Tuesday 21 April 2020

Gagal Koneksi dengan Wakil Rakyat


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dalam dunia modern dengan jumlah penduduk di suatu negara sangat besar, tidak mungkin dilakukan demokrasi langsung dalam arti rakyat menyampaikan sendiri aspirasinya kepada pemerintah. Hal itu disebabkan beberapa hal, di antaranya, rakyat memiliki keterbatasan dalam menyampaikan aspirasinya, baik itu keterbatasan pendidikan, pengalaman hidup, kemampuan berpikir runut, dan keahlian dalam berbicara. Oleh sebab itu, rakyat selalu mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dianggap lebih mampu dibandingkan dirinya. Orang-orang inilah yang disebut dengan “wakil rakyat”.

            Kalau zaman dulu, ketika jumlah penduduk sedikit dengan wilayah suatu pemerintahan masih sempit, rakyat bisa menyampaikan segala keinginannya secara langsung kepada raja. Mereka tidak memerlukan wakil di sebuah kerajaan yang kecil-kecil. Hal ini tidak bisa lagi dilakukan di dunia modern.

            Di Indonesia dalam zaman penjajahan ada lapisan masyarakat yang disebut “jago”. Saya lebih suka mengistilahkannya sebagai “pendekar”. Mereka ini memiliki dua fungsi, yaitu pertama, menjadi alat kepanjangan pemerintah penjajah untuk menyampaikan program “company”, rakyat menyebutnya “kompeni”, orang Sunda menyebutnya “kumpeni”, artinya “perusahaan” yang dimiliki penjajah Belanda. Kedua, para pendekar pun berfungsi pula menjadi wakil rakyat untuk menyampaikan segala kebutuhan dan keluh kesahnya kepada pemerintah kolonial.

            Ketika program kompeni dengan kebutuhan masyarakat selaras, kehidupan pun berjalan aman. Akan tetapi, ketika terjadi perbedaan, terjadilah banyak konflik. Para pendekar ini pun terlibat. Sebagian ada yang propenjajah, sebagian lagi ada yang prorakyat. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Dari sinilah segala asal muasal kisah dunia persilatan dimulai yang menginspirasi berbagai kisah komik silat di Indonesia. Di dalam komik-komik silat itu, kerap muncul para kompeni yang terlibat dalam pertarungan.

            Bagi penjajah, para pendekar ini adalah alat yang menjadi Humas-nya. Akan tetapi, bagi rakyat, para pendekar adalah wakil rakyat.

            Dalam zaman sekarang para pendekar ini tersisihkan dan tidak lagi banyak berperan dalam dunia politik. Kesaktian, kekuatan otot, kemahiran bertarung, dan kegagahan pendekar sudah semakin  tidak lagi berarti. Kalaupun masih ada pendekar, peran mereka hanya digunakan ketika terjadi ancaman-ancaman yang bersifat fisik dan itu sudah sangat jarang. Bahkan, penyelesaian masalah dengan melibatkan para pendekar dianggap sudah kuno, ketinggalan zaman, dan tidak beradab. Hal itu disebabkan penyelesaian masalah secara beradab adalah melalui jalur hukum.

            Peran para pendekar ini sekarang diambil oleh para anggota dewan perwakilan rakyat, baik di daerah maupun di pusat, nasional. Merekalah yang harus bertarung pada berbagai tingkatan pemerintahan, baik untuk menyukseskan program pemerintah maupun untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

            Di seluruh dunia, tugas utama wakil rakyat ini ada tiga, yaitu: controlling (pengawasan), legislasi (membuat undang-undang), dan budgeting (menyusun anggaran pemerintahan). Pengawasan berarti mereka bertugas untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan harapan yang telah disepakati sebelumnya. Pembuatan undang-undang pun wajib dilakukan wakil rakyat agar segala peraturan dapat menyejahterakan, melindungi, dan menjamin kehidupan rakyat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di samping itu, penyusunan anggaran pun harus dilakukan wakil rakyat agar keuangan dapat dibelanjakan dan digunakan untuk kepentingan bersama, baik pemerintah maupun rakyat secara keseluruhan.

            Dengan ketiga tugas utama tersebut, apabila dijalankan dengan baik, sebetulnya rakyat tidak harus terlalu letih dan capek untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Hal itu disebabkan pengawasan itu adalah tugasnya wakil rakyat. Mereka yang dipercaya untuk melakukan hal itu, digaji untuk itu, difasilitasi untuk itu, dan diberikan kekuasaan untuk melakukan pengawasan tersebut. Apabila ada penyelewengan atau kesalahan yang dilakukan pemerintah, merekalah yang pertama kali harus bergerak, protes keras, bahkan memanggil pemerintah untuk menjelaskan berbagai kerjanya yang dianggap suatu penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu bukanlah tugas rakyat. Rakyat seharusnya sudah diwakili berbagai keresahan, kegalauan, kepentingan, dan kebutuhannya. Semestinya, rakyat tenang saja beraktivitas sesuai dengan potensinya masing-masing dalam kehidupannya.

