Monday, 6 April 2020

Islam dan Negara


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan saya yang lalu berjudul Tidak Ada Negara Islam. Pernyataan saya itu berdasarkan kenyataan bahwa antara istilah Islam dan istilah negara terpisah 1.027 tahun. Jika Islam diawali dengan kelahiran Muhammad saw pada 20 April 571 Masehi dan istilah negara mulai digunakan sangat kuat sejak “pascaperjanjian Westphalia” pada 24 Oktober 1648 Masehi, kedua istilah tersebut terpisah jarak waktu yang teramat jauh. Artinya, tidak ada konsep Negara Islam pada masa Muhammad saw karena konsep negara yang kita kenal sekarang muncul menguat 1.027 tahun kemudian.

            Lantas, mengapa pada abad ini orang banyak menggunakan istilah “Negara Islam”?

            Belum lagi kita harus membandingkan apakah negara Islam itu seperti Republik Islam Iran atau Negara Islam Indonesia yang pernah diproklamasikan S.M. Kartosoewirjo?

            Seperti saya sebutkan tadi, tulisan ini adalah pengembangan dari tulisan yang lalu. Artinya, ada beberapa revisi karena bertambahnya pengetahuan penulis disebabkan bertambahnya bacaan dan bertambahnya pengalaman hidup. Meskipun ada hal yang tetap tidak berubah sampai saat ini, yaitu keyakinan penulis terhadap Islam.

            Islam diturunkan adalah terutama untuk meng-esa-kan Allah swt dan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Hal itu ada dalam kalimat yang paling harus sering diucapkan umat Islam dalam setiap keadaan, yaitu Bismillaahirrahmaannirraahiim, ‘Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang’. Artinya, kalimat itu harus maujud dalam diri setiap muslim untuk menjadikan Allah swt sebagai sesembahan dan penguasa dengan cara mematuhi setiap perintah-Nya melalui sikap dan tindakan mengasihi dan menyayangi manusia, hewan, tumbuhan, jin, dan seluruh ciptaan Allah swt. Apabila tidak berlaku seperti itu, siapa pun orangnya, sehebat apa pun dia, sesungguhnya dia adalah pembohong dan perusak kehidupan manusia.

            Jangan percaya kepada orang-orang yang mengaku-aku sebagai pejuang Islam atau tentara Allah swt, tetapi tindakannya justru melakukan banyak kebohongan, kedustaan, janji-janji palsu, kekerasan yang tidak perlu, huru-hara yang tidak berdasar, dan kematian yang sia-sia. Kalau harus berperang dan harus membunuh, alasannya harus jelas dan benar. Kalau umat Islam diusir dari tempat tinggalnya, dihina, dikejar, dan diburu, perang dan membunuh musuh adalah sebuah jihad wajib. Lihat Nabi Muhammad saw. Dia berperang bukan mencari gara-gara atau memicu perang, melainkan karena diusir, dianiaya, diburu, dikejar, diculik, dan dibunuh. Dia tidak melakukan pertarungan ketika di Mekah sepanjang tidak diusir dan tidak diburu. Akan tetapi, ketika pengusiran, penganiayaan, dan perburuan terhadap kaum muslimin sudah menjadi-jadi, perang adalah jawaban logis untuk mengakhiri kezaliman.

            Islam tidak memerlukan negara untuk hidup, malahan Islam menghidupkan negara. Sebelum ada negara pun Islam sudah lebih dulu hidup. Ketika ada negara, Islam semakin hidup. Jika negara hancur pun Islam akan tetap tegak berdiri karena wilayah Islam sesungguhnya meliputi langit dan Bumi. Hal itu disebabkan seluruh langit dan Bumi adalah milik Allah swt.


Istilah Negara
Istilah negara bermula pada abad ke-15 yang diambil dari kata state dalam bahasa Inggris yang berarti keadaan yang telah tetap dan tegak. Dalam bahasa Jerman dan Belanda negara disebut staat, dalam bahasa Perancis disebut etat. Semua kata itu diambil oleh orang-orang Eropa dari bahasa Latin, yaitu dari kata statum atau status yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang bersifat tetap dan tegak. Kemudian, Niccolo Machiavelli memperkenalkan pula istilah lo stato dalam buku Il Principe yang memiliki pengertian yang sama, yaitu tegak dan tetap. Dari pengertian itu, timbul pengertian fungsi negara yang lebih luas, yaitu  negara berfungsi sebagai sebuah kesatuan publik, sistem tugas, hingga alat perlengkapan yang telah tersusun secara teratur.

