oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Tulisan ini merupakan
pengembangan dari tulisan saya yang lalu berjudul Tidak Ada Negara Islam. Pernyataan saya itu berdasarkan kenyataan
bahwa antara istilah Islam dan
istilah negara terpisah 1.027 tahun.
Jika Islam diawali dengan kelahiran Muhammad saw pada 20 April 571 Masehi dan
istilah negara mulai digunakan sangat kuat sejak “pascaperjanjian Westphalia” pada 24 Oktober 1648 Masehi, kedua
istilah tersebut terpisah jarak waktu yang teramat jauh. Artinya, tidak ada
konsep Negara Islam pada masa Muhammad saw karena konsep negara yang kita kenal
sekarang muncul menguat 1.027 tahun kemudian.
Lantas, mengapa pada abad ini orang banyak menggunakan
istilah “Negara Islam”?
Belum lagi kita harus membandingkan apakah negara Islam
itu seperti Republik Islam Iran atau Negara Islam Indonesia yang pernah
diproklamasikan S.M. Kartosoewirjo?
Seperti saya sebutkan tadi, tulisan ini adalah
pengembangan dari tulisan yang lalu. Artinya, ada beberapa revisi karena
bertambahnya pengetahuan penulis disebabkan bertambahnya bacaan dan
bertambahnya pengalaman hidup. Meskipun ada hal yang tetap tidak berubah sampai
saat ini, yaitu keyakinan penulis terhadap Islam.
Islam diturunkan adalah terutama untuk meng-esa-kan Allah
swt dan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Hal itu ada dalam kalimat yang
paling harus sering diucapkan umat Islam dalam setiap keadaan, yaitu Bismillaahirrahmaannirraahiim, ‘Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang’. Artinya, kalimat
itu harus maujud dalam diri setiap muslim untuk menjadikan
Allah swt sebagai sesembahan dan penguasa dengan cara mematuhi setiap
perintah-Nya melalui sikap dan tindakan mengasihi dan menyayangi
manusia, hewan, tumbuhan, jin, dan seluruh ciptaan Allah swt. Apabila tidak
berlaku seperti itu, siapa pun orangnya, sehebat apa pun dia, sesungguhnya dia
adalah pembohong dan perusak kehidupan manusia.
Jangan percaya kepada orang-orang yang mengaku-aku
sebagai pejuang Islam atau tentara Allah swt, tetapi tindakannya justru
melakukan banyak kebohongan, kedustaan, janji-janji palsu, kekerasan yang tidak
perlu, huru-hara yang tidak berdasar, dan kematian yang sia-sia. Kalau harus
berperang dan harus membunuh, alasannya harus jelas dan benar. Kalau umat Islam
diusir dari tempat tinggalnya, dihina, dikejar, dan diburu, perang dan membunuh
musuh adalah sebuah jihad wajib. Lihat Nabi Muhammad saw. Dia
berperang bukan mencari gara-gara atau memicu perang, melainkan karena diusir,
dianiaya, diburu, dikejar, diculik, dan dibunuh. Dia tidak melakukan
pertarungan ketika di Mekah sepanjang tidak diusir dan tidak diburu. Akan
tetapi, ketika pengusiran, penganiayaan, dan perburuan terhadap kaum muslimin
sudah menjadi-jadi, perang adalah jawaban logis untuk mengakhiri kezaliman.
Islam tidak memerlukan negara untuk hidup, malahan Islam
menghidupkan negara. Sebelum ada negara pun Islam sudah lebih dulu hidup.
Ketika ada negara, Islam semakin hidup. Jika negara hancur pun Islam akan tetap
tegak berdiri karena wilayah Islam sesungguhnya meliputi langit dan Bumi. Hal
itu disebabkan seluruh langit dan Bumi adalah milik Allah swt.