            Apabila rakyat masih harus protes sendiri, demonstrasi sendiri, marah-marah sendiri, mikir sendiri, untuk apa rakyat memiliki wakil rakyat?

            Di mana para wakil rakyat itu?

            Idealnya, para wakil rakyat itu memahami keinginan rakyat, lalu memperjuangkannya melalui parlemen untuk mendesak pemerintah, kemudian bekerja sama dengan pemerintah agar kepentingan rakyat terpenuhi. Kalau masih sangat banyak rakyat yang berteriak sendiri, terlalu seringnya aksi-aksi demonstrasi, koar-koar di Medsos, itu artinya ada hubungan yang terputus antara rakyat dengan wakil rakyat. Itulah yang saya sebut “gagal koneksi dengan wakil rakyat”.

            Rakyat kurang atau tidak merasa terwakili kebutuhannya oleh para wakil rakyat. Mereka bergerak sendiri, bicara sendiri, teriak sendiri, ngoceh sendiri di Medsos.  Seharusnya, partai politik menyerap keresahan masyarakat, lalu menyampaikannya pada anggota wakil rakyat untuk diperjuangkan melalui jalur resmi wakil rakyat.

            Jika begini keadaannya, rakyat juga mungkin tidak tahu siapa sebetulnya wakil mereka. Semestinya, rakyat mendatangi para wakil rakyat yang telah mereka pilih untuk menyampaikan keinginannya, lalu diperjuangkan dan didesakkan sesuai dengan tugas dan kewenangan wakil rakyat terhadap pemerintah.

            Hal yang lebih parah adalah jika justru para wakil rakyat memposting hal-hal yang kontroversial di media sosial mereka yang justru memprovokasi masyarakat untuk marah dan bergerak anarkis. Para aktivis Parpol dan wakil rakyat yang seperti ini justru mendorong masyarakat untuk capek bergerak. Padahal, seharusnya mereka yang bergerak karena itu sudah tugasnya. Rakyat itu jangan diajak-ajak untuk bergerak lagi karena rakyat tidak digaji dan tidak difasilitasi untuk itu. Para wakil rakyatnya yang seharusnya cepat bergerak atas dorongan rakyat, bukan sebaliknya rakyat didorong untuk bergerak. Sementara itu, wakil rakyat menghilang dari peredaran dan muncul lagi ketika masa-masa kampanye dengan segala janji-janjinya.

            Jika masyarakat teriak-teriak sendiri, baik di Medsos maupun di dunia nyata tanpa melibatkan wakil rakyat, terlalu banyak aksi demonstrasi yang digelar rakyat, adanya polarisasi yang tajam di antara masyarakat terkait negara dan pemerintahan, itu menandakan “gagal koneksi dengan wakil rakyat”.

            Memang rakyat boleh protes, demonstrasi, menyatakan pendapat. Itu adalah hak masyarakat dan dilindungi oleh undang-undang. Rakyat tidak perlu takut. Akan tetapi, jika rakyat terlalu banyak protes sendirian, wakil rakyat tidak tampak perannya dalam mewakili rakyat. Apalagi jika justru memprovokasi masyarakat untuk selalu marah-marah, itu berarti melimpahkan tugasnya kepada masyarakat, padahal para wakil rakyatlah yang digaji untuk itu.

            Saya yakin banyak rakyat yang tidak tahu siapa yang mewakili mereka berdasarkan daerah-daerah pemilihannya. Semestinya mereka paham sehingga menggunakan wakil rakyat itu untuk memperjuangkan keinginannya.

            Mari kita tanya diri sendiri, apakah kita terhubung dan merasa terwakili oleh para wakil rakyat itu?

            Kalau tidak merasa terwakili dan tidak merasa ada hubungan, berarti rakyat “gagal koneksi dengan wakil rakyat”.

            Sampurasun.



Sumber:

S. Ekadjati, Edi, 1995, Kebudayaan Sunda: (Suatu Pendekatan Sejarah), PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta

Syafiie, Inu Kencana; Azhari, 2005, Sistem Politik Indonesia, Cet. 2, PT Refika Aditama: Bandung

No comments:

Post a Comment