Monday 6 April 2020

Salah Arti Salah Tindak

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Banyak hal atau kata yang salah diartikan yang kemudian mengakibatkan kita salah bertindak. Banyak orang yang tidak bisa membedakan atau pura-pura tidak tahu perbedaan antara “hemat” dengan “pelit”; “progresif”/”maju cepat” dengan “panik” dan “grasa-grusu”; “lambat” dengan “terprogram”/”gradual”; “revolusi” dengan “reformasi”; “hoax” dengan “ilmu”; “kritikan” dengan “fitnah” dan “cacian”.

            Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi jika situasi sosial sedang menghadapi situasi khusus seperti perebutan politik dan sekarang ini menghadapi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), banyak kesalahan pemahaman terhadap suatu kata sehingga menimbulkan kesalahan dalam bertindak. Mari kita bedakan satu per satu arti kata-kata tadi secara umum dan biasa-biasa saja, tidak perlu rumit-rumit. Jika ada pendapat yang berbeda, koreksi saya. Saya akan sangat berterima kasih.

            “Hemat” itu berarti menggunakan aset/harta secara bijak sesuai dengan keperluan, sedangkan “pelit” berarti enggan mengeluarkan harta meskipun untuk hal yang benar-benar diperlukan. Orang pelit lebih suka menumpuk-numpuk harta, baik besar maupun kecil dan tidak mau mengeluarkannya, bahkan rela menderita asal uangnya tidak keluar. Kalaupun uangnya keluar, dia akan merasa sangat terpaksa dengan hati yang sedih.

            “Progresif” atau maju cepat itu memiliki nilai positif. Sikap ini adalah berpandangan ke depan dengan mempersiapkan segala sesuatunya secara cermat, lalu melangkah dengan cepat dan tidak menunda-nundanya serta konsisten. Adapun "panik" adalah tindakan grasa-grusu yang diakibatkan ketakutan-ketakutan yang biasanya tidak berdasarkan kenyataan. Tindakannya kerap tidak beraturan karena tidak disertai data, informasi yang jelas, program yang tepat sasaran, dan hasilnya sulit diukur, terkadang boros materi dan boros energi. Hal yang lebih parah adalah paranoid yang selalu ketakutan dirinya terancam oleh berbagai hal. Kalau sudah paranoid, itu sudah tidak sehat mentalnya dan harus disembuhkan di rumah sakit jiwa (RSJ).

            “Lambat” itu artinya melakukan sesuatu dalam waktu lama tidak sesuai dengan jadwal atau ukuran yang diharapkan dan telah direncanakan. Tindakan ini mengakibatkan gangguan pada pekerjaan-pekerjaan lainnya. Adapun “terprogram” berarti melaksanakan pekerjaan atau tindakan sesuai dengan jadwal atau gradual dengan maksud seluruh tugas dapat mencapai hasil yang telah ditentukan dengan menggunakan sumber daya yang ada.

            “Revolusi” adalah perubahan cepat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan mengorbankan berbagai hal yang diperlukan. Tak peduli dengan pengorbanan yang dikeluarkan asal tujuannya dapat terlaksana dengan cepat. “Reformasi” adalah penataan ulang struktur, kebijakan, program, atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Reformasi adalah tindakan yang dilakukan secara gradual, bertahap, dan terjadwal dengan meminimalisasi pengorbanan.

            “Hoax” atau hoaks adalah berita palsu atau informasi yang menyesatkan. Hoax diproduksi untuk mengelabui orang banyak atau menyebarkan berita bohong tentang sesuatu hal atau berbagai hal. Hoax itu selalu “misleading”, ‘menyesatkan’. Hal itu disebabkan hoaks adalah informasi yang sama sekali tidak benar.

            Adapun “ilmu” adalah pemahaman atau pengetahuan terhadap suatu hal berdasarkan data, fakta, atau ajaran yang diakui kebenarannya pada masa sebelumnya. Meskipun demikian, ilmu itu sifatnya terbuka. Artinya, bisa dikoreksi oleh ilmu baru yang bisa membantah ilmu sebelumnya. Kalau suatu ilmu sudah bisa dibantah oleh ilmu yang baru, ilmu yang lama wajib gugur.

            Contoh yang paling mudah tentang ilmu adalah seperti ini. Dalam Ilmu Alamiah Dasar sering dicontohkan tentang “pelangi”. Dulu orang percaya bahwa pelangi adalah jalan bagi para bidadari dari kahyangan turun ke Bumi untuk menyelesaikan berbagai urusannya. Semua orang tidak ada yang membantah. Itu adalah ilmu. Akan tetapi, ketika ada orang lain yang menemukan kenyataan bahwa pelangi adalah sinar Matahari yang menembus butiran air di langit sehingga menimbulkan berbagai macam warna, ilmu bahwa pelangi adalah jalan bagi para bidadari harus gugur.

            Contoh lain, dulu gereja di Eropa meyakini bahwa Bumi itu datar dan di ujungnya adalah neraka. Tak ada orang yang membantah. Itu juga ilmu. Akan tetapi, ketika Galileo dan Copernicus menemukan kenyataan lain dengan mengatakan bahwa Bumi itu bulat, maka teori Bumi datar itu harus gugur, apalagi zaman sekarang yang bentuk Bumi bisa difoto dari luar angkasa dan ternyata memang bulat. Pihak gereja pun sekarang mengakuinya bahwa Bumi itu memang bulat.

