat itu?
Idealnya, para wakil rakyat itu memahami keinginan
rakyat, lalu memperjuangkannya melalui parlemen untuk mendesak pemerintah,
kemudian bekerja sama dengan pemerintah agar kepentingan rakyat terpenuhi.
Kalau masih sangat banyak rakyat yang berteriak sendiri, terlalu seringnya
aksi-aksi demonstrasi, koar-koar di Medsos, itu artinya ada hubungan yang
terputus antara rakyat dengan wakil rakyat. Itulah yang saya sebut “gagal koneksi dengan wakil rakyat”.
Rakyat kurang atau
tidak merasa terwakili kebutuhannya oleh para wakil rakyat. Mereka bergerak
sendiri, bicara sendiri, teriak sendiri, ngoceh sendiri di Medsos. Seharusnya, partai politik menyerap keresahan
masyarakat, lalu menyampaikannya pada anggota wakil rakyat untuk diperjuangkan
melalui jalur resmi wakil rakyat.
Jika begini keadaannya, rakyat juga mungkin tidak tahu siapa
sebetulnya wakil mereka. Semestinya, rakyat mendatangi para wakil rakyat yang
telah mereka pilih untuk menyampaikan keinginannya, lalu diperjuangkan dan
didesakkan sesuai dengan tugas dan kewenangan wakil rakyat terhadap pemerintah.
Hal yang lebih parah adalah jika justru para wakil rakyat
memposting hal-hal yang kontroversial di media sosial mereka yang justru
memprovokasi masyarakat untuk marah dan bergerak anarkis. Para aktivis Parpol
dan wakil rakyat yang seperti ini justru mendorong masyarakat untuk capek
bergerak. Padahal, seharusnya mereka yang bergerak karena itu sudah tugasnya.
Rakyat itu jangan diajak-ajak untuk bergerak lagi karena rakyat tidak digaji
dan tidak difasilitasi untuk itu. Para wakil rakyatnya yang seharusnya cepat
bergerak atas dorongan rakyat, bukan sebaliknya rakyat didorong untuk bergerak.
Sementara itu, wakil rakyat menghilang dari peredaran dan muncul lagi ketika
masa-masa kampanye dengan segala janji-janjinya.
Jika masyarakat teriak-teriak sendiri, baik di Medsos
maupun di dunia nyata tanpa melibatkan wakil rakyat, terlalu banyak aksi
demonstrasi yang digelar rakyat, adanya polarisasi yang tajam di antara
masyarakat terkait negara dan pemerintahan, itu menandakan “gagal koneksi
dengan wakil rakyat”.
Memang rakyat boleh protes, demonstrasi, menyatakan
pendapat. Itu adalah hak masyarakat dan dilindungi oleh undang-undang. Rakyat
tidak perlu takut. Akan tetapi, jika rakyat terlalu banyak protes sendirian,
wakil rakyat tidak tampak perannya dalam mewakili rakyat. Apalagi jika justru
memprovokasi masyarakat untuk selalu marah-marah, itu berarti melimpahkan
tugasnya kepada masyarakat, padahal para wakil rakyatlah yang digaji untuk itu.
Saya yakin banyak rakyat yang tidak tahu siapa yang
mewakili mereka berdasarkan daerah-daerah pemilihannya. Semestinya mereka paham
sehingga menggunakan wakil rakyat itu untuk memperjuangkan keinginannya.
Mari kita tanya diri sendiri, apakah kita terhubung dan
merasa terwakili oleh para wakil rakyat itu?
Kalau tidak merasa terwakili dan tidak merasa ada
hubungan, berarti rakyat “gagal koneksi
dengan wakil rakyat”.
Sampurasun.
Sumber:
S.
Ekadjati, Edi, 1995, Kebudayaan Sunda:
(Suatu Pendekatan Sejarah), PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta
Syafiie,
Inu Kencana; Azhari, 2005, Sistem Politik
Indonesia, Cet. 2, PT Refika Aditama: Bandung
No comments:
Post a Comment