Istilah Negara
Istilah negara bermula
pada abad ke-15 yang diambil dari kata state
dalam bahasa Inggris yang berarti keadaan
yang telah tetap dan tegak. Dalam bahasa Jerman dan Belanda negara disebut staat, dalam bahasa Perancis disebut etat. Semua kata itu diambil oleh
orang-orang Eropa dari bahasa Latin, yaitu dari kata statum atau status yang
berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang bersifat tetap dan
tegak. Kemudian, Niccolo Machiavelli memperkenalkan pula
istilah lo stato dalam buku Il Principe yang memiliki pengertian
yang sama, yaitu tegak dan tetap. Dari pengertian itu, timbul pengertian fungsi
negara yang lebih luas, yaitu negara berfungsi sebagai sebuah kesatuan publik, sistem tugas,
hingga alat perlengkapan yang telah tersusun secara teratur.
Dalam pengertian
sederhana negara dapat dilihat sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah
yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Dapat
pula dikatakan bahwa negara adalah alat
dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan fenomena kekuasaan dalam masyarakat. Dapat
juga kita sebut bahwa negara adalah suatu wilayah yang terdiri dari penduduk
yang diperintah untuk mencapai suatu tujuan secara berdaulat.
Di Indonesia istilah negara berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu nagara atau nagari yang berarti kota.
Seputar abad ke-5, istilah nagara sudah dikenal dan dipakai di Indonesia. Hal
ini dapat dilihat dari adanya Kerajaan
Tarumanagara di Jawa Barat. Selain itu, digunakan juga sebagai penamaan kitab Majapahit Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca.
Syarat primer suatu negara adalah adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah,
dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Adapun syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. Hal itu
berarti pengakuan adanya sebuah negara tidaklah dapat dikatakan sah jika tidak
memiliki keempat hal tersebut, yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, dan
pengakuan dari negara lain.
Terbentuknya Negara
Terbentuknya
sebuah negara dapat dilihat berdasarkan fakta sejarah dan teoretis.
Secara teoretis terbentuknya negara
dimulai adanya masyarakat hukum yang paling sederhana yang kemudian berkembang
semakin luas dan semakin maju. Menurut G.
Jellinek, terbentuknya negara melalui empat tahapan (periode, fase) sebagai
berikut.
Pertama,
periode persekutuan manusia. Dalam periode atau fase ini manusia berkumpul
dengan rasa dan kepentingan yang sama secara sederhana, biasanya terdiri atas
sebuah keluarga.
Kedua,
periode kerajaan. Dengan berkembangnya penduduk, wilayah, dan aktivitas,
diperlukan kekuasaan yang lebih kuat dan luas pula. Oleh sebab itu,
terbentuklah kerajaan. Dalam masa ini mulai terbagi adanya hak milik dan hak
atas tanah, baik hak kerajaan maupun hak pribadi.
Ketiga,
periode negara/staat. Dalam periode ini diperlukan ketetapan hukum yang
lebih kuat dan keterlibatan masyarakat dalam bernegara secara lebih aktif.
Dalam kata lain negara yang demokratis.
Keempat,
periode diktator. Pada masa ini rakyat membutuhkan pemimpin yang sangat
kuat dan mutlak berkuasa untuk mengatasi berbagai masalah rakyat. Oleh sebab
itu, rakyat memilih pemimpin yang sangat kuat untuk mengendalikan negara.
Keinginan ini biasanya disebabkan negara didera berbagai masalah sehingga
membutuhkan pemimpin yang sangat kuat.
Berdasarkan fakta sejarah,
terbentuknya negara dapat dikatakan sebagai berikut.
Occupatie (pendudukan),
yaitu negara yang lahir hasil dari suatu pendudukan terhadap suatu daerah atau
wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai oleh suku atau kelompok tertentu.
Contohnya,
Liberia yang diduduki budak-budak negro pada tahun 1847.
Cessie (penyerahan), adalah
suatu wilayah diserahkan pada negara lain berdasarkan suatu perjanjian
tertentu.
Accesie (penaikan) adalah suatu negara yang
terjadi akibat penaikan lumpur sungai atau timbul dari dasar laut (delta).
