oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Akhir-akhir ini sering
sekali kita disuguhi berbagai berita politik dan ekonomi yang sedang hangat
menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Dalam membahas berbagai isu tersebut
sering sekali media-media massa mengadakan acara-acara, seperti, talk show, dialog, atau kupas isu. Dalam
acara-acara tersebut, kerap diundang orang-orang yang katanya expert dalam bidangnya. Orang-orang
undangan itu sering dijuluki ahli, pakar,
pemerhati, pengamat, atau julukan lain sesuai keinginan penguasa media.
Memang mengasyikan sih kehadiran mereka dalam acara banyak omong di media tersebut. Tak bisa dibantah bahwa
pandangan mereka banyak juga manfaatnya serta memberikan informasi dan
pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat. Akan tetapi, sayangnya
banyak di antara mereka yang disebut pakar tersebut ternyata partisan. Mereka berbicara sudah tidak
lagi bersandar pada kesucian ilmu pengetahuan, tetapi sangat bergantung
pesanan. Mereka berbicara seolah-olah akademisi ulung, ilmuwan kelas atas,
tetapi sesungguhnya sedang menggiring opini masyarakat untuk mendukung
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kelompok-kelompok kekuasaan inilah
yang menjadi dalang para pakar tersebut untuk membuat pernyataan-pernyataan
menyesatkan. Tentunya, dalang politik dan atau ekonomi itu mengucurkan banyak
fasilitas untuk orang-orang yang disebut ilmuwan
oleh media itu.
Yang namanya pakar,
akademisi, ahli, atau apalah sesungguhnya kalau berbicara, harus terbebas
dari kepentingan tertentu, termasuk kecenderungan dirinya sendiri dalam
mendukung kelompok tertentu. Para ilmuwan itu kalau mengeluarkan pendapat,
haruslah selalu bersandar pada ilmu pengetahuan dan dengan itulah mereka
mengukur sesuatu itu salah atau benar. Di samping itu, mereka pun harus
menyiasati agar pengetahuan yang dimiliki mereka itu adalah untuk kebaikan
manusia, bukan untuk menjerumuskan manusia sehingga mendukung kekuatan temporer
tertentu.
Sangat menyedihkan memang kondisi seperti ini ketika
orang-orang kuliahan yang dianggap dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya
untuk memecahkan banyak masalah dengan sinar terang yang menyenangkan, malahan
ikut-ikutan berantem, adu bacot, adu bekok, adu mulut hanya karena berbeda
dukungan politis atau ekonomi. Masyarakat bukannya menjadi tambah terang dan
tenang, tetapi malah menjadi makin bingung, gelap, dan tersesat.
Tak heran jika pada zaman ini di negeri Indonesia oleh Ronggowarsito disebut zaman ketika Sarjana Tidak Ada. Zaman tidak ada
sarjana itu bukan berarti tidak ada orang yang bergelar sarjana, melainkan
tidak ada orang yang menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kemaslahatan
umat manusia. Yang ada hanyalah gelar-gelar D1, D2, D3, S1, S2, S3, Prof., dsb.
lulusan dari perguruan tinggi. Adapun yang sarjana hati dan pikirannya tidak
ada. Semua kepandaiannya hanya digunakan sebagaimana tukang rongsokan, tukang jamu gendong, bahkan maling, yaitu sekedar cari uang buat makan dan beli benda-benda.
Memang
apa bedanya para sarjana yang ada sekarang dengan profesi lain kalau cuma cari
uang buat makanan dan membeli aneka benda?
Sama
saja kan?
Sarjana
itu harus berbeda. Ia harus menjadi cahaya manusia ketika manusia berada dalam
kekusutan, bukan ikut-ikutan mengusutkan situasi.
Pokoknya,
sekarang itu jangan terlalu percaya kepada orang yang disebut oleh media sebagai
pakar, ahli, pengamat, pemerhati, dsb..
Soalnya mereka cuma cari recehan dengan cara menggiring pikiran masyarakat agar
mendukung pihak yang telah memberinya makanan.
Mirip
anjing mereka itu. Membela orang yang telah memberinya makanan. Anjing itu terkenal
dengan sikap menyerang dulu, urusan belakangan. Anjing itu menggonggong aja
dulu, soal yang digonggongnya itu orang baik atau orang jahat, itu urusan
nanti, yang penting senangkan dulu Sang Majikan dengan gonggonggannya, soal
salah-benar, urusan berikutnya. Bahkan, anjing penjilat itu bisa langsung
menggigit orang tanpa berpikir panjang yang ujung-ujungnya akan menyusahkan
banyak orang.
Akan
tetapi, masih banyak juga sih para pakar yang waras pikiran dan sehat otak.
Mereka berupaya memberikan penyadaran kepada pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan dan penerangan kepada masyarakat dengan harapan bangsa Indonesia
menjadi tercerahkan dan tercerdaskan. Mereka tak peduli dengan uang dan
kekuasaan. Merekalah orang-orang yang setia kepada ilmu pengetahuan dan
mencintai manusia sehingga menggunakan kepandaiannya untuk kemaslahatan
penduduk Bumi.
No comments:
Post a Comment