oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dual
economy artinya dua situasi ekonomi atau dualisme ekonomi.
Keduanya saling berpasangan, berkaitan, terhubung, bahkan berlawanan.
Teori dual economy ini merupakan perlawanan dari teori-teori
sektor tunggal (singles sector models).
Dalam buku Ekonomi Politik Internasional:
Suatu Pengantar yang disusun Umar
Suryadi Bakry, Cetakan I, Januari 2019, yang diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, dijelaskan
bahwa pada pertengahan abad ke-20, pemodelan teoretis mengenai pertumbuhan
ekonomi didominasi oleh sektor tunggal seperti yag dilakukan oleh Robert Solow.
Model tunggal ini ditentang oleh sejumlah ekonom, termasuk W. Arthur Lewis dan
Simon Kuznets. Keduanya mengemukakan sebuah model dual economy dengan mengacu pada sebuah sektor yang relatif
berkembang (advanced sector) dan
sebuah sektor yang relatif terbelakang (backward
sector). Istilah alternatif untuk menyebut kedua sektor tersebut adalah sektor
kapitalis dan subsisten, formal dan informal, modern dan tradisional, perkotaan
dan pedesaan, primer dan sekunder, good
jobs dan bad jobs.
Dual economy ini
tampak lebih modern dan lebih masuk akal dibandingkan sektor tunggal. Hal itu
disebabkan tidak ada yang tunggal dalam kehidupan ini, kecuali Allah swt. Tidak
ada kehidupan yang seluruhnya maju atau selamanya miskin. Tidak ada yang berada
dalam kondisi sama setiap saat, selalu ada pengalaman berbeda, misalnya,
senang-susah, makmur-miskin, bangun-jatuh, cantik-jelek, baik-buruk, dan lain sebagainya.
Semuanya selalu seperti itu.
Konsep dual economy sendiri diciptakan oleh Julius H.
Boeke untuk menggambarkan koeksistensi sektor ekonomi modern dan sektor ekonomi
tradisional dalam sebuah perekonomian kolonial. Fenomena dual economy umumnya
terdapat di negara-negara terbelakang (less
developed country--LDC) ketika sektor yang satu untuk pasar lokal dan
sektor lainnya untuk pasar ekspor global.
Hal ini pun pernah dijelaskan oleh Presiden ke-1 RI
Soekarno bahwa perdagangan kain di tanah Jawa sebelum penjajah datang adalah
cukup maju. Para penenun menenun kain yang murah untuk dipasarkan di wilayah
lokal, kain yang bagus dipasarkan di daerah pesisir, bahkan ke luar negeri. Hal
itu menunjukkan bahwa ada dual economy, yaitu memproduksi barang untuk tingkat
ekonomi menengah bawah dan untuk tingkat ekonomi atas, bahkan luar negeri.
Sayangnya, kemajuan perdagangan kain di tanah Jawa
dihancurkan oleh penjajahan. Masyarakat Indonesia bisnisnya benar-benar hancur
dan diganti oleh kekuasaan ekonomi penjajah yang membuat produksi kaum pribumi
megap-megap dan bangkrut. Kalaupun ada yang besar, hanya satu dua dan tidak
bisa menopang perekonomian rakyat. Adapun perdagangan yang besar, maju, dan
merambah kawasan internasional dikuasai oleh penjajah.
Hal ini pun sebenarnya sudah disebutkan Allah swt dalam
Al Quran, Surat Yasin (36) ayat 36:
“Mahasuci (Allah)
yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.”
Jadi, jelas bahwa
semuanya diciptakan berpasangan. Hal itu tak terkecuali dengan kehidupan
ekonomi yang juga selalu berpasangan, berlawanan, berhadapan, atau beriringan.
Menurut Lewis,
sektor modern (kapitalis) menghasilkan barang-barang industri, jasa, dan
aktivitas komersial lainnya. Adapun sektor tradisional (subsisten) menghasilkan
barang-barang pertanian. Menurutnya, akumulasi modal hanya terjadi pada sektor
kapitalis dan sektor ini merupakan mesin pertumbuhan ekonomi.
Senada dengan Lewis, Kuznets berpandangan bahwa esensi
pertumbuhan ekonomi modern adalah pergeseran produksi secara bertahap dari
sektor berpendapatan rendah menuju sektor berpendapatan lebih tinggi.
