Saturday 4 April 2020

Teori “Dual Economy”


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Dual economy artinya dua situasi ekonomi atau dualisme ekonomi. Keduanya saling berpasangan, berkaitan, terhubung, bahkan berlawanan.

            Teori dual economy ini merupakan perlawanan dari teori-teori sektor tunggal (singles sector models). Dalam buku Ekonomi Politik Internasional: Suatu Pengantar yang disusun Umar Suryadi Bakry, Cetakan I, Januari 2019, yang diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, dijelaskan bahwa pada pertengahan abad ke-20, pemodelan teoretis mengenai pertumbuhan ekonomi didominasi oleh sektor tunggal seperti yag dilakukan oleh Robert Solow. Model tunggal ini ditentang oleh sejumlah ekonom, termasuk W. Arthur Lewis dan Simon Kuznets. Keduanya mengemukakan sebuah model dual economy dengan mengacu pada sebuah sektor yang relatif berkembang (advanced sector) dan sebuah sektor yang relatif terbelakang (backward sector). Istilah alternatif untuk menyebut kedua sektor tersebut adalah sektor kapitalis dan subsisten, formal dan informal, modern dan tradisional, perkotaan dan pedesaan, primer dan sekunder, good jobs dan bad jobs.

            Dual economy ini tampak lebih modern dan lebih masuk akal dibandingkan sektor tunggal. Hal itu disebabkan tidak ada yang tunggal dalam kehidupan ini, kecuali Allah swt. Tidak ada kehidupan yang seluruhnya maju atau selamanya miskin. Tidak ada yang berada dalam kondisi sama setiap saat, selalu ada pengalaman berbeda, misalnya, senang-susah, makmur-miskin, bangun-jatuh, cantik-jelek, baik-buruk, dan lain sebagainya. Semuanya selalu seperti itu.

            Konsep dual economy sendiri diciptakan oleh Julius H. Boeke untuk menggambarkan koeksistensi sektor ekonomi modern dan sektor ekonomi tradisional dalam sebuah perekonomian kolonial. Fenomena dual economy umumnya terdapat di negara-negara terbelakang (less developed country--LDC) ketika sektor yang satu untuk pasar lokal dan sektor lainnya untuk pasar ekspor global.

            Hal ini pun pernah dijelaskan oleh Presiden ke-1 RI Soekarno bahwa perdagangan kain di tanah Jawa sebelum penjajah datang adalah cukup maju. Para penenun menenun kain yang murah untuk dipasarkan di wilayah lokal, kain yang bagus dipasarkan di daerah pesisir, bahkan ke luar negeri. Hal itu menunjukkan bahwa ada dual economy, yaitu memproduksi barang untuk tingkat ekonomi menengah bawah dan untuk tingkat ekonomi atas, bahkan luar negeri.

            Sayangnya, kemajuan perdagangan kain di tanah Jawa dihancurkan oleh penjajahan. Masyarakat Indonesia bisnisnya benar-benar hancur dan diganti oleh kekuasaan ekonomi penjajah yang membuat produksi kaum pribumi megap-megap dan bangkrut. Kalaupun ada yang besar, hanya satu dua dan tidak bisa menopang perekonomian rakyat. Adapun perdagangan yang besar, maju, dan merambah kawasan internasional dikuasai oleh penjajah.

            Hal ini pun sebenarnya sudah disebutkan Allah swt dalam Al Quran, Surat Yasin (36) ayat 36:

            “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

            Jadi, jelas bahwa semuanya diciptakan berpasangan. Hal itu tak terkecuali dengan kehidupan ekonomi yang juga selalu berpasangan, berlawanan, berhadapan, atau beriringan.

             Menurut Lewis, sektor modern (kapitalis) menghasilkan barang-barang industri, jasa, dan aktivitas komersial lainnya. Adapun sektor tradisional (subsisten) menghasilkan barang-barang pertanian. Menurutnya, akumulasi modal hanya terjadi pada sektor kapitalis dan sektor ini merupakan mesin pertumbuhan ekonomi.