Fusi (peleburan).
Negara ini terjadi karena beberapa negara mengadakan peleburan (fusi) dan
membentuk satu negara baru.
Proklamasi adalah
negara yang lahir sebagai hasil dari perlawanan penduduk pribumi yang
diduduki oleh bangsa lain. Fakta inilah yang melahirkan Negara Indonesia pada
tahun 1945. Di samping itu, melahirkan pula Negara Belgia yang melepaskan
diri dari Belanda tahun 1839; Pakistan tahun 1947 dari Hindustan; Banglades
tahun 1971 dari Pakistan; Papua Nugini tahun1975 dari Australia; tiga Negara
Baltik (Latvia, Estonia, Lituania) melepaskan diri dari Uni Soviet tahun 1991.
Innovation (pembentukan
baru) adalah munculnya suatu negara baru di atas wilayah suatu negara yang
pecah dan lenyap karena atas suatu hal.
Anexatie (pencaplokan/penguasaan) adalah
suatu negara lahir karena telah mencaplok wilayah yang dikuasai oleh bangsa
lain tanpa reaksi berarti.
Perkembangan Muslim
di Madinah
Kaum muslim di Madinah
mulai berkembang sangat pesat ketika Nabi Muhammad saw hijrah (pindah) dari
Mekah. Muhammad saw pindah dari Mekah ke Madinah disebabkan kaum muslimin di
Mekah mendapatkan perlakuan buruk dari kaum kafir Quraisy. Kaum muslim dihina,
dikejar, dilecehkan, diburu, dianiaya, dibunuh, dan diperlakukan kejam lainnya.
Demikian pula Muhammad saw, mendapatkan ancaman pembunuhan.
Madinah adalah sebuah wilayah yang penduduknya bersedia
menjadikan wilayahnya sebagai tempat berlindung Nabi Muhammad saw dari perilaku
buruk kaum kafir Quraisy. Kedatangan Muhammad saw ke Madinah membuat banyak
perubahan, baik di bidang spiritual, sosial, maupun politik. Karena penduduknya
sudah banyak yang menjadi pengikut Muhammad saw, untuk menjaga ketertiban di wilayah itu dengan kaum
Yahudi, Nasrani, kaum pagan (penyembah berhala), dan suku-suku lain, digunakan
perjanjian yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.
Hal itu menjelaskan bahwa tidak ada
seorang pun yang menjadi pemimpin atau penguasa Madinah. Setiap kelompok harus
patuh pada Piagam Madinah yang inti isinya adalah adanya kewajiban untuk
saling menghormati, saling menjaga, saling melindungi, dan mempertahankan
Madinah dari serangan musuh mana pun. Nabi Muhammad saw pun bukanlah pemimpin
Madinah, melainkan pemimpin kaum muslimin yang berada di Madinah. Adapun
kelompok-kelompok lainnya tetap patuh kepada pemimpinnya masing-masing dan
bukan kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam perkembangannya,
kelompok-kelompok non-muslim melakukan banyak gangguan kepada kaum muslimin
yang artinya mulai pula mengganggu isi dari Piagam Madinah. Banyak sekali
perilaku buruk non-muslim kepada kaum muslim yang membuat hubungan menjadi
tegang. Hal itu diperparah dengan pengkhianatan Yahudi dan kelompok-kelompok
lain terhadap kaum muslim. Mereka bersekutu dengan kaum kafir yang akan
memerangi Madinah. Kelompok-kelompok itu justru berkehendak menghancurkan kaum
muslim. Hal yang lebih nyata terlihat adalah ketika kaum muslim mengalami
kekalahan perang, kondisi kritis, rusak parah, kehancuran ekonomi, dan
kegetiran luar biasa. Banyak kelompok yang memanfaatkan kelemahan kaum muslim
untuk melakukan kejahatan terhadap kaum muslim.