            Dalam pengertian sederhana negara dapat dilihat sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Dapat pula dikatakan bahwa negara adalah  alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan fenomena kekuasaan dalam masyarakat. Dapat juga kita sebut bahwa negara adalah suatu wilayah yang terdiri dari penduduk yang diperintah untuk mencapai suatu tujuan secara berdaulat.

            Di Indonesia istilah negara  berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu nagara atau nagari yang berarti kota. Seputar abad ke-5, istilah nagara sudah dikenal dan dipakai di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Selain itu, digunakan juga  sebagai penamaan kitab Majapahit Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca.

            Syarat primer suatu negara adalah adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Adapun syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. Hal itu berarti pengakuan adanya sebuah negara tidaklah dapat dikatakan sah jika tidak memiliki keempat hal tersebut, yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain.


Terbentuknya Negara
Terbentuknya sebuah negara dapat dilihat berdasarkan fakta sejarah dan teoretis.

            Secara teoretis terbentuknya negara dimulai adanya masyarakat hukum yang paling sederhana yang kemudian berkembang semakin luas dan semakin maju. Menurut G. Jellinek, terbentuknya negara melalui empat tahapan (periode, fase) sebagai berikut.

            Pertama, periode persekutuan manusia. Dalam periode atau fase ini manusia berkumpul dengan rasa dan kepentingan yang sama secara sederhana, biasanya terdiri atas sebuah keluarga.

            Kedua, periode kerajaan. Dengan berkembangnya penduduk, wilayah, dan aktivitas, diperlukan kekuasaan yang lebih kuat dan luas pula. Oleh sebab itu, terbentuklah kerajaan. Dalam masa ini mulai terbagi adanya hak milik dan hak atas tanah, baik hak kerajaan maupun hak pribadi.

            Ketiga, periode negara/staat. Dalam periode ini diperlukan ketetapan hukum yang lebih kuat dan keterlibatan masyarakat dalam bernegara secara lebih aktif. Dalam kata lain negara yang demokratis.

            Keempat, periode diktator. Pada masa ini rakyat membutuhkan pemimpin yang sangat kuat dan mutlak berkuasa untuk mengatasi berbagai masalah rakyat. Oleh sebab itu, rakyat memilih pemimpin yang sangat kuat untuk mengendalikan negara. Keinginan ini biasanya disebabkan negara didera berbagai masalah sehingga membutuhkan pemimpin yang sangat kuat.

            Berdasarkan fakta sejarah, terbentuknya negara dapat dikatakan sebagai berikut.

            Occupatie (pendudukan), yaitu negara yang lahir hasil dari suatu pendudukan terhadap suatu daerah atau wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai oleh suku atau kelompok tertentu. Contohnya, Liberia yang diduduki budak-budak negro pada tahun 1847.

            Cessie (penyerahan), adalah suatu wilayah diserahkan pada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu.

            Accesie (penaikan) adalah suatu negara yang terjadi akibat penaikan lumpur sungai atau timbul dari dasar laut (delta).

            Fusi (peleburan). Negara ini terjadi karena beberapa negara mengadakan peleburan (fusi) dan membentuk satu negara baru.

            Proklamasi adalah negara yang lahir  sebagai hasil dari perlawanan penduduk pribumi yang diduduki oleh bangsa lain. Fakta inilah yang melahirkan Negara Indonesia pada tahun 1945. Di samping itu, melahirkan pula Negara Belgia yang melepaskan diri dari Belanda tahun 1839; Pakistan tahun 1947 dari Hindustan; Banglades tahun 1971 dari Pakistan; Papua Nugini tahun1975 dari Australia; tiga Negara Baltik (Latvia, Estonia, Lituania) melepaskan diri dari Uni Soviet tahun 1991.

            Innovation (pembentukan baru) adalah munculnya suatu negara baru di atas wilayah suatu negara yang pecah dan lenyap karena atas suatu hal.

            Anexatie (pencaplokan/penguasaan) adalah suatu negara lahir karena telah mencaplok wilayah yang dikuasai oleh bangsa lain tanpa reaksi berarti.


Perkembangan Muslim di Madinah
Kaum muslim di Madinah mulai berkembang sangat pesat ketika Nabi Muhammad saw hijrah (pindah) dari Mekah. Muhammad saw pindah dari Mekah ke Madinah disebabkan kaum muslimin di Mekah mendapatkan perlakuan buruk dari kaum kafir Quraisy. Kaum muslim dihina, dikejar, dilecehkan, diburu, dianiaya, dibunuh, dan diperlakukan kejam lainnya. Demikian pula Muhammad saw, mendapatkan ancaman pembunuhan.

            Madinah adalah sebuah wilayah yang penduduknya bersedia menjadikan wilayahnya sebagai tempat berlindung Nabi Muhammad saw dari perilaku buruk kaum kafir Quraisy. Kedatangan Muhammad saw ke Madinah membuat banyak perubahan, baik di bidang spiritual, sosial, maupun politik. Karena penduduknya sudah banyak yang menjadi pengikut Muhammad saw, untuk  menjaga ketertiban di wilayah itu dengan kaum Yahudi, Nasrani, kaum pagan (penyembah berhala), dan suku-suku lain, digunakan perjanjian yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.

            Hal itu menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang menjadi pemimpin atau penguasa Madinah. Setiap kelompok harus patuh pada Piagam Madinah yang inti isinya adalah adanya kewajiban untuk saling menghormati, saling menjaga, saling melindungi, dan mempertahankan Madinah dari serangan musuh mana pun. Nabi Muhammad saw pun bukanlah pemimpin Madinah, melainkan pemimpin kaum muslimin yang berada di Madinah. Adapun kelompok-kelompok lainnya tetap patuh kepada pemimpinnya masing-masing dan bukan kepada Nabi Muhammad saw.

            Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok non-muslim melakukan banyak gangguan kepada kaum muslimin yang artinya mulai pula mengganggu isi dari Piagam Madinah. Banyak sekali perilaku buruk non-muslim kepada kaum muslim yang membuat hubungan menjadi tegang. Hal itu diperparah dengan pengkhianatan Yahudi dan kelompok-kelompok lain terhadap kaum muslim. Mereka bersekutu dengan kaum kafir yang akan memerangi Madinah. Kelompok-kelompok itu justru berkehendak menghancurkan kaum muslim. Hal yang lebih nyata terlihat adalah ketika kaum muslim mengalami kekalahan perang, kondisi kritis, rusak parah, kehancuran ekonomi, dan kegetiran luar biasa. Banyak kelompok yang memanfaatkan kelemahan kaum muslim untuk melakukan kejahatan terhadap kaum muslim.

            Keadaan itu membuat isi Piagam  Madinah menjadi rusak, batal, dan tidak berlaku lagi. Hal itu disebabkan seharusnya setiap kelompok bersatu padu jika Madinah diserbu orang luar Madinah. Akan tetapi, dalam kenyataannya hanya kaum muslim yang membela Madinah dengan dibantu sekelompok kecil non-muslim. Oleh sebab itu, kaum muslim pun tidak lagi terikat pada Piagam Madinah karena kaum nonmuslim yang melakukan pengkhianatan pada Piagam Madinah.

            Hal yang membuat kaum muslim semakin menderita adalah adanya orang-orang muslim yang “meminta perlindungan” atau “berteman setia” dengan non-muslim. Mereka ketakutan dan kesakitan akibat kondisi memprihatinkan yang dialami kaum muslim.

            Karena banyaknya pengkhianatan kaum non-muslim terhadap Piagam Madinah yang berarti berkhianat pula terhadap kaum muslim serta mulai adanya kaum muslim yang meminta perlindungan kepada non-muslim, turunlah QS Al Maidah (5) : 51.

            “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

            Ayat ini hanya bisa dipergunakan jika ada kelompok non-muslim yang melakukan kejahatan kepada muslim. Ayat ini bukan digunakan untuk memecah belah manusia atau menimbulkan kebencian di antara manusia. Selama orang-orang non-muslim bersedia berdamai dan bekerja sama dengan harmonis dengan kaum muslim, setiap muslim wajib menjaga kehidupan yang damai dan harmonis dengan non-muslim.

            Disebabkan banyaknya pengkhianatan dan kejahatan yang dilakukan non-muslim kepada kaum muslim, terjadi ketegangan yang terus meningkat. Bahkan, terjadi perang yang mengerikan. Ketika kaum muslim kembali menguat pada segala bidang, terjadi perang dengan non-muslim di Madinah yang banyak berakhir dengan pengusiran terhadap Yahudi dan kelompok-kelompok lain yang banyak melakukan pengkhianatan.

            Peningkatan kaum muslim dan pengusiran terhadap kelompok-kelompok yang berkhianat itu menjadikan kekuasan kaum muslim semakin kokoh di Madinah. Hal itu pun secara otomatis memperkuat posisi Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin kaum muslim yang menjadi mayoritas di Madinah. Artinya, Nabi Muhammad saw pun akhirnya menjadi pemimpin Madinah secara keseluruhan.


