oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak hal atau kata yang
salah diartikan yang kemudian mengakibatkan kita salah bertindak. Banyak orang
yang tidak bisa membedakan atau pura-pura tidak tahu perbedaan antara “hemat” dengan
“pelit”; “progresif”/”maju cepat” dengan “panik” dan “grasa-grusu”; “lambat”
dengan “terprogram”/”gradual”; “revolusi” dengan “reformasi”; “hoax” dengan “ilmu”;
“kritikan” dengan “fitnah” dan “cacian”.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi jika
situasi sosial sedang menghadapi situasi khusus seperti perebutan politik dan
sekarang ini menghadapi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), banyak kesalahan
pemahaman terhadap suatu kata sehingga menimbulkan kesalahan dalam bertindak.
Mari kita bedakan satu per satu arti kata-kata tadi secara umum dan biasa-biasa
saja, tidak perlu rumit-rumit. Jika ada pendapat yang berbeda, koreksi saya.
Saya akan sangat berterima kasih.
“Hemat” itu
berarti menggunakan aset/harta secara bijak sesuai dengan keperluan, sedangkan “pelit” berarti enggan mengeluarkan
harta meskipun untuk hal yang benar-benar diperlukan. Orang pelit lebih suka
menumpuk-numpuk harta, baik besar maupun kecil dan tidak mau mengeluarkannya,
bahkan rela menderita asal uangnya tidak keluar. Kalaupun uangnya keluar, dia
akan merasa sangat terpaksa dengan hati yang sedih.
“Progresif”
atau maju cepat itu memiliki nilai positif. Sikap ini adalah berpandangan ke
depan dengan mempersiapkan segala sesuatunya secara cermat, lalu melangkah
dengan cepat dan tidak menunda-nundanya serta konsisten. Adapun "panik" adalah tindakan
grasa-grusu yang diakibatkan ketakutan-ketakutan yang biasanya tidak
berdasarkan kenyataan. Tindakannya kerap tidak beraturan karena tidak disertai
data, informasi yang jelas, program yang tepat sasaran, dan hasilnya sulit
diukur, terkadang boros materi dan boros energi. Hal yang lebih parah adalah
paranoid yang selalu ketakutan dirinya terancam oleh berbagai hal. Kalau sudah paranoid,
itu sudah tidak sehat mentalnya dan harus disembuhkan di rumah sakit jiwa
(RSJ).
“Lambat” itu
artinya melakukan sesuatu dalam waktu lama tidak sesuai dengan jadwal atau
ukuran yang diharapkan dan telah direncanakan. Tindakan ini mengakibatkan
gangguan pada pekerjaan-pekerjaan lainnya. Adapun “terprogram” berarti melaksanakan pekerjaan atau tindakan sesuai
dengan jadwal atau gradual dengan maksud seluruh tugas dapat mencapai hasil
yang telah ditentukan dengan menggunakan sumber daya yang ada.
“Revolusi”
adalah perubahan cepat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan
mengorbankan berbagai hal yang diperlukan. Tak peduli dengan pengorbanan yang dikeluarkan
asal tujuannya dapat terlaksana dengan cepat. “Reformasi” adalah penataan ulang struktur, kebijakan, program,
atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Reformasi adalah tindakan yang dilakukan
secara gradual, bertahap, dan terjadwal dengan meminimalisasi pengorbanan.
“Hoax” atau
hoaks adalah berita palsu atau informasi yang menyesatkan. Hoax diproduksi
untuk mengelabui orang banyak atau menyebarkan berita bohong tentang sesuatu
hal atau berbagai hal. Hoax itu selalu “misleading”,
‘menyesatkan’. Hal itu disebabkan hoaks adalah informasi yang sama sekali
tidak benar.
Adapun “ilmu”
adalah pemahaman atau pengetahuan terhadap suatu hal berdasarkan data, fakta,
atau ajaran yang diakui kebenarannya pada masa sebelumnya. Meskipun demikian, ilmu itu sifatnya terbuka. Artinya, bisa
dikoreksi oleh ilmu baru yang bisa membantah ilmu sebelumnya. Kalau suatu ilmu
sudah bisa dibantah oleh ilmu yang baru, ilmu yang lama wajib gugur.
Contoh yang paling mudah tentang ilmu adalah seperti ini.
Dalam Ilmu Alamiah Dasar sering dicontohkan tentang “pelangi”. Dulu orang
percaya bahwa pelangi adalah jalan bagi para bidadari dari kahyangan turun ke
Bumi untuk menyelesaikan berbagai urusannya. Semua orang tidak ada yang
membantah. Itu adalah ilmu. Akan tetapi, ketika ada orang lain yang menemukan
kenyataan bahwa pelangi adalah sinar Matahari yang menembus butiran air di
langit sehingga menimbulkan berbagai macam warna, ilmu bahwa pelangi adalah
jalan bagi para bidadari harus gugur.
Contoh lain, dulu gereja di Eropa meyakini bahwa Bumi itu
datar dan di ujungnya adalah neraka. Tak ada orang yang membantah. Itu juga
ilmu. Akan tetapi, ketika Galileo dan Copernicus menemukan kenyataan lain
dengan mengatakan bahwa Bumi itu bulat, maka teori Bumi datar itu harus gugur,
apalagi zaman sekarang yang bentuk Bumi bisa difoto dari luar angkasa dan ternyata
memang bulat. Pihak gereja pun sekarang mengakuinya bahwa Bumi itu memang
bulat.