Dari pandangan Lewis dan Kuznets, kita bisa melihat
adanya kehidupan ekonomi modern yang ditandai dengan pendapatan ekonomi tinggi
dan kehidupan tradisional dengan pendapatan ekonomi rendah. Pendapatan yang
tinggi dalam kehidupan modern itu disebabkan oleh aktivitas yang tinggi, tenaga
kerja yang terdidik dan terlatih, modal yang besar, penjualan barang dan jasa
yang juga deras, serta digunakannya prinsip-prinsip efisiensi dan peningkatan
profit yang sangat tinggi pula. Adapun pendapatan rendah dalam kehidupan
tradisional disebabkan oleh rendahnya aktivitas masyarakat, hasil pertanian
yang ditujukan sebagian besar untuk dikonsumsi sendiri, usaha pertanian dan
peternakan yang tidak mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, serta tingginya
tingkat pengangguran.
Pendapatan yang rendah dalam kehidupan tradisional ini
mendorong adanya urbanisasi, migrasi ke perkotaan. Akan tetapi, karena di kota
dituntut keahlian dan keterdidikan yang cukup tinggi, banyak warga pendatang
yang akhirnya bekerja di bidang informal karena tidak terserap di sektor
formal, bahkan menjadi pengagguran di perkotaan.
Menurut ahli Ekonomi Politik Internasional (Epi), Robert
Gilpin, teori dual economy atau dualisme ekonomi, harus dianalisis dari dua
sisi, yaitu sisi sektor modern yang
progresif dan sektor tradisional yang ditandai dengan keterbelakangan cara
produksi.
Dalam teori
dualisme ekonomi diyakini bahwa yang namanya pertumbuhan ekonomi adalah
perkembangan dari ekonomi tradisional ke arah ekonomi modern. Perkembangan ini
memerlukan pula perkembangan struktur ekonomi, sosial, dan politik. Tanpa ada perubahan
pada berbagai sektor, sulit terjadi peningkatan ke arah modern. Sistem sosial
dan politik yang tertutup akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat
dan sulit bersaing di tengah kancah persaingan global. Hal itu disebabkan
persaingan global mensyaratkan adanya keterbukaan dan saling ketergantungan, interdependensi, di antara negara-negara
di dunia. Jika ingin mengalami pertumbuhan ekonomi, sistem ekonomi tradisional
harus mengikuti perkembangan global sehingga terbawa ke dalam perilaku global.
Dalam pandangan dualisme ekonomi, kehadiran ekonomi pasar
(market economy) merupakan akibat
alamiah dari adanya kekuatan-kekuatan pasar yang bekerja. Kemajuan berbagai
bidang, seperti, infrastruktur, transportasi, komunikasi, penghematan biaya,
lembaga-lembaga ekonomi, dan lain sebagainya menjadi pendorong bagi pertumbuhan
ekonomi dari tradisional ke modern.
Di dalam hubungan internasional dapat kita lihat dual
economy ini, yaitu adanya negara maju dan negara berkembang atau bahkan miskin.
Negara berkembang atau miskin biasanya mengandalkan sumber daya alamnya untuk
hidup. Negara maju mengandalkan pendidikan, keterampilan, dan perkembangan
teknologi.
Teori dual economy pertama kali dibawa oleh negara-negara
kapitalis Eropa melalui ekspansi dan penjajahan ke negara-negara Asia, Afrika,
dan Amerika latin sekitar abad 16. Pada awalnya negara-negara dunia ketiga yang
mengalami penjajahan ini menolak sistem pasar, tetapi saat ini banyak yang
justru menggunakan sistem ini sehingga menjadi maju dan berkembang, misalnya,
Cina, Rusia, Vietnam, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Singapura.
Untuk lebih memperjelas bahwa keterbukaan suatu negara
terhadap adanya saling ketergantungan dengan negara lain dapat lebih memajukan
dirinya dibandingkan negara yang belum terbuka atau tertutup, dapat dipelajari
berita yang penulis tulis dalam Tabloid
Pendidikan & Kesehatan, Edisi 03/September 2017 dengan judul Kunci Kemajuan Negara berikut ini.
Pada Sabtu, 14
Oktober 2017, saat acara Wisuda STT Jabar di Grand Hotel Pasundan Bandung, Dr.
H. Didin Muhafidin, M.Si., Guru Besar Unpad dan Rektor Universitas Al-Ghifari,
memberikan orasi ilmiah yang berjudul Mental
Enterprenuer dan Kemajuan suatu Negara. Isi dari orasi ilmiah itu sangat
bermanfaat dan membuka mata kita bahwa kunci kemajuan suatu negara bukanlah
disebabkan oleh ras, sumber daya alam, maupun lamanya negara itu merdeka.