            Begitulah sifatnya ilmu. Kalau suatu pemahaman tidak boleh dibantah, didebat, atau dikoreksi, itu bukan ilmu, melainkan doktrin yang tidak boleh dipertanyakan benar dan salahnya. Orang-orang harus percaya secara mutlak dan dilarang untuk memikirkan benar dan salahnya. Itu bukan ilmu. Itu hanyalah keyakinan paksaan.

            Contoh lain lagi. Kali ini kasusnya terjadi di Indonesia baru-baru ini. Seorang aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), perempuan, dalam suatu acara talk show di KompasTV mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menggunakan hoax tentang virus corona. Dia menyebutkan bahwa hoax itu disampaikan Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto yang mengatakan kalau tidak salah bahwa Indonesia tidak terkena virus corona, Indonesia kuat, atau yang semacam itulah. Si Aktivis itu mengatakan bahwa itu hoax.

            Sungguh, dia tidak bisa membedakan antara hoax dengan ilmu sebagaimana yang saya terangkan tadi. Bagi saya, Menkes RI Terawan itu mengatakan sebuah ilmu dan bukan hoax. Pada kenyataannya memang ketika Menkes RI Terawan mengatakan itu, tidak ada yang terkena virus corona karena memang tidak ada datanya. Bahkan, bukan hanya Terawan yang mengatakan hal itu, dokter lain pun mengatakannya karena Indonesia diuntungkan dari segi iklim yang tropis. Saya pun berpendapat seperti itu saat itu.

            Seperti saya jelaskan tadi bahwa ilmu itu bisa dikoreksi dan dibantah dengan ilmu yang baru. Berdasarkan data, fakta, dan informasi terbaru, sejak diketahui ada warga Depok yang positif terjangkit virus corona, maka ilmu yang disampaikan oleh Terawan itu harus gugur karena ternyata dibantah oleh ilmu yang baru bahwa Indonesia terkena virus corona.

            Kalau sekarang Menkes RI Terawan mengatakan bahwa Indonesia tidak terkena virus corona, itu baru hoax. Itu sah dikatakan bahwa pemerintah melakukan hoax.

            Paham tidak? Masa tidak?

            Sekarang soal kritikan dengan fitnah dan caci maki. Orang masih tidak bisa membedakan atau memang tidak mau membedakan antara kritikan, caci maki, dan fitnah.

            “Kritikan” itu bagus, mengkritik itu boleh untuk memperbaiki keadaan yang ada. Kritikan itu harus bertujuan positif agar pihak yang kita kritik dapat menjadi lebih baik, situasi menjadi lebih baik, keadaan menjadi lebih baik. Hal itu pun diperintahkan Allah swt dalam QS Al Ashr bahwa yang namanya saling mengkritik, saling mengoreksi, saling menasihati itu akan membuat hidup kita menjadi beruntung, lebih sabar, lebih kuat, dan lebih baik lagi. Justru jika tidak melakukan saling koreksi, hidup kita akan merugi.

            Kritikan yang sesungguhnya positif itu akan jatuh menjadi “caci maki” jika disampaikan secara tidak beradab dan jauh dari inti kritikan, misalnya, mengatakan seseorang itu sebagai binatang, penjahat, hantu, stereotip, rasis, penghinaan terhadap fisik, dan lain sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan kritikan. Di samping itu, kritikan akan terjerumus menjadi “fitnah” jika tidak disertai data-data yang valid, sah, dan sesuai fakta. Fitnah pun akan terjadi jika hal yang disampaikan tidak secara utuh dengan cara sepotong-sepotong dan merekayasa dari hal yang sebenarnya sehingga menyesatkan orang lain dan merugikan orang yang menjadi sasaran fitnah.

            Baik caci maki maupun fitnah, di samping mengakibatkan dosa, tidak berbudi pekerti luhur, juga bisa terjerat hukum, baik pidana maupun perdata. Jika sudah terjerat hukum, jika salah mengartikan, dia akan tetap meyakini bahwa dia telah melakukan kritik, padahal sesungguhnya menyebarkan fitnah dan caci maki. Itulah bahayanya jika salah mengartikan kata yang mengakibatkan salah berrtindak, bahkan semakin menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain. Jika sudah terjerat hukum, tetapi salah mengartikan fitnah dan caci maki sebagai kritik, dia semakin tersesat dengan mengatakan bahwa polisi tebang pilih, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, tidak adil. Semakin ngaco dia.

            Ada yang lebih parah lagi dengan meneriakkan bahwa ini adalah “Hukum Jokowi!”

            What?

            Apa itu Hukum Jokowi?

            Tidak ada itu Hukum Jokowi. Jokowi itu presiden, eksekutif. Hukum itu kekuasaannya ada di para hakim sebagai yudikatif. Undang-undang itu dibangun bersama dengan DPR sebagai legislatif.

            Jangan salah mengartikan istilah atau pura-pura tidak tahu, salah bertindak bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

            Yu ah, bagi para generasi muda maupun generasi tua yang masih mau meningkatkan ilmu pengetahuan supaya cara berpikir kita semakin baik dan semakin bermanfaat bagi manusia, saya mengajak untuk kuliah di Universitas Al-Ghifari. Manfaatkan berbagai fasilitas beasiswa yang ada di Universitas Al-Ghifari. Daftarnya bisa #dirumahaja.

            Klik http://pmb.unfari.ac.id jadilah mahasiswa Universitas Al-Ghifari.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment