oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dendam itu boleh. Mau
dendam kesumat ataupun dendam tersumbat. Namanya juga demokrasi. Demokrasi itu
kan isinya persaingan, pertandingan, kompetisi. Yang namanya pertarungan harus
ada yang kalah dan harus ada yang menang. Itu wajar. Terus, yang kalah jadi
dendam. Wajar juga kan namanya juga bersaing. Adalah hal yang aneh jika tidak
boleh dendam.
Kita punya Timnas sepak bola yang kalah di piala AFF. Masa
tidak mau dendam? Harus dendam dong. Kita harus dendam dengan menang di piala
Asia, Asean, atau even apalagi lah yang bisa jadi ajang balas dendam. Kan bagus
kalau kekalahan pada satu even memicu dendam untuk menang pada even yang lain. Yang
namanya persaingan dan pertandingan itu mau tidak mau akan menumbuhkan dendam.
Begitu juga dengan politik. Kalau Koalisi Merah Putih
(KMP) kalah dalam Pilpres oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH), wajar jika KMP
dendam untuk memenangkan posisi-posisi di parlemen. Masa tidak boleh dendam?
Kan namanya juga pertandingan. Mau sapu bersih kek, mau berkuasa penuh kek, ya
boleh-boleh saja. Namanya juga demokrasi. Demokrasi itu kan yang menang adalah
yang punya suara terbanyak. Kebetulan di parlemen KMP punya suara teramat
banyak, wajar kalau jadi penguasa kan demokrasi.
Kalau nggak mau ada dendam, ya jangan ada pertandingan,
jangan ada kompetisi. Kalau mau gotong royong, ya jangan pake demokrasi. Dalam
demokrasi itu dipenuhi oleh perlombaan yang pasti menimbulkan dendam. Setiap
kekuatan yang beradu pasti bersandar pada kepentingan politik golongannya
masing-masing karena itulah memang demokrasi.
Nggak mungkin gotong royong tercipta sempurna dalam
situasi politik yang penuh persaingan. Demokrasi itu menyandarkan kebenaran
pada pendapat terbanyak. Berbeda dengan gotong royong yang menyandarkan diri
pada pendapat terbaik. Dalam demokrasi pendapat terbaik tidak akan pernah bisa muncul
menjadi pemecahan masalah jika tidak ada dukungan pendapat terbanyak.
Sebaliknya, pendapat terburuk bisa lahir menjadi kebijakan jika didukung
pendapat mayoritas.
Dengan demikian, jangan ada yang mengumpat bahwa pihak
yang lain tidak mau bergotong royong, inginnya menang sendiri karena memang
demokrasi itu sulit sekali bersanding dengan gotong royong. Jangan ada yang
berlindung di balik Pancasila jika mendapatkan kekalahan dalam persaingan
politik. Pancasila terlalu suci untuk dijadikan alasan menuduh orang lain tidak
mau musyawarah atau mufakat. Semua yang ada dalam demokrasi itu juga pada hakikatnya menginginkan kekuasaan,
mendapatkan bagian dalam pengendalian masyarakat. Setiap politisi boleh
mengatakan bahwa dirinya ingin berkuasa untuk menyejahterakan rakyat, tetapi
kata-katanya itu harus diuji kebenarannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Semua orang tahu bahwa kemarin-kemarin banyak sekali politisi yang
justru mengkhianati sumpahnya sendiri. Politisi yang saat ini sedang manggung
pun akan diuji dan semua mata melihat, apakah mereka akan menangguk kemuliaan
atau justru menanggung malu yang menghinakan.
Kalau tidak mau ada dendam, jangan berdemokrasi. Kalau
ingin bergotong royong, tidak perlu bersaing. Kita semua harus bersandar pada
pendapat terbaik, bukan pendapat terbanyak. Pendapat terbaik itu ada pada
orang-orang yang baik-baik yang jumlahnya sedikit, tidak banyak. Dari dulu juga
kan begitu kenyataannya, jumlah orang-orang baik, bijaksana, dan cerdas itu
lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang yang tidak baik, tidak bijak, dan
kurang cerdas yang jumlahnya sangat banyak.
Itulah sebabnya Allah swt menurunkan para nabi beserta
orang-orang mulia yang jumlahnya sedikit untuk menerangkan kebenaran kepada
orang-orang banyak yang hidupnya rata-rata tersesat.
No comments:
Post a Comment