Monday, 3 November 2014

Dendam Kesumat Itu Boleh


                                                      
                  oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dendam itu boleh. Mau dendam kesumat ataupun dendam tersumbat. Namanya juga demokrasi. Demokrasi itu kan isinya persaingan, pertandingan, kompetisi. Yang namanya pertarungan harus ada yang kalah dan harus ada yang menang. Itu wajar. Terus, yang kalah jadi dendam. Wajar juga kan namanya juga bersaing. Adalah hal yang aneh jika tidak boleh dendam.

            Kita punya Timnas sepak bola yang kalah di piala AFF. Masa tidak mau dendam? Harus dendam dong. Kita harus dendam dengan menang di piala Asia, Asean, atau even apalagi lah yang bisa jadi ajang balas dendam. Kan bagus kalau kekalahan pada satu even memicu dendam untuk menang pada even yang lain. Yang namanya persaingan dan pertandingan itu mau tidak mau akan menumbuhkan dendam.

            Begitu juga dengan politik. Kalau Koalisi Merah Putih (KMP) kalah dalam Pilpres oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH), wajar jika KMP dendam untuk memenangkan posisi-posisi di parlemen. Masa tidak boleh dendam? Kan namanya juga pertandingan. Mau sapu bersih kek, mau berkuasa penuh kek, ya boleh-boleh saja. Namanya juga demokrasi. Demokrasi itu kan yang menang adalah yang punya suara terbanyak. Kebetulan di parlemen KMP punya suara teramat banyak, wajar kalau jadi penguasa kan demokrasi.

            Kalau nggak mau ada dendam, ya jangan ada pertandingan, jangan ada kompetisi. Kalau mau gotong royong, ya jangan pake demokrasi. Dalam demokrasi itu dipenuhi oleh perlombaan yang pasti menimbulkan dendam. Setiap kekuatan yang beradu pasti bersandar pada kepentingan politik golongannya masing-masing karena itulah memang demokrasi.

            Nggak mungkin gotong royong tercipta sempurna dalam situasi politik yang penuh persaingan. Demokrasi itu menyandarkan kebenaran pada pendapat terbanyak. Berbeda dengan gotong royong yang menyandarkan diri pada pendapat terbaik. Dalam demokrasi pendapat terbaik tidak akan pernah bisa muncul menjadi pemecahan masalah jika tidak ada dukungan pendapat terbanyak. Sebaliknya, pendapat terburuk bisa lahir menjadi kebijakan jika didukung pendapat mayoritas.

            Dengan demikian, jangan ada yang mengumpat bahwa pihak yang lain tidak mau bergotong royong, inginnya menang sendiri karena memang demokrasi itu sulit sekali bersanding dengan gotong royong. Jangan ada yang berlindung di balik Pancasila jika mendapatkan kekalahan dalam persaingan politik. Pancasila terlalu suci untuk dijadikan alasan menuduh orang lain tidak mau musyawarah atau mufakat. Semua yang ada dalam demokrasi itu juga  pada hakikatnya menginginkan kekuasaan, mendapatkan bagian dalam pengendalian masyarakat. Setiap politisi boleh mengatakan bahwa dirinya ingin berkuasa untuk menyejahterakan rakyat, tetapi kata-katanya itu harus diuji kebenarannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua orang tahu bahwa kemarin-kemarin banyak sekali politisi yang justru mengkhianati sumpahnya sendiri. Politisi yang saat ini sedang manggung pun akan diuji dan semua mata melihat, apakah mereka akan menangguk kemuliaan atau justru menanggung malu yang menghinakan.

            Kalau tidak mau ada dendam, jangan berdemokrasi. Kalau ingin bergotong royong, tidak perlu bersaing. Kita semua harus bersandar pada pendapat terbaik, bukan pendapat terbanyak. Pendapat terbaik itu ada pada orang-orang yang baik-baik yang jumlahnya sedikit, tidak banyak. Dari dulu juga kan begitu kenyataannya, jumlah orang-orang baik, bijaksana, dan cerdas itu lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang yang tidak baik, tidak bijak, dan kurang cerdas yang jumlahnya sangat banyak.

            Itulah sebabnya Allah swt menurunkan para nabi beserta orang-orang mulia yang jumlahnya sedikit untuk menerangkan kebenaran kepada orang-orang banyak yang hidupnya rata-rata tersesat.

No comments:

Post a Comment