Keadaan itu membuat isi Piagam Madinah menjadi rusak, batal, dan tidak
berlaku lagi. Hal itu disebabkan seharusnya setiap kelompok bersatu padu jika
Madinah diserbu orang luar Madinah. Akan tetapi, dalam kenyataannya hanya kaum
muslim yang membela Madinah dengan dibantu sekelompok kecil non-muslim. Oleh
sebab itu, kaum muslim pun tidak lagi terikat pada Piagam Madinah karena kaum
nonmuslim yang melakukan pengkhianatan pada Piagam Madinah.
Hal yang membuat kaum muslim semakin
menderita adalah adanya orang-orang muslim yang “meminta perlindungan” atau
“berteman setia” dengan non-muslim. Mereka ketakutan dan kesakitan akibat
kondisi memprihatinkan yang dialami kaum muslim.
Karena banyaknya pengkhianatan kaum
non-muslim terhadap Piagam Madinah yang berarti berkhianat pula terhadap kaum
muslim serta mulai adanya kaum muslim yang meminta perlindungan kepada
non-muslim, turunlah QS Al Maidah (5) : 51.
“Wahai
orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai
teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa di antara kamu
yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan
mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Ayat ini hanya bisa dipergunakan
jika ada kelompok non-muslim yang melakukan kejahatan kepada muslim. Ayat ini
bukan digunakan untuk memecah belah manusia atau menimbulkan kebencian di
antara manusia. Selama orang-orang non-muslim bersedia berdamai dan bekerja
sama dengan harmonis dengan kaum muslim, setiap muslim wajib menjaga kehidupan
yang damai dan harmonis dengan non-muslim.
Disebabkan banyaknya pengkhianatan
dan kejahatan yang dilakukan non-muslim kepada kaum muslim, terjadi ketegangan
yang terus meningkat. Bahkan, terjadi perang yang mengerikan. Ketika kaum
muslim kembali menguat pada segala bidang, terjadi perang dengan non-muslim di
Madinah yang banyak berakhir dengan pengusiran terhadap Yahudi dan
kelompok-kelompok lain yang banyak melakukan pengkhianatan.
Peningkatan kaum muslim dan
pengusiran terhadap kelompok-kelompok yang berkhianat itu menjadikan kekuasan
kaum muslim semakin kokoh di Madinah. Hal itu pun secara otomatis memperkuat
posisi Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin kaum muslim yang menjadi mayoritas di
Madinah. Artinya, Nabi Muhammad saw pun akhirnya menjadi pemimpin Madinah
secara keseluruhan.
Negara Islam antara Teoritis dan Fakta
1. Dilihat dari Syarat Negara
Secara
teori syarat primer suatu negara
adalah adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang
berdaulat. Adapun syarat sekundernya
adalah mendapat pengakuan dari negara lain. Hal itu berarti pengakuan adanya sebuah
negara tidaklah dapat dikatakan sah jika tidak memiliki keempat hal tersebut,
yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain.
Jika kita telaah kehidupan kaum
muslim di Madinah, bisa kita lihat apakah termasuk negara dalam konsep sekarang
atau tidak berdasarkan syarat-syarat negara.
Syarat pertama negara adalah adanya
rakyat. Saat itu rakyat Madinah sudah ada.
Syarat kedua adalah adanya wilayah.
Pertanyaannya, sudahkah jelas wilayah batas-batas wilayah
Madinah pada saat itu? Dari mana sampai mana? Seluas apa Madinah itu? Siapa
yang mengakui batas-batas itu kalau ada?
Itu masih belum jelas.
Syarat ketiga adalah adanya pemerintahan. Hal ini jelas
bahwa pemerintahan saat itu dipegang Muhammad saw. Artinya ada pemimpin yang
menjalankan pemerintahan.
Syarat keempat adalah adanya pengakuan negara lain atas
eksistensi negara tersebut.
Saat itu negara mana yang sudah mengakui bahwa Madinah
suatu negara?