Begitulah sifatnya ilmu. Kalau suatu pemahaman tidak
boleh dibantah, didebat, atau dikoreksi, itu bukan ilmu, melainkan doktrin yang
tidak boleh dipertanyakan benar dan salahnya. Orang-orang harus percaya secara
mutlak dan dilarang untuk memikirkan benar dan salahnya. Itu bukan ilmu. Itu hanyalah
keyakinan paksaan.
Contoh lain lagi. Kali ini kasusnya terjadi di Indonesia
baru-baru ini. Seorang aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
perempuan, dalam suatu acara talk show di
KompasTV mengatakan bahwa pemerintah
Indonesia menggunakan hoax tentang
virus corona. Dia menyebutkan bahwa hoax itu disampaikan Menteri Kesehatan RI Terawan
Agus Putranto yang mengatakan kalau tidak salah bahwa Indonesia tidak terkena
virus corona, Indonesia kuat, atau yang semacam itulah. Si Aktivis itu
mengatakan bahwa itu hoax.
Sungguh, dia tidak bisa membedakan antara hoax dengan
ilmu sebagaimana yang saya terangkan tadi. Bagi saya, Menkes RI Terawan itu
mengatakan sebuah ilmu dan bukan hoax. Pada kenyataannya memang ketika Menkes
RI Terawan mengatakan itu, tidak ada yang terkena virus corona karena memang
tidak ada datanya. Bahkan, bukan hanya Terawan yang mengatakan hal itu, dokter
lain pun mengatakannya karena Indonesia diuntungkan dari segi iklim yang tropis.
Saya pun berpendapat seperti itu saat itu.
Seperti saya jelaskan tadi bahwa ilmu itu bisa dikoreksi dan
dibantah dengan ilmu yang baru. Berdasarkan data, fakta, dan informasi terbaru,
sejak diketahui ada warga Depok yang positif terjangkit virus corona, maka ilmu
yang disampaikan oleh Terawan itu harus gugur karena ternyata dibantah oleh
ilmu yang baru bahwa Indonesia terkena virus corona.
Kalau sekarang Menkes RI Terawan mengatakan bahwa
Indonesia tidak terkena virus corona, itu baru hoax. Itu sah dikatakan bahwa
pemerintah melakukan hoax.
Paham tidak? Masa tidak?
Sekarang soal kritikan dengan fitnah dan caci maki. Orang
masih tidak bisa membedakan atau memang tidak mau membedakan antara kritikan,
caci maki, dan fitnah.
“Kritikan” itu
bagus, mengkritik itu boleh untuk memperbaiki keadaan yang ada. Kritikan itu
harus bertujuan positif agar pihak yang kita kritik dapat menjadi lebih baik,
situasi menjadi lebih baik, keadaan menjadi lebih baik. Hal itu pun
diperintahkan Allah swt dalam QS Al Ashr bahwa
yang namanya saling mengkritik, saling mengoreksi, saling menasihati itu akan
membuat hidup kita menjadi beruntung, lebih sabar, lebih kuat, dan lebih baik
lagi. Justru jika tidak melakukan saling koreksi, hidup kita akan merugi.
Kritikan yang sesungguhnya positif itu akan jatuh menjadi
“caci maki” jika disampaikan secara
tidak beradab dan jauh dari inti kritikan, misalnya, mengatakan seseorang itu
sebagai binatang, penjahat, hantu, stereotip, rasis, penghinaan terhadap fisik,
dan lain sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan kritikan. Di samping itu,
kritikan akan terjerumus menjadi “fitnah”
jika tidak disertai data-data yang valid, sah, dan sesuai fakta. Fitnah pun
akan terjadi jika hal yang disampaikan tidak secara utuh dengan cara
sepotong-sepotong dan merekayasa dari hal yang sebenarnya sehingga menyesatkan orang
lain dan merugikan orang yang menjadi sasaran fitnah.
Baik caci maki maupun fitnah, di samping mengakibatkan
dosa, tidak berbudi pekerti luhur, juga bisa terjerat hukum, baik pidana maupun
perdata. Jika sudah terjerat hukum, jika salah mengartikan, dia akan tetap
meyakini bahwa dia telah melakukan kritik, padahal sesungguhnya menyebarkan
fitnah dan caci maki. Itulah bahayanya jika salah mengartikan kata yang
mengakibatkan salah berrtindak, bahkan semakin menyesatkan dirinya sendiri dan
orang lain. Jika sudah terjerat hukum, tetapi salah mengartikan fitnah dan caci
maki sebagai kritik, dia semakin tersesat dengan mengatakan bahwa polisi tebang
pilih, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, tidak adil. Semakin ngaco dia.
Ada yang lebih parah lagi dengan meneriakkan bahwa ini
adalah “Hukum Jokowi!”
What?
Apa itu Hukum Jokowi?
Tidak ada itu Hukum Jokowi. Jokowi itu presiden,
eksekutif. Hukum itu kekuasaannya ada di para hakim sebagai yudikatif.
Undang-undang itu dibangun bersama dengan DPR sebagai legislatif.
Jangan salah mengartikan istilah atau pura-pura tidak
tahu, salah bertindak bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Yu ah, bagi para generasi muda maupun generasi tua yang
masih mau meningkatkan ilmu pengetahuan supaya cara berpikir kita semakin baik
dan semakin bermanfaat bagi manusia, saya mengajak untuk kuliah di Universitas
Al-Ghifari. Manfaatkan berbagai fasilitas beasiswa yang ada di Universitas
Al-Ghifari. Daftarnya bisa #dirumahaja.
Klik http://pmb.unfari.ac.id
jadilah mahasiswa Universitas Al-Ghifari.
No comments:
Post a Comment