Negara India dan Mesir yang umurnya lebih dari 2.000
tahun, tetapi tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain, Singapura, Kanada,
Australia, dan New Zealand yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun
merupakan bagian dari negara maju di dunia dan penduduknya tidak lagi miskin.
Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga
tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang
sangat terbatas. Daratannya 80% berupa pegunungan, tidak cukup untuk
meningkatkan pertanian dan peternakan. Akan tetapi, saat ini Jepang menjadi
raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri
terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia
dan mengekspor barang jadinya. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya
yang bisa ditanami. Swiss tidak mempunyai perkebunan cokelat, tetapi menjadi
negara pembuat cokelat terbaik di dunia. Swiss juga mengolah susu dengan
kualitas terbaik. Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di
dunia. Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan, integritas, dan
ketertiban, tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai
di dunia.
Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para
imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya dan banyak yang berkulit
hitam, ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara
maju/kaya di Eropa.
Setelah dianalisis, ternyata kekayaan atau kemiskinan
suatu negara ditentukan oleh sikap/perilaku masyarakatnya yang telah dibentuk
sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas
perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya
sehari-hari mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan bermental
entrepreneur, yaitu: kreatif, inovatif, punya komitmen, kejujuran, dan
integritas; bertanggung jawab; hormat pada aturan dan hukum masyarakat; hormat
pada hak orang/warga lain; cinta pada pekerjaan; berusaha keras untuk menabung
dan investasi; mau bekerja keras; tepat waktu.
Adapun kriteria negara maju menurut World Bank dan IMF adalah pertama, pendapatan per
kapita US 11.906 dolar.
Kedua, jumlah
pengusaha > 7% s.d. 10% dari jumlah
penduduk. Berdasarkan data 2017, Indonesia baru memiliki 3,1% pengusaha dan
pengusaha muda hanya 0,18%, Malaysia 5%, Thailand 4,5%, Vietnam 3,3%.
Ketiga, diversifikasi
ekspor berupa jasa dan industri dengan sentuhan teknologi
tinggi. Negara-negara Timur Tengah pengekspor minyak tidak masuk kategori
negara maju.
Keempat,
tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakatnya tinggi.
Kelima,
tingkat kemandirian warga negara tinggi dan tidak bergantung pada
sumber daya alam (SDA).
Keenam,
produktivitas masyarakatnya tinggi.
Berdasarkan kriteria tersebut, kita dapat mengetahui
bahwa beberapa negara yang tergolong maju adalah Benua Amerika (USA dan
Kanada); Benua Asia (Jepang, Korsel, Singapura, Hongkong, Taiwan); Benua Afrika
tidak ada; Benua Eropa (Jerman, Inggris, Austria, Swedia, Swiss, Finlandia,
Portugal, Spanyol, Belanda, Norwegia. dll.
[30 negara lainnya]); Benua Australia
(Australia dan Selandia Baru).
Dalam akhir orasi ilmiahnya, Didin mengatakan bahwa kita,
Indonesia, bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam atau
karena alam yang kejam kepada kita, melainkan karena perilaku kita yang kurang
atau tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip
dasar kehidupan yang memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat,
ekonomi, dan negara.
Sampurasun.
Sumber:
Bakry,
Umar Suryadi, 2019, Ekonomi Politik
Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan I, Januari 2019, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta
Hatta,
Ahmad, 2009, Tafsir Quran per Kata
Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, Cetakan Keempat, Maghfirah
Pustaka: Jakarta
Maryati,
Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum
2013, Penerbit Erlangga: Jakarta
Maryati,
Kun; Suryawati, Juju, 2014, Sosiologi
untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta
S.,
Alam, 2014, Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XII
Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta
S.,
Alam, 2016, Ekonomi: Kelompok Peminatan
Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMA/MA Kelas X Kurikulum 2013, Penerbit
Erlangga: Jakarta
S.,
Alam, 2016, Ekonomi: Kelompok Peminatan
Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMA/MA Kelas XI Kurikulum 2013, Penerbit
Erlangga: Jakarta
Sukarno,
1964, Dibawah Bendera Revolusi, Cet.
3, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi: Jakarta
Tabloid Pendidikan &
Kesehatan, 2017, Edisi 04, Desember, CV Sali Iskandar
Family: Bandung
No comments:
Post a Comment