Negara Islam antara Teoritis dan Fakta

1. Dilihat dari Syarat Negara
Secara teori syarat primer suatu negara adalah adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Adapun syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. Hal itu berarti pengakuan adanya sebuah negara tidaklah dapat dikatakan sah jika tidak memiliki keempat hal tersebut, yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain.

            Jika kita telaah kehidupan kaum muslim di Madinah, bisa kita lihat apakah termasuk negara dalam konsep sekarang atau tidak berdasarkan syarat-syarat negara.

            Syarat pertama negara adalah adanya rakyat. Saat itu rakyat Madinah sudah ada.

            Syarat kedua adalah adanya wilayah.

            Pertanyaannya, sudahkah jelas wilayah batas-batas wilayah Madinah pada saat itu? Dari mana sampai mana? Seluas apa Madinah itu? Siapa yang mengakui batas-batas itu kalau ada?

            Itu masih belum jelas.

            Syarat ketiga adalah adanya pemerintahan. Hal ini jelas bahwa pemerintahan saat itu dipegang Muhammad saw. Artinya ada pemimpin yang menjalankan pemerintahan.

            Syarat keempat adalah adanya pengakuan negara lain atas eksistensi negara tersebut.

            Saat itu negara mana yang sudah mengakui bahwa Madinah suatu negara?

            Jelas tidak ada satu negara pun yang mengakuinya karena pemahaman istilah negara pun baru muncul abad ke-15 dan lebih menguat  “pascaperjanjian Westphalia” pada 24 Oktober 1648 akibat dari perang antara Protestan dan Katolik selama tiga puluh tahun serta ketidakjelasan kekuasaan atas wilayah-wilayah di Eropa yang selalu menimbulkan perang, pembunuhan, dan berbagai kekusutan lainnya.

            Saat itu belum ada satu pun negara yang sesuai konsep saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa Madinah bukanlah Negara Islam. Syarat-syarat negara belum dipenuhi oleh Madinah.


2. Dilihat dari Periode Terbentuknya Negara
Secara teoretis terbentuknya negara dimulai adanya masyarakat hukum yang paling sederhana yang kemudian berkembang semakin luas dan semakin maju. Menurut G. Jellinek, terbentuknya negara melalui empat tahapan (periode, fase) sebagai berikut.

            Pertama, periode persekutuan manusia. Dalam periode atau fase ini manusia berkumpul dengan rasa dan kepentingan yang sama secara sederhana, biasanya terdiri atas sebuah keluarga.

            Kedua, periode kerajaan. Dengan berkembangnya penduduk, wilayah, dan aktivitas, diperlukan kekuasaan yang lebih kuat dan luas pula. Oleh sebab itu, terbentuklah kerajaan. Dalam masa ini mulai terbagi adanya hak milik dan hak atas tanah, baik hak kerajaan maupun hak pribadi.

            Ketiga, periode negara/staat. Dalam periode ini diperlukan ketetapan hukum yang lebih kuat dan keterlibatan masyarakat dalam bernegara secara lebih aktif. Dalam kata lain negara yang demokratis.

            Keempat, periode diktator. Pada masa ini rakyat membutuhkan pemimpin yang sangat kuat dan mutlak berkuasa untuk mengatasi berbagai masalah rakyat. Oleh sebab itu, rakyat memilih pemimpin yang sangat kuat untuk mengendalikan negara. Keinginan ini biasanya disebabkan negara didera berbagai masalah sehingga membutuhkan pemimpin yang sangat kuat.

            Apabila dilihat dari keempat periode atau fase terbentuknya negara yang disampaikan G. Jellinek, masyarakat Madinah belum masuk ke tahap negara atau staat. Madinah baru masuk tahap pertama, yaitu periode persekutuan manusia. Dalam periode atau fase ini manusia berkumpul dengan rasa dan kepentingan yang sama secara sederhana, biasanya terdiri atas sebuah keluarga.

            Manusia-manusia yang beragama Islam berkumpul karena kepentingan yang sama di Madinah, yaitu kepentingan ajaran Islam yang disampaikan Muhammad saw dan dipimpin oleh keluarga Nabi Muhammad saw beserta sahabat-sahabat dekatnya. Madinah saat itu belum masuk ke periode kerajaan, staat, bahkan periode diktator. Hal itu menunjukkan bahwa Madinah bukanlah Negara Islam karena baru sampai pada fase persekutuan manusia Islam yang memiliki kepentingan yang sama.