Jelas tidak ada satu negara pun yang mengakuinya karena
pemahaman istilah negara pun baru muncul abad ke-15 dan lebih menguat “pascaperjanjian Westphalia” pada 24 Oktober
1648 akibat dari perang antara Protestan dan Katolik selama tiga puluh tahun
serta ketidakjelasan kekuasaan atas wilayah-wilayah di Eropa yang selalu
menimbulkan perang, pembunuhan, dan berbagai kekusutan lainnya.
Saat itu belum ada satu pun negara yang sesuai konsep
saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa Madinah bukanlah Negara Islam.
Syarat-syarat negara belum dipenuhi oleh Madinah.
2. Dilihat dari Periode Terbentuknya Negara
Secara
teoretis terbentuknya negara dimulai adanya masyarakat hukum yang paling
sederhana yang kemudian berkembang semakin luas dan semakin maju. Menurut G. Jellinek, terbentuknya negara melalui
empat tahapan (periode, fase) sebagai berikut.
Pertama,
periode persekutuan manusia. Dalam periode atau fase ini manusia berkumpul
dengan rasa dan kepentingan yang sama secara sederhana, biasanya terdiri atas
sebuah keluarga.
Kedua,
periode kerajaan. Dengan berkembangnya penduduk, wilayah, dan aktivitas,
diperlukan kekuasaan yang lebih kuat dan luas pula. Oleh sebab itu,
terbentuklah kerajaan. Dalam masa ini mulai terbagi adanya hak milik dan hak
atas tanah, baik hak kerajaan maupun hak pribadi.
Ketiga,
periode negara/staat. Dalam periode ini diperlukan ketetapan hukum yang
lebih kuat dan keterlibatan masyarakat dalam bernegara secara lebih aktif.
Dalam kata lain negara yang demokratis.
Keempat,
periode diktator. Pada masa ini rakyat membutuhkan pemimpin yang sangat
kuat dan mutlak berkuasa untuk mengatasi berbagai masalah rakyat. Oleh sebab
itu, rakyat memilih pemimpin yang sangat kuat untuk mengendalikan negara.
Keinginan ini biasanya disebabkan negara didera berbagai masalah sehingga
membutuhkan pemimpin yang sangat kuat.
Apabila dilihat dari keempat periode
atau fase terbentuknya negara yang disampaikan G. Jellinek, masyarakat Madinah belum masuk ke tahap negara atau
staat. Madinah baru masuk tahap pertama, yaitu periode persekutuan manusia. Dalam periode atau fase ini manusia
berkumpul dengan rasa dan kepentingan yang sama secara sederhana, biasanya
terdiri atas sebuah keluarga.
Manusia-manusia yang beragama Islam
berkumpul karena kepentingan yang sama di Madinah, yaitu kepentingan ajaran
Islam yang disampaikan Muhammad saw dan dipimpin oleh keluarga Nabi Muhammad
saw beserta sahabat-sahabat dekatnya. Madinah saat itu belum masuk ke periode
kerajaan, staat, bahkan periode diktator. Hal itu menunjukkan bahwa Madinah
bukanlah Negara Islam karena baru sampai pada fase persekutuan manusia Islam
yang memiliki kepentingan yang sama.
3. Dipandang dari
Universalitas Islam
Islam adalah agama yang
bersifat universal, tidak dibatasi oleh ras, suku, maupun teritorial. Islam adalah agama yang tidak dikungkung oleh
wilayah tertentu. Islam adalah agama untuk semua orang, bukan untuk keturunan
tertentu di wilayah tertentu. Dengan demikian, adanya istilah atau klaim Negara
Islam disadari atau tidak merupakan upaya untuk mengecilkan dan mengerdilkan
Islam ke dalam kotak-kotak kecil yang bernama negara. Hal itu sekaligus
mempersempit pemahaman Islam sendiri yang seharusnya menjadi rahmat bagi
semesta alam tidak dibatasi di wilayah tertentu.
