Thursday, 11 December 2014

Ilmuwan Partisan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini sering sekali kita disuguhi berbagai berita politik dan ekonomi yang sedang hangat menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Dalam membahas berbagai isu tersebut sering sekali media-media massa mengadakan acara-acara, seperti, talk show, dialog, atau kupas isu. Dalam acara-acara tersebut, kerap diundang orang-orang yang katanya expert dalam bidangnya. Orang-orang undangan itu sering dijuluki ahli, pakar, pemerhati, pengamat, atau julukan lain sesuai keinginan penguasa media.

            Memang mengasyikan sih kehadiran mereka dalam acara banyak omong  di media tersebut. Tak bisa dibantah bahwa pandangan mereka banyak juga manfaatnya serta memberikan informasi dan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat. Akan tetapi, sayangnya banyak di antara mereka yang disebut pakar tersebut ternyata partisan. Mereka berbicara sudah tidak lagi bersandar pada kesucian ilmu pengetahuan, tetapi sangat bergantung pesanan. Mereka berbicara seolah-olah akademisi ulung, ilmuwan kelas atas, tetapi sesungguhnya sedang menggiring opini masyarakat untuk mendukung kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kelompok-kelompok kekuasaan inilah yang menjadi dalang para pakar tersebut untuk membuat pernyataan-pernyataan menyesatkan. Tentunya, dalang politik dan atau ekonomi itu mengucurkan banyak fasilitas untuk orang-orang yang disebut ilmuwan oleh media itu.

            Yang namanya pakar, akademisi, ahli, atau apalah sesungguhnya kalau berbicara, harus terbebas dari kepentingan tertentu, termasuk kecenderungan dirinya sendiri dalam mendukung kelompok tertentu. Para ilmuwan itu kalau mengeluarkan pendapat, haruslah selalu bersandar pada ilmu pengetahuan dan dengan itulah mereka mengukur sesuatu itu salah atau benar. Di samping itu, mereka pun harus menyiasati agar pengetahuan yang dimiliki mereka itu adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk menjerumuskan manusia sehingga mendukung kekuatan temporer tertentu.

            Sangat menyedihkan memang kondisi seperti ini ketika orang-orang kuliahan yang dianggap dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk memecahkan banyak masalah dengan sinar terang yang menyenangkan, malahan ikut-ikutan berantem, adu bacot, adu bekok, adu mulut hanya karena berbeda dukungan politis atau ekonomi. Masyarakat bukannya menjadi tambah terang dan tenang, tetapi malah menjadi makin bingung, gelap, dan tersesat.

            Tak heran jika pada zaman ini di negeri Indonesia oleh Ronggowarsito disebut zaman ketika Sarjana Tidak Ada. Zaman tidak ada sarjana itu bukan berarti tidak ada orang yang bergelar sarjana, melainkan tidak ada orang yang menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kemaslahatan umat manusia. Yang ada hanyalah gelar-gelar D1, D2, D3, S1, S2, S3, Prof., dsb. lulusan dari perguruan tinggi. Adapun yang sarjana hati dan pikirannya tidak ada. Semua kepandaiannya hanya digunakan sebagaimana tukang rongsokan, tukang jamu gendong, bahkan maling, yaitu sekedar cari uang buat makan dan beli benda-benda.

Memang apa bedanya para sarjana yang ada sekarang dengan profesi lain kalau cuma cari uang buat makanan dan membeli aneka benda?

Sama saja kan?

Sarjana itu harus berbeda. Ia harus menjadi cahaya manusia ketika manusia berada dalam kekusutan, bukan ikut-ikutan mengusutkan situasi.

Pokoknya, sekarang itu jangan terlalu percaya kepada orang yang disebut oleh media sebagai pakar, ahli, pengamat, pemerhati, dsb.. Soalnya mereka cuma cari recehan dengan cara menggiring pikiran masyarakat agar mendukung pihak yang telah memberinya makanan.

Mirip anjing mereka itu. Membela orang yang telah memberinya makanan. Anjing itu terkenal dengan sikap menyerang dulu, urusan belakangan. Anjing itu menggonggong aja dulu, soal yang digonggongnya itu orang baik atau orang jahat, itu urusan nanti, yang penting senangkan dulu Sang Majikan dengan gonggonggannya, soal salah-benar, urusan berikutnya. Bahkan, anjing penjilat itu bisa langsung menggigit orang tanpa berpikir panjang yang ujung-ujungnya akan menyusahkan banyak orang.

Akan tetapi, masih banyak juga sih para pakar yang waras pikiran dan sehat otak. Mereka berupaya memberikan penyadaran kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan penerangan kepada masyarakat dengan harapan bangsa Indonesia menjadi tercerahkan dan tercerdaskan. Mereka tak peduli dengan uang dan kekuasaan. Merekalah orang-orang yang setia kepada ilmu pengetahuan dan mencintai manusia sehingga menggunakan kepandaiannya untuk kemaslahatan penduduk Bumi.
           

No comments:

Post a Comment