3. Dipandang dari Universalitas Islam
Islam adalah agama yang bersifat universal, tidak dibatasi oleh ras, suku, maupun teritorial.  Islam adalah agama yang tidak dikungkung oleh wilayah tertentu. Islam adalah agama untuk semua orang, bukan untuk keturunan tertentu di wilayah tertentu. Dengan demikian, adanya istilah atau klaim Negara Islam disadari atau tidak merupakan upaya untuk mengecilkan dan mengerdilkan Islam ke dalam kotak-kotak kecil yang bernama negara. Hal itu sekaligus mempersempit pemahaman Islam sendiri yang seharusnya menjadi rahmat bagi semesta alam tidak dibatasi di wilayah tertentu.

            Islam itu bersifat universal, tidak dibatasi garis batas negara tertentu. Hal itu menunjukkan bahwa Muhammad saw mengajarkan Islam bukan hanya untuk Madinah, melainkan untuk seluruh dunia fisik maupun gaib. Madinah bukanlah Negara Islam.


4. Dipandang dari Fakta Sejarah
Fakta-fakta sejarah terbentuknya negara sebagaimana diterangkan tadi adalah:

            Occupatie (pendudukan), yaitu negara yang lahir hasil dari suatu pendudukan terhadap suatu daerah atau wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai oleh suku atau kelompok tertentu.

            Cessie (penyerahan) adalah suatu wilayah diserahkan pada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu.

            Accesie (penaikan) adalah suatu negara yang terjadi akibat penaikan lumpur sungai atau timbul dari dasar laut (delta).

            Fusi (peleburan). Negara ini terjadi karena beberapa negara mengadakan peleburan (fusi) dan membentuk satu negara baru.

            Proklamasi adalah negara yang lahir  sebagai hasil dari perlawanan penduduk pribumi yang diduduki oleh bangsa lain. Fakta inilah yang melahirkan Negara Indonesia.

            Innovation (pembentukan baru) adalah munculnya suatu negara baru di atas wilayah suatu negara yang pecah dan lenyap karena atas suatu hal.

            Anexatie (pencaplokan/penguasaan) adalah suatu negara lahir karena telah mencaplok wilayah yang dikuasai oleh bangsa lain tanpa reaksi berarti.

            Sekarang mari kita cocokan termasuk negara yang lahir dengan cara apa Madinah yang dibentuk Muhammad Rasulullah saw. Dari fakta-fakta tersebut, ternyata Madinah tidak termasuk di dalamnya. Tidak ada satu fakta pun yang menyatakan Madinah adalah sebuah negara.

            Meskipun demikian, bisa saja termasuk dalam fakta sejarah jika kita mampu berdalil memasukkan Madinah sebagai negara yang terbentuk melalui “pengusiran” yang dilakukan Muhammad saw terhadap kelompok-kelompok lain. Hal itu disebabkan sebelumnya Madinah tidak memiliki seorang penguasa tunggal, tetapi memiliki banyak pemimpin sesuai kelompoknya masing-masing yang diikat oleh Piagam Madinah. Setelah kelompok-kelompok non-muslim melakukan gangguan, bersekutu dengan musuh-musuh muslimin, dan berkhianat pada Piagam Madinah, Muhammad saw menjadi satu-satunya pemimpin mayoritas di Madinah.


Simpulan

Dipandang dari berbagai sisi, Madinah bukanlah Negara Islam. Islam adalah religion untuk seluruh umat manusia di negara mana saja dalam sistem pemerintahan apa saja.  

            Islam tidak memerlukan negara untuk hidup, malahan Islam menghidupkan negara. Sebelum ada negara pun Islam sudah lebih dulu hidup. Ketika ada negara, Islam semakin hidup. Jika negara hancur pun Islam akan tetap tegak berdiri karena wilayah Islam sesungguhnya meliputi langit dan Bumi. Hal itu disebabkan seluruh langit dan Bumi adalah milik Allah swt.

            Sampurasun.



Sumber:

Budiardjo, Miriam, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. X, PT Gramedia: Jakarta

Finaldin, Tom, 2016, Sistem Dinamika Sosial Politik (I), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al Ghifari, Bandung

Haekal, Muhammad Husain, 2000, Sejarah Hidup Muhammad, Cetakan XXIV, Litera AntarNusa: Jakarta

Hatta, Ahmad, 2009, Tafsir Quran per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, Cetakan Keempat, Maghfirah Pustaka: Jakarta

Nasution, Dahlan, 1991, Politik Internasional: Konsep dan Teori, Penerbit Erlangga: Jakarta

Sukarno, 1964, Dibawah Bendera Revolusi, Cet. 3, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi: Jakarta







No comments:

Post a Comment