Islam itu bersifat universal, tidak dibatasi garis batas
negara tertentu. Hal itu menunjukkan bahwa Muhammad saw mengajarkan Islam bukan
hanya untuk Madinah, melainkan untuk seluruh dunia fisik maupun gaib. Madinah
bukanlah Negara Islam.
4. Dipandang dari Fakta Sejarah
Fakta-fakta sejarah
terbentuknya negara sebagaimana diterangkan tadi adalah:
Occupatie (pendudukan), yaitu negara yang
lahir hasil dari suatu pendudukan terhadap suatu daerah atau wilayah yang tidak
bertuan dan belum dikuasai oleh suku atau kelompok tertentu.
Cessie (penyerahan) adalah suatu wilayah
diserahkan pada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu.
Accesie (penaikan) adalah suatu negara yang
terjadi akibat penaikan lumpur sungai atau timbul dari dasar laut (delta).
Fusi (peleburan). Negara ini terjadi karena
beberapa negara mengadakan peleburan (fusi) dan membentuk satu negara baru.
Proklamasi adalah negara yang lahir
sebagai hasil dari perlawanan penduduk pribumi yang diduduki oleh bangsa
lain. Fakta inilah yang melahirkan Negara Indonesia.
Innovation (pembentukan baru) adalah
munculnya suatu negara baru di atas wilayah suatu negara yang pecah dan lenyap
karena atas suatu hal.
Anexatie (pencaplokan/penguasaan) adalah
suatu negara lahir karena telah mencaplok wilayah yang dikuasai oleh bangsa
lain tanpa reaksi berarti.
Sekarang mari kita cocokan termasuk negara yang lahir
dengan cara apa Madinah yang dibentuk Muhammad Rasulullah saw. Dari fakta-fakta
tersebut, ternyata Madinah tidak termasuk di dalamnya. Tidak ada satu fakta pun
yang menyatakan Madinah adalah sebuah negara.
Meskipun demikian, bisa saja termasuk dalam fakta sejarah
jika kita mampu berdalil memasukkan Madinah sebagai negara yang terbentuk
melalui “pengusiran” yang dilakukan
Muhammad saw terhadap kelompok-kelompok lain. Hal itu disebabkan sebelumnya
Madinah tidak memiliki seorang penguasa tunggal, tetapi memiliki banyak
pemimpin sesuai kelompoknya masing-masing yang diikat oleh Piagam Madinah.
Setelah kelompok-kelompok non-muslim melakukan gangguan, bersekutu dengan musuh-musuh
muslimin, dan berkhianat pada Piagam Madinah, Muhammad saw menjadi satu-satunya
pemimpin mayoritas di Madinah.
Simpulan
Dipandang dari berbagai
sisi, Madinah bukanlah Negara Islam. Islam adalah religion untuk seluruh umat
manusia di negara mana saja dalam sistem pemerintahan apa saja.
Islam tidak memerlukan negara untuk hidup, malahan Islam
menghidupkan negara. Sebelum ada negara pun Islam sudah lebih dulu hidup.
Ketika ada negara, Islam semakin hidup. Jika negara hancur pun Islam akan tetap
tegak berdiri karena wilayah Islam sesungguhnya meliputi langit dan Bumi. Hal
itu disebabkan seluruh langit dan Bumi adalah milik Allah swt.
Sampurasun.
Sumber:
Budiardjo, Miriam, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. X, PT
Gramedia: Jakarta
Finaldin, Tom, 2016, Sistem
Dinamika Sosial Politik (I), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Al Ghifari, Bandung
Haekal, Muhammad Husain, 2000, Sejarah
Hidup Muhammad, Cetakan XXIV, Litera AntarNusa: Jakarta
Hatta, Ahmad, 2009, Tafsir
Quran per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, Cetakan
Keempat, Maghfirah Pustaka: Jakarta
Nasution, Dahlan, 1991, Politik
Internasional: Konsep dan Teori, Penerbit Erlangga: Jakarta
Sukarno, 1964, Dibawah
Bendera Revolusi, Cet. 3, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi:
Jakarta
No comments:
Post a Comment