            Senada dengan Lewis, Kuznets berpandangan bahwa esensi pertumbuhan ekonomi modern adalah pergeseran produksi secara bertahap dari sektor berpendapatan rendah menuju sektor berpendapatan lebih tinggi.

            Dari pandangan Lewis dan Kuznets, kita bisa melihat adanya kehidupan ekonomi modern yang ditandai dengan pendapatan ekonomi tinggi dan kehidupan tradisional dengan pendapatan ekonomi rendah. Pendapatan yang tinggi dalam kehidupan modern itu disebabkan oleh aktivitas yang tinggi, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih, modal yang besar, penjualan barang dan jasa yang juga deras, serta digunakannya prinsip-prinsip efisiensi dan peningkatan profit yang sangat tinggi pula. Adapun pendapatan rendah dalam kehidupan tradisional disebabkan oleh rendahnya aktivitas masyarakat, hasil pertanian yang ditujukan sebagian besar untuk dikonsumsi sendiri, usaha pertanian dan peternakan yang tidak mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, serta tingginya tingkat pengangguran.

            Pendapatan yang rendah dalam kehidupan tradisional ini mendorong adanya urbanisasi, migrasi ke perkotaan. Akan tetapi, karena di kota dituntut keahlian dan keterdidikan yang cukup tinggi, banyak warga pendatang yang akhirnya bekerja di bidang informal karena tidak terserap di sektor formal, bahkan menjadi pengagguran di perkotaan.

            Menurut ahli Ekonomi Politik Internasional (Epi), Robert Gilpin, teori dual economy atau dualisme ekonomi, harus dianalisis dari dua sisi, yaitu sisi  sektor modern yang progresif dan sektor tradisional yang ditandai dengan keterbelakangan cara produksi.

              Dalam teori dualisme ekonomi diyakini bahwa yang namanya pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan dari ekonomi tradisional ke arah ekonomi modern. Perkembangan ini memerlukan pula perkembangan struktur ekonomi, sosial, dan politik. Tanpa ada perubahan pada berbagai sektor, sulit terjadi peningkatan ke arah modern. Sistem sosial dan politik yang tertutup akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat dan sulit bersaing di tengah kancah persaingan global. Hal itu disebabkan persaingan global mensyaratkan adanya keterbukaan dan saling ketergantungan, interdependensi, di antara negara-negara di dunia. Jika ingin mengalami pertumbuhan ekonomi, sistem ekonomi tradisional harus mengikuti perkembangan global sehingga terbawa ke dalam perilaku global.

            Dalam pandangan dualisme ekonomi, kehadiran ekonomi pasar (market economy) merupakan akibat alamiah dari adanya kekuatan-kekuatan pasar yang bekerja. Kemajuan berbagai bidang, seperti, infrastruktur, transportasi, komunikasi, penghematan biaya, lembaga-lembaga ekonomi, dan lain sebagainya menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi dari tradisional ke modern.

            Di dalam hubungan internasional dapat kita lihat dual economy ini, yaitu adanya negara maju dan negara berkembang atau bahkan miskin. Negara berkembang atau miskin biasanya mengandalkan sumber daya alamnya untuk hidup. Negara maju mengandalkan pendidikan, keterampilan, dan perkembangan teknologi.

            Teori dual economy pertama kali dibawa oleh negara-negara kapitalis Eropa melalui ekspansi dan penjajahan ke negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika latin sekitar abad 16. Pada awalnya negara-negara dunia ketiga yang mengalami penjajahan ini menolak sistem pasar, tetapi saat ini banyak yang justru menggunakan sistem ini sehingga menjadi maju dan berkembang, misalnya, Cina, Rusia, Vietnam, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Singapura.

            Untuk lebih memperjelas bahwa keterbukaan suatu negara terhadap adanya saling ketergantungan dengan negara lain dapat lebih memajukan dirinya dibandingkan negara yang belum terbuka atau tertutup, dapat dipelajari berita yang penulis tulis dalam Tabloid Pendidikan & Kesehatan, Edisi 03/September 2017 dengan judul Kunci Kemajuan Negara berikut ini.

            Pada Sabtu, 14 Oktober 2017, saat acara Wisuda STT Jabar di Grand Hotel Pasundan Bandung, Dr. H. Didin Muhafidin, M.Si., Guru Besar Unpad dan Rektor Universitas Al-Ghifari, memberikan orasi ilmiah yang berjudul Mental Enterprenuer dan Kemajuan suatu Negara. Isi dari orasi ilmiah itu sangat bermanfaat dan membuka mata kita bahwa kunci kemajuan suatu negara bukanlah disebabkan oleh ras, sumber daya alam, maupun lamanya negara itu merdeka.

            Negara India dan Mesir yang umurnya lebih dari 2.000 tahun, tetapi tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain, Singapura, Kanada, Australia, dan New Zealand yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun merupakan bagian dari negara maju di dunia dan penduduknya tidak lagi miskin.

            Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya 80% berupa pegunungan, tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan. Akan tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami. Swiss tidak mempunyai perkebunan cokelat, tetapi menjadi negara pembuat cokelat terbaik di dunia. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia. Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan, integritas, dan ketertiban, tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia.

            Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya dan banyak yang berkulit hitam, ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju/kaya di Eropa.

            Setelah dianalisis, ternyata kekayaan atau kemiskinan suatu negara ditentukan oleh sikap/perilaku masyarakatnya yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan bermental entrepreneur, yaitu: kreatif, inovatif, punya komitmen, kejujuran, dan integritas; bertanggung jawab; hormat pada aturan dan hukum masyarakat; hormat pada hak orang/warga lain; cinta pada pekerjaan; berusaha keras untuk menabung dan investasi; mau bekerja keras; tepat waktu.

            Adapun kriteria negara maju menurut World Bank  dan IMF adalah pertama, pendapatan  per kapita US 11.906 dolar.

            Kedua, jumlah pengusaha > 7%  s.d. 10% dari jumlah penduduk. Berdasarkan data 2017, Indonesia baru memiliki 3,1% pengusaha dan pengusaha muda hanya 0,18%, Malaysia 5%, Thailand 4,5%, Vietnam 3,3%.

            Ketiga, diversifikasi ekspor  berupa  jasa dan industri dengan sentuhan teknologi tinggi. Negara-negara Timur Tengah pengekspor minyak tidak masuk kategori negara maju.

            Keempat, tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakatnya tinggi.

            Kelima, tingkat  kemandirian  warga negara tinggi dan tidak bergantung pada sumber daya alam (SDA).

            Keenam, produktivitas masyarakatnya tinggi.

            Berdasarkan kriteria tersebut, kita dapat mengetahui bahwa beberapa negara yang tergolong maju adalah Benua Amerika (USA dan Kanada); Benua Asia (Jepang, Korsel, Singapura, Hongkong, Taiwan); Benua Afrika tidak ada; Benua Eropa (Jerman, Inggris, Austria, Swedia, Swiss, Finlandia, Portugal, Spanyol, Belanda, Norwegia. dll.  [30 negara lainnya]); Benua Australia  (Australia dan Selandia Baru).

            Dalam akhir orasi ilmiahnya, Didin mengatakan bahwa kita, Indonesia, bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam atau karena alam yang kejam kepada kita, melainkan karena perilaku kita yang kurang atau tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat, ekonomi, dan negara.

            Sampurasun.


Sumber:

Bakry, Umar Suryadi, 2019, Ekonomi Politik Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan I, Januari 2019, Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Hatta, Ahmad, 2009, Tafsir Quran per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, Cetakan Keempat, Maghfirah Pustaka: Jakarta

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2014, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga:  Jakarta

S., Alam, 2014, Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XII Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

S., Alam, 2016, Ekonomi: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMA/MA Kelas X Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

S., Alam, 2016, Ekonomi: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMA/MA Kelas XI Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Sukarno, 1964, Dibawah Bendera Revolusi, Cet. 3, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi: Jakarta

Tabloid Pendidikan & Kesehatan, 2017, Edisi 04, Desember, CV Sali Iskandar Family: Bandung

No comments:

Post a Comment